• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan hasil penelitian ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan April sampai September 2008 ini adalah “Peran dan Koordinasi Lembaga Lintas Sektoral dalam Konservasi Sumber Daya Air (Studi Kasus DAS Gumbasa Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah)”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, dan Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tesis, atas kesediaannya memberikan bimbingan pada pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini. Terima kasih penulis juga ucapkan kepada Bapak Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. dan Bapak/Ibu Dosen pengajar pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Kepada Pimpinan Proyek BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, terima kasih atas bantuan dana pendidikan yang telah diberikan. Kepada Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. penulis mengucapkan terima kasih bantuan biaya yang telah diberikan pada pelaksanaan penelitian ini.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan ayahanda Sofyan Said, ibunda St. Humrah, ibunda mertua Hj. St. Rada, istriku tercinta Ummi Kalsum, SP, putriku tersayang Nadhifa Raihanah, serta seluruh keluarga atas kesabaran, keikhlasan, doa restu dan kasih sayangnya.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2009

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Mei 1973 dari ayah Sofyan Said dan ibu St. Humrah. Penulis merupakan putra bungsu dari tiga bersaudara.

Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri I Bulukumba dan lulus ujian seleksi masuk Universitas Hasanuddin pada tahun 1993 melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), selesai tahun 1997. Penulis memilih Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian dan Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi Asisten Dosen pada mata kuliah Dasar-Dasar Ilmu Tanah pada tahun 1994/1997, mata kuliah Hidrologi pada tahun 1995/1997, dan mata kuliah Konservasi Tanah dan Air pada tahun 1996/2000.

Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin sejak tahun 2001. Mata kuliah yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Hidrologi, dan Konservasi Tanah dan Air.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu usaha untuk mengatur sumber daya alam utama, yaitu hutan (vegetasi), tanah dan air. Pengelolaan DAS diperlukan untuk meminimumkan kerusakan-kerusakan lahan yang terdapat di dalam suatu DAS. Tujuan pengelolaan DAS adalah: 1) penggunaan sumber daya lahan secara rasional untuk mencapai produksi optimum yang lestari; 2) menekan kerusakan menjadi seminimal mungkin; 3) distribusi air yang merata sepanjang tahun dan tersedianya air pada musim kemarau; serta 4) mampu mempertahankan DAS yang bersifat lentur (resilient) serta adanya peningkatan pendapatan masyarakat di dalam DAS (Sinukaban 2007a). Pengelolaan DAS yang tidak tepat akan mengakibatkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Oleh karena itu, perlu diwujudkan dalam suatu perencanaan pengelolaan DAS yang baik, sehingga tujuan tersebut menjadi lebih jelas dan mudah dilaksanakan.

Dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masalah pengelolaan sumber daya air menjadi lebih kompleks mengingat Satuan Wilayah Sungai (SWS) atau Daerah Aliran Sungai (DAS) secara teknis tidak dibatasi oleh batas-batas administratif tetapi oleh batas-batas fungsional. Oleh karena itu, masalah koordinasi antar daerah otonom yang berada dalam satu SWS atau DAS menjadi sangat penting. Di era otonomi daerah saat ini, terjadi banyak pelanggaran aturan dalam kegiatan pengelolaan DAS, sehingga kawasan lindung yang seharusnya dikonservasi menjadi rusak.

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) merupakan daerah konservasi lingkungan di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah yang mempunyai luas 217.991 ha yang telah menarik perhatian dunia dalam kaitannya dengan fungsinya sebagai daerah resapan air, suaka keanekaragaman hayati, penyimpanan karbon dalam bentuk tegakan hutan, pendidikan lingkungan, penelitian, dan konservasi budaya masyarakat di sekitarnya, serta daerah tujuan wisata lokal dan mancanegara. Dalam peranannya mendukung kelestarian hutan, tanah, dan pemanfaatan sumber daya air bagi masyarakat di sekitarnya, TNLL telah memberikan sumbangan finansial setara dengan 89,9 milyar rupiah setiap tahun (Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam et al. 2001).

Salah satu DAS yang berada dalam kawasan TNLL adalah DAS Gumbasa yang terletak di bagian Utara kawasan TNLL, dengan kepadatan penduduk yang

2

tidak merata, antara 4 sampai 570 jiwa/km2, dan laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 6,28 %/tahun (BPS 2006). Mata pencaharian utama masyarakat di DAS Gumbasa adalah sebagai petani yang menyebabkan kebutuhan lahan untuk pengembangan pertanian merupakan masalah mendasar di daerah tersebut.

DAS Gumbasa merupakan salah satu dari 22 DAS super prioritas, yang ditetapkan melalui surat keputusan bersama tiga menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum dengan Nomor 19 Tahun 1984; Nomor 059/Kpts-II/1984; dan Nomor 124/Kpts/1984, tanggal 4 April 1984, tentang Penanganan Konservasi Tanah dalam Rangka Pengamanan Daerah Aliran Sungai Prioritas. Dasar penetapan prioritas DAS tersebut adalah atas kriteria: 1) Daerah tersebut memiliki hidro-orologis kritis, ditandai oleh besarnya angka perbandingan antara debit maksimum (musim hujan) dan debit minimum (musim kemarau) serta kandungan lumpur (sediment load) yang berlebihan; 2) di daerah tersebut akan dibangun bangunan vital dengan investasi besar, berupa bendungan dan jaringan irigasinya; 3) daerah dengan tingkat kesadaran masyarakat terhadap usaha konservasi tanah dan air masih rendah; 4) daerah perladangan berpindah atau daerah dengan penggarapan tanah yang merusak tanah dan lingkungan; dan 5) daerah dengan kepadatan penduduk tinggi dan tingkat penutupan vegetasi yang rendah.

Perambahan hutan yang sangat intensif untuk dikonversi menjadi lahan pertanian oleh masyarakat di dalam Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), khususnya di DAS Gumbasa sejak tahun 1999 hingga sekarang telah menyebabkan penurunan fungsi hidrologi yang signifikan, sehingga dapat mengancam keseimbangan dinamik sumber daya air di taman nasional tersebut. Hasil penelitian Thaha (2001) dan Widjajanto et al. (2003) menunjukkan bahwa erosi tanah yang tinggi dan laju pengangkutan sedimen melayang (suspended load) pada Sungai Gumbasa bagian Hulu sekitar 14.000-20.000 ton/hari, hal ini berarti bahwa ekosistem DAS tersebut telah mengalami gangguan. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinukaban et al. (2006) menunjukkan bahwa konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian tanaman coklat rakyat, tanaman pertanian semusim (jagung dan kacang tanah), semak belukar dan kebun vanili di DAS Nopu Hulu yang merupakan salah satu Sub DAS Gumbasa yang berada dalam wilayah TNLL telah menyebabkan terjadinya peningkatan erosi dan aliran permukaan yang sangat nyata dan menurunkan fungsi hidrologi DAS.

3

Permasalahan

Pada tahun 1984, Pemerintah membangun bendungan pada outlet Sungai Gumbasa dan jaringan irigasinya dalam rangka peningkatan produksi pangan, khususnya beras (Ponulele 1988), dengan sistem irigasi teknis yang dapat mengairi sawah seluas ± 12.000 ha di Lembah Palu. Pada waktu itu, debit maksimum Sungai Gumbasa yang dibendung adalah 1.250 m3/detik dan debit minimum adalah 30 m3/detik. Jaringan irigasi Gumbasa membutuhkan suplai air dari Sungai Gumbasa, debit air yang diperlukan pada saluran induk kanan adalah 19,67 m3/detik atau 620 juta m3/tahun, sedangkan pada saluran induk kiri adalah 1,02 m3/detik atau 32 juta m3/tahun. Namun, hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdullah et al. (2005) menunjukkan bahwa data debit tahunan dari Sungai Gumbasa pada tahun 2004 hanya bisa memenuhi 48 % kebutuhan jaringan irigasi Gumbasa atau setara dengan 376 juta m3/tahun atau 12 m3/detik dari kebutuhan jaringan irigasi Gumbasa sebesar 779 juta m3/tahun atau 24,7 m3/detik. Selama musim kemarau, yaitu sekitar 70-80 hari (bulan September sampai Oktober) dalam setahun, seluruh air dari Sungai Gumbasa masuk ke saluran induk irigasi Gumbasa dengan debit rata-rata 6-8 m3/detik. Suplai air tersebut jauh di bawah kebutuhan air normal untuk daerah irigasi Gumbasa, yaitu 17 m3/detik atau 536 juta m3/tahun. Sungai Gumbasa telah bergeser dari kritis dengan Qmaks/Qmin sebesar 42 pada tahun 1984 menjadi sangat kritis dengan Qmaks/Qmin antara 156-208 pada tahun 2004.

Efektivitas pengelolaan DAS hanya dapat dicapai apabila ada kerjasama lintas sektor yang harmonis. Prinsip ”One Plan Strategy” merupakan paradigma yang penting untuk dikembangkan dalam sistem pengelolaan DAS dan konservasi tanah di Indonesia. Konsep pengembangan sumber daya lahan (hutan, tanah dan air) yang didasarkan atas pertimbangan DAS sebagai satuan pemantauan dan evaluasi dalam perencanaan pengembangan sumber daya akan memudahkan bagi seseorang perencana untuk membuat prakiraan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi di masa depan dan masalah ketidakpastian dalam perencanaan pengembangan sumber daya lahan dapat ditekan sekecil mungkin. Menurut Kartodihardjo et al. (2004), selain indikator ekologi, indikator yang penting untuk dipantau dan dievaluasi adalah kelembagaan DAS. Koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplikasi dalam kelembagaan DAS perlu dipertimbangkan sebagai kriteria-kriteria dalam pemantauan dan evaluasi DAS, karena pengelolaan DAS melibatkan multi stakeholders.

4

Fokus dan Ruang Lingkup Penelitian

Dipandang perlu melakukan penelitian yang difokuskan pada evaluasi kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air dengan ruang lingkup studi kasus di DAS Gumbasa yang sebagian besar wilayahnya berada dalam kawasan TNLL.

Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini akan dilakukan kajian terhadap komponen lembaga dalam konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa yang sebagian besar wilayahnya berada dalam kawasan TNLL, yaitu: peran organisasi, landasan peraturan perundang-undangan, fungsi koordinasi, instrumen prioritas, dan kinerja fungsi manajemen. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis kelembagaan untuk mengetahui kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam manajemen program konservasi sumber daya air dengan ruang lingkup studi kasus di DAS Gumbasa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam membenahi model konservasi sumber daya air di DAS Gumbasa dan kawasan TNLL oleh organisasi pemerintah atau pihak-pihak lain yang terkait.

Degradasi Sumber Daya Air Di DAS Gumbasa

Konservasi Sumber Daya Air:

Perencanaan bersifat top down, Pelaksanaan tidak terkoordinasi, dan Pengawasan/kontrol yang lemah

Organisasi:

Pemerintah (Pusat dan Daerah), Non Pemerintah (LSM), Independen (Perguruan Tinggi, Pusat-Pusat Studi)

Pengelolaan Sumber Daya Air yang Tidak Optimal

Koordinasi Lintas Sektoral

Elemen yang Dikaji:

1. Organisasi yang berperan dalam konservasi sumber daya air.

2. Peraturan perundang-undangan yang melandasi konservasi sumber daya air.

3. Fungsi manajemen (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan) dalam konservasi sumber daya air. 4. Fungsi koordinasi dalam konservasi sumber daya air.

5. Instrumen prioritas dalam konservasi sumber daya air.

Kebijakan:

UU, PP, Kepmen, Permen, Perda Provinsi, Perda Kabupaten

Ketersediaan dan Akses Terhadap Data/Informasi dan Teknologi Konservasi

Sumber Daya Air

Mengetahui kondisi aktual peran dan koordinasi lembaga lintas sektoral dalam konservasi sumber daya air dengan ruang lingkup studi kasus di DAS Gumbasa

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai (DAS) Pengertian DAS

Suatu alur yang panjang di permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan di sebut alur sungai dan perpaduan antara alur sungai dengan aliran yang di dalamnya disebut sungai (Sosrodarsono et al. 1985). Sungai adalah torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur air hujan secara alamiah dan material yang dibawanya dari bagian hulu ke bagian hilir suatu daerah pengaliran ke tempat yang lebih rendah dan akhirnya bermuara ke laut (Soewarno 1991).

Daerah aliran sungai (DAS) mempunyai karakter yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur-unsur utamanya, seperti: jenis tanah, topografi, geologi, geomorfologi, vegetasi dan tata guna lahan (Seyhan 1977). Karakteristik DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh ditempat tersebut dapat memberi pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran permukaan, kandungan air tanah dan aliran sungai.

Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lebih besar (15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakai air ditentukan oleh pola drainase. Sementara daerah hilir DAS dicirikan sebagai berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai sangat kecil (< 8%), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan). Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua keadaan DAS yang berbeda tersebut di atas (Asdak 2004).

Definisi DAS menurut UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber daya Air adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

6

Menurut Sinukaban (2007b), dari segi erosi dan sedimentasi, DAS dapat dianggap sebagai suatu ekosistem, di mana perubahan yang terjadi di suatu bagian akan mempengaruhi bagian lain dalam DAS tersebut. Berbagai kegiatan dalam pengembangan DAS yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas air, yang pada gilirannya kualitas seluruh lingkungan hidup, adalah antara lain: penebangan hutan, penambahan permukiman, pembangunan pabrik, perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air, perkembangan pertanian lahan kering termasuk tanaman pangan, tanaman perkebunan seperti tebu, karet, kelapa sawit, dan perubahan agroteknologi.

Definisi DAS untuk keperluan kajian institusi, yaitu: DAS dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stock dengan ragam pemilikan (private, common, state property), dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa, baik bagi individu dan/atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan/atau kelompok masyarakat. Definisi DAS secara teknis yang memberikan pemahaman terhadap faktor-faktor biofisik DAS biasanya akan mengantarkan para pengambil keputusan dan/atau para peneliti untuk mencari solusi masalah-masalah DAS dari sudut pandang teknologi. Sedangkan definisi DAS dari sudut pandang institusi akan mengantarkan pengambilan keputusan menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di dalam DAS, batas yurisdiksi pihak-pihak yang berada dalam DAS maupun bentuk-bentuk aturan perwakilan yang diperlukan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, wacana yang digunakan dalam pengambilan keputusan bukan seputar cara-cara yang digunakan (teknologi), melainkan bagaimana para pihak mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk mewujudkan aturan main di antara mereka, termasuk kesepakatan dalam penggunaan teknologi itu sendiri, sehingga masing-masing pihak mempunyai kepastian hubungan yang sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan (Kartodihardjo et al. 2004)

Pengelolaan DAS

Pengelolaan DAS berarti pengelolaan sumber daya alam yang dapat pulih (renewable), seperti hutan, tanah dan air dalam sebuah DAS dengan tujuan untuk memperbaiki, memelihara dan melindungi keadaan DAS agar dapat menghasilkan hasil air (water yield), dan adanya peningkatan pendapatan masyarakat di dalam DAS. Menurut Kartodihardjo et al. (2004), pengelolaan DAS adalah pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang ada di dalam DAS secara rasional

7

dengan tujuan mencapai keuntungan maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dengan risiko kerusakan lingkungan seminimal mungkin.

Mangundikoro (1985) mengemukakan bahwa untuk mencapai tujuan akhir dari pengelolaan DAS, yaitu terwujudnya kondisi yang optimal dari sumber daya hutan, tanah dan air, maka kegiatan pengelolaan meliputi empat upaya pokok, yaitu: 1) pengelolaan lahan melalui upaya konservasi tanah dalam arti yang luas; 2) pengelolaan air melalui pengembangan sumber daya air; 3) pengelolaan hutan, khususnya pengelolaan hutan yang memiliki fungsi perlindungan terhadap tanah dan air; dan 4) pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia dalam penggunaan sumber daya alam secara bijaksana melalui usaha penerangan dan penyuluhan.

Hufschmidt (1986) dalam Asdak (2004), kerangka pemikiran pengelolaan DAS melibatkan tiga dimensi pendekatan analisis (standar). Ketiga dimensi pendekatan analisis pengelolaan DAS tersebut adalah: 1) pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi erat berkaitan; 2) pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan sebagai alat implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan dan terkait; dan 3) pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik. Kombinasi ketiga unsur utama tersebut diharapkan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang proses dan mekanisme pengelolaan DAS.

Pengelolaan sumber daya alam DAS adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Karena itu masyarakat sebagai social capital harus diperhitungkan. Contoh keterkaitan sumber daya alam (natural capital) dan jumlah penduduk (social capital) dikemukakan oleh Helweg (1985), antara lain ketepatan mengestimasi kebutuhan air sangat bergantung pada keakuratan proyeksi jumlah penduduk. Di sinilah pentingnya pemahaman karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pada suatu DAS.

Permasalahan DAS adalah permasalahan lingkungan dan penyelesaiannya dapat ditempuh dalam dua versi. Pertama, penyelesaian permasalahan melalui solusi-solusi konkrit, misalnya masalah erosi dan sedimentasi harus diselesaikan melalui paket teknologi anti erosi dan anti sedimentasi. Kedua, pandangan yang mengarah pada solusi-solusi menyangkut tatanan sosial, ekonomi dan budaya. Artinya, penangananan masalah lingkungan DAS tidak selamanya mengarah pada aspek fisik, melainkan juga pada tatanan sosial yang dianggap mampu

8

menyelesaikan persoalan lewat aplikasi yang bersifat sosial, ekonomi dan budaya (William 1995).

Menurut Widjajanto (2006), faktor-faktor penting yang mempengaruhi penggunaan lahan untuk pengembangan pertanian di DAS Gumbasa adalah tipe penggunaan lahan, kesesuaian lahan, pendapatan petani, kerjasama lintas sektoral dalam pengelolaan DAS, konservasi tanah dan teknologi pasca panen. Faktor- faktor penting yang mempunyai pengaruh tinggi dan ketergantungan tinggi adalah tipe penggunaan lahan, kesesuaian lahan, pendapatan petani, kerjasama lintas sektoral dalam pengelolaan DAS. Sedangkan faktor-faktor penting yang mempunyai pengaruh tinggi dan ketergantungan rendah adalah konservasi tanah dan teknologi pasca panen.

Sumber Daya Air Pengertian sumber daya air

Definisi dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyebutkan bahwa air adalah semua air yang terdapat pada, di atas maupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. Sedangkan Kodoatie dan Sjarief (2005) mengemukakan bahwa air merupakan bagian dari sumber daya alam, juga bagian dari ekosistem secara keseluruhan.

UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa pendayagunaan sumber daya air harus ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pengertian yang terkandung di dalam amanat tersebut adalah bahwa negara bertanggungjawab terhadap ketersediaan dan pendistribusian potensi sumber daya air bagi seluruh masyarakat Indonesia, dan dengan demikian pemanfaatan potensi sumber daya air harus direncanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi prinsip- prinsip kemanfaatan, keadilan, kemandirian, kelestarian dan keberlanjutan. Sumber daya air adalah kemampuan dan kapasitas potensi air yang dapat dimanfaatkan oleh kegiatan manusia untuk kegiatan sosial ekonomi. Terdapat berbagai jenis sumber air yang umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti air laut, air hujan, air tanah, dan air permukaan. Dari keempat jenis air tersebut, sejauh ini air permukaan merupakan sumber air tawar yang terbesar digunakan oleh masyarakat.

Menurut Lier et al. (1994), sumber daya air mempererat hubungan antara perlindungan sumber daya alam dengan pengembangan daerah pertanian pada masa yang akan datang. Sehubungan dengan itu, pengelolaan sumber daya lahan,

9

tanah dan air dalam sebuah DAS harus dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan fungsi ganda sumber daya tersebut (ekologis, ekonomi, dan sosial), secara terpadu dengan menggunakan pendekatan integrated watershed management yang meliputi bagian hulu sampai hilir (SMERI-UNDP 1997).

Pengelolaan sumber daya air

Grigg (1996) mendefinisikan pengelolaan sumber daya air sebagai aplikasi dari cara struktural dan non struktural untuk mengendalikan sistem sumber daya air alam dan buatan manusia untuk kepentingan/manfaat manusia dan tujuan- tujuan lingkungan. Pengelolaan sumber daya air terpadu (integrated water resources management) adalah sebuah proses yang mempromosikan koodinasi pengembangan dan pengelolaan air, tanah dan sumber-sumber terkait dengan tujuan untuk mengoptimalkan resultan ekonomis dan kesejahteraan sosial dalam perilaku yang cocok tanpa mengganggu kestabilan dari ekosistem-ekosistem penting (Global Water Pertnership Technical Advisory Commitee 2001 dalam Kodoatie dan Sjarief 2005).

Mengingat keberadaan air di suatu tempat dan di suatu waktu tidak tetap, artinya bisa berlebih atau kurang, maka air harus dikelola dengan bijak dengan pendekatan terpadu dan menyeluruh. Terpadu mencerminkan keterikatan dengan berbagai aspek, berbagai pihak (stakeholders) dan berbagai disiplin ilmu. Menyeluruh mencerminkan cakupan yang luas (broad coverage), melintas batas antar sumber daya, antar lokasi, hulu dan hilir, antar para pihak. Dengan kata lain pendekatan pengelolaan sumber daya air harus holistik dan berwawasan lingkungan. Semua aspek dan ilmu, antara lain: sosial, budaya, ekonomi, teknik, lingkungan, hukum dan bahkan politik terlibat dan saling bergantung. Semua pihak harus terlibat dan diperhitungkan baik langsung maupun tak langsung.

Kebanyakan persoalan sumber daya air berkaitan dengan waktu dan penyebaran aliran air. Kekeringan dan banjir adalah dua contoh klasik yang

Dokumen terkait