• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEGIATAN BULAN

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des

Mepalempang Panta’nangan Mangngambok Pemupukan untuk semaian Ma’bingkung Massese Mantodo’ Marrui Mallullu’ Mantanan Persiapan lahan kebun Mallompoi Mantoraq Mambate Mataian Peparean Mandodak Pembersihan Lahan Kebun Tanam Seong Tanam Ubi Kayu Tanam Ubi Jalar Tanam Jagung Panen Kopi Panen Kakao Panen Ubi Kayu

Panen Ubi Jalar

Panen Seong

Panen Jagung

Gambar 5 Kalender musim kegiatan pertanian di Desa Ballatumuka Pada Gambar 5, dapat dilihat kalender musim kegiatan pertanian di Ballatumuka selama satu tahun penuh. Kegiatan pengelolaan pertanian yang ditampilkan di Gambar 5 adalah kegiatan di lahan basah (sawah) dan lahan kering (kebun). Kegiatan pertanian di lahan basah atau sawah ditandai dengan ilustrasi centang berlatar kuning, sedangkan kegiatan pertanian di lahan kering atau kebun ditandai dengan ilustrasi centang berlatar coklat. Adapun kegiatan-kegiatan yang ditulis dengan bold text, berlatar warna biru, merupakan kegiatan atau aktivitas pada praktik pa‟totiboyongan yang dilaksanakan di Ballatumuka pada masa sekarang. Berikut adalah keterangan makna untuk masing-masing istilah lokal rangkaian kegiatan pa‟totiboyongan di Ballatumuka.

b. Panta‟nangan : pembuatan tempat semai benih padi. c. Mangngambok : semai/tabur benih.

d. Ma‟bingkung : pengolahan tanah.

e. Massese : pembersihan pinggiran sawah.

f. Mantodo‟ : pembersihan dan pemeliharaan pematang sawah. g. Marrui : perawatan permukaan sawah.

h. Mallullu‟ : perawatan/pemeliharaan permukaan tanah sawah (tahap lanjutan).

i. Mantanan : masa tanam (penanaman bibit Padi).

j. Mallompoi : pemupukan (setelah 1-2 pekan bibit ditanam). k. Mantoraq : penyiangan.

l. Mambate : pembersihan sekeliling sawah.

m. Mataian : menjaga padi dari serangan hama (burung pipit). n. Peparean : masa panen.

o. Mandodak : pesta panen.

Selain menggambarkan waktu pelaksanaan tiap-tiap kegiatan atau aktivitas pengelolaan pertanian di sawah dan kebun, Gambar 5 juga memberikan gambaran bahwa kegiatan atau aktivitas di kebun dimulai ketika padi di sawah sudah selesai ditanam. Selanjutnya, semua kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan kering atau kebun dilakukan di sela-sela waktu pengelolaan lahan basah (sawah). Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan pertanian di lahan basah (sawah) dianggap sebagai prioritas utama bagi masyarakat Ballatumuka. „Posisi utama‟ dalam skala prioritas tersebut sudah sejak lama diakui oleh masyarakat Ballatumuka khususnya, dan masyarakat Mamasa pada umumnya.

Sejak dahulu, lahan basah atau sawah merupakan sumberdaya pertanian yang menempati skala prioritas utama dalam pengelolaannya. Bagi masyarakat Ballatumuka, sawah memiliki nilai sosial tersendiri. Di Mamasa dan Ballatumuka khususnya, transaksi jual-beli lahan basah (sawah) sangat jarang terjadi. Masyarakat Ballatumuka menganggap bahwa sawah adalah juga identitas dari nenek moyang mereka yang harus dijaga kelestariannya untuk anak-keturunan selanjutnya. Hal ini sejalan dengan keterangan salah seorang masyarakat (JB):

“Jual-beli sawah jarang sekali terjadi disini. Menjual sawah bagi kami sama saja artinya dengan menjual nenek moyang atau orangtua sendiri. Kalaupun karena keadaan terpaksa, harus menjual, biasanya ditawarkan kepada keluarga paling dekat. Tapi itu jarang sekali kejadian.” Keterangan yang disampaikan oleh salah seorang masyarakat Ballatumuka (di atas) juga sejalan dengan tulisan Sjaf yang berjudul “Kearifan Agraria Orang Mamasa”. Sjaf menyatakan bahwa litak basah ditempatkan sebagai aset penting dibandingkan litak kering, baik dilihat dari dimensi ekonomi maupun sosial. Jika dilihat dari dimensi ekonomi, maka litak basah (atau lahan basah berupa persawahan dengan komoditas utama padi) merupakan lahan penghasil bahan pangan utama bagi masyarakat. Selain itu litak basah juga merupakan litak yang memiliki nilai jual atau harga tinggi. Secara sosial, litak basah adalah penanda bagi status sosial masyarakat Mamasa. Hal ini berbeda dengan litak kering (atau lahan kering berupa perkebunan dengan komoditas utama kopi dan kakao) yang dianggap hanya sebagai „lahan sampingan‟ yang diusahakan ketika kegiatan

pemanfaatan litak basah dianggap sudah selesai dilakukan (seperti yang dapat dilihat pada kalender musim Desa Ballatumuka, lihat Gambar 5).

Gambaran Peran Aktor dalam Kelembagaan Pa’totiboyongan

Peran (role) merupakan salah satu unsur dalam lapisan masyarakat. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia sedang menjalankan suatu peran (Soekanto 1982). Peran adalah suatu aspek yang dinamis dari kedudukan atau status. Mack et al. (1968) menyatakan bahwa “when an individual occupies a given position, the placement of that position above some others and below still others will have consequences for his interaction in the group. The consequences of occupying that status are called his role.” Setiap orang atau individu memiliki peran masing-masing dalam suatu struktur sosial. Ketika seseorang menempati posisi dan kedudukan tertentu dalam masyarakat, maka posisi dan kedudukannya akan memiliki konsekuensi spesifik pada interaksinya dengan orang lain. Konsekuensi inilah yang oleh Mack disebut sebagai peran (role). Hal tersebut sejalan dengan yang dinyatakan oleh Soekanto (1982), bahwa apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia sedang menjalankan suatu peran. Peran seseorang dalam suatu masyarakat menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat, serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Begitu pula yang terjadi pada praktik pa‟totiboyongan di Ballatumuka. Dalam praktiknya, pa‟totiboyongan merupakan suatu kelembagaan atau pranata yang di dalamnya terdapat pihak-pihak yang terlibat. Masing-masing pihak atau yang dalam studi ini disebut sebagai aktor memiliki peran dan kepentingan tersendiri.

Praktik pa‟totiboyongan di Ballatumuka dijalankan dengan keterlibatan berbagai aktor. Aktor-aktor tersebut memiliki peran dan kepentingan masing- masing yang berbeda satu sama lain. Terdapat dua aktor utama yang berperan penting dalam praktik pa‟totiboyongan di Ballatumuka, yaitu: aktor internal dan aktor eksternal. Aktor internal yang dimaksud adalah aktor-aktor yang terlibat langsung dalam pelaksanaan praktik pa‟totiboyongan di Ballatumuka, sedangkan aktor eksternal yang dimaksud adalah aktor-aktor yang keterlibatannya dalam pelaksanaan praktik pa‟totiboyongan tidak secara langsung tetapi peran dan kepentingannya berpengaruh terhadap dinamika kelembagaan pa‟totiboyongan. Aktor-aktor internal tersebut antara lain: masyarakat lokal Ballatumuka, dan so‟bok sebagai imam padi atau pemimpin pelaksanaan pa‟totiboyongan. Sementara itu, Kepala Desa Ballatumuka beserta aparat pemerintahan desa lainnya, serta majelis gereja sebagai perwakilan dari kelembagaan agama merupakan aktor atau pihak eksternal yang keterlibatannya juga bernilai penting dalam pa‟totiboyongan.

Pada setiap praktik pengelolaan sumberdaya alam, terdapat dua mekanisme relasi antar aktor, yaitu: relasi formal dan/atau prosedural serta relasi informal (Nurhayati et al. 2013). Relasi formal dan/atau prosedural terjadi ketika terdapat aturan-aturan yang jelas dan transparan dalam berinteraksi, dan relasi ini biasanya terjalin dalam konteks kelembagaan formal. Sementara itu, relasi informal terjalin ketika terdapat ruang-ruang interaksi dalam suatu struktur sosial masyarakat yang tidak dapat „dijangkau‟ oleh suatu aturan yang bentuknya formal dan struktural.

Hal ini yang disebut oleh Nurhayati el al. (2013) sebagai keterbatasan dalam memfasilitasi dan menyelesaikan isu serta permasalahan dalam situasi chaos atau berkonflik karena sifatnya yang rigid dan prosedural. Di dalam praktik pa‟totiboyongan, dua mekanisme relasi antar aktor seperti ini pula yang terjadi. Ketika relasi yang didasari oleh aturan-aturan formal dirasa kurang mampu mengatasi suatu keadaan atau kondisi tertentu, maka mekanisme relasi lainnya-lah yang „bekerja‟.

Masyarakat Ballatumuka

Masyarakat Ballatumuka dikenal sebagai salah satu komunitas adat yang memiliki komitmen kuat untuk mempertahankan dan melestarikan praktik pa‟totiboyongan. Pa‟totiboyongan tidak hanya dianggap sebagai sebuah kelembagaan lokal yang berisi aturan-aturan khusus, tetapi juga sebagai tradisi budaya yang sakral dan berasal dari nenek moyang. Menjaga, mempertahankan, serta melestarikan pa‟totiboyongan berarti pula menjaga warisan leluhur, warisan nenek moyang yang pada akhirnya nanti akan diturunkan kepada anak-cucu mereka. Sejak zaman nenek moyang dahulu, pa‟totiboyongan sudah menjadi bagian penting dan mendasar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Ballatumuka. Hal ini terbukti dari pernyataan salah seorang informan (CS):

“Pa‟totiboyongan sudah ada dari zaman para toma‟tua dulu hidup, sampai sekarang. Jadi itu sudah menjadi bagian tersendiri dalam kehidupan orang Mamasa. Kami disini pun seperti itu. Menjaga warisan dari toma‟tua sudah jadi kewajiban mutlak buat tiap orang. Sengaja melanggarnya, berarti sama saja melanggar wasiat orang tua. Itu terlarang sekali buat kami.”

Kelembagaan pa‟totiboyongan yang berlaku di Ballatumuka tidak hanya sekedar berisi aturan-aturan dan ritual-ritual adat biasa. Kelembagaan ini sudah terbukti efektif dalam memberikan perlindungan serta keteraturan bagi pengelolaan sumberdaya pertanian di Ballatumuka, khususnya lahan atau litak basah (sawah). Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa posisi sumberdaya lahan basah (sawah) di Ballatumuka menempati skala prioritas utama dalam hal penyedia pangan pokok bagi masyarakat. Di atas sumberdaya lahan inilah pangan utama masyarakat Ballatumuka dihasilkan. Oleh karena itulah, aturan-aturan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan basah tersebut dinilai mampu memberikan jaminan ketersediaan pangan pokok yang cukup. Masyarakat Ballatumuka menganggap bahwa dengan tetap menjaga, mempertahankan dan melestarikan praktik pa‟totiboyongan berarti sama halnya seperti menjaga keberlangsungan hidup mereka, karena pa‟totiboyongan-lah yang secara khusus mengatur ketersediaan sumber pangan pokok bagi mereka. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pa‟totiboyongan memiliki tiga fungsi bagi masyarakat Ballatumuka, yaitu:

1. Fungsi budaya, berkaitan dengan sejarah terbentuknya wilayah Mamasa dan Ballatumuka secara khusus. Pa‟totiboyongan menjadi salah satu bagian dari empat aturan pokok dalam kehidupan sehari-hari orang Mamasa (dalam hal ini aluk appa randanna). Fungsi budaya juga

berkaitan dengan fungsi pelestarian adat-istiadat dan warisan budaya dari para leluhur masyarakat Ballatumuka.

2. Fungsi perlindungan sumberdaya alam, berkaitan dengan pengaturan pengelolaan sumberdaya alam, yang dalam hal ini secara khusus adalah sumberdaya pertanian dalam bentuk lahan basah atau sawah.

3. Fungsi ekonomi, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup pokok berupa pangan yang dihasilkan dari limpahan sumberdaya pertanian. Hal ini juga berkaitan dengan limpahan hasil sumberdaya pertanian yang dapat menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat.

Masyarakat Ballatumuka sebagai salah satu aktor yang terlibat dalam praktik pa‟totiboyongan memiliki kepentingan tersendiri dalam praktik tersebut. Masyarakat sebagai penerima manfaat langsung dari limpahan sumberdaya pertanian berkepentingan secara ekonomi dalam praktik pa‟totiboyongan. Orientasi kepentingan masyarakat Ballatumuka dalam kelembagaan pa‟totiboyongan cenderung pada kepentingan ekonomi, yakni mengambil manfaat dari adanya pengelolaan sumberdaya pertanian-lahan basah (sawah). Hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup berupa pangan utama yang berasal dari tanaman padi. Sementara itu, peranan yang dijalankan oleh masyarakat Ballatumuka dalam kelembagaan pa‟totiboyongan adalah sebagai aktor pelaksana. Masyarakat Ballatumuka merupakan aktor yang terlibat langsung dalam praktik pa‟totiboyongan. Walaupun sebagai pelaksana utama, namun keterlibatan masyarakat Ballatumuka diatur secara khusus oleh seorang pemimpin atau imam, yang peran dan kepentingannya akan dibahas pada sub-bab berikutnya.

So’bok

So‟bok adalah salah satu dari empat perangkat adat yang memiliki peran dan fungsi penting di Mamasa, termasuk di Ballatumuka. Secara umum, so‟bok bertugas untuk memimpin pelaksanaan ritual-ritual dalam penanaman padi, termasuk menentukan dan memberikan „isyarat‟ kepada masyarakat luas kapan waktu yang tepat untuk mulai menebar benih padi. Tugas so‟bok tidak hanya menekankan ketaatan terhadap ritual-ritual penanaman padi, namun juga memainkan peran aktif di dalamnya (Buijs 2009). So‟bok dikenal juga sebagai seorang imam padi, yang memimpin pelaksanaan kelembagaan pa‟totiboyongan di Ballatumuka. Oleh karena perannya yang begitu penting dalam pelaksanaan pa‟totiboyongan, maka masyarakat di Ballatumuka sendiri menyamakan sosok so‟bok dengan seorang „menteri pertanian‟. Pada dasarnya, tugas pokok seorang so‟bok adalah mengawal, mendampingi, serta memimpin berjalannya rangkaian proses pengerjaan litak basah atau sawah (pa‟totiboyongan) yang dilakukan oleh masyarakat selama satu tahun penuh.

Sebagai seorang pemimpin atau imam padi, so‟bok memiliki kepentingan tersendiri terhadap pelestarian praktik pa‟totiboyongan. Kepentingan so‟bok cenderung didasari oleh kepentingan moral-budaya agar adat-istiadat yang diwariskan oleh para leluhur tetap dijaga dan dilaksanakan dari generasi ke generasi. Selain kepentingan moral-budaya, so‟bok yang berperan sebagai pemimpin sekaligus pelaksana kelembagaan pa‟totiboyongan juga memiliki kepentingan pada aspek pelestarian dan penjagaan kondisi alam/lingkungan. Sejak

dahulu hingga saat ini, kerja dan pengabdian yang dilakukan oleh seorang so‟bok merupakan pengabdian yang sukarela. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya imbalan dalam bentuk materi yang diberikan kepada so‟bok sebagai bentuk upah dari segala kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Masyarakat Ballatumuka tidak diwajibkan untuk memberikan imbalan apapun sebagai upah kepada seorang so‟bok. Jikapun ada masyarakat yang memberikan sebagian kecil hasil panennya kepada so‟bok, hal itu dilakukan secara sukarela. Fakta ini didukung oleh pernyataan dari seorang so‟bok di Ballatumuka (DR):

“Tugas so‟bok itu tugas yang mulia. Diturunkan dari orangtua kakek saya, lalu menurun kepada ayah saya, dan akhirnya ke saya. Selama bertahun-tahun hidup di keluarga so‟bok, tidak pernah kakek atau ayah saya dapat gaji apa-apa. Saya pun begitu. Tapi sekarang, ada juga warga yang mau bagi hasil panen padinya ke saya. Rasa ucapan terimakasih katanya.”

Jika dilihat dari tugas-tugas pokoknya, maka seorang so‟bok memiliki kepentingan moral-sosial dan budaya serta kepentingan ekologi/lingkungan dalam kaitannya dengan praktik pa‟totiboyongan. Sementara itu, peranan yang dijalankan oleh seorang so‟bok dalam pa‟totiboyongan adalah sebagai pemimpin pelaksanaan pa‟totiboyongan sekaligus pelaksana langsung praktik kelembagaan tersebut.

Pemerintah Desa

Secara formal, pemerintahan Desa Ballatumuka dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Seperti halnya so‟bok, kepala desa beserta jajarannya juga memiliki peran dan kepentingan tersendiri dalam praktik pa‟totiboyongan di Ballatumuka. Pemerintahan Desa Ballatumuka merupakan perwakilan langsung yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah daerah Kabupaten Mamasa dalam menjalankan semua program daerah maupun nasional. Berbagai lembaga yang ada di jajaran pemerintahan daerah seringkali mengandalkan kecakapan kepala desa Ballatumuka agar menyampaikan segala informasi terkait program maupun kegiatan daerah kepada masyarakat. Hal seperti ini dinilai lebih efektif, karena sosok kepala desa yang kesehariannya lebih dekat dengan masyarakat Ballatumuka cenderung lebih didengar dan dipercaya jika dibandingkan dengan para pejabat daerah yang hanya sesekali saja „turun‟ ke lapangan menemui warga masyarakat.

Jika so‟bok memiliki kepentingan secara moral-sosial dan budaya serta ekologi dalam praktik pa‟totiboyongan, maka sedikit berbeda dengan pemerintah desa Ballatumuka yang berkepentingan hanya dalam hal budaya saja. Pemerintah desa dapat dikatakan memiliki kepentingan secara budaya dalam praktik pa‟totiboyongan. Hal ini erat kaitannya dengan status Desa Ballatumuka sebagai Desa Wisata yang „menawarkan‟ wisata budaya serta adat-istiadat. Kepentingan penjagaan dan pelestarian budaya yang dimiliki oleh so‟bok, berbeda dengan kepentingan yang dimiliki oleh pemerintah desa. Namun, pada akhirnya, dua kepentingan yang berbeda tersebut bermuara pada satu tujuan, yaitu penjagaan dan pelestarian budaya dan adat-istiadat. Seperti yang diutarakan oleh Kepala Desa Ballatumuka (TO):

“Kami ini sebagai pemerintah desa wajib memimpin warga Ballatumuka supaya mendukung semua program pemerintah. Termasuk program Desa Wisata yang nantinya juga bisa menjadi sumber pendapatan warga. Kalau adat dan budaya warga tetap terjaga, otomatis wisata budayanya juga tetap jadi prioritas utama. Jadi, pemerintahan disini pun wajib juga mengingatkan warga supaya tetap menjaga adat-budaya orang Mamasa.”

Adanya perbedaan kepentingan antara so‟bok dan pemerintah Desa Ballatumuka, ternyata tidak terjadi pada peranan kedua aktor ini. Jika dilihat dari segi peran masing-masing, maka baik itu so‟bok maupun pemerintah desa, sama- sama berperan sebagai pemimpin sekaligus pelaksana praktik pa‟totiboyongan. Walaupun sama-sama berperan sebagai pemimpin, namun aspek yang dipimpin oleh kedua aktor tersebut berbeda. So‟bok memimpin langsung berbagai kegiatan dalam praktik pa‟totiboyongan, sedangkan pemerintah desa yang dalam hal ini diwakili oleh kepala desa memimpin hal-hal yang berkaitan dengan koordinasi antar aktor dalam kaitannya dengan kegiatan perayaan di akhir praktik pa‟totiboyongan13

. Majelis Gereja

Majelis gereja dalam studi ini erat hubungannya dengan para tokoh atau pemuka agama Kristen yang ada di Desa Ballatumuka. Para tokoh agama tersebut berkumpul dalam suatu lembaga keagamaan yang dikenal dengan istilah majelis gereja. Di Ballatumuka sendiri terdapat beberapa gereja, yang para jemaat atau pengikutnya begitu taat dan patuh terhadap keputusan dari majelis gereja. Terkait dengan awal mula masuknya agama Kristen di daerah Mamasa, terdapat dua versi sejarah. Namun, kedua versi ini sama-sama berkaitan erat dengan masuknya Belanda ke wilayah Mamasa14.

13

Salah satu kegiatan yang membutuhkan kepemimpinan seorang kepala desa adalah pesta panen. Pesta panen merupakan salah satu kegiatan dalam praktik pa‟totiboyongan yang melibatkan tidak hanya so‟bok dan para pemangku adat, tetapi juga aparat pemerintahan dan majelis gereja. Koordinasi diantara berbagai lembaga ini, biasanya dipimpin langsung oleh kepala desa.

14

Versi pertama mengatakan bahwa agama Kristen masuk ke Mamasa diperkirakan sekitar tahun 1913, yaitu ketika Ds. Kyftenbelt (dari Missi Pekabaran Injil Indiche Kerk Makassar) tiba di Mamasa. Ketika itu, banyak orang Mamasa yang dibaptis olehnya. Penduduk mengira, hal itu adalah keharusan dari Pemerintah Belanda. Setelah Ds. Kyftenbelt, Indiche Kerk kembali mengirim utusan untuk bertugas di Mamasa selama dua tahun, yaitu: Ds. Van Leeuwen, Ds. S. Toembelaka, Ds, W. Akkerman, Ds. Van Dalen, dan Tuan Hessing. Salah seorang utusan ini, yaitu Ds. Van Dalen, banyak menulis tentang kondisi rakyat Mamasa serta sosial budaya masyarakat Mamasa. Salah satu tulisannya yang terkenal “Pergilah Kamoe” diterbitkan oleh Zending Deputaten der Christelijke Gereformeerde Kerken (ZDCGK) di Belanda. ZDCGK kemudian memberikan permohonan kepada Pemerintah Belanda untuk mengutus penginjil ke Mamasa. Maka, pada tahun 1928, beralih-lah penginjilan dari Indiche Kerk ke ZDCGK. Ds. A. Bikker dan Nyonya adalah penginjil pertama yang diutus oleh ZDCGK ke Mamasa. Sementara itu, versi kedua mengatakan bahwa masuk dan berkembangnya agama Kristen di Mamasa bermula pada tahun 1928. Perkembangan ini terjadi setelah dua puluh satu tahun orang Belanda masuk ke wilayah Mamasa (1907). Karena perlawanan dari masyarakat Mamasa, maka perkembangan agama di Mamasa baru terjadi setelah dua puluh satu tahun kemudian. Pada 1928-lah, Ds. A. Bikker dan Nyonya mulai berkeliling menyebarkan agama Kristen bersama-sama dengan guru- guru dari Manado dan Ambon (Karsa 2004 seperti dikutip Sjaf et al. 2007).

Sebelum adanya agama di Mamasa, masyarakat masih memegang kepercayaan Aluk Tadolo. Begitu pula masyarakat di Ballatumuka. Masyarakat Ballatumuka menyebut kondisi sebelum adanya agama, dengan istilah toma‟lilin15

. Masuknya ajaran agama Kristen ke Ballatumuka berpengaruh terhadap munculnya kelembagaan baru selain pemerintahan formal, dan kelembagaan adat. Kemunculan ajaran agama melahirkan kelembagaan agama yang dipimpin oleh para tokoh atau pemangku agama (dalam majelis gereja). Dalam praktik pa‟totiboyongan, majelis gereja memiliki kepentingan yang orientasinya cenderung pada kepentingan ekonomi. Hal ini berkaitan erat dengan turut andilnya para tokoh agama dalam hal pemanfaatan sumberdaya pertanian (hasil panen). Ketika masa panen tiba, masyarakat diwajibkan menyerahkan derma kepada majelis gereja sebagai rasa syukur atas berlimpahnya sumberdaya alam dari Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu, peranan yang dijalankan oleh majelis gereja dalam praktik pa‟totiboyongan adalah sebagai pelaksana.

Pola Relasi Sosial antara Masyarakat, So’bok, Kepala Desa, dan Majelis Gereja

Relasi sosial merupakan hasil dari interaksi atau rangkaian tingkah laku yang sistematik antara dua orang atau lebih, yang menyangkut hubungan- hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok (Gillin et al. 1954). Dalam praktik atau pelaksanaan kelembagaan lokal pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka, aktor/pihak yang saling menjalin hubungan atau relasi sosial antara lain adalah masyarakat Ballatumuka, so‟bok, kepala desa dan jajaran/aparat desa lainnya, serta majelis gereja. Jika merujuk pada kategorisasi pola relasi Mack et al.(1968), maka pola relasi sosial yang tercipta dalam interaksi diantara para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kelembagaan pa‟totiboyongan, adalah pola atau bentuk relasi sosial yang cenderung mengarah pada pola cooperation (kerja sama) yang menghasilkan akomodasi, serta relasi yang berbentuk diferensiasi (setiap individu memiliki hak dan kewajiban berdasarkan perbedaan tertentu).

Relasi sosial diantara masyarakat lokal Ballatumuka, so‟bok, kepala desa, dan majelis gereja, sifatnya tidak statis atau tetap. Pada perkembangannya, misalnya relasi antara so‟bok dan kepala desa, adakalanya kerjasama diantara keduanya mengalami pasang-surut karena faktor tertentu. Kasus ini terjadi ketika pemerintahan desa dipimpin oleh (DN). Kala itu, sosok so‟bok dianggap kurang layak memimpin ritual dalam kelembagaan pa‟totiboyongan karena berjenis

Dokumen terkait