• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Tenurial Lokal dan Perkembangan Komunitas Agraria di Desa Ballatumuka

Keberadaan sumberdaya pertanian berupa lahan bagi masyarakat di Ballatumuka memiliki posisi yang penting dan utama, terutama lahan basah. Dikenal dua pengelolaan lahan di Ballatumuka, yaitu lahan basah atau sawah dan lahan kering atau kebun. Sejak zaman nenek moyang dahulu, posisi pengelolaan lahan basah sudah menempati posisi utama sebagai lahan yang harus diprioritaskan pengelolaannya. Lahan basah atau sawah dinilai lebih berharga dan menjadi tumpuan utama serta memiliki pola sistem kerja yang lebih kompleks jika dibandingkan dengan lahan kering atau kebun. Sementara itu, lahan kering atau kebun dinilai hanya sebagai kegiatan sampingan dari proses pengelolaan sumberdaya pertanian yang dilakukan setelah terdapat masa senggang dalam kegiatan pengelolaan sawah. Selain itu, hasil panen lahan kering seperti kopi, kakao, jagung, ubi, seong, dan lain-lain, yang hanya sebagai bahan komplementer menjadikan posisi pengelolaan lahan kering „dikesampingkan‟. Hal ini karena komoditas tersebut bukanlah komoditas pangan utama bagi masyarakat Ballatumuka. Faktor lainnya, jika dilihat dari nilai jual, maka lahan kering yang kebanyakan berada di lereng-lereng perbukitan yang sulit untuk diakses seringkali menjadi kendala dalam proses jual-beli. Dengan kata lain, baik secara sosial maupun ekonomi, lahan basah atau sawah bernilai lebih tinggi dibandingkan lahan kering atau kebun.

Pentingnya posisi lahan basah bagi masyarakat Mamasa (umumnya) dan masyarakat Ballatumuka (khususnya), juga terlihat dari tingginya nilai jual sawah di desa tersebut. Namun, tingginya nilai jual ini tidak berarti bahwa transaksi jual-beli lahan basah atau sawah di desa ini juga tinggi. Sebaliknya, karena pentingnya nilai dan makna lahan basah bagi masyarakat Ballatumuka, transaksi jual-beli sawah sangat jarang terjadi. Masyarakat menganggap bahwa menjual sawah sama saja artinya dengan menjual nenek moyang atau orangtua sendiri. Jikapun karena sesuatu hal masyarakat terpaksa menjual lahan sawah yang mereka miliki, maka proses transaksi jual-beli tersebut wajib dilakukan dengan keluarga terdekat. Terdapat larangan keras dari adat terkait penjualan lahan sawah kepada orang luar yang tidak memiliki hubungan keluarga. Hasil panen padi dari sawah-sawah di Ballatumuka biasanya dikonsumsi untuk keperluan makan sehari-hari. Proses jual beli hasil panen tidak dilakukan oleh semua warga, hanya sedikit warga masyarakat di Ballatumuka yang menjual hasil panennya, sekitar 5% saja. Penjualan hasil panen biasanya dilakukan seminggu sekali menunggu mobil angkutan umum menuju pusat pasar di Kabupaten Mamasa. Hal ini pula yang menjadi dasar pertimbangan mengapa kebanyakan masyarakat di Desa Ballatumuka memilih untuk menjadi petani subsisten dan bukan petani yang

berorientasi komersial. Selain itu, kebanyakan masyarakat memiliki ketakutan tersendiri akan terulangnya ma‟karorian19

di desa mereka.

Masyarakat Ballatumuka, seperti halnya dengan masyarakat Mamasa secara umum, memiliki satuan ukuran lokal untuk lahan basah atau sawah. Nilai dan ukuran lahan basah atau sawah yang dimiliki masyarakat dikenal dengan istilah toma‟bungka, yang berarti banyaknya jumlah pekerja. Biasanya untuk satu petak sawah, ukuran yang digunakan adalah berapa orang yang bekerja (atau bungka). Untuk satu toma‟bungka, luas lahan sawahnya berarti sekitar tiga are dengan hasil panen per petak sekitar 525 kg. Rata-rata setiap rumahtangga petani di Desa Ballatumuka mengolah lahan sawah sebanyak dua are, dan yang paling luas adalah sebanyak 24 are (setara dengan delapan toma‟bungka), yang disebut dengan kondo20. Hasil panen padi dari lahan basah atau sawah masyarakat biasanya disimpan di tempat penyimpanan khusus yang dalam istilah lokal disebut alang. Alang berfungsi seperti lumbung pangan, dan letaknya terpisah dari bagian rumah tinggal. Biasanya alang terletak di depan rumah yang ditempati masyarakat. Menariknya, harga pembuatan alang dapat dikatakan cukup mahal. Alang yang dibuat dengan ukiran-ukiran tertentu sebagai simbol strata atau lapisan sosial, mencapai 30 jutaan atau seharga dengan hewan kerbau. Pada umumnya, lahan basah atau sawah di Desa Ballatumuka dihargai dengan ukuran bussu‟ atau kerbau yang tanduknya berukuran satu siku dan dihargai sekitar 15 - 16 juta rupiah. Pola pemberian harga seperti ini hanya berlaku untuk lahan basah atau sawah saja. Untuk lahan kering, pola penentuan harganya ditentukan berdasarkan kesulitan akses dan letak lahan tersebut.

Menurut sejarahnya, sistem tenurial lokal di Ballatumuka ditandai dengan pola pengerjaan dan penguasaan lahan yang tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat sejak dahulu kala. Sistem tenurial lokal tersebut adalah:

1. Ma‟petesanan: sistem yang dilakukan antara pemilik lahan dan buruh tani dengan patokan upah perhari kerja dilengkapi dengan pemberian makan. Pada umumnya upah yang diterima warga sebesar Rp 50.000,- untuk laki-laki dan Rp 20.000,- s.d Rp 35.000,- untuk perempuan, dengan jam kerja mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.00. Pembagian kerjanya, bagi perempuan biasanya lebih banyak bekerja pada masa penanaman (mantanan) dan masa pembersihan lahan (mantorak). Dalam hal pembagian kerja terlihat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan akibat adanya perbedaan jenis beban pekerjaan antara laki-laki dan perempuan.

2. Massima: sistem pengerjaan lahan dengan tanpa sistem upah, yang pada akhir musim panen hasilnya dibagi dua atau 50:50 antara pemilik lahan dengan penggarap.

3. Ma‟bulele: sistem gotong royong antara anggota kelompok tani tanpa adanya pengupahan. Hanya saja sistem ini dibayar dengan tenaga dan makanan secara bergantian yang dilakukan dari satu anggota ke anggota lain.

19

Kondisi kurangnya ketersediaan pangan utama berupa beras. Kondisi ini terjadi ketika hasil panen yang lalu sudah habis, tapi padi yang sekarang belum bisa dipanen. Jika kondisi seperti ini terjadi, biasanya masyarakat mengkonsumsi umbi-umbian atau para kepala keluarga pergi keluar kampung untuk „menjual‟ jasa atau tenaga sebagai buruh tani atau buruh bangunan.

20

4. Manta‟ga: sistem gadai tanah, hal mana pemilik tanah atau lahan yang membutuhkan dana menggadaikan lahannya kepada orang lain yang mampu membayar sistem gadai tersebut. Pola ini dapat dipindah-tangankan kepada pihak ke-3, jika pihak ke-2 ingin mengalihkannya. Sehingga pelaksanaan sistem penggadaian dapat dilangsungkan antara pihak pertama dan pihak ke-3 dengan catatan harus dengan harga yang sama. Selain itu, sistem gadai ini juga menuntut adanya kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai waktu dan harga lahan tersebut.

5. Ma‟perurukan: pemberian hak garap tanpa meminta hasil. Sistem ini biasanya berlangsung selama 3-5 tahun atau sesuai kesepakatan dalam desa yang ditentukan oleh para pemangku adat.

Selain sistem pengerjaan sumberdaya lahan yang menjadi pola kerja bersama, juga terdapat pembagian sumberdaya lain, yaitu pemeliharaan hewan ternak (dalam hal ini adalah kerbau). Hewan kerbau yang dalam istilah lokal disebut tedong, memiliki nilai penting bagi kehidupan masyarakat Ballatumuka. Kerbau bagi masyarakat Mamasa, dan Ballatumuka (khususnya) memiliki makna lebih dari sekedar hewan ternak. Kerbau tidak hanya memiliki nilai ekonomi tinggi, tetapi juga memiliki nilai sosial yang tinggi21. Hewan inilah yang digunakan dalam setiap ritual adat di Mamasa dan Ballatumuka. Bahkan, seperti halnya masyarakat Mamasa yang dikenal kental dengan kelas-kelas sosialnya22, hewan kerbau pun memiliki kelas-kelas tersendiri. Dalam pemeliharaan kerbau, kesepakatan antara pemilik hewan tersebut dengan pemelihara mengacu pada sistem pertanian sawahnya, yaitu ada yang dengan sistem upah (dengan adanya sejumlah pekerja yang diupah sesuai standar di Desa Ballatumuka) atau pemeliharaan hingga hewan kerbau memiliki anak (disebut dengan sistem bagi hasil), hal mana anak kerbau tersebut diberikan kepada pemelihara sebagai upah.

Keistimewaan hewan kerbau juga terlihat dari adanya sistem pembagian hak waris dalam keluarga masyarakat Ballatumuka atas hewan ini. Hewan Kerbau yang dimiliki oleh keluarga atau hasil waris dapat dibagikan pada beberapa orang dalam keluarga tersebut dengan sistem bagi ternak kerbau. Pembagian kepemilikan inipun dapat dipindahtangankan atau dijual, dengan catatan masing-masing individu dalam pembagian tersebut mengetahui dan mengutamakan agar dipindahtangankan kepada orang lain yang masih terhitung memiliki ikatan keluarga atau kerabat, sehingga sumberdaya tersebut tidak beralih jauh dari lingkungan keluarga mereka. Uniknya, hanya hewan kerbau yang mempunyai sistem pengelolaan dan pemeliharaan yang teratur, tidak demikian halnya dengan hewan sapi, kambing, ataupun babi. Hal inilah yang menunjukkan bahwa hewan kerbau memiliki keistimewaan dan nilai sosial tersendiri bagi masyarakat Ballatumuka.

21

Bagi orang Mamasa, kerbau memiliki arti penting dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi mereka. Secara sosial, kepemilikan kerbau merupakan penanda bagi stratifikasi sosial yang tinggi. Secara budaya, kehadiran kerbau dalam setiap upacara-upacara adat merupakan simbol transendensi sekaligus penanda bagi lapisan sosial yang tinggi, sedangkan secara ekonomi, kerbau dijadikan alat tukar dalam setiap transaksi orang Mamasa, utamanya pada barang-barang yang bernilai tinggi (Sjaf et al. 2007)

22

Kerbau yang berada pada tingkatan tertinggi adalah kerbau doti, kerbau bonga, kerbau talebong, kerbau puyu (berwarna hitam, seperti kerbau kebanyakan), dan kerbau bulan (berwarna putih).

Gambar 6 Hewan kerbau atau tedong yang memiliki nilai sosial, ekonomi, dan budaya

Terdapat lahan khusus yang dikuasai oleh adat di Desa Ballatumuka. Lahan tersebut dikenal dalam istilah lokal sebagai litak anak moane, yang secara istilah berarti lahan atau tanah tidak bertuan. Hal ini berarti tanah tersebut dapat diusahakan oleh siapapun yang sanggup menggarap dengan seizin adat. Biasanya, penguasaan dan penggarapannya jatuh kepada siapa ditentukan dalam musyawarah adat. Umumnya yang menggarap tanah tersebut adalah pasangan muda – mudi yang baru menikah dan belum memiliki atau mendapatkan lahan waris dari pihak keluarganya. Seperti halnya yang dialami oleh (NM dan DS), yang merupakan pasangan suami – istri, hal mana salah satunya berasal dari luar desa dan belum mendapatkan warisan berupa sawah dari keluarganya.

“Sesudah menikah kami belum ada sawah sendiri untuk dikerjakan. Kami memberi tau toma‟tua supaya kami bisa diberi izin menggarap lahan adat yang ada. Dari musyawarah pa toma‟tua, lalu kami pun diberi lahan dua are untuk dikerjakan.”

Apabila penguasaan lahan tersebut diteruskan secara turun temurun, maka dapat dimungkinkan secara otomatis akan menjadi milik keluarga tersebut. Sebaliknya, apabila individu yang mengusahakan tidak lagi mengusahakannya, maka penguasaan dan kepemilikan lahan tersebut kembali menjadi tanah adat atau litak anak moane. Selain litak anak moane, adat juga memiliki lahan atau tanah khusus yang berupa padang atau tanah lapang untuk dipergunakan bagi kepentingan bersama khususnya ketika melangsungkan kegiatan atau ritual adat. Keberadaan dan luasan tanah tersebut terbilang hanya sebagian kecil dari keseluruhan lahan desa. Tanah adat tersebut secara mutlak menjadi milik adat dan

tidak boleh diganggu-gugat kepemilikannya serta tidak bisa berpindahtangan. Walaupun penguasaan dan pemilikannya mutlak ada di tangan lembaga adat, namun dimungkinkan jika ada kepentingan umum yang mendesak yang membutuhkan lahan, maka lahan adat tersebut pun digunakan. Kasus demikian pernah terjadi ketika diperlukan lahan tambahan untuk pembangunan sekolah sebagai sarana pendidikan. Melalui musyawarah mufakat antar semua lembaga yang ada di Ballatumuka, maka adat pun dengan sukarela memberikan sebagian tanah adat untuk dikonversi menjadi gedung sekolah.

Kepemilikan lahan di Ballatumuka sudah dilegalkan dengan adanya program sertifikasi tanah nasional (PRONA) dari BPN Mamasa. Meskipun lahan-lahan di desa ini memiliki akar sejarah sebagai lahan-lahan-lahan-lahan adat, namun sejak beberapa tahun belakangan (yaitu tahun 2010 hingga sekarang), sebagian besar masyarakat sudah mendaftarkan lahannya untuk disertifikasi. Menurut keterangan Kepala Desa Ballatumuka, sekitar 75% lahan sawah petani sudah memiliki sertifikat. Tidak semua jenis pertanahan yang dapat disertifikasi di Ballatumuka. Pada umumnya, menurut pengakuan salah seorang petugas lapang BPN Mamasa, lahan yang disertifikasi hanya lahan pertanian saja seperti sawah dan kebun, sedangkan pekarangan dan lahan perumahan tidak disertifikasi. Hal ini karena aturan adat yang berusaha mereka jaga. Apabila keberadaan lahan rumah juga turut disertifikasi maka sangat memungkinkan adanya pemindahtanganan kepemilikan atas lahan pekarangan atau rumah tersebut. Jika pemindahtanganan dilakukan kepada orang luar, maka hal itu akan secara otomatis memicu pada adanya perubahan kondisi adat-istiadat. Selain itu, dengan tidak disertifikasinya lahan perumahan yang ditinggali masyarakat Ballatumuka, maka lahan perumahan tersebut dapat secara bebas diwariskan secara turun temurun kepada anak-keturunan mereka. Dengan kata lain, hal ini dilakukan sebagai upaya pewarisan adat dan budaya lokal.

Seperti halnya lahan kering, maupun lahan pekarangan/rumah, lahan basah atau sawah di Desa Ballatumuka pada umumnya diwariskan secara turun-temurun dari orangtua kepada anak-cucu. Terkait dengan hal tersebut, secara umum proses pemindahan hak atas sumberdaya lahan basah di Desa Ballatumuka dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu:

1. Dimana‟, adalah pemindahan hak atas lahan basah dari orangtua kepada anaknya (hak waris)23;

2. Dipaleleyao, adalah pemindahan hak atas lahan basah kepada sesama keluarga/saudara melalui transaksi jual-beli;

3. Dibalu‟, adalah pemindahan hak atas lahan melalui transaksi jual-beli kepada orang lain yang bukan keluarga/saudara.

Proses pemindahan hak atas lahan basah atau sawah di Desa Ballatumuka pada umumnya atau yang dominan adalah secara dimana‟ atau diwariskan dari orangtua kepada anak. Proses ini dilakukan untuk menjaga riwayat garis keturunan keluarga, dan sebagai bentuk dari ketahanan sosial atau social security system bagi masyarakat (Barus et al. 2014). Sementara itu, proses dipaleleyao biasanya terjadi ketika seseorang berada dalam kondisi yang mendesak atau membutuhkan. Berbeda dengan dua proses lainnya, proses dibalu‟ jarang sekali

23

Pewarisan lahan biasanya dihitung dari berapa ekor hewan kerbau yang dikorbankan oleh seorang anak ketika orangtuanya meninggal dunia.

terjadi di desa ini. Pemindahan hak atas lahan basah atau sawah yang didominasi oleh sistem dimana‟ atau hak waris diterapkan supaya kepemilikan lahan tersebut dapat dipertahankan secara turun-temurun. Sistem ini memiliki makna tersendiri, hal mana selain sebagai sistem untuk menopang ekonomi keluarga sekaligus sebagai sistem untuk mempertahankan dan menjaga status sosial keluarga (Barus et al. 2014).

Di Desa Ballatumuka, masyarakat bermatapencaharian utama sebagai petani. Oleh karena banyaknya warga yang bermatapencaharian sebagai petani, maka tidak sulit untuk menemukan keberadaan kelompok tani di desa ini. Menurut keterangan dari penyuluh pertanian Desa Ballatumuka, kelompok tani di desa ini sudah terbentuk sejak tahun 2004, dan hingga tahun 2014 terdapat (sekitar) 15 kelompok tani dengan anggota masing-masing kelompok sekitar 25 orang. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan informasi jumlah dan nama kelompok tani di Desa Ballatumuka (lihat Tabel 9). Masih berdasarkan keterangan dari penyuluh pertanian yang bertugas di Ballatumuka, biasanya kelompok-kelompok tani di desa ini melakukan pertemuan setiap tiga bulan sekali.

Tabel 9 Nama kelompok tani di Desa Ballatumuka tahun 2014

No. Nama kelompok tani Alamat

1. Kelompok Tani Nusa Indah Dusun Gallangrapa‟ 2. Kelompok Tani Padao‟kok Padake‟dek Dusun Ballapeu‟ 3. Kelompok Tani Lembang Liarra Dusun Ballapeu‟ 4. Kelompok Tani Sandadioh Dusun Bambapongko‟ 5. Kelompok Tani Kadasarandah Dusun Gallangrapa‟ 6. Kelompok Tani Sikamase Dusun Rante Masanda 7. Kelompok Tani Sandamamase Dusun Rante Masanda 8. Kelompok Tani Errandilangi Dusun Rante Masanda 9. Kelompok Tani Sarapuhtallangbanga Dusun Rante Puang 10. Kelompok Tani Ranterabang Dusun Rante Puang 11. Kelompok Tani Buntumussa Dusun Gallangrapa‟ 12. Kelompok Tani Rantebambapuang Dusun Rante Puang 13. Kelompok Tani Melati Gallangrapa‟ Dusun Gallangrapa‟ 14. Kelompok Tani Mandiri Rante Masanda Dusun Rante Masanda 15. Kelompok Tani Anugerah Ballapeu Dusun Ballapeu‟

Sumber: Hasil Wawancara 2014

Ada tidaknya pendistribusian bantuan benih, bibit, ataupun pupuk dari pemerintah, pertemuan rutin tersebut tetap dilaksanakan. Walaupun awalnya pembentukan kelompok tani di Desa Ballatumuka terkait dengan pendistribusian bantuan pertanian dari pemerintah, namun saat ini keberadaan kelompok tani di desa ini dirasa efektif dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai kerjasama dan kegotongroyongan antar warga. Keberadaan kelompok tani di desa ini pun terkait dengan sistem kerja dan pengelolaan lahan pertanian yang ada serta sebagai wadah atau tempat bagi komunitas yang peduli akan keberlanjutan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam lainnya di Ballatumuka.

Dinamika Struktur Sosio-Agraria dalam Kaitannya dengan Pelaksanaan Kelembagaan Pa’totiboyongan

Suatu struktur sosial dapat didefinisikan sebagai relasi atau hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan peranan-peranan sosial. Soekanto (1982) menyatakan bahwa sebenarnya struktur sosial itu merupakan suatu jaringan daripada unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat. Unsur-unsur pokok tersebut mencakup: kelompok sosial, pelapisan sosial, lembaga sosial, kekuasaan dan wewenang, serta kebudayaan. Struktur sosial masyarakat di Desa Ballatumuka ditandai dengan adanya pelapisan sosial dalam masyarakatnya. Secara umum, pelapisan sosial dalam masyarakat Ballatumuka dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Golongan ada‟, adalah golongan bangsawan atau tana‟ bulawan yang berasal dari keturunan asli/langsung nenek moyang orang Mamasa, yaitu nenek pongkapadang. Tana‟ bulawan sendiri secara istilah berarti golongan emas. 2. Golongan pakka, adalah masyarakat umum yang dalam sistem pelapisan

sosial masyarakat Mamasa dikenal tiga pelapisan pakka, yaitu tana‟ bassi, tana‟ karurung, dan tana‟ koa-koa.

Golongan-golongan tersebut di atas, dapat diklasifikasikan lagi menjadi empat lapisan. Pembagian ini menurut Buijs (2009) mempengaruhi setiap sendi kehidupan, secara khusus dalam hubungannya dengan status, kekuasaan, dan perkawinan. Berikut adalah uraian mengenai keempat lapisan atau stratifikasi sosial masyarakat Ballatumuka.

1. Tana‟ bulawan yang artinya emas. Para masyarakat atau orang-orang yang berasal dari lapisan ini merupakan orang-orang dengan derajat kebangsawanan tertinggi dalam masyarakat. Dari kelas inilah berasal para pemimpin adat, atau orang hadat (Buijs 2009).

2. Tana‟ bassi yang artinya besi. Orang-orang yang berasal dari lapisan ini adalah orang-orang yang mendampingi golongan hadat memerintah masyarakat (Buijs 2009).

3. Tana‟ karurung. Kata karurung sendiri memiliki arti kayu-kayu yang keras. Buijs menyebut bahwa sebagian besar orang atau masyarakat berasal dari lapisan ini. Buijs (2009) menambahkan bahwa orang-orang dari kelas ini adalah orang merdeka, dan mereka adalah representasi dari masyarakat biasa. 4. Tana‟ koa-koa, yaitu lapisan yang terdiri dari para budak. Istilah koa-koa

sendiri artinya rumput-rumputan, atau mengacu kepada sejenis tumbuhan semak yang banyak tumbuh di sepanjang sungai yang sering diinjak-injak (Buijs 2009).

Adanya pelapisan atau stratifikasi sosial dalam struktur sosial masyarakat Ballatumuka memberikan pengaruh dalam beberapa segi kehidupan mereka. Status serta kekuasaan yang ada pada seseorang sangat dipengaruhi oleh keberadaannya pada lapisan tertentu dalam masyarakat. Selain itu, pelapisan sosial yang berupa kelas-kelas atau tingkatan dalam masyarakat Ballatumuka juga erat kaitannya dengan akses dan kontrol para pihak terhadap sumberdaya agraria yang ada. Sumberdaya agraria yang dimaksud disini adalah (khususnya) sumberdaya pertanian yang berupa lahan basah atau persawahan.

Di dalam kaitannya dengan pelaksanaan kelembagaan pa‟totiboyongan, masyarakat yang berada dalam kasta teratas-lah yang memiliki pengaruh dan peranan penting atau signifikan. So‟bok sebagai imam padi atau pemimpin pelaksanaan pa‟totiboyongan adalah sosok yang jelas berasal dari golongan ada‟ atau tana‟ bulawan. Sementara itu, kepala desa juga masih memiliki garis keturunan dari lapisan teratas (tana‟ bulawan), dan majelis gereja yang juga turut serta dalam mendampingi so‟bok merupakan sosok-sosok yang berasal dari keturunan tana‟ bassi, golongan yang memang berperan mendampingi para pemangku adat.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa sistem pelapisan dalam struktur sosial masyarakat Mamasa, yang juga ada di Desa Ballatumuka, memberikan pengaruh dalam beberapa segi kehidupan mereka, hal mana status serta kekuasaan yang ada pada seseorang sangat dipengaruhi oleh keberadaannya pada lapisan tertentu dalam masyarakat. Di Desa Ballatumuka, ada dan masih berlakunya pelapisan sosial dalam kehidupan sehari-hari tampak ketika masa pemilihan kepala desa tiba. Siapa-siapa saja yang boleh, pantas, dan diizinkan untuk maju sebagai kepala desa haruslah seseorang yang berasal dari golongan ada‟, yaitu tana‟ bulawan. Masyarakat Ballatumuka meyakini bahwa jika pemerintahan desa dipimpin oleh seseorang yang bukan berasal dari golongan ada‟24

, maka tidak akan ada kemajuan apa-apa pada desa mereka. Kasus seperti ini pernah terjadi sebelum masa kepemimpinan kepala desa yang sekarang. Selama lima tahun sebelumnya, Ballatumuka dipimpin oleh seorang kepala desa yang asal-usul atau garis keturunannya bukan dari golongan ada‟. Warga Ballatumuka menganggap hasil kepemimpinannya tidaklah baik, dan tidak menghasilkan kemajuan apapun di Ballatumuka. Hal ini dibenarkan oleh para pemangku adat dan warga masyarakat yang tidak merasakan perubahan serta kemajuan apapun di wilayah mereka. Penuturan salah seorang masyarakat (DT):

“Sewaktu bapak kepala yang dulu memimpin di Ballapeu‟ sini, belum kelihatan perubahan apa-apa. Tidak ada perbaikan jalan, pembangunan mck yang sudah dijanjikan pun tidak jadi dibangun. Kata toma‟tua, itu karena bapak kepala bukan keturunan ada‟, jadi wajar kalau kurang baik dalam memimpin desa sini.”

Penguasaan dan pemilikan atas sumberdaya agraria berupa lahan basah atau

Dokumen terkait