• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Kelembagaan Padi Sawah Pa’totiboyongan, Desa Ballatumuka, Kabupaten Mamasa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika Kelembagaan Padi Sawah Pa’totiboyongan, Desa Ballatumuka, Kabupaten Mamasa."

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA KELEMBAGAAN PADI SAWAH PA’TOTIBOYONGAN,

DESA BALLATUMUKA, KABUPATEN MAMASA

RISMA JUNITA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dinamika Kelembagaan Padi Sawah Pa‟totiboyongan, Desa Ballatumuka, Kabupaten Mamasa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

RISMA JUNITA. Dinamika Kelembagaan Padi Sawah Pa‟totiboyongan, Desa Ballatumuka, Kabupaten Mamasa. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan SAHARUDDIN.

Sumberdaya alam memiliki peranan tersendiri dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Diantara sumberdaya alam yang tersedia di Indonesia, sumberdaya pertanian dan kegiatan berupa pengelolaan sumberdaya tersebut masih berada pada skala prioritas utama. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar penduduk di Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada pertanian. Salah satu wilayah di Indonesia yang sebagian besar penduduknya masih bergantung pada sektor pertanian adalah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Masyarakat di Daerah Mamasa, yang jumlahnya sekitar seratus ribu jiwa pada tahun 2000, sebagian besar menyandarkan nafkahnya pada budidaya padi,

hortikultura, dan kopi. Di pedalaman Kabupaten Mamasa, ekosistem sawah

merupakan aset penting jika dibandingkan dengan lahan kering, baik dilihat dari dimensi ekonomi maupun sosial. Di beberapa desa yang masih kaya dengan ekosistem sawah atau litak basah, berbagai ritual, tradisi-tradisi khusus, dan kearifan lokal, masih melekat dengan budidaya pertanian lahan basah.

Seluruh tradisi, ritual, kearifan, norma-norma, dan tata kelakuan yang melekat dengan budidaya pertanian sawah ini terhimpun dalam kelembagaan lokal yang dikenal sebagai pa‟totiboyongan. Di beberapa desa atau kelurahan di Mamasa, pa‟totiboyongan sudah tidak lagi berjalan sebagaimana yang dituturkan dan diwariskan nenek moyang. Pa‟totiboyongan telah mengalami transformasi dan kini hanya sebatas simbolik belaka. Sementara di beberapa desa lain, pa‟totiboyongan masih eksis dan dipelihara sesuai ajaran leluhur. Salah satu desa yang ditengarai masih memelihara pa‟totiboyongan adalah Desa Ballatumuka, Kecamatan Balla. Sehingga menarik untuk dikaji apakah memang tatanan pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka, masih tetap dipelihara sebagaimana yang banyak dibicarakan warga Mamasa? Atau sudah bertransformasi sehingga pa‟totiboyongan hanya simbolik belaka? Apa yang menyebabkan pa‟totiboyongan masih dapat bertahan di Ballatumuka atau sebaliknya?

Pa‟totiboyongan memiliki tatanan struktur adat dan dipimpin oleh seseorang yang disebut sebagai so‟bok. Pasang surut pa‟totiboyongan pada kenyataannya tidak hanya ditentukan oleh so‟bok, tetapi juga dipengaruhi oleh aktor lain yaitu pemerintah desa (dalam hal ini kepala desa) dan majelis gereja. Masing-masing aktor memiliki peran, kuasa, dan pengaruh tersendiri terhadap kelembagaan pa‟totiboyongan. Apakah karena pengaruh kekuatan eksternal dari pemerintah kabupaten/desa dan institusi gereja yang lebih lemah dibanding pengaruh internal (misal, faktor kepemimpinan pemuka pa‟totiboyongan, kohesivitas komunitas) sehingga pa‟totiboyongan dapat bertahan di Desa Ballatumuka? Lebih jauh lagi, bila ternyata pa‟totiboyongan di Ballatumuka pada kenyataannya banyak yang bersifat simbolik belaka, maka sejauhmana perubahan tersebut berpengaruh secara langsung atau tidak langsung dengan pelapisan sosial dan sistem tenurial?

(5)

dihimpun dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi (pengamatan), dan studi dokumen/literatur. Penelitian mengenai dinamika kelembagaan padi sawah pa‟totiboyongan, dilakukan di Desa Ballatumuka, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa. Studi lapang dilaksanakan dalam kurun waktu September hingga Oktober 2014.

Hasil studi menunjukkan bahwa, pengelolaan padi sawah di Desa Ballatumuka masih berbasiskan pada tatanan nilai dan norma atau aturan lokal yang ada dalam kelembagaan pa‟totiboyongan. Dinamika sosial yang mewarnai pelaksanaan kelembagaan lokal pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka ditandai dengan adanya relasi-relasi sosial yang terbangun diantara masyarakat Ballatumuka, so‟bok, kepala desa dan jajarannya, serta majelis gereja. Pola-pola relasi sosial diantara para pihak tersebut cenderung mengarah pada pola relasi yang berbentuk cooperation atau kerjasama dan differentiation (diferensiasi).

Pada perkembangannya, pa‟totiboyongan yang berisi nilai-nilai serta aturan-aturan dalam mengelola pertanian lahan basah (sawah) di Desa Ballatumuka,

mengalami transformasi sosial atau perubahan secara ‘kasat mata’ dalam beberapa

aktivitas atau ritual-ritualnya. Transformasi tersebut dimungkinkan karena adanya keterbukaan masyarakat Ballatumuka pada pengaruh luar, adanya tuntutan modernisasi pertanian, masuk dan menguatnya pengaruh ajaran agama Kristen, serta adanya penerapan sistem pemerintahan formal.

Dinamika sosial yang terjadi dalam pengelolaan pertanian lahan basah berbasis kelembagaan lokal pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka memberikan gambaran bahwa struktur sosial masyarakat Ballatumuka yang terdiri dari kelas-kelas berpengaruh pada peranan dan tanggungjawab yang diemban masing-masing pihak/aktor. So‟bok sebagai imam padi atau pemimpin pelaksanaan pa‟totiboyongan, serta kepala desa merupakan sosok yang jelas berasal dari golongan ada‟ atau tana‟ bulawan. Sementara itu, majelis gereja yang juga turut serta dalam mendampingi so‟bok merupakan sosok yang berasal dari keturunan tana‟ bassi, golongan yang memang berperan mendampingi para pemangku adat.

Seiring perkembangan waktu, posisi sosial masyarakat Ballatumuka dapat mengalami gerak sosial secara vertikal jika masyarakat tersebut memilih keluar desa dan menjalani strategi nafkah lain selain di bidang pertanian. Secara ekonomi, posisi sosial masyarakat tersebut akan mengalami peningkatan. Namun, secara tatanan nilai-nilai adat yang berlaku, masyarakat tersebut tetaplah sama. Hal ini berarti bahwa, gerak sosial dalam masyarakat Ballatumuka hanya berlaku untuk hal-hal yang berhubungan dengan tingkat ekonomi atau pendapatan saja. Gerak sosial tersebut sulit terjadi jika dikaitkan dengan posisi masyarakat dalam tata aturan dan kegiatan adat.

(6)

SUMMARY

RISMA JUNITA. The Dynamics of Social Institution of Pa’totiboyongan of Paddy Rice Field, Ballatumuka Village, Mamasa District. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO and SAHARUDDIN.

Natural resources has a significant role to fulfilling the community’s needs. Agricultural resources and activities in the form of resources management are still on the main priority. It is given that the majority of the population in Indonesia still dependent on agriculture. One of the areas in Indonesia which most of the population still depends on agriculture is Mamasa, West Sulawesi. Local communities in Mamasa, largely rested their living on rice cultivation, horticulture, and coffee. In the interior of Mamasa, rice paddy ecosystem is an important asset when compared to dry land, in terms of economic and social dimensions. In some villages that are rich with the rice fields ecosystem, various rituals, special traditions and local wisdom, still attached to the cultivation of agricultural wetlands.

The whole tradition, ritual, wisdom, norms, and behavior patterns which are attached with the cultivation of rice cultivation is gathered in a local institution known as pa'totiboyongan. In some villages in Mamasa, pa'totiboyongan is no longer running as spoken and inherited by the ancestors. Pa'totiboyongan has a transformation and now only a mere symbolic. While in some other villages, pa'totiboyongan still exist and are maintained according to the teachings of their ancestors. One of the village in Mamasa that was considered to maintain pa'totiboyongan is Ballatumuka Village, District of Balla. It’s interesting to study whether or not the order of pa’totiboyongan in the Ballatumuka Village, still maintained as much talk by Mamasa citizens? Or it has been transformed so that pa'totiboyongan just a symbolic? What causes pa'totiboyongan still survive in Ballatumuka or otherwise?

Pa'totiboyongan own order custom structure that’s led by someone who called so'bok. The low tides in pa'totiboyongan not only determined by so'bok, but also influenced by other actors, namely the village government (in this case the village chief) and church councils. Each actor has a role, power, and its own influence on pa'totiboyongan. Is it because of the influence of external forces from the district/village and church institutions are weaker than internal influences (e.g, leadership factor of pa'totiboyongan leaders, community cohesiveness) so that

pa’totiboyongan can survive in Ballatumuka? Furthermore, if pa'totiboyongan in Ballatumuka which are only a symbolic form, then the extent of those changes may impact directly or indirectly with social stratification and tenure system?

The research used a qualitative approach, supported by quantitative data. The data that was collected in this study consisted of primary and secondary data, collected using the technique of in-depth interviews, observation, and study of document or literature. Research on the dynamics of social institution of

Pa’totiboyongan of Paddy Rice Field, conducted in the Ballatumuka Village, District of Balla, Mamasa. A field study conducted during the period of September to October 2014.

(7)

exist in pa'totiboyongan. Social dynamics that characterize the implementation of local institutions in Ballatumuka was characterized by social relations are established among local community, so'bok, the village chief and his staff, as well as church officers. The patterns of social relations between the parties are likely to lead to a pattern of relations in the form of cooperation or collaboration and differentiation (differentiation).

Currently, pa'totiboyongan that contain the values and rules in managing wetland agriculture (paddy) in Ballatumuka, experiencing social transformation or changes as 'invisible' in some activities or rituals. The transformation was made possible because of the openness of local community of Ballatumuka to the influences from outsides, the demands of agricultural modernization, entry and strengthening the influence of Christian teaching, as well as the application of the formal government system.

Social dynamics that occur in the management of wetland agriculture-based on local institution called pa'totiboyongan in Ballatumuka, illustrates that the social structure in Ballatumuka consist of castes effect on the roles and responsibilities carried by each party/actor. So'bok as a leader of pa'totiboyongan, as well as the village head is a figure that clearly come from tana' bulawan or the nobility. Meanwhile, the church council who also participated in the accompanying so'bok is a figure derived from the offspring tana’ bassi, which is instrumental group accompanying the adat.

Over the years, the social position of community in Ballatumuka can experience the social mobility, if the community opted out of the village and undergo livelihood strategies other than in agriculture. Economically, the social position of the people will increase. However, in order of traditional values and castes in prevailing customs, the community remains the same position. This fact means that social mobility in Ballatumuka applies only to matters relating to economic levels or income. The difficultness of social mobility occurs if it is associated with the position of the community in the form of a layer of castes,

class of ada’ and pakka.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

DINAMIKA KELEMBAGAAN PADI SAWAH

PA’TOTIBOYONGAN, DESA BALLATUMUKA, KABUPATEN

MAMASA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas segala karunia-Nya sehingga penulisan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2014 ini ialah dinamika sosial, dengan judul Dinamika Kelembagaan Padi Sawah Pa‟totiboyongan, Desa Ballatumuka, Kabupaten Mamasa.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS dan Bapak Dr Ir Saharuddin, MS selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan serta saran selama penyusunan karya ilmiah ini. Terimakasih juga penulis haturkan kepada Bapak Dr Sofyan Sjaf, MSi yang turut memberikan kontribusi berupa saran dan masukan yang membangun selama proses penelitian. Penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Mamasa dan masyarakat Desa Ballatumuka yang telah memberikan kontribusi terbaik selama proses pengumpulan data penelitian. Ungkapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR TABEL vii

Pa‟totiboyongan sebagai Kelembagaan Lokal 11

Kerangka Pemikiran 13

METODE PENELITIAN 16

Pendekatan Penelitian 16

Lokasi, Waktu dan Tahapan Penelitian 16

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data 17

Subyek Penelitian dan Uraian Kebutuhan Data 17

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 19

Sekilas Sejarah Kabupaten Mamasa 19

Kondisi Sosial Ekonomi Kabupaten Mamasa 22

Desa Ballatumuka sebagai Sebuah Lokasi Studi 27

Gambaran Umum Desa Ballatumuka 27

Desa Ballatumuka dalam Alur Sejarah 29

DINAMIKA KELEMBAGAAN PA‟TOTIBOYONGAN 34

Pa‟totiboyongan sebagai Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Pertanian Sawah di Desa Ballatumuka

34 Gambaran Peran Aktor dalam Kelembagaan Pa‟totiboyongan 38

Masyarakat Ballatumuka 39 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dinamika Kelembagaan

Pa‟totiboyongan 45

Telaah Terkini pada Tatanan Kelembagaan Pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka

50

DINAMIKA KELEMBAGAAN PA‟TOTIBOYONGAN DALAM

KAITANNYA DENGAN PERUBAHAN STATUS SOSIAL DAN SISTEM TENURIAL

55

(14)

Perubahan Status Sosial Masyarakat 63

Perubahan Sistem Tenurial Lokal 65

SIMPULAN DAN SARAN 69

DAFTAR PUSTAKA 71

LAMPIRAN 75

RIWAYAT HIDUP 82

DAFTAR TABEL

1 Data dan informasi yang dibutuhkan, jenis data, teknik pengumpulan data

18 2 Jumlah penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Mamasa tahun

2010-2014

23 3 Tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten

Mamasa tahun 2014

24 4 Jumlah dan persentase penduduk masing-masing dusun berdasarkan

golongan umur di Desa Ballatumuka tahun 2014

28 5 Jumlah dan persentase penduduk masing-masing dusun menurut jenis

kelamin di Desa Ballatumuka tahun 2014

28 6 Pola relasi sosial dalam pelaksanaan kelembagaan pa‟totiboyongan di

Desa Ballatumuka

44 7 Dinamika kelembagaan pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka menurut

faktor-faktor yang mempengaruhinya

48 8 Hubungan kepercayaan, posisi so‟bok, dan implementasi

pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka

51 9 Nama kelompok tani di Desa Ballatumuka tahun 2014 60 10 Identifikasi pelapisan sosial masyarakat di Desa Ballatumuka menurut

posisi dan jenis pekerjaan

63 11 Sistem penguasaan sumberdaya lahan di Ballatumuka menurut lapisan

sosial masyarakat yang menguasai

66 12 Status penguasaan sumberdaya lahan basah menurut sistem tenurial

lokal dan aktor yang berelasi

(15)

1 Kerangka pemikiran 15 2 Tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan tingkat kesempatan kerja

(TKK) di Kabupaten Mamasa tahun 2010-2014

25 3 Peristiwa-peristiwa penting dalam alur sejarah Desa Ballatumuka 30 4 Perubahan status kepemimpinan wilayah di Ballatumuka 32 5 Kalender musim kegiatan pertanian di Desa Ballatumuka 36 6 Hewan kerbau tedong yang memiliki nilai sosial, ekonomi, dan budaya 58

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Kabupaten Mamasa 76

2 Sketsa lokasi penelitian 77

3 Dokumentasi penelitian 78

3.1 Salah satu wilayah persawahan di Desa Ballatumuka 78 3.2 Gambaran Desa Ballatumuka dari atas Perbukitan Buntumusa 78 3.3 Keseragaman bentuk rumah huni-tradisional masyarakat

Ballatumuka

79 3.4 Salah satu alang atau lumbung padi-tempat penyimpanan padi hasil

panen

79 3.5 Suasana gotong royong masyarakat Ballatumuka ketika membangun

rumah

(16)
(17)

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumberdaya alam melimpah, dan dikenal pula sebagai negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua setelah Brazil (Hitipeuw 2011). Sumberdaya alam memiliki peranan tersendiri dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Selain itu, sumberdaya alam bagi masyarakat juga merupakan faktor produksi utama yang tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, tetapi juga dengan aspek sosial maupun politik (Budimanta 2007). Diantara sumberdaya alam yang tersedia di Indonesia, sumberdaya pertanian dan kegiatan berupa pengelolaan sumberdaya tersebut masih berada pada skala prioritas utama. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar penduduk di Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada pertanian. Sektor pertanian memiliki kontribusi yang besar dalam perekonomian Indonesia, terlihat dari besarnya tenaga kerja yang terserap di sektor ini (Herliana 2004). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002, sektor pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44.3% penduduk. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial hingga kini tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian, karena sektor ini memiliki peran penting dalam penentuan beragam realita ekonomi maupun sosial masyarakat.

Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2013, rata-rata luas lahan pertanian yang dikuasai oleh rumah tangga usaha pertanian di Indonesia mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003. Rata-rata luas lahan yang dikuasai tiap rumah tangga hasil Sensus Pertanian 2013 adalah 8925.64 m², dengan rata-rata luas lahan pertanian yang dikuasai oleh rumah tangga usaha pertanian adalah sebesar 8581.19 m², naik sebesar 144.51% jika dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003 yang tercatat hanya sebesar 3509.59 m². Walaupun kebijakan ekonomi di negeri ini cenderung mengarah pada dominasi sektor industri dan jasa, namun hasil Sensus Pertanian Tahun 2013 mengkonfirmasi bahwa sektor pertanian harus tetap mendapat atensi khusus dalam agenda pembangunan di masa mendatang (Kadir 2013). Hasil Sensus Pertanian pada 2013 mencatat populasi rumah tangga usaha pertanian di Indonesia mencapai 26.13 juta rumah tangga. Angka ini menurun sebanyak 5.04 juta rumah tangga (1.75%) bila dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian pada 2003. Adanya tren „penurunan‟ populasi rumah tangga usaha pertanian di Indonesia tidak dapat dijadikan sebagai indikator bahwa telah terjadi pula „penurunan‟ peran penting pertanian di Indonesia. Hingga saat ini, peran penting pertanian sebagai penyedia utama bahan pangan pokok di Indonesia masih belum tergantikan.

(18)

Salah satu wilayah di Indonesia yang sebagian besar penduduknya masih bergantung pada sektor pertanian adalah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Kabupaten Mamasa baru terbentuk pada tahun 2002, yang merupakan hasil dari

pemekaran Kabupaten Polewali Mamasa1. Kabupaten yang masih tergolong

sebagai kabupaten baru ini, berpeluang melahirkan kebijakan daerah tentang

kedaulatan pangan (Sjaf et al. 2007), hal mana kebijakan tersebut erat kaitannya

dengan pengelolaan sumberdaya pertanian tanaman pangan. Buijs (2009) menyatakan bahwa sampai sekarang, orang-orang di daerah Mamasa, yang berpenduduk sekitar 100.000 pada tahun 2000, mencari nafkah dengan menanam padi, tanaman hortikultura, dan kopi. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Mamasa adalah 27.431 rumah tangga. Jika dibandingkan dengan hasil sensus pada tahun 2003, maka jumlah tersebut mengalami kenaikan sebesar 5.677 rumah tangga.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Mamasa. Selama ini, sektor pertanian di Kabupaten Mamasa merupakan salah satu sektor yang cukup berkembang. Hasil-hasil pertaniannya antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, sayur-sayuran dan buah-buahan. Selain itu, sektor perkebunan di kabupaten ini juga cukup potensial, khususnya perkebunan kopi dan kakao yang dikelola petani (masih) secara tradisional. Bahkan, tanaman kopi yang dihasilkan petani di Kabupaten Mamasa, semasa masih menjadi bagian dari Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) telah memberikan kontribusi dalam mengangkat nama Polmas sebagai daerah penghasil kopi (Aas 2014).

Sebagai salah satu kabupaten yang baru berjalan selama hampir tiga belas tahun, beberapa kajian yang berfokus lokasi di kabupaten ini pada umumnya membahas mengenai proses pemekaran wilayah, dinamika konflik yang menyertainya, serta dampak yang ditimbulkannya2. Kajian lain yang berfokus lokasi di Kabupaten Mamasa, khususnya kajian yang membahas mengenai aspek sosial-ekonomi pertanian masih tergolong sedikit jumlahnya. Adapun kajian yang memotret aspek pertanian di Mamasa cenderung membahas mengenai aspek teknis budidaya maupun adopsi teknologi pertanian3. Salah satu studi yang mengkaji mengenai aspek penting yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pertanian adalah studi yang dilakukan oleh Sofyan Sjaf, Asma Luthfi, dan Retno Puji Astuti. Studi ini memotret lebih dekat kemiskinan warga terkait dengan akses, pemanfaatan, pengelolaan, penggunaan lahan, dan kontrol terhadap sumber-sumber produksi (Sjaf et al. 2007), yang berfokus di dua lokasi studi, yaitu Desa Rantetangnga dan Kelurahan Minake, Kabupaten Mamasa. Gambaran yang dihasilkan oleh studi ini mengenai akses, pemanfaatan, pengelolaan, penggunaan lahan, dan kontrol terhadap sumber-sumber produksi pada akhirnya menyimpulkan tentang peta kedaulatan pangan di Mamasa. Studi ini menyimpulkan bahwa terwujudnya kedaulatan pangan di suatu daerah sangat

1

Pembentukan Kabupaten Mamasa diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa dan Kota Palopo di Provinsi Sulawesi Selatan.

2

Studi yang memotret mengenai proses pemekaran Kabupaten Mamasa, dinamika konflik yang menyertainya serta dampak yang ditumbulkannya antara lain: studi yang dilakukan oleh Ahsan (2005), Syarifuddin (2005), Abdullah (2011), dan Supriyadi (2012).

3

(19)

ditentukan oleh keberadaan sumber-sumber agraria, kesiapan warga atau komunitas, dan kesediaan institusi sebagai pihak yang berkaitan dengan penerapan kedaulatan pangan di suatu daerah (Sjaf et al. 2007).

Studi lain yang juga berkaitan dengan aspek pengelolaan sumberdaya pertanian di Mamasa adalah studi yang dilakukan oleh Kees Buijs. Fokus utama studi ini adalah studi budaya Suku Toraja yang bermukim di daerah Mamasa. Walaupun fokus utama studi Buijs terletak pada budaya, namun di dalam pemaparan hasil studinya juga disampaikan secara rinci mengenai ritual-ritual penting yang dilaksanakan oleh masyarakat Mamasa dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya pertanian. Ritual-ritual tersebut hingga saat ini masih dijaga kelestariannya sebagai salah satu warisan budaya. Kondisi wilayah yang terisolasi memberi pengaruh yang sangat besar terhadap masih terpeliharanya tradisi-tradisi dan ritual lama (Buijs 2009). Terdapat satu bab khusus dalam laporan studi Buijs yang membahas mengenai hal tersebut. Studi Buijs tentang ritual-ritual dan tradisi-tradisi lama dalam pengelolaan sumberdaya pertanian di Mamasa, khususnya di wilayah persawahan (dengan komoditas tanaman padi) menyimpulkan bahwa ritual serta tradisi lama tersebut masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat, walaupun semakin hari ritual-ritual tersebut semakin mengalami perubahan yang oleh Buijs disebut sebagai transformasi. Karena keterasingan wilayah, maka perubahan-perubahan atau transformasi di Mamasa lebih lambat terjadi jika dibandingkan dengan wilayah lain seperti Tana Toraja (Buijs 2009). Buijs (2009) menambahkan bahwa jauh lebih dulu dari Mamasa, Tana Toraja sudah terbuka terhadap pengaruh-pengaruh luar, yang juga berdampak penting dalam penanaman padi.

Wilayah Kabupaten Mamasa yang secara geografis berada di dataran tinggi dengan suhu yang dingin, menjadikan masyarakat Mamasa menggantungkan aktivitas ekonominya pada usaha pertanian. Bagi masyarakat Mamasa, lahan merupakan hal penting dalam usaha pertanian mereka. Dikenal dua jenis penggunaan lahan dalam usaha pertanian masyarakat Mamasa, yaitu lahan basah dan lahan kering. Lahan atau yang dalam istilah lokal dikenal sebagai litak, baik itu litak basah maupun litak kering dimaknai berbeda oleh masyarakat Mamasa. Sjaf dalam tulisannya yang berjudul “Kearifan Agraria Orang Mamasa” menyatakan bahwa litak basah ditempatkan sebagai aset penting dibandingkan litak kering, baik dilihat dari dimensi ekonomi maupun sosial. Jika dilihat dari dimensi ekonomi, maka litak basah (atau lahan basah berupa persawahan dengan komoditas utama padi) merupakan lahan penghasil bahan pangan utama bagi masyarakat. Selain itu litak basah juga merupakan litak yang memiliki nilai jual atau harga tinggi. Secara sosial, litak basah adalah penanda bagi status sosial masyarakat Mamasa. Hal ini berbeda dengan litak kering (atau lahan kering berupa perkebunan dengan komoditas utama kopi dan kakao) yang dianggap hanya sebagai „lahan sampingan‟ yang diusahakan ketika kegiatan pemanfaatan litak basah dianggap sudah selesai dilakukan.

(20)

yang menyebut bahwa kehidupan sehari-hari masyarakat di daerah Mamasa diatur oleh empat bentuk aturan adat, yang terdiri dari berbagai larangan dan perintah. Salah satu dari empat aturan tersebut adalah aturan yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan litak basah (penanaman padi). Adanya aturan khusus tentang penanaman padi, yang dikenal dalam istilah lokal sebagai pa‟totiboyongan, menandakan bahwa segala kegiatan atau aktivitas pengelolaan litak basah masih dianggap sebagai salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat Mamasa.

Sumberdaya pertanian yang potensial disertai aspek sosial-budaya yang masih kaya akan nilai-nilai lokal, menjadikan wilayah Mamasa sebagai wilayah yang „menarik‟ untuk dikaji. Di dalam pengelolaan sumberdaya pertanian, khususnya litak basah atau sawah, ditemukan desa-desa di Mamasa yang masih menjaga dan melaksanakan kearifan lokal dari para leluhur berkaitan dengan proses produksi pertanian (Sjaf et al. 2007). Kearifan lokal tersebut tercermin dari adanya kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pertanian, yang dikenal dengan istilah pa‟totiboyongan. Di pedalaman Kabupaten Mamasa, ekosistem sawah merupakan aset penting dibanding lahan kering, baik dilihat dari dimensi ekonomi maupun sosial. Di beberapa desa yang masih kaya dengan ekosistem sawah atau litak basah (sawah), berbagai ritual, tradisi-tradisi khusus, kearifan lokal masih melekat dengan budidaya pertanian lahan basah (Buijs 2009; Sjaf et al. 2007). Seluruh tradisi, ritual, kearifan, norma-norma, dan tata kelakuan yang melekat dengan budidaya pertanian sawah ini terhimpun dalam kelembagaan lokal yang dikenal sebagai pa‟totiboyongan. Lembaga pa‟totiboyongan ini secara sempit dimaknai juga sebagai proses pengerjaan litak basah atau sawah bagi Orang Mamasa (Sjaf et al. 2007). Salah satu desa di Mamasa yang ditengarai masih memiliki pa‟totiboyongan adalah Desa Ballatumuka, Kecamatan Balla.

Perumusan Masalah

(21)

Pa‟totiboyongan memiliki tatanan struktur adat dan dipimpin oleh seseorang yang disebut sebagai so‟bok. Pasang surut pa‟totiboyongan pada kenyataannya tidak hanya ditentukan oleh so‟bok, tetapi juga dipengaruhi oleh aktor lain yaitu pemerintah desa (dalam hal ini kepala desa) dan majelis gereja. Masing-masing aktor memiliki peran, kuasa, dan pengaruh tersendiri terhadap kelembagaan pa‟totiboyongan. Apakah karena pengaruh kekuatan eksternal dari pemerintah kabupaten/desa dan institusi gereja yang lebih lemah dibanding pengaruh internal (misal, faktor kepemimpinan pemuka pa‟totiboyongan, kohesivitas komunitas) sehingga pa‟totiboyongan dapat bertahan di Desa Ballatumuka? Lebih jauh lagi, bila ternyata pa‟totiboyongan di Ballatumuka pada kenyataannya banyak yang bersifat simbolik belaka, maka sejauh mana perubahan tersebut berpengaruh secara langsung atau tidak langsung dengan pelapisan sosial masyarakat dan sistem tenurial?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan beberapa perumusan masalah yang telah disampaikan, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis secara mendalam faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keberadaan dan dinamika kelembagaan padi sawah pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka, Mamasa.

(22)

Konsep Dinamika Sosial

Berbicara tentang dinamika sosial berarti berbicara pula tentang suatu perubahan yang dapat terjadi di dalam atau mencakup suatu sistem sosial (Sztompka 2004). Definisi mengenai konsep dinamika atau perubahan sosial dapat dikatakan beragam. Moore (1967) misalnya, mendefinisikannya secara luas sebagai perubahan penting dari struktur sosial, hal mana struktur sosial tersebut adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Sementara itu, Ogburn (1922) membatasi ruang lingkup dinamika sosial meliputi dinamika atau perubahan yang terjadi pada unsur-unsur kebudayaan (baik material maupun immaterial). Dengan demikian, secara luas dapat disimpulkan bahwa dinamika sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku atau interaksi sosial, susunan lembaga sosial, lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dinamika sosial dapat dipandang sebagai suatu konsep yang serba mencakup, yang menunjuk kepada perubahan fenomena sosial di berbagai tingkatan kehidupan manusia (Lauer 2003).

Dinamika sosial juga dapat didefinisikan sebagai adanya variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat (Gillin et al. 1954). Selanjutnya, Soemardjan (1962) mendefinisikan dinamika atau perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di dalam masyarakat. Dinamika sosial merupakan inti jiwa masyarakat (Soekanto 2013), hal mana masyarakat tidak dapat dibayangkan sebagai suatu unsur atau entitas yang bersifat statis, melainkan suatu entitas yang dinamis. Masyarakat tidak boleh dibayangkan sebagai keadaan yang tetap, tetapi sebagai proses, bukan objek semu yang kaku tetapi sebagai aliran peristiwa terus-menerus tiada henti (Sztompka 2004). Hal ini berarti bahwa masyarakat tidaklah berada dalam keadaan yang tetap secara terus-menerus, melainkan ia ada jika terjadi sesuatu di dalam strukturnya, ada tindakan tertentu yang dilakukan, dan ada perubahan serta proses tertentu yang selalu bekerja di dalamnya.

(23)

5). Hubungan antarsubsistem (misalnya penguasaan rezim politik atas organisasi ekonomi); dan 6). Lingkungan (misalnya kerusakan ekologi). Adanya modifikasi-modifikasi atau variasi-variasi tertentu di dalam pola-pola kehidupan manusia, yang disebut sebagai dinamika atau perubahan sosial dapat disebabkan oleh faktor-faktor internal maupun eksternal (Koenig 1957). Faktor-faktor tersebut diantaranya: bertambah atau berkurangnya penduduk, adanya penemuan-penemuan baru, terjadinya pertentangan atau konflik, serta adanya pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Beberapa penjelasan mengenai definisi konsep dinamika sosial seperti yang telah dipaparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya menggambarkan bahwa berbagai tokoh tersebut meletakkan fokus atau penekanan pada jenis perubahan yang berbeda. Di dalam konteks studi ini, yaitu konteks dinamika kelembagaan pa‟totiboyongan, dinamika yang terjadi dibatasi pada definisi adanya variasi-variasi atau perubahan-perubahan yang terjadi pada nilai-nilai, norma-norma atau aturan-aturan, serta pola perilaku yang ada dan berkembang di dalam kelembagaan pa‟totiboyongan. Kelembagaan pa‟totiboyongan dapat dikatakan sebagai suatu kelembagaan yang pada perkembangannya mengalami dinamika-dinamika tertentu, yang sifatnya tidak statis. Pada perkembangannya, kelembagaan pa‟totiboyongan terus-menerus melakukan penyesuaian atau adaptasi-adaptasi pada kondisi-kondisi sosial yang ada.

Konsep Kelembagaan

Istilah kelembagaan dapat dikatakan merupakan padanan dari istilah Inggris institution atau social institution. Menurut Soemardjan et al. (1964),...belum terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana Sosiologi untuk menerjemahkan istilah Inggris social institution. Koentjaraningrat (1964) misalnya, menggunakan istilah pranata sosial untuk menggantikan istilah social institution. Pranata sosial menurut Koentjaraningrat (1964) adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Definisi ini menurut Soekanto (2013) menekankan pada sistem tata kelakuan atau norma-norma untuk memenuhi kebutuhan. Istilah kelembagaan sosial tidaklah sama dengan istilah lembaga atau institute. Istilah lembaga merujuk kepada suatu badan, atau berbagai bentuk organisasi yang memiliki beragam tujuan. Sementara itu, kelembagaan sosial dalam Sosiologi adalah suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat-istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting. Dengan kata lain, kelembagaan sosial adalah suatu himpunan atau tatanan norma–norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma prilaku, nilai budaya dan adat istiadat (Uphoff 1986).

(24)

deliberately made...”. Hal ini berarti bahwa kelembagaan memiliki dua bentuk, yaitu sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, serta yang datang dari luar yang sengaja dibentuk. Meskipun ia membedakannya berdasarkan asal terbentuknya, namun di sana melekat berbagai perbedaan pokok. Sesuatu yang menurut Knight terbentuk dengan sendirinya (invisible hand) dapat dijelaskan oleh Sumner sebagai sesuatu yang berawal dari folkways lalu meningkat menjadi custom, selanjutnya berkembang menjadi mores, dan matang ketika menjadi norm. Sementara itu, bagi Norman Uphoff, sesuatu yang datang dari luar ini disebut dengan organisasi. Uphoff (1986) menyatakan bahwa “Some kinds of institutions have an organizational form with roles and structures, whereas others exist as pervasive influenced on behaviour”. Dua hal yang dimaksudnya disini adalah organisasi dalam bentuk roles (peran) dan struktur, serta sesuatu yang mempengaruhi perilaku. Sesuatu yang terakhir ini adalah norma yang diturunkan dari nilai yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat.

(25)

berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat (Soekanto 2013).

Sumner seperti dikutip Soekanto et al. (2013) melihat kelembagaan sosial dari sudut kebudayaan, dimana kelembagaan sosial diartikan sebagai perbuatan, cita-cita, sikap, dan perlengkapan kebudayaan, bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Pada dasarnya, kelembagaan sosial memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Terdapat tiga fungsi kelembagaan sosial, yaitu:

1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat. Pedoman dalam bertingkah laku, dalam menghadapi masalah, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan;

2. Menjaga keutuhan masyarakat;

3. Memberikan pedoman kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.

Terwujudnya suatu pranata sosial atau kelembagaan sosial dipengaruhi oleh beberapa hal, yang oleh Koentjaraningrat disebut sebagai pengaruh dari wujud kebudayaan, yaitu: 1). Sistem norma dan tata kelakukan dalam konteks wujud idiil kebudayaan; 2). Kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan; dan 3). Peralatannya untuk wujud fisik kebudayaan, serta ditambah pula dengan personil yang terlibat di dalamnya. Maka dapat dikatakan bahwa kelembagaan terdiri dari empat komponen atau unsur yang saling berinteraksi satu sama lain. Lebih lanjut, Koentjaraningrat (1987) menyatakan bahwa aktivitas manusia atau aktivitas kemasyarakatan untuk menjadi lembaga sosial harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Persyaratan tersebut antara lain:

1. Suatu tata kelakuan yang baku, yang bisa berupa norma-norma dan adat istiadat yang hidup dalam ingatan maupun tertulis.

2. Kelompok-kelompok manusia yang menjalankan aktivitas bersama dan saling berhubungan menurut sistem norma-norma tersebut.

3. Suatu pusat aktivitas yang bertujuan memenuhi kompleks- kompleks kebutuhan tertentu, yang disadari dan dipahami oleh kelompok-kelompok yang bersangkutan.

4. Mempunyai perlengkapan dan peralatan.

(26)

Dinamika Kelembagaan Lokal

Di dalam konteks kelembagaan, terminologi lokal dapat diinterpretasikan sebagai sesuatu yang memiliki karakteristik khusus atau tersendiri, yang erat kaitannya dengan kondisi setempat. Terminologi lokal meliputi dasar-dasar untuk melakukan tindak kolektif, energi untuk melakukan konsensus, koordinasi tanggung jawab, serta menghimpun, menganalisis dan mengkaji informasi, yang tidak terjadi secara otomatis, namun memerlukan kehadiran institusi yang bersifat spesifik lokasi (Suradisastra 2005). Sebagai contoh adalah lembaga candoli di wilayah Priangan Timur (Jawa Barat) yang berfungsi sebagai penentu waktu panen. Lembaga candoli bersifat lokal (Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sumedang) dan eksistensinya (pernah) dibutuhkan karena penguasaannya akan informasi terkait perkembangan fisik padi di lahan sawah di lokasi-lokasi tersebut. Pemanfaatan kelembagaan lokal akan sangat efektif sebagaimana dinyatakan oleh Bromley (1993) “local institutions permit us to carry on our daily lives with minimum repetition and costly negotiations”. Pernyataan ini bermakna bahwa kelembagaan lokal merupakan salah satu dasar pijakan bagi seseorang dalam menyesuaikan sikap dan tindakannya.

Eksistensi suatu kelembagaan dapat ditentukan oleh kemampuannya dalam melayani tuntutan sosial masyarakat setempat dalam kurun waktu yang sangat beragam. Tidak jarang terjadi keberadaan suatu lembaga tiba-tiba hilang, atau digantikan oleh kelembagaan baru yang lebih mampu melayani kebutuhan stakeholder setempat. Suatu kelembagaan akan mampu bertahan dalam dinamika sosial - masyarakat bila tetap memiliki fungsi yang dibutuhkan (Suradisastra 2005). Fungsi kelembagaan lokal antara lain adalah: 1). Mengorganisir dan memobilisasi sumberdaya; 2). Membimbing stakeholder pembangunan dalam membuka akses ke sumberdaya produksi; 3). Membantu meningkatkan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam; 4). Menyiapkan infrastruktur sosial di tingkat lokal; 5). Mempengaruhi lembaga-lembaga politis; 6). Membantu menjalin hubungan antara petani, penyuluh dan peneliti lapang; 7). Meningkatkan akses ke sumber informasi; 8). Meningkatkan kohesi sosial; dan 9). Membantu mengembangkan sikap dan tindakan koperatif. Kelembagaan sosial dan/atau kelembagaan lokal akan bertahan selama kehadirannya dibutuhkan oleh komunitas sosial setempat. Bertahan atau tidaknya suatu kelembagaan menunjukkan posisi dan peran kelembagaan tersebut dalam tatanan sosial masyarakat setempat (Suradisastra 2005).

(27)

Sementara itu, definisi kearifan lokal yang dirumuskan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia menyebutkan bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal dan/atau kearifan lingkungan masyarakat lokal pada hakikatnya berpangkal atau bersumber dari sistem nilai dan religi yang dianut dalam komunitasnya, hal mana sistem nilai tersebut memberi warna dan mempengaruhi sikap serta perilaku masyarakat terhadap alam – lingkungannya (Nurjaya 2008). Pada hakikatnya, institusi lokal atau kelembagaan lokal dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam tercermin dalam segala bentuk sistem nilai dan aturan yang dianut masyarakat lokal, yang memberi tuntunan untuk berperilaku yang serasi dan selaras seirama dengan alam – lingkungannya, sehingga tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya (Nurjaya 2008).

Dalam konteks kelembagaan lokal, dinamika yang terjadi dapat dipahami sebagai perubahan-perubahan atau modifikasi, variasi, serta transformasi sosial yang mewarnai dalam praktik dan pelaksanaan kelembagaan tersebut. Hal ini berarti bahwa terdapat perubahan-perubahan atau transformasi tertentu dalam nilai-nilai, norma, tata kelakuan, serta aturan-aturan yang terkandung dalam kelembagaan lokal. Jika dikaitkan dengan pengelolaan pertanian, maka kebudayaan bertani di Indonesia bersifat intrusif, yaitu lebih merupakan budaya yang diintroduksikan dengan perubahan minor dalam aspek tertentu (Huntington 1980). Secara implisit teori ini mengemukakan bahwa kegiatan pertanian modern bukan merupakan usaha asli petani setempat, namun lebih berupa kegiatan hasil penyesuaian dengan tradisi lokal yang telah berlangsung berabad-abad (Suradisastra 2005). Sifat intrusif seperti yang terjadi dalam pola pengenalan pengelolaan pertanian di Indonesia menurut Huntington juga berlaku bagi dinamika kelembagaan lokal yang terdapat di suatu daerah. Sejalan dengan budaya bertani tradisional yang bersifat survival agriculture atau land-to-mouth agriculture, perkembangan kelembagaan lokal juga berjalan ke arah social survivability dan social stability yang mendukung tujuan dan kegiatan produktif masyarakat petani. Sejauh ini hampir tidak terdapat kelembagaan tradisional yang mengembangkan orientasi komersil dalam kegiatan produktif untuk bertahan hidup. Dalam paradigma land-to-mouth existence, kegiatan pertanian didukung oleh lembaga-lembaga pengaturan bercocok tanam, lembaga mobilisasi tenaga dan massa, serta lembaga pengatur norma dan perilaku sosial sesuai dengan tingkat evolusi sosial setempat (Suradisastra 2005).

Pa’totiboyongan sebagai Kelembagaan Lokal

(28)

desa memiliki perbedaan tersendiri. Secara umum, pa‟totiboyongan berisi langkah-langkah dalam bercocok tanam padi sawah. Berbagai langkah dalam penanaman padi (praktik pa‟totiboyongan) yang umum berlaku di Mamasa antara lain (Buijs 2009):

1. Pada pintu masuk saluran air, disajikan pangkiki‟, yaitu sesajian berupa penyembelihan seekor ayam putih yang kemudian potongannya diletakkan di atas lembaran daun pisang dan dialirkan ke saluran irigasi. Sesajian ini ditujukan kepada dewa-dewa di hutan, khususnya dewi padi agar menyediakan aliran air yang tetap bagi sawah-sawah yang ada.

2. Bertanya kepada bintang-bintang, yaitu kegiatan khusus yang dilakukan oleh so‟bok dengan membaca tanda yang tepat dari gugusan bintang.

3. Dibatta litak, yaitu pengolahan lahan untuk pertamakalinya. Kegiatan pengolahan lahan untuk kali pertama dilakukan dengan menggunakan sebuah alat penggali kayu yang berukir, yakni peleko. Setelah so‟bok selesai membongkar tanah, maka petani atau masyarakat lainnya harus menunggu tiga hari sebelum mereka juga boleh memulai mengolah lahan sawah mereka masing-masing.

4. Mangngambo‟, yaitu kegiatan menaburkan benih-benih padi. Sebelum benih-benih ditaburkan, so‟bok menyembelih seekor babi di pematang sawah sebagai pangkiki‟ atau sesajian untuk dewa-dewa langit.

5. Tumorak, yaitu kegiatan pengaturan jarak tanaman padi di sawah. Biasanya kegiatan ini dilakukan oleh perempuan.

6. Panda, yaitu masa tenang di saat-saat padi sedang tumbuh. Pada masa ini, so‟bok akan kembali menyediakan pangkiki‟ jika diperlukan. Pangkiki‟ dirasa perlu disediakan pada kondisi tertentu, misalnya karena adanya wabah tikus atau burung, atau kondisi ketersediaan air yang sedikit di sawah-sawah.

7. Mambulung, yaitu ritual khusus yang dilaksanakan di atas puncak suatu bukit setiap tiga tahun. Pada waktu tanaman padi di sawah mulai tumbuh, so‟bok menyembelih seekor ayam atau babi.

8. Ma‟tammu pare, yaitu kegiatan menyambut padi ketika padi mulai mengeluarkan buah dan sawah-sawah berubah kuning keemasan. Pada saat ini tiba, so‟bok memotong tiga ekor ayam, seekor untuk bulir-bulir padi yang sedang tumbuh, seekor untuk melawan hama serangga dan binatang, dan seekor lagi untuk menangkal roh-roh jahat yang merusak padi.

9. Mepare, yaitu kegiatan potong padi pada saat masa panen padi tiba. Ketika waktu panen telah tiba, maka ritual-ritual pada masa panen pun dilakukan, diantaranya: a). Ma‟karingngi‟4, b). Dio pa‟tampoan5, dan c). Mantungka‟6. Dalam pelaksanaannya, kelembagaan lokal pa‟totiboyongan dipimpin oleh seorang perangkat adat yang disebut so‟bok. Tugas seorang so‟bok tidak hanya

4Ma‟karingngi‟

merupakan ritual berupa kegiatan mengolah secara khusus buah padi pertama dari sawah. Buah padi pertama dari sawah diolah secara khusus, dan orang-orang memakannya dengan sangat gembira bersama dengan para tetangganya. Sebelum tangkai-tangkai padi yang pertama dipotong, seekor ayam disembelih di atas pematang sawah (Buijs 2009).

5Dio pa‟nampoan

merupakan kegiatan menaruh padi yang berupa ikatan-ikatan kecil pada sebuah tempat untuk dijemur.

6

(29)

menekankan pada ketaatan terhadap ritual-ritual penanaman padi, namun juga memainkan peranan aktif di dalamnya (Buijs 2009). Selain dikenal dengan istilah atau sebutan so‟bok, istilah lain untuk menyebut pemimpin kelembagaan pa‟totiboyongan adalah tomassuba. Istilah ini erat kaitannya dengan tugas seorang pemimpin pelaksanaan pa‟totiboyongan dalam menyelidiki gugusan-gugusan bintang untuk menandai waktu permulaan musim padi yang tepat (Mandadung 1999 seperti dikutip Buijs 2009). Istilah so‟bok menunjuk kepada tugas seorang pemimpin atau imam untuk mulai membongkar tanah di sawah, sesegera setelah bintang-bintang memberi tanda awal musim padi (Buijs 2009). Setelah so‟bok melakukan hal ini, maka para petani lain secara serempak akan mengikutinya. Sjaf et al. (2007) menyebut so‟bok sebagai seorang petugas yang mengatur rangkaian proses pengerjaan sawah atau pemimpin bagi masyarakat dalam menggarap sawah. Dengan kata lain, seorang so‟bok adalah seorang sosok yang mengawal serta mendampingi proses pelaksanaan pa‟totiboyongan. Secara garis besar, tugas dari seorang so‟bok menurut Sjaf et al. (2007) adalah sebagai berikut: 1). Memimpin masyarakat untuk turun ke sawah; 2). Melakukan ritual membaca tanda-tanda alam sebelum masa tanam tiba; 3). Memimpin melakukan pa‟bulanliangan, yaitu kegiatan membersihkan kuburan-kuburan para orangtua; 4). Memimpin masyarakat bergotong royong untuk membersihkan saluran air atau mepalempang; 5). Menyerukan masyarakat untuk menjaga perilaku dan sikap dari perbuatan-perbuatan dosa; dan 6). Memimpin rapat untuk memutuskan kapan dilakukannya syukuran atas hasil panen.

Seiring perkembangan waktu, transformasi-transformasi tertentu mewarnai pelaksanaan kelembagaan pa‟totiboyongan, hal mana transformasi-transformasi tersebut erat kaitannya dengan semakin menghilangnya hutan-hutan belantara di wilayah Mamasa (Buijs 2009). Selain itu, aspek atau faktor lainnya yang juga dapat dipertimbangkan adalah keterbukaan terhadap pengaruh-pengaruh luar. Hal tersebut menurut Buijs (2009) berdampak penting dalam terjadinya transformasi-transformasi dalam penanaman padi. Di wilayah Mamasa, seorang insinyur pertanian bernama Jan de Vries, memperkenalkan bibit baru pada tahun 1975, dan menghimbau para petani menggunakan varietas-varietas padi yang tumbuh cepat7. Perubahan-perubahan atau transformasi yang terjadi sesungguhnya dimulai dengan kedatangan agama Kristen, yang dengan cepat dianut. Hal inilah yang menurut Buijs menyebabkan keberadaan seorang imam padi atau so‟bok sudah tidak lagi relevan dan sebagian ritual yang berhubungan dengan padi ditinggalkan.

Kerangka Pemikiran

Kelembagaan memiliki peran tersendiri dalam mengembangkan sektor pertanian di negeri ini. Seperti yang dinyatakan oleh Suradisastra (2006) bahwa peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan sektor pertanian di Indonesia terutama terlihat dalam kegiatan pertanian tanaman pangan, terutama padi. Pada tingkat makro nasional misalnya, peran kelembagaan di sektor pertanian terlihat dari banyaknya program atau proyek-proyek intensifikasi dan

7

(30)

peningkatan produksi pangan. Sementara itu, pada tingkat mikro di wilayah pedesaan, peran kelembagaan dapat dilihat dari masih adanya kelembagaan-kelembagaan lokal pendukung kegiatan produksi pertanian, khususnya tanaman pangan padi. Berbagai relasi yang tumbuh dan berkembang di dalam komunitas, termasuk relasi berbasis gender dan kelas, mewarnai dinamika sistem penguasaan tanah dan kekayaan alam lainnya, sekaligus sistem tata guna tanah dan sumberdaya lainnya (Siscawati 2014). Begitu pula yang terjadi pada praktik atau pelaksanaan kelembagaan pa‟totiboyongan di Desa Ballatumuka, Kecamatan Balla, Kabupaten Mamasa. Pelaksanaan kelembagaan lokal pa‟totiboyongan diwarnai oleh relasi-relasi atau hubungan-hubungan sosial antar berbagai pihak. Pa‟totiboyongan yang merupakan seperangkat aturan, serta nilai-nilai yang mengatur tata kelola sumberdaya pertanian, khususnya lahan basah, adalah suatu kelembagaan yang dalam praktik atau pelaksanaannya melibatkan berbagai pihak atau aktor, diantaranya so‟bok, kepala desa beserta jajarannya, dan majelis gereja. Selama beberapa kurun waktu, suatu relasi sosial mengalami pasang surut dikarenakan salah satunya oleh aktor-aktor yang terlibat dalam relasi tersebut (Yulianto 2012). Pola-pola relasi sosial, khususnya relasi kepemimpinan diantara ketiga aktor tersebut menjadi salah satu faktor yang ditengarai mendorong terciptanya dinamika dalam pelaksanaan kelembagaan lokal pa‟totiboyongan di Ballatumuka. Pola relasi kepemimpinan diantara para aktor/pihak akan dipetakan untuk mengungkap faktor power aktor yang mana yang lebih berperan dalam menciptakan dinamika sosial tertentu dalam kelembagaan lokal pa‟totiboyongan.

(31)

Gambar 1 Kerangka pemikiran Modernisasi Pertanian Introduksi teknologi baru

Introduksi benih varietas

unggul

Introduksi pestisida dan

pupuk kimia

Pola Relasi Kepemimpinan

So‟bok

Kepala desa Majelis gereja

Dinamika Kelembagaan Pa’totiboyongan

Struktur Sosial dan Sistem Tenurial Perubahan status dalam

pelasipan sosial masyarakat Hadirnya pola nafkah baru Perubahan pola penguasaan

lahan

Introduksi Sistem Kepercayaan

(Agama) Penerapan Sistem

(32)

Pendekatan Penelitian

Penelitian mengenai dinamika kelembagaan lokal pa‟totiboyongan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam upaya untuk memperkaya data dan untuk lebih memahami fenomena sosial yang diteliti. Pendekatan kualitatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian dimana data yang digunakan merupakan data kualitatif dengan pengungkapan fakta secara deskriptif naratif (Muljono 2012). Oleh karena itu, maka penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian yang deskriptif-kualitatif, yaitu suatu penelitian yang tidak bermaksud untuk menguji suatu hipotesa melainkan bertujuan untuk menggambarkan realitas sosial yang kompleks (Newman 1997). Dalam penelitian ini, data-data kuantitatif juga dikumpulkan sebagai data pendukung.

Lokasi, Waktu dan Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Mamasa, tepatnya di Desa Ballatumuka, yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Balla. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada beberapa alasan, diantaranya karena Desa Ballatumuka merupakan salah satu wilayah desa di Kabupaten Mamasa yang masih memegang teguh nilai-nilai serta aturan adatnya. Selain itu, di desa ini juga merupakan wilayah yang di dalamnya masih terdapat kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pertanian padi sawah, yaitu pa‟totiboyongan. Kelembagaan lokal inilah yang sampai saat ini mengatur jalannya semua kegiatan pengelolaan sumberdaya pertanian di lahan basah atau sawah dengan komoditas utama padi. Persiapan penelitian meliputi pemilihan lokasi dan sasaran, persiapan proposal, pembuatan panduan wawancara, dan pengambilan data di lapangan. Terkait dengan waktu penelitian, penelitian di lapangan dilaksanakan pada September tahun 2014 sampai dengan akhir Oktober tahun 2014.

Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain adalah: 1. Memahami profil atau gambaran umum dari lokasi penelitian. Kegiatan ini

dilakukan dengan tujuan untuk memahami secara seksama mengenai kondisi-kondisi umum maupun spesifik dari wilayah atau lokasi yang diteliti. Tahap pertama dilaksanakan dengan melakukan penelusuran data sekunder yang berasal dari literatur-literatur maupun hasil-hasil penelitian sebelumnya. Penelusuran informasi melalui internet juga dilakukan untuk memberikan gambaran awal mengenai lokasi penelitian. Penelusuran tersebut tentu saja penelusuran yang dilakukan melalui situs-situs resmi, misalnya website resmi Kabupaten Mamasa.

(33)

menelaah faktor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi keberadaan maupun dinamika kelembagaan, serta pengaruh dinamika sosial yang terjadi dalam kelembagaan terhadap pelapisan sosial masyarakat dan sistem tenurial lokal. Tahap kedua dalam penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan kegiatan „turun langsung‟ ke lapangan, yaitu lokasi penelitian di Kabupaten Mamasa. Data dan informasi yang dibutuhkan dalam tahap ini dikumpulkan dengan menggunakan berbagai teknik pengumpulan data, diantaranya observasi dan wawancara mendalam.

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan secara langsung dari lapangan (lokasi penelitian). Sementara itu, data sekunder merupakan data yang berasal dari sumber-sumber dokumen maupun studi literatur. Data primer-kualitatif dikumpulkan dengan menggunakan dua teknik pengumpulan data utama, yaitu wawancara mendalam (indept interview) dan observasi (pengamatan). Teknik pengumpulan informasi yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah observasi dan wawancara mendalam (Marshall et al. 1989). Data sekunder dalam penelitian ini dihimpun dari berbagai instansi atau organisasi yang relevan, diantaranya seperti Kantor Kepala Desa Ballatumuka, Kantor Kecamatan Balla, Pemerintah Daerah Kabupaten Mamasa serta dinas-dinas atau instansi terkait. Data-data berupa dokumentasi surat, data kependudukan, maupun surat perjanjian atau kesepakatan serta berita-berita di surat kabar, juga dikumpulkan dari berbagai instansi dan pihak yang relevan.

Data primer-kualitatif dianalisis dengan metode yang disebut inductive analysis, yaitu suatu metode analisis yang dilakukan dengan menggunakan informasi-informasi yang dikumpulkan di lapangan untuk membuat simpulan akhir dan bukan untuk membuktikan suatu hipotesa. Proses analisis data dan informasi dalam metode inductive analysis dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data/informasi. Penggunaan logika induktif dalam analisis data kualitatif merupakan suatu kategorisasi yang dilahirkan dari perjumpaan peneliti dengan informan di lapangan atau data-data yang ditemukan (Somantri 2005). Gabungan hasil data dan informasi yang telah dikumpulkan selama proses penelitian kemudian dianalisis sejak tahap awal penelitian dengan merunut pada tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data, pengkajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data (Miles et al. 1992).

Subyek Penelitian dan Uraian Kebutuhan Data

(34)

Dinas Pertanian Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Mamasa: penyuluh pertanian; Ketua Kelompok Tani; anggota kelompok tani, Kepala Desa Ballatumuka, tokoh-tokoh agama: ketua majelis gereja; dan anggota masyarakat Desa Ballatumuka yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya pertanian sawah.

Penjelasan terkait dengan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian dipaparkan melalui gambaran ringkas dalam bentuk tabel. Uraian yang dimaksud terdiri dari deskripsi atau rincian/detail data dan informasi yang dibutuhkan, jenis data, serta teknik pengumpulan data yang digunakan. Penyusunan uraian kebutuhan data dan informasi dalam bentuk tabel dilakukan dengan tujuan agar pengumpulan data penelitian tidak terlalu „melenceng‟ jauh dari topik penelitian sebenarnya. Uraian kebutuhan data dalam penelitian ini digambarkan dalam Tabel 1, sebagai berikut.

Tabel 1 Data dan informasi yang dibutuhkan, jenis data, serta teknik pengumpulan data

No. Uraian kebutuhan data dan informasi Jenis data Teknik

pengumpulan data

1.

Aspek (konteks) historis wilayah/lokasi studi: Desa Ballatumuka, berupa sejarah desa, profil desa, kependudukan, letak geografis, iklim

sumberdaya pertanian padi sawah di Desa Ballatumuka

Sejarah kawasan : konteks historis eksistensi kelembagaan pa‟totiboyongan, di Desa Ballatumuka penguasaan atas lahan pertanian di Desa Ballatumuka

Primer

(35)

Sekilas Sejarah Kabupaten Mamasa

Nama Mamasa berasal dari kata dalam bahasa Toraja, yaitu mamase yang artinya “bersikap baik terhadap orang lain” (Buijs 2009). Menurut Buijs (2009), ketika orang-orang mulai mendiami lembah Sungai Mamasa, mereka kagum akan kesuburan tanahnya serta banyaknya binatang buruan. Orang-orang tersebut kemudian menamai diri mereka dengan sebutan tomamase, yang artinya “seorang yang memperoleh belas kasih” (Mandadung 1999). Karena memperoleh „limpahan‟ belas kasih itu pulalah, maka masyarakat Mamasa merasa memiliki kewajiban untuk menyambut para tamu atau pengunjung yang datang ke Mamasa dengan keramahtamahan dan pertolongan. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Mamasa:

“Mamasa itu asal katanya dari kata mamase yang artinya besar kasih. Karena itulah jika ada orang luar yang bertamu juga berkunjung ke Mamasa, kami disini merasa senang. Dengan adanya orang-orang baru yang berkunjung, Mamasa akan lebih dikenal. Maka itu, kami berterimakasih kepada para tamu yang datang dengan menyambutnya sebaik mungkin, juga dijamu dengan sebaik-baiknya.”

Perubahan penyebutan istilah mamase menjadi Mamasa terjadi ketika orang-orang Belanda datang. Perubahan tersebut dikarenakan kata Mamasa dirasa lebih sesuai dengan lidah mereka. Hal ini sesuai dengan pernyataan Buijs dalam bukunya yang berjudul „Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit: Struktur dan Transformasi Agama Orang Toraja di Mamasa Sulawesi Barat‟. Buijs (2009) menyatakan, ketika orang-orang Belanda datang ke daerah ini di awal abad kedua puluh, mereka mengubah namanya menjadi „Mamasa‟, yang lebih sesuai dengan lidah mereka.

Wilayah Mamasa merupakan suatu wilayah adat yang dikenal sebagai Wilayah Kondo Sapata‟ (atau sawah sepetak) Wai Sapalelean (air yang sehamparan). Kondo Sapata‟ Wai Sapalelean memiliki arti sebuah sawah besar yang menjadi satu karena sumber mata air (Buijs 2009). Menurut salah seorang tokoh masyarakat Mamasa, Kondo Sapata‟ Wai Sapalelean adalah istilah lokal untuk menyebut atau menamakan Kabupaten Mamasa sebelum masa kemerdekaan. Selain dikenal dengan nama Kondo Sapata‟ Wai Sapalelean, Mamasa juga dikenal dengan nama Limbong Kalua, yang berarti kolam yang luas. Beberapa nama tersebut merupakan nama yang menandakan karakteristik wilayah Mamasa, yang mengacu pada keberadaan air yang melimpah dan kesuburan tanah (Buijs 2006).

Terdapat beberapa versi mengenai sejarah asal muasal orang-orang Mamasa. Buijs (2009) menguraikan dua versi kisah mitos tentang asal muasal orang-orang Mamasa. Kisah mitos yang pertama, berkaitan dengan perjalanan dan kedatangan seorang tokoh bernama Pongkapadang8 di pusat adat Tabulahan.

8

(36)

Kisah mitos yang kedua, berkaitan dengan asal muasal orang-orang Mamasa dari Torijene‟9

, yang menikah dengan Pongkapadang. Tokoh-tokoh dalam dua versi kisah mitos ini „disatukan‟ dan „dipertemukan‟ oleh sebuah peristiwa musibah air bah atau banjir besar. Pada kedua versi kisah mitos, akhirnya Pongkapadang dan Torijene‟ menikah dan dari perkawinan mereka lahirlah tujuh orang anak. Hal ini seperti yang dituturkan oleh salah seorang pemangku adat (DD):

“Menurut orang tua, Kondo Sapata‟ dulu dipimpin oleh salah seorang, namanya Pongkapadang. Setelah ini Pongkapadang melahirkan tujuh anak. Anak-anaknya ini dia sebarkan di seluruh Kondo Sapata‟.” Akhirnya, anak perempuan Pongkapadang dan Torijene‟ yang keenam melahirkan sebelas orang anak laki-laki. Mitologi tentang sejarah muasal orang-orang Mamasa yang diuraikan Buijs erat dikaitkan dengan Tana Toraja. Cucu-cucu Pongkapadang dan Torijene‟ yang berjumlah sebelas itulah yang kemudian menjadi nenek moyang orang Toraja Mamasa10 (Buijs 2009). Jika dirunut berdasarkan legenda bussu lebokalam, yaitu peristiwa musibah air bah yang menutupi daratan, maka Pongkapadang merupakan keturunan dari Tandayanlangi‟, tepatnya keturunan generasi ke-23 (Demmaroa‟ 2011).

Berdasarkan alur sejarahnya, secara garis besar Mamasa dapat dibagi ke dalam tiga bagian wilayah (Buijs 2009), yaitu:

1. Pitu Ulunna Salu (PUS), antara pegunungan di sebelah barat Sungai Mamasa dan pantai barat;

2. Lembah Sungai Masupu, di bagian timur disebut Tandalangngan, terdiri dari wilayah distrik Tabang, Pana‟, Mamullu, dan Nosu;

3. Lembah Sungai Mamasa, di bagian tengahnya, terdiri dari Balla, Sumarorong, Messawa, dan Tandasau‟.

Terbentuknya Mamasa sebagai sebuah kabupaten tidaklah mudah. Lahirnya Kabupaten Mamasa adalah ibarat sebuah perjalanan panjang. Pada awalnya, menurut Mandadung (1999), ada tiga wilayah daerah yaitu PUS, Mamasa dan Mandar di bawah satu pemerintahan Afdeling Mandar. Pada tahun 1917, Mamasa dan PUS menjadi bagian wilayah kesatuan pemerintahan Onderafdeling Boven Binuang dengan Mamasa sebagai pusatnya, dan Onderafdeling Pitu Ulunna Salu dengan Mambi sebagai pusatnya. Pada tahun 1924 kedua sub-unit pemerintahan ini disatukan di bawa Onderafdeling Boven Binuang en Pitu Ulunna Salu dengan Mamasa sebagai pusatnya (Buijs 2009). Sebelum adanya pemerintahan formal, pemerintahan di Mamasa dipimpin oleh pemimpin tradisional yang dikenal dengan sebutan parengnge‟. Peralihan sistem pemerintahan terjadi pada masa kolonial. Menurut Buijs (2009), peralihan dari pemerintahan tradisional kepada pemerintahan kolonial berjalan tanpa kendala karena para pemimpin tradisional, parengnge‟, dari kasta bangsawan, disatukan oleh Belanda di bawah sistem pemerintahannya.

Perjalanan panjang terbentuknya Kabupaten Mamasa diawali dengan adanya rapat atau dialog akbar yang dilakukan dan dihadiri oleh para kepala distrik (parengnge‟) serta tokoh-tokoh masyarakat se-Onderafdeling Boven

9Torijene‟ adalah sebuah nama yang memiliki arti seorang perempuan yang berasal dari air.

10

(37)

Binuang en Pitu Ulunna Salu. Rapat akbar ini menjajaki kemungkinan dibentuknya suatu swapraja baru untuk daerah tersebut, yang nantinya swapraja baru ini dikenal sebagai Swapraja Kondo Sapata‟ (Mandadung 2005). Pembentukan swapraja baru tersebut didasarkan pada Surat Menteri Dalam Negeri Negara Indonesia Timur (NIT) pada tanggal 17 Juli 1949 No. BZ.2/1/17.

„Riwayat‟ Swapraja Kondo Sapata‟ berakhir pada tahun 1953 setelah NIT dibubarkan berdasarkan undang-undang yang berlaku saat itu. Setelah pembubaran tersebut, terbentuklah Kawedanaan Mamasa yang berlangsung selama lima tahun, yaitu hingga tahun 1958. Setahun setelahnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 tahun 1959, dibentuklah Kabupaten Daerah Tingkat II Polewali Mamasa. Seharusnya Kawedanaan Mamasa sudah menjadi Daerah Tingkat II Mamasa pada saat itu, setara dengan Kawedanaan Mamuju dan Kawedanaan Majene, namun Kawedanaan Mamasa malah digabung dengan Kawedanaan Polewali menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Polewali Mamasa (Mandadung 2005).

Penggabungan tersebut terjadi karena pada masa perubahan status kawedanaan menjadi daerah kabupaten daerah tingkat II, terjadi masalah antara Kawedanaan Mamasa dan Kawedanaan Polewali, yang akhirnya memuncak pada 31 Agustus 1958 dengan dikosongkannya Kawedanaan Mamasa oleh petugas keamanan yang kemudian berpindah ke Polewali. Menurut Mandadung dalam tulisannya tentang keunikan budaya Mamasa, selain petugas keamanan, pemerintah sipil pun ikut pindah ke Polewali. Perpindahan petugas keamanan dan pemerintah sipil ke Polewali menyebabkan terputusnya hubungan antara Kawedanaan Mamasa dan Kawedanaan Polewali, baik itu hubungan lalu lintas maupun hubungan pemerintahan dan komunikasi. Hubungan Mamasa dan Polewali baru mulai terbuka kembali pada tahun 1961 ketika Bupati Daerah Tingkat II Polewali Mamasa yang pertama memerintah (Mandadung 2005).

Setahun setelah terbentuknya Kabupaten Daerah Tingkat II Polewali Mamasa, yaitu pada tahun 1962, masyarakat eks-Kawedanaan Mamasa menuntut pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Mamasa. Tuntutan tersebut baru memperoleh „restu‟ melalui S.K. BKDH TK II Polmas No 06/SK/BP/1966 pada tanggal 17 Mei 1966. Berdasarkan „restu‟ tersebut, terbentuklah panitia penuntut Kabupaten Mamasa. Realisasi dari pembentukan panitia penuntut Kabupaten Daerah Tingkat II Mamasa hanya sampai pada tingkat pembentukan delegasi-delegasi yang dikirim ke tingkat provinsi dan tingkat pusat, tanpa membuahkan hasil. Hingga pada tahun 1971, panitia dengan para delegasinya pun vakum tanpa dibubarkan. Perjuangan yang sama muncul kembali pada tahun 1987, melalui surat panitia penuntut Daerah Tingkat II Mamasa Nomor 08/Pn/II/88 pada tanggal 19 April 1988 (Mandadung 2005). Namun, realisasi dari perjuangan ini pun tidak membuahkan hasil yang diharapkan.

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran
Tabel 1  Data dan informasi yang dibutuhkan, jenis data, serta teknik
Tabel 2  Jumlah penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Mamasa Tahun 2010
Tabel 3  Tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Mamasa
+7

Referensi

Dokumen terkait

pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sabagai berikut: a) Pendapatan rata-rata yang diperoleh responden petani padi sawah di Subak Baturiti

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dalam penulisan tesis ini dapat ditarik kesimpulan sebagai

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya,maka penulis dapat menarik kesimpulan tentang implementasi kebijakan pemekaran desa dalam

Berdasarkan uraian yang telah diungkapkan pada pembahasan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1)Rata-rata curahan waktu kerja wanita buruh tani padi

Berasarkan hasil penelitian di lapangan dan pembahasan pada bagian sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pelaksanaan strategi pengelolaan Badan Usaha

Berdasarkan hasil analisis data yang menggunakan teknik analisis linier berganda dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan manajemen

Penggunaan faktor-faktor produksi dalam usahatani padi sawah di Desa Biangkeke Kecamatan Pa’jukukang Kabupaten Bantaeng untuk penelitian ini hanya di batasi pada

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka peran perangkat desa dalam Akuntabilitas pengelolaaan keuangan desa di desa