• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kalimantan Barat 2,243,740 2,149,499 4,393,239

1 . Sa ra na Air Be rsih ya ng Diguna k a n da n Ak se s Air M inum ya ng Am a n

Berdasarkan data profil kesehatan provinsi tahun 2009 dapat diketahui persentase keluarga menurut jenis sarana air bersih yang digunakan. Secara nasional, persentase tertinggi jenis sarana air bersih yang digunakan adalah sumur gali (45,41%), diikuti ledeng (27,36%), sumur pompa tangan (10,11%), penampungan air hujan (3,49%), air kemasan (2,29%), serta lain-lain (11,30%). Rincian persentase keluarga menurut jenis sarana air bersih yang digunakan dapat dilihat dalam Lampiran 2.12.

Proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap sarana air minum yang aman secara nasional adalah 47,71%, sedangkan menurut wilayah, akses air minum yang aman di perkotaan 49,82% dan di perdesaan 45,72%. Persentase tertinggi akses air minum yang aman terdapat di DI Yogyakarta (60,4%), Bali (60,0%), dan Sulawesi Tenggara (59,1%). Sedangkan yang terendah terdapat di Banten (27,5%), Aceh (30,6%) dan Bengkulu (33.0%)

Gambaran persentase akses air minum yang aman menurut provinsi dapat dilihat dalam Gambar 2.13 di bawah ini.

GAMBAR 2.13

PERSENTASE AKSES AIR MINUM YANG AMAN DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen P2PL, 2010

Secara rinci proporsi keluarga yang memiliki akses terhadap air minum yang aman menurut wilayah (perkotaan dan perdesaan) dan provinsi dapat dilihat dalam Lampiran 2.13.

21

2 . Sa ra na da n Ak se s t e rha da p Sa nit a si Da sa r

Berdasarkan data profil kesehatan provinsi tahun 2009 dapat diketahui persentase keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar. Secara nasional, persentase tertinggi akses keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar adalah kepemilikan terhadap jamban (81,03%), kepemilikan pengelolaan air limbah (73,37%) serta kepemilikan tempat sampah (72,55%). Dari seluruh sarana sanitasi dasar tersebut yang memiliki kriteria jamban sehat 55,72%, pengelolaan air limbah sehat 55,30% dan tempat sampah sehat 53,46%. Rincian persentase keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar dan sehat menurut provinsi dapat dilihat dalam Lampiran 2.14.

Proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap sanitasi dasar yang layak secara nasional sebesar 51,19%, sedangkan menurut wilayah, persentase akses sanitasasi dasar yang layak sebesar 69,51% di perkotaan dan 33,96% di wilayah perdesaan.

GAMBAR 2.14

PERSENTASE AKSES SANITASI DASAR YANG LAYAK DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen P2PL, 2010

Secara rinci proporsi keluarga yang memiliki akses terhadap sanitasi dasar yang layak menurut wilayah dan provinsi dapat dilihat dalam Lampiran 2.15.

22

3 . Rum a h Se ha t

Berdasarkan profil kesehatan provinsi tahun 2009, persentase rumah sehat secara nasional sebesar 63.49%.Provinsi yang memiliki persentase tertinggi adalah DKI Jakarta (91,13%), Riau (81,51%) dan Bali (77,85%). Provinsi dengan persentase rumah sehat yang rendah adalah Sulawesi Barat (35,21%), Papua (43,61%) dan Nusa Tenggara Timur (50,54%).

GAMBAR 2.15

PERSENTASE RUMAH SEHAT DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Tahun 2009

Persentase rumah sehat menurut provinsi secara rinci (data dari 429 kab/kota) disajikan pada Lampiran 2.16.

4 . T e m pa t U m um da n Pe nge lola a n M a k a n (T U PM ) Se ha t

Berdasarkan data profil kesehatan provinsi tahun 2009 dapat diketahui gambaran tempat-tempat umum dan pengelolaan makanan yang sehat. Secara nasional, dari keseluruhan TUPM, maka yang sudah diperiksa dan dinyatakan sehat sebesar 64,84%. Sedangkan menurut jenis TUPM, persentase TUPM sehat yang tertinggi adalah hotel sehat (84,58%), restoran/rumah makan sehat (70,69%), pasar sehat (54,78%). dan TUPM lainnya (63,25%).

Rincian persentase tempat-tempat umum dan pengelolaan makanan yang sehat menurut provinsi dapat dilihat dalam Lampiran 2.17.

23

5 . I nst it usi Dibina K e se ha t a n Lingk unga nnya

Berdasarkan data profil kesehatan provinsi tahun 2009 dapat diketahui gambaran institusi yang diberikan pembinaan kesehatan lingkungan seperti institusi sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana ibadah, perkantoran, dan sarana lainnya. Secara nasional, dari keseluruhan institusi yang ada telah dilakukan pembinaan terhadap kesehatan lingkungan sebesar 64,41%. Sedangkan menurut jenis institusi, persentase tertinggi institusi yang dibina kesehatan lingkungannya adalah sarana kesehatan (77,02%), sarana pendidikan (67,52%), perkantoran (59,15%), sarana ibadah (58,84%) dan sarana lainnya (62,26%). Rincian persentase institusi dibina kesehatan lingkungannya menurut provinsi dapat dilihat dalam Lampiran 2.18.

6 . Rum a h/Ba nguna n ya ng Dipe rik sa da n Be ba s J e nt ik N ya m uk

Ae de s

Berdasarkan profil kesehatan provinsi tahun 2009, dari keseluruhan rumah/bangunan yang ada, sudah dilakukan pemeriksaan terhadap 26% rumah/bangunan. Dari seluruh rumah/bangunan yang diperiksa maka rumah/bangunan yang sudah dinyatakan bebas jentik nyamuk Aedes sebesar 77,08%. Provinsi yang persentase bebas jentik nyamuk Aedes tertinggi adalah DKI Jakarta (89,08%), Bali (87,98%) dan Banten (87,44%). Sedangkan yang terendah persentasenya yaitu NTT (39,82%), Papua (46,23%) dan Bengkulu (47,22%).

GAMBAR 2.16

PERSENTASE RUMAH BEBAS JENTIK NYAMUK AEDES DI INDONESIA TAHUN 2009

24

Persentase rumah/bangunan yang diperiksa dan bebas jentik nyamuk Aedes menurut provinsi (data dari 322 kabupaten/kota) secara rinci disajikan pada Lampiran 2.19.

E. K EADAAN PERI LAK U M ASY ARAK AT

Untuk menggambarkan keadaan perilaku masyarakat yang berpengaruh terhadap kesehatan, akan disajikan beberapa indikator yaitu perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan usia wanita perkawinan pertama.

1 . Pe rila k u H idup Be rsih da n Se ha t (PH BS)

Berdasarkan profil kesehatan provinsi tahun 2009, persentase rumah tangga yang ber-Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) secara nasional sebesar 48,41%. Provinsi yang memiliki persentase tertinggi adalah Jawa Tengah (88,57%), DI Yogyakarta (87,38%) dan Kalimantan Timur (79,73%). Provinsi dengan persentase PHBS yang rendah adalah Sumatera Barat (17,97%), Banten (21,37%) dan Papua Barat (27,34%).

GAMBAR 2.17

PERSENTASE RUMAH TANGGA BERPERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Tahun 2009

Persentase rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat yang baik menurut provinsi secara rinci (data dari 373 kab/kota) disajikan pada Lampiran 2.20.

2 . U m ur Pe rk a w ina n Pe rt a m a

Umur perkawinan pertama adalah umur pada saat wanita melakukan perkawinan secara hukum dan biologis yang pertama kali.

25

Secara nasional, umur wanita yang menikah/kawin yang pertama kali paling banyak terjadi pada umur 19-24 tahun sebesar 41,33%, kemudian persentase cukup banyak terjadi pula pada umur yang relatif masih remaja (16-18 tahun) sebesar 33,41%.

GAMBAR 2.18

PERSENTASE WANITA MENURUT UMUR PERKAWINAN PERTAMA DI INDONESIA TAHUN 2009

Persentase wanita menurut umur perkawinan pertama menurut provinsi secara rinci disajikan pada Lampiran 2.21.

***

27

Derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berasal dari sektor kesehatan seperti pelayanan kesehatan dan ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan, melainkan juga dipengaruhi faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial, keturunan, dan faktor lainnya.

Situasi derajat kesehatan masyarakat dapat tercermin melalui angka morbiditas, mortalitas dan status gizi. Pada bab berikut ini situasi derajat kesehatan di Indonesia digambarkan melalui Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita (AKABA), Angka Kematian Ibu (AKI), dan angka morbiditas beberapa penyakit.

A. M ORT ALI T AS

Mortalitas merupakan angka kematian yang terjadi pada kurun waktu dan tempat tertentu yang diakibatkan oleh keadaan tertentu, dapat berupa penyakit maupun sebab lainnya. Angka kematian yang disajikan pada bab ini yaitu AKB, AKABA, AKI, dan Angka Kematian Kasar.

1 . Angk a K e m a t ia n Ba yi (AK B)

Angka Kematian Bayi (AKB) dapat didefinisikan sebagai banyaknya bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama.

AKB merupakan indikator yang biasanya digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu banyak upaya kesehatan yang dilakukan dalam rangka menurunkan AKB.

GAMBAR 3.1

ESTIMASI ANGKA KEMATIAN BAYI PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP DI INDONESIA TAHUN 1991 S.D TAHUN 2007

28

Sumber: BPS, Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007

Menurut hasil SDKI terjadi penurunan AKB sejak tahun 1991. Pada tahun 1991 diestimasikan AKB sebesar 68 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan hasil SDKI 2007 mengestimasikan AKB sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Hasil estimasi tersebut memperhitungkan Angka Kematian Bayi dalam periode 5 tahun terakhir sebelum survei, misalnya pada SDKI tahun 2007 diperoleh AKB untuk periode 5 tahun sebelumnya yaitu tahun 2003-2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup.

Berbagai faktor dapat menyebabkan adanya penurunan AKB seperti yang ditampilkan pada gambar di atas, diantaranya pemerataan pelayanan kesehatan berikut fasilitasnya. Hal ini disebabkan AKB sangat sensitif terhadap perbaikan pelayanan kesehatan. Selain itu, perbaikan kondisi ekonomi yang tercermin dengan pendapatan masyarakat yang meningkat juga dapat berkontribusi melalui perbaikan gizi yang berdampak pada daya tahan terhadap infeksi penyakit.

Hasil SDKI tahun 2007 juga mengestimasikan AKB pada tingkat provinsi. Provinsi dengan AKB terendah adalah DI Yogyakarta sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup, diikuti Aceh sebesar 25 per 1.000 kelahiran hidup, dan Kalimantan Timur serta Jawa Tengah sebesar 26 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKB tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 74 per 1.000 kelahiran hidup, diikuti oleh Nusa Tenggara Barat sebesar 72 per 1.000 kelahiran hidup dan Sulawesi Tengah sebesar 60 per 1.000 kelahiran hidup. Gambaran AKB per provinsi dapat dilihat pada Gambar 3.2 berikut. Rincian AKB menurut provinsi di Indonesia terdapat pada Lampiran 3.1.

GAMBAR 3.2

ESTIMASI ANGKA KEMATIAN BAYI PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2007

Sumber: BPS, Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007

29

2 . Angk a K e m a t ia n Ba lit a (AK ABA)

Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun yang dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup. AKABA merepresentasikan peluang terjadinya kematian pada fase antara kelahiran dan sebelum umur 5 tahun.

Millenium Development Goals (MDGs) menetapkan nilai normatif AKABA, yaitu sangat tinggi dengan nilai > 140, tinggi dengan nilai 71-140, sedang dengan nilai 20-70 dan rendah dengan nilai < 20. SDKI tahun 2007 mengestimasikan nilai AKABA sebesar 44 per per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini merupakan estimasi untuk periode 5 tahun sebelum survei (2003-2007).

GAMBAR 3.3

ANGKA KEMATIAN BALITA (AKABA) PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP DI INDONESIA TAHUN 1991 – 2007

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008

Berdasarkan estimasi terhadap nilai AKABA pada tingkat provinsi, diketahui bahwa provinsi dengan AKABA terendah terdapat di Provinsi DI Yogyakarta sebesar 22 per 1.000 kelahiran hidup, diikuti oleh Jawa Tengah sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup dan Kalimantan Tengah sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan provinsi dengan AKABA tertinggi adalah Sulawesi Barat sebesar 96 per 1.000 kelahiran hidup, diikuti oleh Maluku sebesar 93 per 1.000 kelahiran hidup dan Nusa Tenggara Barat sebesar 92 per 1.000 kelahiran hidup. Gambaran AKABA menurut provinsi dapat dilihat pada gambar berikut.

30

GAMBAR 3.4

ESTIMASI ANGKA KEMATIAN BALITA PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2007

Sumber : BPS, Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007

3 . Angk a K e m a t ia n I bu (AK I )

Angka Kematian Ibu (AKI) juga menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. AKI menggambarkan jumlah wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup.

AKI juga dapat digunakan dalam pemantauan kematian terkait dengan kehamilan. Indikator ini dipengaruhi status kesehatan secara umum, pendidikan dan pelayanan selama kehamilan dan melahirkan. Sensitifitas AKI terhadap perbaikan pelayanan kesehatan menjadikannya indikator keberhasilan pembangunan sektor kesehatan.

AKI mengacu pada jumlah kematian ibu yang terkait dengan masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2007 menyebutkan bahwa AKI untuk periode 5 tahun sebelum survei (2003-2007) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini lebih rendah dibandingkan AKI hasil SDKI tahun 2002-2003 yang mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup.

Pada Gambar 3.5 berikut nampak adanya kecenderungan penurunan AKI sejak tahun 1994 sampai dengan tahun 2007.

31

GAMBAR 3.5

ANGKA KEMATIAN IBU (PER 100.000 KELAHIRAN HIDUP) DI INDONESIA TAHUN 1994-2007

Sumber : Badan Pusat Statistik,2008

4 . Angk a K e m a t ia n K a sa r (AK K )

Angka kematian kasar adalah jumlah kematian yang terjadi pada suatu waktu dan tempat tertentu per 1.000 penduduk pada pertengahan tahun. Estimasi Angka Kematian Kasar (AKK) berdasarkan hasil SUPAS 2005, menyebutkan bahwa AKK tahun 2007 sebesar 6,9 per 1.000 penduduk.

5 . Angk a K e m a t ia n di Rum a h Sa k it

Tabel berikut ini menyajikan 10 penyebab kematian terbanyak pada penderita rawat inap di rumah sakit pada tahun 2008.

TABEL 3.1

10 PENYAKIT UTAMA PENYEBAB KEMATIAN DI RUMAH SAKIT DI INDONESIA TAHUN 2008

No Golongan Sebab Sakit Pasien Mati

CFR (%)

1 Penyakit Sistem Sirkulasi Darah 23.163 11,06 2 Penyakit Infeksi dan Parasit Tertentu 16.769 2,89 3 Kondisi Tertentu yang Bermula pada Masa Perinatal 9.108 9,74

4 Penyakit Sistem Napas 8,190 3,99

5 Penyakit Sistem Cerna 6.825 2,91

6 Cedera, Keracunan, dan Akibat Sebab Luar Tertentu Lainnya 5.767 2,99 7 Penyakit Endokrin, Nutrisi, dan Metabolik 5.585 6,73 8 Penyakit Sistem Kemih Kelamin 4.542 3,56

9 Neoplasma 4.332 4,70

10 Gejala, Tanda & Penemuan Laboratorium, Klinik

Abnormal YTK 4.238 2,80

32

Berdasarkan informasi pada tabel di atas, penyakit sistem sirkulasi darah merupakan penyakit yang menempati urutan teratas sebagai penyakit utama penyebab kematian di rumah sakit pada tahun 2008. Penyakit sistem sirkulasi darah pada tahun 2008 menyebabkan kematian sebanyak 23.163 orang dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 11,06%.

6 . U m ur H a ra pa n H idup Wa k t u La hir

Derajat kesehatan masyarakat juga dapat diukur dengan melihat besarnya Umur Harapan Hidup Waktu Lahir (UHH). Selain itu, UHH juga menjadi salah satu indikator yang diperhitungkan dalam menilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kondisi UHH di Indonesia dalam kurun waktu 2006-2008 menunjukkan peningkatan.

Berdasarkan data BPS, UHH di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 69 tahun, sedangkan pada tahun 2006 dan 2007 sebesar 68,5 tahun dan 68,7 tahun. Salah satu faktor yang berperan dalam peningkatan UHH adalah upaya di bidang kesehatan sebagai bagian dari pembangunan kesehatan.

Pada tahun 2008, provinsi dengan UHH tertinggi adalah DI Yogyakarta, yaitu sebesar 73,1 yang diikuti oleh DKI Jakarta sebesar 72,9 dan Sulawesi Utara sebesar 72,0 tahun. Sedangkan, UHH terendah terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebesar 61,5 tahun, yang diikuti oleh Kalimantan Selatan sebesar 63,1 tahun dan Banten sebesar 64,6 tahun. Gambaran UHH pada tahun 2007 dan 2008 menurut provinsi terdapat pada Lampiran 3.2.

GAMBAR 3.6

UMUR HARAPAN HIDUP WAKTU LAHIR MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2008

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa UHH merupakan salah satu komponen dalam memformulasikan IPM. Berikut ini ditampilkan peringkat IPM 33 provinsi di Indonesia tahun 2008 yang disertai dengan nilai IPM.

33

GAMBAR 3.7

NILAI IPM MENUURT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2008

Sumber: BPS, 2010

Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa provinsi dengan IPM tertinggi adalah DKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan Riau. Sedangkan provinsi dengan IPM terendah adalah Papua, diikuti oleh Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

B. M ORBI DI T AS

Morbiditas dapat diartikan sebagai angka kesakitan, baik insiden maupun prevalen dari suatu penyakit. Morbiditas menggambarkan kejadian penyakit dalam suatu populasi pada kurun waktu tertentu. Morbiditas juga berperan dalam penilaian terhadap derajat kesehatan masyarakat.

1 . Pola 1 0 Pe nya k it T e rba nya k di Rum a h Sa k it

Pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit tahun 2009 menurut Daftar Tabulasi Dasar (DTD) menunjukkan bahwa kasus terbanyak merupakan penyakit infeksi saluran napas bagian atas akut lainnya dengan jumlah total kasus 488.794. Rincian mengenai 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di Rumah Sakit dapat dilihat pada tabel berikut.

34

TABEL 3.2

POLA 10 BESAR PENYAKIT TERBANYAK PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT DI INDONESIA TAHUN 2009

No Daftar Tabulasi dasar (DTD) Kasus Total Kasus

Jumlah Kunjungan Laki-Laki Perempuan

1 Infeksi saluran nafas bagian atas akut

lainnya 243.578 245.216 488.794 781.881

2 Demam yang sebabnya tidak

diketahui 143.167 132.087 275.254 358.942

3 Penyakit kulit dan jaringan subkutan

lainnya 99.303 147.953 247.256 371.673

4

Diare & gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu (kolitis infeksi)

88.275 83.738 172.013 223.318

5 Gangguan refraksi dan akomodasi 67.231 89.429 156.660 203.021

6 Dispepsia 55.817 77.345 133.162 220.375

7 Hipertensi esensial (primer) 55.446 67.823 123.269 412.364 8 Penyakit pulpa dan periapikal 54.004 68.463 122.467 234.083 9 Penyakit telinga dan prosesus

mastoid 53.463 52.142 105.605 153.488

10 Konjungtivitis dan gangguan lain

konjungtiva 46.380 52.815 99.195 135.749

Sumber: Ditjen Bina Yanmedik, Kemenkes RI, 2009

Sedangkan pada pasien rawat inap, pola gambaran 10 penyakit terbanyak menunjukkan pola yang sedikit berbeda. Diare dan Gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu (kolitis infeksi) memiliki jumlah kasus terbanyak yaitu 143.696 kasus.

TABEL 3.3

POLA 10 PENYAKIT TERBANYAK PADA PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT DI INDONESIA TAHUN 2009

No Daftar Tabulasi Dasar (DTD) Kasus Total Kasus Meninggal CFR (%) Laki-Laki Perempuan

1

Diare & gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu (kolitis infeksi)

74.161 69.535 143.696 1.747 1,22

2 Demam berdarah dengue 60.705 60.629 121.334 898 0,74

3 Demam tifoid dan paratifoid 39.262 41.588 80.850 1.013 1,25 4 Demam yang sebabnya tidak

diketahui 24.957 24.243 49.200 462 0,94

5 Dispepsia 18.807 28.497 47.304 520 1,10

6 Hipertensi esensial (primer) 15.533 21.144 36.677 935 2,55 7 Infeksi saluran napas bagian

atas akut lainnya 19.115 16.933 36.048 162 0.45

8 Pneumonia 19.170 16.477 35.647 2.365 6,63

9 Penyakit apendiks 13.920 16.783 30.703 234 0,76

10 Gastritis dan duodenitis 12.758 17.396 30.154 235 0,78 Sumber: Ditjen Bina Yanmedik, Kemenkes RI, 2009

35

Berdasarkan CFR, penyakit yang memiliki CFR paling tinggi di antara 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di RS adalah Pneumonia sebesar 6,63%. Sedangkan penyakit dengan CFR terendah adalah Infeksi Saluran Napas Bagian Atas Akut Lainnya sebesar 0,45%.

2 . Pe nya k it M e nula r

a. Malaria

Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang upaya pengendaliannya menjadi komitmen global dalam Millenium Development Goals (MDGs). Malaria disebabkan oleh hewan bersel satu (protozoa) Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Wilayah endemis malaria pada umumnya adalah desa-desa terpencil dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, sarana transportasi dan komunikasi yang sulit, akses pelayanan kesehatan kurang, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat yang rendah, serta buruknya perilaku masyarakat terhadap kebiasaan hidup sehat.

Ditjen PP&PL Kementerian Kesehatan telah menetapkan stratifikasi endemisitas malaria suatu wilayah di Indonesia menjadi 4 strata yaitu :

1. Endemis Tinggi bila API > 5 per 1.000 penduduk.

2. Endemis Sedang bila API berkisar antara 1 – < 5 per 1.000 penduduk.

3. Endemis Rendah bila API 0 - 1 per 1.000 penduduki.

4. Non Endemis adalah daerah yang tidak terdapat penularan malaria (Daerah

pembebasan malaria) atau API = 0.

GAMBAR 3.8

STRATIFIKASI ENDEMISITAS MALARIA DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

API nasional pada tahun 2009 adalah 1,85 per 1.000 penduduk dengan kisaran provinsi 0,02- 27,66 per 1.000 penduduk. Angka ini jauh menurun dibandingkan API tahun 1990 yaitu 4.68 per 1.000 penduduk. Dihubungkan dengan target pencapaian MDGs, angka API 2009 sudah memenuhi target.

Kasus malaria klinis tahun 2009 di Indonesia dilaporkan sebanyak 1.143.024 kasus. Sebesar 75,5% dari kasus tersebut diperiksa sediaan darahnya, dan dihasilkan 23,1% sediaan darah yang positif. Relatif tingginya cakupan pemeriksaan sediaan darah di

36

laboratorium tersebut merupakan pelaksanaan kebijakan nasional pengendalian malaria dalam mencapai eliminasi malaria, yaitu semua kasus malaria klinis harus dikonfirmasi laboratorium.

GAMBAR 3.9

ANNUAL PARASITE INCIDENCE MALARIA (‰)

DI JAWA BALI TAHUN 2004 – 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Indikator untuk upaya penemuan penderita di wilayah Jawa-Bali menggunakan Annual Parasite Incidence (API) atau Angka Parasit Malaria per 1.000 penduduk. Pada tahun 2009 API Jawa-Bali sebesar 0,17 per 1.000 penduduk. Angka ini telah mencapai target yang ditentukan, yaitu di bawah 0,25 per 1.000 penduduk. Pada gambar di atas nampak bahwa dari tahun 2004-2009, API senantiasa memenuhi target.

GAMBAR 3.10

ANNUAL MALARIA INCIDENCE (‰)

DI LUAR JAWA BALI TAHUN 2004 – 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Upaya pengendalian malaria untuk wilayah di luar Jawa-Bali menggunakan Annual Malaria Incidence (AMI). Pada gambar di atas nampak bahwa AMI di wilayah luar Jawa-Bali pada tahun 2005-2009 menunjukkan kecenderungan penurunan. Pada tahun 2005 AMI di luar Jawa-Bali sebesar 24,75 per 1.000 penduduk. Angka ini terus turun hingga 12,27 per 1.000 penduduk pada tahun 2009. Namun, pada tahun 2004-2009 pencapaian AMI masih belum

37

memenuhi target, karena pada kurun waktu tersebut AMI berada di atas target yang telah ditentukan. Rincian API dan AMI menurut provinsi tahun 2009 dapat dilihat pada Lampiran 3.5. b. TB Paru

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil TB. Bersama dengan Malaria dan HIV/AIDS, TB menjadi salah satu penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam MDGs

Salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TB adalah Case Detection Rate (CDR), yaitu proporsi jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Kementerian Kesehatan menetapkan target CDR minimal pada tahun 2009 sebesar 70%. Berikut ini disajikan pencapaian CDR menurut provinsi tahun 2009.

GAMBAR 3.11

CAKUPAN CASE DETECTION RATE (CDR) TB DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Pencapaian CDR pada tahun 2009 sebesar 73,1%. Angka ini telah memenuhi target minimal yang telah ditetapkan yaitu sebesar 70%. Pada tingkat provinsi, CDR tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara sebesar 85,2%, diikuti DKI Jakarta sebesar 81% dan Banten sebesar 77,7%. Sedangkan provinsi dengan CDR terendah adalah Kalimantan Tengah sebesar 30,6% diikuti oleh Kalimantan Timur sebesar 31,1% dan Kepulauan Riau sebesar 32,3%. Pada gambar di atas nampak bahwa terdapat 5 provinsi yang telah memenuhi target CDR 70%, yaitu Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Banten, Maluku, dan Jawa Barat.

Dalam mengukur keberhasilan pengobatan TB digunakan Angka Keberhasilan Pengobatan (SR=Success Rate) yang mengindikasikan persentase pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan, baik yang sembuh maupun yang menjalani pengobatan lengkap diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. Success Rate dapat membantu dalam mengetahui kecenderungan meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut. Berikut ini ditampilkan SR tahun 2004-2008.

38

GAMBAR 3.12

SUCCESS RATE (SR) TB

DI INDONESIA TAHUN 2004-2008

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa pencapaian Success Rate (SR) pada tahun 2004-2008 telah memenuhi target 85%. Namun demikian terjadi penurunan Success Rate (SR) dari 91% pada tahun 2005 menjadi 87,6% pada tahun 2006. Angka ini kemudian kembali naik menjadi 91% pada tahun 2007 dan 2008. Gambaran kasus TB dan keberhasilan pengobatannya dapat dilihat pada Lampiran 3.7, 3.8, 3.9 dan 3.10.

c. HIV & AIDS

HIV & AIDS disebabkan oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain. Penyakit ini ditularkan melalui cairan tubuh penderita yang terjadi melalui proses hubungan seksual, transfusi darah, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi secara bergantian, dan penularan dari ibu ke anak dalam kandungan melalui plasenta dan kegiatan menyusui.

Kasus HIV dan AIDS menunjukkan trend peningkatan setiap tahun. Sampai dengan

Dokumen terkait