• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009 - [BUKU]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009 - [BUKU]"

Copied!
327
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PROFIL

KESEHATAN INDONESIA

2009

KEMENTERIAN KESEHATAN R.I.

JAKARTA

2010

ISBN 978-602-8937-18-4 351.770212

(3)

Katalog Dalam Terbitan Kementerian Kesehatan RI

Ind Indonesia. Kementerian Kesehatan. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi

Profil Kesehatan Indonesia 2009. - - Jakarta :

P Kementerian Kesehatan RI 2010

I. Judul 1. PROFIL KESEHATAN INDONESIA 2009

Buku ini diterbitkan oleh

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Jalan HR. Rasuna Said Blok X-5 Kav 4-9, Jakarta 12950 Telepon no: 62-21-5229590, 5221432

Fax no: 62-21-5203874

E-mail: pusdatin@depkes .go.id

Web site: http://www.depkes.go.id

________________________________________________________________________

ISBN 978-602-8937-18-4 351.770212

(4)

TIM PENYUSUN

Pengarah

dr. Ratna Rosita, MPH.M Sekretaris Jenderal Kemenkes RI

Ketua dr. Jane Soepardi

Kepala Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi

Editor

Hasnawati, SKM, MKes drg. Vensya Sitohang, MEpid Dra. Rahmaniar Brahim, Apt, MKes

Anggota

Sunaryadi, SKM,MKes; Iskandar Zulkarnain, SKM,MKes; Nuning Kurniasih, Apt,MSi; Marlina Indah Susanti, SKM; Supriyono Pangribowo, SKM; Istiqomah, SS; Athi Susilowati Rois, SKM; drg. Rudi Kurniawan, MKes; Margiyono, SKom;

Muslichatul Hidayah, Hanna Endang Wahyuni; Endang Kustanti; B.B. Sigit; Sondang Tambunan; Hellena Maslinda; Doni Hadhi Kurnianto, SKom

Kontributor

dr. Leni Evanita; Lina Khasanah; dr. Rusmiyati, MQIH; Indah Susanti D,SSi,Apt; dr. Lucas C Hermawan, MKes; Ingrat Padmosari; Mahmud Fauzi, SKM,MKes;

Linda Siti Rohaeti; drg. R. Edi Setiawan: Akhmad Rizky Taufik, SKom;

Ir. Ade Sutrisno,MKes; Astuti, SKM,MKes; dr. Theresia Hermin; Bunga Mayung DL ; Dewi Minarni; Cipto Aris Purnomo; Indah Hartati; Heri Radison, SKM,MKM;

(5)
(6)
(7)
(8)

i

D

(9)
(10)
(11)
(12)

v

KATA PENGANTAR i

SAMBUTAN SEKRETARIS JENDERAL iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR LAMPIRAN vii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II GAMBARAN UMUM DAN PERILAKU PENDUDUK 5

A. Keadaan Penduduk 6

B. Keadaan Ekonomi 9

C. Keadaan Pendidikan 14

D. Keadaan Lingkungan 19

E. Keadaan Perilaku Masyarakat 24

BAB III SITUASI DERAJAT KESEHATAN 26

A. Mortalitas 27

B. Morbiditas 33

BAB IV SITUASI UPAYA KESEHATAN 58

A. Pelayanan Kesehatan Dasar 59

B. Pelayanan Kesehatan Rujukan 83

C. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit 88

D. Perbaikan Gizi Masyarakat 106

E. Pelayanan Kesehatan dalam Situasi Bencana 115

BAB V SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN 117

A. Sarana Kesehatan 118

B. Tenaga Kesehatan 133

C. Pembiayaan Kesehatan 137

(13)

vi

BAB VI PERBANDINGAN INDONESIA DENGAN NEGARA ANGGOTA

ASEAN DAN SEARO 143

A. Kependudukan 144

B. Derajat Kesehatan 154

C. Upaya Kesehatan 164

DAFTAR PUSTAKA 170

LAMPIRAN

(14)

vii

Lampiran 2.7 Garis Kemiskinan Menurut Provinsi dan Daerah Tahun 2009 (Maret

2009)

Lampiran 2.8 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi dan Daerah

Tahun 2009

Lampiran 2.12 Persentase Keluarga Menurut Jenis Sarana Air Bersih yang Digunakan

(15)

viii

Lampiran 3.6 Annual Parasite Incidence (API) Malaria di Jawa-Bali Tahun 2004 -

2009

Lampiran 3.7 Hasil Cakupan Penemuan Kasus Penyakit TB Paru Tahun 2009

Lampiran 3.8 Jumlah Kasus Baru TB Paru BTA Positif Menurut Jenis Kelamin dan

(16)

ix

Lampiran 3.28 Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare Menurut Provinsi Tahun 2005 - 2009

Lampiran 3.29 Jumlah Kasus Demam Chikungunya Menurut Provinsi Tahun 2009

Lampiran 4.2 Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran Terakhir dan Provinsi

Tahun 2009

Lampiran 4.3 Cakupan Kunjungan Neonatus, Pelayanan Kesehatan Bayi dan Anak

Balita Menurut Provinsi Tahun 2009

Lampiran 4.4 Cakupan Pelayanan Kesehatan Bayi, Anak Balita, dan Murid SD Kelas 1

dan Sederajat Menurut Provinsi Tahun 2009

Lampiran 4.5 Cakupan Penanganan Neonatal dan Obstetri Komplikasi Menurut

(17)

x

Lampiran 4.6 Jumlah dan Persentase Peserta KB Aktif Menurut Metode Kontrasepsi

dan Provinsi Tahun 2009

Lampiran 4.13 Cakupan Imunisasi TT pada Ibu Hamil Menurut Provinsi Tahun 2009

Lampiran 4.14 Cakupan Imunisasi TT pada Wanita Usia Subur Menurut Provinsi Tahun

2009

Lampiran 4.15 Jumlah Kunjungan Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Menurut Provinsi

Tahun 2008

Lampiran 4.16 Indikator Pelayanan Rumah Sakit Umum Kemeterian Kesehatan dan

Pemda Menurut Provinsi Tahun 2008 - 2009

Lampiran 4.17 Pemeriksaan Kesehatan Gigi dan Mulut pada Rumah Sakit Umum

Depkes dan Pemda Menurut Provinsi Tahun 2008

Lampiran 4.18 Jumlah Kunjungan Peserta Jamkesmas di Puskesmas Tahun 2009

Lampiran 4.19 Jumlah Kunjungan Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) Peserta

Lampiran 4.22 Jumlah Kasus Pneumonia pada Balita Menurut Provinsi Tahun 2009

(18)
(19)
(20)

xiii

Lampiran 5.39 Distribusi Pegawai Kementerian Kesehatan RI Dirinci Menurut Jenis

Pendidikan Tahun 2009

Lampiran 6.1 Perbandingan Beberapa Data Kependudukan di Negara-Negara ASEAN

& SEARO Tahun 2008

Lampiran 6.2 Angka Kelahiran, Angka Kematian, dan Indeks Pembangunan Manusia

di Negara-Negara ASEAN dan SEARO

Lampiran 6.3 Penduduk yang Menggunakan Sumber Air Bersih dan yang

Menggunakan Sarana Sanitasi Sehat di Negara-Negara ASEAN dan SEARO Tahun 2007

Lampiran 6.4 Perbandingan Data Tuberkulosis di Negara-Negara ASEAN dan SEARO

Tahun 2007/2008

Lampiran 6.5 Angka Estimasi HIV dan AIDS di Negara-Negara ASEAN dan SEARO

Tahun 2008

Lampiran 6.6 Jumlah Kasus Penyakit Menular yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi

di Negara-Negara ASEAN & SEARO

Lampiran 6.7 Perbandingan Cakupan Imunisasi Dasar pada Bayi di Negara-Negara

ASEAN & SEARO Tahun 2008

Lampiran 6.8 Perbandingan Upaya Kesehatan di Negara-Negara ASEAN & SEARO

Tahun 2000-2009

Lampiran 6.9 Pembiayaan Kesehatan di Negara-Negara ASEAN & SEARO Tahun

2007

(21)
(22)

2

Kita sadari bahwa sistem informasi kesehatan yang ada saat ini masih jauh dari kondisi ideal, yaitu belum mampu menyediakan data dan informasi kesehatan yang evidence

based sehingga belum mampu menjadi alat manajemen kesehatan yang efektif. Berbagai

masalah klasik masih dihadapi dalam penyelenggaraan sistem informasi kesehatan. Di antaranya adalah kegiatan pengelolaan data dan informasi belum terintegrasi dan terkoordinasi dalam satu mekanisme kerjasama yang baik. Adanya “overlapping” kegiatan dalam pengumpulan dan pengolahan data, di mana masing-masing unit mengumpulkan datanya sendiri-sendiri dengan berbagai instrumennya di setiap unit kerja baik di pusat maupun di daerah. Penyelenggaraan sistem informasi kesehatan itu sendiri masih belum dilakukan secara efisien, masih terjadi redundant data, duplikasi kegiatan, dan tidak efisiennya penggunaan sumber daya. Hal ini sebagai akibat dari adanya sistem informasi kesehatan yang ada saat ini masih terfragmentasi.

Situasi demikian menimbulkan tersendatnya pendistribusian informasi terutama dari sumber data di unit pelayanan kesehatan atau kabupaten/kota ke provinsi dan pusat yang mengakibatkan terjadinya krisis informasi di berbagai unit teknis di pusat. Di samping itu, adalah terhambatnya aliran komunikasi data baik dari sumber data di daerah ke pengguna di pusat atau sebaliknya, serta terhambatnya aliran komunikasi data antar pengguna atau bahkan tertutupnya sumber informasi untuk diakses oleh pengguna lain sehingga menyebabkan sulitnya memperoleh informasi yang memadai (lack of informations). Situasi yang demikian pada akhirnya menyulitkan dalam pengambilan keputusan berdasarkan evidence based.

(23)
(24)

4

kesehatan diatur dalam peraturan pemerintah. Untuk ini, Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi bersama Biro Hukum dan Organisasi sedang menyiapkan bahan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang sistem informasi kesehatan. Demikian pula aturan-aturan di bawahnya, seperti pedoman dan petunjuk teknis, sedang dalam proses penyusunan. Dalam penguatan perencanaan sistem informasi kesehatan, juga Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi bersama unit-unit pengelola program dan lintas sektor terkait sedang menyusun Rencana Strategis Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan.

Profil Kesehatan Indonesia 2009 ini terdiri atas 6 (enam) bab, yaitu:

Bab I - Pendahuluan. Bab ini menyajikan tentang latar belakang diterbitkannya Profil Kesehatan Indonesia 2009 ini serta sistimatika penyajiannya.

Bab II - Situasi Umum dan Perilaku Penduduk. Dengan telah selesai dan dipublikasikannya hasil sensus penduduk 2010 yang diselenggarakan oleh BPS, maka juga kami masukkan data jumlah penduduk tahun 2010. Bab ini juga menyajikan tentang gambaran umum, yang meliputi: kependudukan, perekonomian, pendidikan, dan lingkungan fisik; serta perilaku penduduk yang terkait dengan kesehatan.

Bab III - Situasi Derajat Kesehatan. Bab ini berisi uraian tentang hasil-hasil pembangunan kesehatan sampai dengan tahun 2009 yang mencakup tentang angka kematian, umur harapan hidup, angka kesakitan, dan status gizi masyarakat.

Bab IV - Situasi Upaya Kesehatan. Bab ini berisi uraian tentang upaya-upaya kesehatan yang telah dilaksanakan oleh bidang kesehatan sampai tahun 2009, untuk tercapainya dan berhasilnya program-program pembangunan di bidang kesehatan. Gambaran tentang upaya kesehatan yang telah dilakukan itu meliputi pencapaian pelayanan kesehatan dasar, pencapaian pelayanan kesehatan rujukan, pencapaian upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit, dan upaya perbaikan gizi masyarakat.

Bab V - Situasi Sumber Daya Kesehatan. Bab ini menguraikan tentang sumber daya pembangunan bidang kesehatan sampai tahun 2009. Gambaran tentang keadaan sumber daya mencakup tentang keadaan tenaga, sarana kesehatan, dan pembiayaan kesehatan.

Bab VI - Perbandingan Indonesia dengan Negara Anggota ASEAN dan SEARO. Bab ini menyajikan perbandingan beberapa indikator yang meliputi data kependudukan, Angka Kelahiran, Angka Kematian, Indeks Pembangunan Manusia, data tuberkulosis, angka estimasi HIV/AIDS, kasus penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi, cakupan imunisasi pada bayi dan upaya kesehatan.

(25)
(26)

6

Indonesia terbentang antara 6o garis Lintang Utara sampai 11o garis Lintang Selatan, dan dari 97 o sampai 141o garis Bujur Timur serta terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia. Posisi strategis ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara, menurut data Bakosurtanal, jumlah pulau di Indonesia 17.504 pulau. Jumlah pulau itu termasuk yang berada di muara dan tengah sungai, serta delta. Fakta ini membuat Indonesia memiliki keragaman budaya dan adat istiadat dengan karakteristik yang berbeda satu sama lain. Keragaman dalam berbagai aspek tersebut juga terkait dengan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan.

Secara administratif wilayah Indonesia pada tahun 2009 terbagi atas 33 provinsi, 497 kabupaten/kota (399 kabupaten dan 98 kota), 6.543 kecamatan dan 75.226 kelurahan/desa. Jika dibandingkan dengan jumlah kabupaten/kota yang ada pada tahun 2008, maka selama tahun 2009 telah terjadi pembentukan 2 kabupaten baru. Pembagian wilayah Indonesia secara administratif menurut provinsi pada tahun 2009 dapat dilihat pada Lampiran 2.1

Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum Indonesia dan perilaku penduduk pada tahun 2009 yang meliputi: keadaan penduduk, keadaan ekonomi, keadaan pendidikan, keadaan lingkungan, dan perilaku penduduk yang berkaitan dengan kesehatan.

A. K EADAAN PEN DU DU K

(27)

7

Sedangkan pada tahun 2009, berdasarkan data estimasi penduduk Badan Pusat Statistik (SUPAS 2005), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009 tercatat sebesar 231.369.592 jiwa terdiri dari 115.817.945 laki-laki dan 115.551.647 perempuan (Lampiran 2.3). Berdasarkan distribusi penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur maka kita dapat memperoleh gambaran piramida penduduk Indonesia tahun 2009 sebagai berikut.

GAMBAR 2.1

PIRAMIDA PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2009 (dalam ribu)

Secara nasional, laju pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun selama 2 dasawarsa terakhir adalah sebesar 1,49 persen. Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua adalah yang tertinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, yaitu sebesar 5,46 persen (SP 2010). Sedangkan provinsi dengan laju pertumbuhan terendah yaitu Jawa Tengah sebesar 0,37%. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia secara rinci sejak Sensus Penduduk tahun 1971 sampai dengan Sensus Penduduk tahun 2010 dapat dilihat dalam Lampiran 2.4.

Secara nasional, dengan luas wilayah Indonesia 1.910.931,32 km2 maka tingkat kepadatan penduduk pada tahun 2009 sebesar 121 jiwa per km2. Tingkat kepadatan yang tinggi masih didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Provinsi yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi adalah DKI Jakarta, yaitu sebesar 13.890 jiwa per km2. Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah yang memiliki

(28)

8

kepadatan penduduk tertinggi ke-2 dengan kepadatan 1.173 jiwa per km2. Provinsi dengan tingkat kepadatan tertinggi ke-3 yaitu DI Yogyakarta sebesar 1.118 jiwa per km2. Kepadatan penduduk terendah di Papua, yaitu hanya 7 jiwa per km2, Papua Barat merupakan provinsi dengan tingkat kepadatan penduduk terendah ke-2 yaitu sebesar 8 jiwa per km2, yang kemudian diikuti oleh Kalimantan Tengah dengan kepadatan 14 jiwa per km2.

Dari data distribusi penduduk menurut pulau dapat diketahui terdapat ketimpangan persebaran penduduk antar pulau yang nyata. Lebih dari separuh penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa, yaitu sebesar 57,99%, dengan luas hanya 6,77% wilayah Indonesia. Selebihnya tersebar di Sumatera sebesar 21,44 %, Sulawesi 7,25%, Kalimantan 5,65%, Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara 5,45%, Maluku dan Papua 2,23%. Jumlah penduduk dan angka kepadatan penduduk per provinsi tahun 2009 dapat dilihat pada Lampiran 2.3.

GAMBAR 2.2

PERSENTASE PERSEBARAN PENDUDUK INDONESIA MENURUT KELOMPOK PULAU-PULAU BESAR TAHUN 2009

Sumber : Badan Pusat Statistik, Estimasi Penduduk Indonesia Tahun 2009, http://www.depdagri.go.id.

(29)

9

Provinsi dengan persentase beban tanggungan tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur sebesar 59,45% diikuti oleh Sulawesi Tenggara sebesar 57,53% dan Maluku sebesar 56,69%. Sedangkan provinsi dengan Angka Beban Tanggungan terendah yaitu DKI Jakarta sebesar 37,26% diikuti oleh DI Yogyakarta sebesar 37,65% dan Jawa Timur sebesar 39,87%. Rincian jumlah penduduk menurut kelompok umur, Angka Beban Tanggungan dan provinsi tahun 2009 dapat dilihat pada Lampiran 2.5.

GAMBAR 2.3

ANGKA BEBAN TANGGUNGAN MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Badan Pusat Statistik, Estimasi Penduduk Indonesia Tahun 2009

B. K EADAAN EK ON OM I

Kondisi perekonomian merupakan salah satu aspek yang diukur dalam menentukan keberhasilan pembangunan suatu negara. Perekonomian Indonesia selama tahun 2006-2009 mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar 5,5 persen (2006), 6,3 persen (2007), 6,0 persen (2008) dan 4,5 persen (2009).

(30)
(31)
(32)

12

GAMBAR 2.4

PROVINSI DENGAN PERSENTASE KABUPATEN TERTINGGAL DI INDONESIA TAHUN 2009

Kemiskinan menjadi isu yang cukup menyita perhatian berbagai kalangan termasuk kesehatan. Keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan terkait dengan daya beli ekonomi. Kemiskinan juga menjadi hambatan besar dalam pemenuhan kebutuhan terhadap makanan yang sehat sehingga dapat melemahkan daya tahan tubuh yang dapat berdampak pada kerentanan untuk terserang penyakit-penyakit tertentu. Fenomena gizi buruk dan kurang seringkali dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang buruk jika merujuk pada fakta bahwa keterbatasan pemenuhan pangan dapat menyebabkan busung lapar, Kwashiorkor, penyakit kekurangan vitamin seperti Xeropthalmia, Scorbut, dan Beri-beri.

Pada bulan Maret 2010, jumlah penduduk miskin menurun menjadi 31,02 juta (13,3%) dari 32,53 juta (14,15%) penduduk miskin pada bulan Maret 2009. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan 1,51 juta penduduk miskin. Persentase penduduk miskin dari tahun 2006-2010 disajikan pada Gambar 2.5 berikut ini.

GAMBAR 2.5

PERSENTASE PENDUDUK MISKIN DI INDONESIA TAHUN 2006 – 2010

Sumber: BPS, Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2010

Berita Resmi Statistik, BPS 2008, No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010

(33)
(34)
(35)

15

demikian, pendidikan sebagai senjata utama penghapusan buta huruf itu senantiasa harus menyentuh baik generasi muda maupun generasi tuanya.

GAMBAR 2.6

PERSENTASE PENDUDUK YANG BUTA HURUF MENURUT KELOMPOK UMUR DI INDONESIA TAHUN 2005 – 2009

Sumber: BPS, www.bps.go.id

Tahun 2005-2009 persentase tertinggi penduduk yang buta huruf menurut kelompok umur adalah penduduk dengan kelompok umur di atas 45 tahun dengan persentase 22,83% pada tahun 2005 dan menurun setiap tahunnya menjadi 18,58% pada tahun 2009.

Indikator pendidikan lainnya yang sejenis adalah Angka Melek Huruf (AMH) yaitu persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. Penggunaan AMH adalah untuk (1) mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama di daerah perdesaan di Indonesia dimana masih tinggi jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD. (2) menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari berbagai media. (3) menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis. Sehingga angka melek huruf dapat berdasarkan kabupaten mencerminkan potensi perkembangan intelektual sekaligus kontribusi terhadap pembangunan daerah.

(36)

16

GAMBAR 2.7

ANGKA MELEK HURUF PENDUDUK BERUSIA 15 TAHUN KE ATAS MENURUT PROVINSI DAN JENIS KELAMIN DI INDONESIA TAHUN 2009

Rata-rata lama sekolah mayoritas penduduk di Indonesia masih relatif rendah yaitu 7,7 tahun pada tahun 2009 atau setara dengan kelas dua SMP.

Gambar di bawah ini menunjukkan rata-rata lama sekolah menurut jenis kelamin secara nasional. Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas pada tahun 2006 mencapai 7,4 tahun, sedangkan tahun 2008 mencapai 7,5 tahun. Dilihat dari jenis kelamin, rata-rata lama sekolah laki-laki (8,2 tahun) lebih besar daripada perempuan (7,3 tahun),

GAMBAR 2.8

RATA-RATA LAMA SEKOLAH MENURUT JENIS KELAMIN DI INDONESIA TAHUN 2006 – 2009

.

Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, Mei 2010

(37)

17

Rata-rata lama sekolah secara rinci menurut provinsi dapat dilihat dalam Lampiran 2.10.

Angka Partisipasi Sekolah (APS) dari BPS secara umum dikategorikan menjadi 3 kelompok umur, yaitu 7-12 tahun mewakili umur setingkat SD, 13-15 tahun mewakili umur setingkat SLTP, dan 16-18 tahun mewakili umur setingkat SLTA. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah APS. Persentase angka partisipasi sekolah menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.11.

Gambar di bawah ini merupakan APS nasional menurut usia sekolah dari tahun 2005-2009, berdasarkan 4 kelompok umur dimana kelompok umur 19-24 tahun mewakili umur setingkat perguruan tinggi.

GAMBAR 2.9

PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH MENURUT USIA SEKOLAH DI INDONESIA TAHUN 2005 – 2009

Sumber: BPS, www.bps.go.id

Terdapat dua ukuran partisipasi sekolah yang utama, yaitu Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Kedua ukuran tersebut mengukur penyerapan penduduk usia sekolah oleh sektor pendidikan. Perbedaan di antara keduanya adalah penggunaan kelompok usia "standar" di setiap jenjang pendidikan. Usia standar yang dimaksud adalah rentang usia yang dianjurkan pemerintah dan umum dipakai untuk setiap jenjang pendidikan

Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan

(38)

18

pendidikan perguruan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah persentase APK. Nilai APK dalam kurun waktu 2005-2009 meningkat secara perlahan untuk tingkat pendidikan SD/MI, SLTA dan perguruan tinggi, sedangkan APK tingkat SLTP/MTs cenderung tidak banyak perubahan.

GAMBAR 2.10

PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI KASAR DI INDONESIA TAHUN 2005 – 2009

Sumber: BPS, www.bps.go.id

Berbeda dengan APK, Angka Partisipasi Murni (APM) menunjukkan banyaknya penduduk usia sekolah yang masih bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya. Jika dibandingkan APK, APM merupakan indikator daya serap yang lebih baik karena APM melihat partisipasi penduduk kelompok usia standar di jenjang pendidikan yang sesuai dengan standar tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah APM.

GAMBAR 2.11

PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI MURNI DI INDONESIA TAHUN 2005 – 2009

(39)

19

Berdasarkan Gambar 2.11 di atas persentase APM tertinggi pun terdapat pada tingkat pendidikan SD/MI dan APM yang terendah adalah pada tingkat pendidikan perguruan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah persentase APM. Nilai APM dalam kurun waktu 2005-2009 meningkat secara perlahan untuk setiap jenjang pendidikan.

Gambar berikut di bawah ini menggambarkan perkembangan persentase tingkat pendidikan tertinggi (TPT) yang ditamatkan. TPT bermanfaat untuk menunjukkan pencapaian pembangunan pendidikan di suatu daerah. TPT juga berguna untuk melakukan perencanaan penawaran tenaga kerja, terutama untuk melihat kualifikasi pendidikan angkatan kerja di suatu wilayah. Menurut definisi, TPT adalah persentase jumlah penduduk, baik yang masih sekolah ataupun tidak sekolah lagi, menurut pendidikan tertinggi yang telah ditamatkan.

GAMBAR 2.12

PERSENTASE PENDIDIKAN TERTINGGI YANG DITAMATKAN PENDUDUK 10 TAHUN KE ATAS DI INDONESIA TAHUN 2005 – 2009

Sumber: BPS, www.bps.go.id

D. K EADAAN K ESEH AT AN LI N GK U N GAN

Lingkungan merupakan salah satu variabel yang kerap mendapat perhatian khusus dalam menilai kondisi kesehatan masyarakat. Bersama dengan faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik, lingkungan menentukan baik buruknya status derajat kesehatan masyarakat.

(40)

20

1 . Sa ra na Air Be rsih ya ng Diguna k a n da n Ak se s Air M inum ya ng Am a n

Berdasarkan data profil kesehatan provinsi tahun 2009 dapat diketahui persentase keluarga menurut jenis sarana air bersih yang digunakan. Secara nasional, persentase tertinggi jenis sarana air bersih yang digunakan adalah sumur gali (45,41%), diikuti ledeng (27,36%), sumur pompa tangan (10,11%), penampungan air hujan (3,49%), air kemasan (2,29%), serta lain-lain (11,30%). Rincian persentase keluarga menurut jenis sarana air bersih yang digunakan dapat dilihat dalam Lampiran 2.12.

Proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap sarana air minum yang aman secara nasional adalah 47,71%, sedangkan menurut wilayah, akses air minum yang aman di perkotaan 49,82% dan di perdesaan 45,72%. Persentase tertinggi akses air minum yang aman terdapat di DI Yogyakarta (60,4%), Bali (60,0%), dan Sulawesi Tenggara (59,1%). Sedangkan yang terendah terdapat di Banten (27,5%), Aceh (30,6%) dan Bengkulu (33.0%)

Gambaran persentase akses air minum yang aman menurut provinsi dapat dilihat dalam Gambar 2.13 di bawah ini.

GAMBAR 2.13

PERSENTASE AKSES AIR MINUM YANG AMAN DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen P2PL, 2010

(41)

21

2 . Sa ra na da n Ak se s t e rha da p Sa nit a si Da sa r

Berdasarkan data profil kesehatan provinsi tahun 2009 dapat diketahui persentase keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar. Secara nasional, persentase tertinggi akses keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar adalah kepemilikan terhadap jamban (81,03%), kepemilikan pengelolaan air limbah (73,37%) serta kepemilikan tempat sampah (72,55%). Dari seluruh sarana sanitasi dasar tersebut yang memiliki kriteria jamban sehat 55,72%, pengelolaan air limbah sehat 55,30% dan tempat sampah sehat 53,46%. Rincian persentase keluarga dengan kepemilikan sarana sanitasi dasar dan sehat menurut provinsi dapat dilihat dalam Lampiran 2.14.

Proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap sanitasi dasar yang layak secara nasional sebesar 51,19%, sedangkan menurut wilayah, persentase akses sanitasasi dasar yang layak sebesar 69,51% di perkotaan dan 33,96% di wilayah perdesaan.

GAMBAR 2.14

PERSENTASE AKSES SANITASI DASAR YANG LAYAK DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen P2PL, 2010

(42)

22

3 . Rum a h Se ha t

Berdasarkan profil kesehatan provinsi tahun 2009, persentase rumah sehat secara nasional sebesar 63.49%.Provinsi yang memiliki persentase tertinggi adalah DKI Jakarta (91,13%), Riau (81,51%) dan Bali (77,85%). Provinsi dengan persentase rumah sehat yang rendah adalah Sulawesi Barat (35,21%), Papua (43,61%) dan Nusa Tenggara Timur (50,54%).

GAMBAR 2.15

PERSENTASE RUMAH SEHAT DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Tahun 2009

Persentase rumah sehat menurut provinsi secara rinci (data dari 429 kab/kota) disajikan pada Lampiran 2.16.

4 . T e m pa t U m um da n Pe nge lola a n M a k a n (T U PM ) Se ha t

Berdasarkan data profil kesehatan provinsi tahun 2009 dapat diketahui gambaran tempat-tempat umum dan pengelolaan makanan yang sehat. Secara nasional, dari keseluruhan TUPM, maka yang sudah diperiksa dan dinyatakan sehat sebesar 64,84%. Sedangkan menurut jenis TUPM, persentase TUPM sehat yang tertinggi adalah hotel sehat (84,58%), restoran/rumah makan sehat (70,69%), pasar sehat (54,78%). dan TUPM lainnya (63,25%).

(43)

23

5 . I nst it usi Dibina K e se ha t a n Lingk unga nnya

Berdasarkan data profil kesehatan provinsi tahun 2009 dapat diketahui gambaran institusi yang diberikan pembinaan kesehatan lingkungan seperti institusi sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana ibadah, perkantoran, dan sarana lainnya. Secara nasional, dari keseluruhan institusi yang ada telah dilakukan pembinaan terhadap kesehatan lingkungan sebesar 64,41%. Sedangkan menurut jenis institusi, persentase tertinggi institusi yang dibina kesehatan lingkungannya adalah sarana kesehatan (77,02%), sarana pendidikan (67,52%), perkantoran (59,15%), sarana ibadah (58,84%) dan sarana lainnya (62,26%). Rincian persentase institusi dibina kesehatan lingkungannya menurut provinsi dapat dilihat dalam Lampiran 2.18.

6 . Rum a h/Ba nguna n ya ng Dipe rik sa da n Be ba s J e nt ik N ya m uk

Ae de s

Berdasarkan profil kesehatan provinsi tahun 2009, dari keseluruhan rumah/bangunan yang ada, sudah dilakukan pemeriksaan terhadap 26% rumah/bangunan. Dari seluruh rumah/bangunan yang diperiksa maka rumah/bangunan yang sudah dinyatakan bebas jentik nyamuk Aedes sebesar 77,08%. Provinsi yang persentase bebas jentik nyamuk Aedes tertinggi adalah DKI Jakarta (89,08%), Bali (87,98%) dan Banten (87,44%). Sedangkan yang terendah persentasenya yaitu NTT (39,82%), Papua (46,23%) dan Bengkulu (47,22%).

GAMBAR 2.16

PERSENTASE RUMAH BEBAS JENTIK NYAMUK AEDES DI INDONESIA TAHUN 2009

(44)

24

Persentase rumah/bangunan yang diperiksa dan bebas jentik nyamuk Aedes menurut provinsi (data dari 322 kabupaten/kota) secara rinci disajikan pada Lampiran 2.19.

E. K EADAAN PERI LAK U M ASY ARAK AT

Untuk menggambarkan keadaan perilaku masyarakat yang berpengaruh terhadap kesehatan, akan disajikan beberapa indikator yaitu perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan usia wanita perkawinan pertama.

1 . Pe rila k u H idup Be rsih da n Se ha t (PH BS)

Berdasarkan profil kesehatan provinsi tahun 2009, persentase rumah tangga yang ber-Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) secara nasional sebesar 48,41%. Provinsi yang memiliki persentase tertinggi adalah Jawa Tengah (88,57%), DI Yogyakarta (87,38%) dan Kalimantan Timur (79,73%). Provinsi dengan persentase PHBS yang rendah adalah Sumatera Barat (17,97%), Banten (21,37%) dan Papua Barat (27,34%).

GAMBAR 2.17

PERSENTASE RUMAH TANGGA BERPERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Tahun 2009

Persentase rumah tangga yang memenuhi kriteria perilaku hidup bersih dan sehat yang baik menurut provinsi secara rinci (data dari 373 kab/kota) disajikan pada Lampiran 2.20.

2 . U m ur Pe rk a w ina n Pe rt a m a

(45)

25

Secara nasional, umur wanita yang menikah/kawin yang pertama kali paling banyak terjadi pada umur 19-24 tahun sebesar 41,33%, kemudian persentase cukup banyak terjadi pula pada umur yang relatif masih remaja (16-18 tahun) sebesar 33,41%.

GAMBAR 2.18

PERSENTASE WANITA MENURUT UMUR PERKAWINAN PERTAMA DI INDONESIA TAHUN 2009

Persentase wanita menurut umur perkawinan pertama menurut provinsi secara rinci disajikan pada Lampiran 2.21.

***

(46)
(47)

27

Derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berasal dari sektor kesehatan seperti pelayanan kesehatan dan ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan, melainkan juga dipengaruhi faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial, keturunan, dan faktor lainnya.

Situasi derajat kesehatan masyarakat dapat tercermin melalui angka morbiditas, mortalitas dan status gizi. Pada bab berikut ini situasi derajat kesehatan di Indonesia digambarkan melalui Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita (AKABA), Angka Kematian Ibu (AKI), dan angka morbiditas beberapa penyakit.

A. M ORT ALI T AS

Mortalitas merupakan angka kematian yang terjadi pada kurun waktu dan tempat tertentu yang diakibatkan oleh keadaan tertentu, dapat berupa penyakit maupun sebab lainnya. Angka kematian yang disajikan pada bab ini yaitu AKB, AKABA, AKI, dan Angka Kematian Kasar.

1 . Angk a K e m a t ia n Ba yi (AK B)

Angka Kematian Bayi (AKB) dapat didefinisikan sebagai banyaknya bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama.

AKB merupakan indikator yang biasanya digunakan untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu banyak upaya kesehatan yang dilakukan dalam rangka menurunkan AKB.

GAMBAR 3.1

(48)

28

Sumber: BPS, Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007

Menurut hasil SDKI terjadi penurunan AKB sejak tahun 1991. Pada tahun 1991 diestimasikan AKB sebesar 68 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan hasil SDKI 2007 mengestimasikan AKB sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup. Hasil estimasi tersebut memperhitungkan Angka Kematian Bayi dalam periode 5 tahun terakhir sebelum survei, misalnya pada SDKI tahun 2007 diperoleh AKB untuk periode 5 tahun sebelumnya yaitu tahun 2003-2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran hidup.

Berbagai faktor dapat menyebabkan adanya penurunan AKB seperti yang ditampilkan pada gambar di atas, diantaranya pemerataan pelayanan kesehatan berikut fasilitasnya. Hal ini disebabkan AKB sangat sensitif terhadap perbaikan pelayanan kesehatan. Selain itu, perbaikan kondisi ekonomi yang tercermin dengan pendapatan masyarakat yang meningkat juga dapat berkontribusi melalui perbaikan gizi yang berdampak pada daya tahan terhadap infeksi penyakit.

Hasil SDKI tahun 2007 juga mengestimasikan AKB pada tingkat provinsi. Provinsi dengan AKB terendah adalah DI Yogyakarta sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup, diikuti Aceh sebesar 25 per 1.000 kelahiran hidup, dan Kalimantan Timur serta Jawa Tengah sebesar 26 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKB tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 74 per 1.000 kelahiran hidup, diikuti oleh Nusa Tenggara Barat sebesar 72 per 1.000 kelahiran hidup dan Sulawesi Tengah sebesar 60 per 1.000 kelahiran hidup. Gambaran AKB per provinsi dapat dilihat pada Gambar 3.2 berikut. Rincian AKB menurut provinsi di Indonesia terdapat pada Lampiran 3.1.

GAMBAR 3.2

ESTIMASI ANGKA KEMATIAN BAYI PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2007

(49)

29

2 . Angk a K e m a t ia n Ba lit a (AK ABA)

Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun yang dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup. AKABA merepresentasikan peluang terjadinya kematian pada fase antara kelahiran dan sebelum umur 5 tahun.

Millenium Development Goals (MDGs) menetapkan nilai normatif AKABA, yaitu sangat tinggi dengan nilai > 140, tinggi dengan nilai 71-140, sedang dengan nilai 20-70 dan rendah dengan nilai < 20. SDKI tahun 2007 mengestimasikan nilai AKABA sebesar 44 per per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini merupakan estimasi untuk periode 5 tahun sebelum survei (2003-2007).

GAMBAR 3.3

ANGKA KEMATIAN BALITA (AKABA) PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP DI INDONESIA TAHUN 1991 – 2007

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008

(50)

30

GAMBAR 3.4

ESTIMASI ANGKA KEMATIAN BALITA PER 1.000 KELAHIRAN HIDUP MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2007

Sumber : BPS, Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007

3 . Angk a K e m a t ia n I bu (AK I )

Angka Kematian Ibu (AKI) juga menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat. AKI menggambarkan jumlah wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup.

AKI juga dapat digunakan dalam pemantauan kematian terkait dengan kehamilan. Indikator ini dipengaruhi status kesehatan secara umum, pendidikan dan pelayanan selama kehamilan dan melahirkan. Sensitifitas AKI terhadap perbaikan pelayanan kesehatan menjadikannya indikator keberhasilan pembangunan sektor kesehatan.

AKI mengacu pada jumlah kematian ibu yang terkait dengan masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun 2007 menyebutkan bahwa AKI untuk periode 5 tahun sebelum survei (2003-2007) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini lebih rendah dibandingkan AKI hasil SDKI tahun 2002-2003 yang mencapai 307 per 100.000 kelahiran hidup.

(51)

31

GAMBAR 3.5

ANGKA KEMATIAN IBU (PER 100.000 KELAHIRAN HIDUP) DI INDONESIA TAHUN 1994-2007

Sumber : Badan Pusat Statistik,2008

4 . Angk a K e m a t ia n K a sa r (AK K )

Angka kematian kasar adalah jumlah kematian yang terjadi pada suatu waktu dan tempat tertentu per 1.000 penduduk pada pertengahan tahun. Estimasi Angka Kematian Kasar (AKK) berdasarkan hasil SUPAS 2005, menyebutkan bahwa AKK tahun 2007 sebesar 6,9 per 1.000 penduduk.

5 . Angk a K e m a t ia n di Rum a h Sa k it

Tabel berikut ini menyajikan 10 penyebab kematian terbanyak pada penderita rawat inap di rumah sakit pada tahun 2008.

TABEL 3.1

10 PENYAKIT UTAMA PENYEBAB KEMATIAN DI RUMAH SAKIT DI INDONESIA TAHUN 2008

No Golongan Sebab Sakit Pasien

Mati

CFR (%)

1 Penyakit Sistem Sirkulasi Darah 23.163 11,06

2 Penyakit Infeksi dan Parasit Tertentu 16.769 2,89

3 Kondisi Tertentu yang Bermula pada Masa Perinatal 9.108 9,74

4 Penyakit Sistem Napas 8,190 3,99

5 Penyakit Sistem Cerna 6.825 2,91

6 Cedera, Keracunan, dan Akibat Sebab Luar Tertentu Lainnya 5.767 2,99

7 Penyakit Endokrin, Nutrisi, dan Metabolik 5.585 6,73

8 Penyakit Sistem Kemih Kelamin 4.542 3,56

9 Neoplasma 4.332 4,70

10 Gejala, Tanda & Penemuan Laboratorium, Klinik

Abnormal YTK 4.238 2,80

(52)

32

Berdasarkan informasi pada tabel di atas, penyakit sistem sirkulasi darah merupakan penyakit yang menempati urutan teratas sebagai penyakit utama penyebab kematian di rumah sakit pada tahun 2008. Penyakit sistem sirkulasi darah pada tahun 2008 menyebabkan kematian sebanyak 23.163 orang dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 11,06%.

6 . U m ur H a ra pa n H idup Wa k t u La hir

Derajat kesehatan masyarakat juga dapat diukur dengan melihat besarnya Umur Harapan Hidup Waktu Lahir (UHH). Selain itu, UHH juga menjadi salah satu indikator yang diperhitungkan dalam menilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kondisi UHH di Indonesia dalam kurun waktu 2006-2008 menunjukkan peningkatan.

Berdasarkan data BPS, UHH di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 69 tahun, sedangkan pada tahun 2006 dan 2007 sebesar 68,5 tahun dan 68,7 tahun. Salah satu faktor yang berperan dalam peningkatan UHH adalah upaya di bidang kesehatan sebagai bagian dari pembangunan kesehatan.

Pada tahun 2008, provinsi dengan UHH tertinggi adalah DI Yogyakarta, yaitu sebesar 73,1 yang diikuti oleh DKI Jakarta sebesar 72,9 dan Sulawesi Utara sebesar 72,0 tahun. Sedangkan, UHH terendah terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebesar 61,5 tahun, yang diikuti oleh Kalimantan Selatan sebesar 63,1 tahun dan Banten sebesar 64,6 tahun. Gambaran UHH pada tahun 2007 dan 2008 menurut provinsi terdapat pada Lampiran 3.2.

GAMBAR 3.6

UMUR HARAPAN HIDUP WAKTU LAHIR MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2008

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010

(53)

33

GAMBAR 3.7

NILAI IPM MENUURT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2008

Sumber: BPS, 2010

Berdasarkan gambar di atas diketahui bahwa provinsi dengan IPM tertinggi adalah DKI Jakarta, Sulawesi Utara, dan Riau. Sedangkan provinsi dengan IPM terendah adalah Papua, diikuti oleh Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

B. M ORBI DI T AS

Morbiditas dapat diartikan sebagai angka kesakitan, baik insiden maupun prevalen dari suatu penyakit. Morbiditas menggambarkan kejadian penyakit dalam suatu populasi pada kurun waktu tertentu. Morbiditas juga berperan dalam penilaian terhadap derajat kesehatan masyarakat.

1 . Pola 1 0 Pe nya k it T e rba nya k di Rum a h Sa k it

(54)

No Daftar Tabulasi Dasar (DTD) Kasus Total Kasus Meninggal CFR (%)

(55)

35

Berdasarkan CFR, penyakit yang memiliki CFR paling tinggi di antara 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di RS adalah Pneumonia sebesar 6,63%. Sedangkan penyakit dengan CFR terendah adalah Infeksi Saluran Napas Bagian Atas Akut Lainnya sebesar 0,45%.

2 . Pe nya k it M e nula r

a. Malaria

Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang upaya pengendaliannya menjadi komitmen global dalam Millenium Development Goals (MDGs). Malaria disebabkan oleh hewan bersel satu (protozoa) Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Wilayah endemis malaria pada umumnya adalah desa-desa terpencil dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, sarana transportasi dan komunikasi yang sulit, akses pelayanan kesehatan kurang, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat yang rendah, serta buruknya perilaku masyarakat terhadap kebiasaan hidup sehat.

Ditjen PP&PL Kementerian Kesehatan telah menetapkan stratifikasi endemisitas malaria suatu wilayah di Indonesia menjadi 4 strata yaitu :

1. Endemis Tinggi bila API > 5 per 1.000 penduduk.

2. Endemis Sedang bila API berkisar antara 1 – < 5 per 1.000 penduduk.

3. Endemis Rendah bila API 0 - 1 per 1.000 penduduki.

4. Non Endemis adalah daerah yang tidak terdapat penularan malaria (Daerah

pembebasan malaria) atau API = 0.

GAMBAR 3.8

STRATIFIKASI ENDEMISITAS MALARIA DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

API nasional pada tahun 2009 adalah 1,85 per 1.000 penduduk dengan kisaran provinsi 0,02- 27,66 per 1.000 penduduk. Angka ini jauh menurun dibandingkan API tahun 1990 yaitu 4.68 per 1.000 penduduk. Dihubungkan dengan target pencapaian MDGs, angka API 2009 sudah memenuhi target.

(56)

36

laboratorium tersebut merupakan pelaksanaan kebijakan nasional pengendalian malaria dalam mencapai eliminasi malaria, yaitu semua kasus malaria klinis harus dikonfirmasi laboratorium.

GAMBAR 3.9

ANNUAL PARASITE INCIDENCE MALARIA (‰)

DI JAWA BALI TAHUN 2004 – 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Indikator untuk upaya penemuan penderita di wilayah Jawa-Bali menggunakan

Annual Parasite Incidence (API) atau Angka Parasit Malaria per 1.000 penduduk. Pada

tahun 2009 API Jawa-Bali sebesar 0,17 per 1.000 penduduk. Angka ini telah mencapai target yang ditentukan, yaitu di bawah 0,25 per 1.000 penduduk. Pada gambar di atas nampak bahwa dari tahun 2004-2009, API senantiasa memenuhi target.

GAMBAR 3.10

ANNUAL MALARIA INCIDENCE (‰)

DI LUAR JAWA BALI TAHUN 2004 – 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Upaya pengendalian malaria untuk wilayah di luar Jawa-Bali menggunakan Annual

Malaria Incidence (AMI). Pada gambar di atas nampak bahwa AMI di wilayah luar Jawa-Bali

(57)

37

memenuhi target, karena pada kurun waktu tersebut AMI berada di atas target yang telah ditentukan. Rincian API dan AMI menurut provinsi tahun 2009 dapat dilihat pada Lampiran 3.5.

b. TB Paru

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil TB. Bersama dengan Malaria dan HIV/AIDS, TB menjadi salah satu penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam MDGs

Salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TB adalah Case Detection

Rate (CDR), yaitu proporsi jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati

terhadap jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Kementerian Kesehatan menetapkan target CDR minimal pada tahun 2009 sebesar 70%. Berikut ini disajikan pencapaian CDR menurut provinsi tahun 2009.

GAMBAR 3.11

CAKUPAN CASE DETECTION RATE (CDR) TB DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Pencapaian CDR pada tahun 2009 sebesar 73,1%. Angka ini telah memenuhi target minimal yang telah ditetapkan yaitu sebesar 70%. Pada tingkat provinsi, CDR tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara sebesar 85,2%, diikuti DKI Jakarta sebesar 81% dan Banten sebesar 77,7%. Sedangkan provinsi dengan CDR terendah adalah Kalimantan Tengah sebesar 30,6% diikuti oleh Kalimantan Timur sebesar 31,1% dan Kepulauan Riau sebesar 32,3%. Pada gambar di atas nampak bahwa terdapat 5 provinsi yang telah memenuhi target CDR 70%, yaitu Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Banten, Maluku, dan Jawa Barat.

(58)

38

GAMBAR 3.12

SUCCESS RATE (SR) TB

DI INDONESIA TAHUN 2004-2008

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa pencapaian Success Rate (SR) pada tahun 2004-2008 telah memenuhi target 85%. Namun demikian terjadi penurunan Success Rate (SR) dari 91% pada tahun 2005 menjadi 87,6% pada tahun 2006. Angka ini kemudian kembali naik menjadi 91% pada tahun 2007 dan 2008. Gambaran kasus TB dan keberhasilan pengobatannya dapat dilihat pada Lampiran 3.7, 3.8, 3.9 dan 3.10.

c. HIV & AIDS

HIV & AIDS disebabkan oleh infeksi virus Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit lain. Penyakit ini ditularkan melalui cairan tubuh penderita yang terjadi melalui proses hubungan seksual, transfusi darah, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi secara bergantian, dan penularan dari ibu ke anak dalam kandungan melalui plasenta dan kegiatan menyusui.

(59)

39

GAMBAR 3.13

JUMLAH KASUS BARU DAN KUMULATIF PENDERITA AIDS YANG TERDETEKSI DARI BERBAGAI SARANA KESEHATAN

DI INDONESIA TAHUN 2001 – 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Pada gambar di atas nampak adanya peningkatan penemuan kasus baru yang cukup signifikan pada tahun 2008, dari 2.947 kasus baru pada tahun 2007 menjadi 4.969 kasus baru pada tahun 2008.

Besaran kasus juga dapat dilihat dengan menggunakan Case Rate AIDS yang diperoleh dengan membandingkan jumlah kasus kumulatif terhadap jumlah penduduk per 100.000 penduduk. Pada tahun 2009, provinsi dengan Case Rate tertinggi adalah Papua sebesar 133,1; diikuti oleh Bali sebesar 45,4; dan DKI Jakarta 31,7 per 100.000 penduduk.

GAMBAR 3.14

CASE RATE AIDS MENURUT PROVINSI DI INDONESIA

SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER TAHUN 2009

(60)

40

HIV/AIDS memiliki beberapa faktor risiko, yaitu hubungan seksual lawan jenis (heteroseksual), hubungan sejenis melalui Lelaki Seks Lelaki (LSL), penggunaan Narkoba suntik secara bergantian, transfusi darah dan perinatal. Berikut ini disajikan persentase kasus kumulatif menurut faktor risiko.

GAMBAR 3.15

PERSENTASE KASUS KUMULATIF AIDS MENURUT CARA PENULARAN DI INDONESIA SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Berdasarkan cara penularan, persentase kasus kumulatif tertinggi adalah melalui hubungan heteroseksual sebesar 50,3%. Sedangkan persentase terendah adalah melalui transfusi darah sebesar 0,1%.

Meskipun penggunaan IDU menempati urutan ke-2 terbesar, namun jika kita melihat kecenderungan kasus baru AIDS pada pengguna NAPZA suntik menunjukkan penurunan selama tahun 2006- 2009 seperti yang nampak pada gambar berikut. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya upaya promosi kesehatan pada kelompok pengguna NAPZA suntik yang menyampaikan pesan bahwa penggunaan jarum suntik secara bergantian merupakan perilaku risiko tinggi terhadap penularan HIV.

GAMBAR 3.16

JUMLAH KASUS BARU AIDS PADA PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI INDONESIA TAHUN 2005-2009

(61)

41

Pada tahun 2009 jumlah kasus baru AIDS yang menggunakan NAPZA suntik sebanyak 1.156 kasus. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan tahun 2008 sebesar 1.255 kasus.

Berdasarkan jenis kelamin, proporsi kasus kumulatif AIDS laki-laki lebih besar terhadap perempuan yaitu 73,7% berbanding 25,8%.

GAMBAR 3.17

PERSENTASE KASUS KUMULATIF AIDS MENURUT JENIS KELAMIN DI INDONESIA SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Proporsi kasus kumulatif AIDS menurut kelompok umur menunjukkan gambaran bahwa sebagian besar kasus kumulatif AIDS terdapat pada usia 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan 40-49 tahun. Kelompok umur tersebut memang termasuk ke dalam usia produktif yang tentu saja juga aktif secara seksual.

GAMBAR 3.18

PERSENTASE KASUS KUMULATIF AIDS MENURUT KELOMPOK UMUR DI INDONESIA SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 2009

(62)

42

Informasi lebih rinci tentang HIV/AIDS dapat dilihat pada Lampiran 3.11, 3.12, dan 3.13.

d. Pneumonia

Pneumonia merupakan infeksi akut yang mengenai jaringan paru (alveoli). Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus maupun jamur. Pneumonia juga dapat terjadi akibat kecelakaan karena menghirup cairan atau bahan kimia. Populasi yang rentan terserang Pneumonia adalah anak-anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut lebih dari 65 tahun, atau orang yang memiliki masalah kesehatan (malnutrisi, gangguan imunologi).

Pada tahun 2009, cakupan penemuan Pneumonia pada balita sebesar 22,18% dengan jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 390.319 kasus. Berikut ini ditampilkan angka cakupan penemuan pneumonia balita menurut provinsi tahun 2009.

GAMBAR 3.19

CAKUPAN PENEMUAN PNEUMONIA BALITA MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Pada tingkat provinsi, dapat diketahui bahwa tiga provinsi dengan cakupan tertinggi berturut-turut adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 71,45%, Jawa Barat sebesar 46,16% dan Kepulauan Bangka Belitung sebesar 41,41%. Sedangkan tiga provinsi dengan cakupan terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau sebesar 0,32%, Aceh sebesar 2,16%, dan Kalimantan Barat sebesar 2,54%. Data cakupan masing-masing provinsi terdapat pada Lampiran 3.14.

e. Kusta

Kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri

Mycobacterium leprae. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat menyebabkan Kusta

menjadi progresif, menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata. Diagnosis kusta dapat ditegakkan dengan adanya kondisi sebagai berikut :

a. Kelainan pada kulit (bercak) putih atau kemerahan disertai mati rasa

(63)

43

c. Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA Positif). Pada tahun 2009, dilaporkan terdapat kasus baru tipe Multi Basiler sebanyak 14.227 kasus dan tipe Pausi Basiler sebanyak 3.033 dengan Newly Case Detection Rate (NCDR) sebesar 7,49 per 100.000 penduduk. Berikut ini disajikan kecenderungan kasus baru tipe PB dan MB serta NCDR.

GAMBAR 3.20

JUMLAH KASUS BARU KUSTA TIPE PB DAN MB

DAN NCDR PER 100.000 PENDUDUK DI INDONESIA TAHUN 2005-2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Penemuan kasus baru sejak tahun 2005-2009 menunjukkan kecenderungan penurunan. Pada tahun 2005 NCDR sebesar 8,99 per 100.000 penduduk, angka ini turun terus hingga 7,49 per 100.000 penduduk pada tahun 2009. Kecenderungan penurunan tersebut juga terjadi pada jumlah kasus baru kusta tipe PB dan MB.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL) telah menetapkan 33 provinsi di Indonesia ke dalam 2 kelompok beban kusta, yaitu provinsi dengan beban kusta tinggi (high endemic) dan beban kusta rendah (low

endemic). Provinsi dengan high endemic jika NCDR > 10 per 100.000 penduduk atau

(64)

44

GAMBAR 3.21

STATUS BEBAN KUSTA DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemenkes RI, 2010

Keberhasilan dalam mendeteksi kasus baru dapat diukur dari tinggi rendahnya proporsi cacat tingkat II, sedangkan untuk mengetahui tingkat penularan di masyarakat digunakan indikator proporsi anak (0-14 tahun) di antara penderita baru. Proporsi cacat tingkat II pada tahun 2009 sebesar 10,37%. Sedangkan proporsi anak di antara penderita baru pada tahun 2009 sebesar 11,44%.

GAMBAR 3.22

PROPORSI CACAT TINGKAT II DAN PROPORSI ANAK DI ANTARA KASUS BARU KUSTA DI INDONESIA TAHUN 2001-2009

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2009

(65)

45

2 . Pe nya k it ya ng Da pa t Dic e ga h De nga n I m unisa si (PD3 I )

a.Tetanus Neonatorum

Tetanus Neonatorum (TN) disebabkan oleh basil Clostridium tetani, yang masuk ke tubuh melalui luka. Penyakit ini menginfeksi bayi baru lahir yang salah satunya disebabkan oleh pemotongan tali pusat dengan alat yang tidak steril. Kasus TN banyak ditemukan di negara berkembang khususnya dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang rendah.

Pada tahun 2009 dilaporkan terdapat 158 kasus dengan jumlah meninggal 76, dengan demikian CFR Tetanus Neonatorum pada tahun 2009 sebesar 48,1%. Pada tahun 2009 kasus TN terjadi di 20 provinsi, dan 14 provinsi melaporkan adanya kasus meninggal. Gambaran kasus Tetanus Neonatorum beserta persentase kasus berdasarkan faktor risiko menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 3.16.

b.Campak

Campak merupakan salah satu penyakit PD3I yang disebabkan oleh virus campak. Sebagian besar kasus campak menyerang anak-anak. Penularan dapat terjadi melalui udara yang telah terkontaminasi oleh sekret orang yang telah terinfeksi. Berikut ini ditampilkan

Incidence Rate (IR) Campak menurut provinsi tahun 2009.

GAMBAR 3.23

INCIDENCE RATE (IR) CAMPAK PER 10.000 PENDUDUK MENURUT PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2009

Pada tahun 2009 dilaporkan terdapat 18.055 kasus campak dengan Incidence Rate sebesar 0,77 per 10.000 penduduk. Incidence Rate tertinggi pada tahun 2009 terdapat di Provinsi Kepulauan Riau sebesar 3,52; diikuti oleh Sumatera Barat sebesar 2 per 10.000 penduduk, dan Kalimantan Selatan sebesar 1,98 per 10.000 penduduk. Sedangkan Maluku dan Nusa Tenggara Barat memiliki IR sebesar 0 per 10.000 penduduk.

(66)

46

c. Difteri

Penyakit Difteri disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae yang menyerang sistem pernafasan bagian atas. Penyakit ini memiliki gejala sakit leher, demam ringan, sakit tekak. Difteri juga kerap ditandai dengan tumbuhnya membran kelabu yang menutupi tonsil serta bagian saluran pernafasan.

Jumlah kasus Difteri pada tahun 2009 sebanyak 189 kasus, dengan Incidence Rate per 10.000 penduduk menurut kelompok umur menunjukkan umur < 1 tahun memiliki IR sebesar 0,01; umur 1-4 tahun sebesar 0,02 ; dan umur 5-14 tahun sebesar 0,02 per 10.000 penduduk.

GAMBAR 3.24

INCIDENCE RATE (IR) DIFTERI PER 10.000 PENDUDUK MENURUT KELOMPOK UMUR DI INDONESIA TAHUN 2003-2009

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2009

Gambaran penyakit Difteri menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 3.22 dan 3.23.

d. Polio dan AFP (Acute Flaccid Paralysis/Lumpuh Layu Akut)

Polio merupakan salah satu penyakit menular yang termasuk ke dalam PD3I yang disebabkan oleh virus yang menyerang sistem syaraf higga penderita mengalami kelumpuhan. Penyakit yang pada umumnya menyerang anak berumur 0-3 tahun ini ditandai dengan munculnya demam, lelah, sakit kepala, mual, kaku di leher dan sakit di tungkai dan lengan.

Sedangkan AFP merupakan kondisi abnormal ketika seseorang mengalami penurunan kekuatan otot tanpa penyebab yang jelas kemudian berakibat pada kelumpuhan. Ditjen PP&PL Kementerian Kesehatan telah menetapkan indikator surveilans AFP yaitu ditemukannya Non Polio AFP Rate minimal sebesar 2/100.0000 anak usia < 15 tahun. Pada tahun 2009 non Polio AFP Rate sebesar 2,65 per 100.000 anak < 15 tahun.

(67)

47

GAMBAR 3.25

NON POLIO AFP RATE PER 100.000 ANAK < 15 TAHUN

DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2009

Provinsi dengan non Polio AFP Rate tertinggi adalah Gorontalo sebesar 8,4 per 100.000 anak < 15 tahun, diikuti oleh DIY dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 5,67 dan 5,64 per 100.000 anak < 15 tahun. Sedangkan provinsi dengan non Polio AFP Rate terendah adalah Papua sebesar 1 per 100.000 anak < 15 tahun, diikuti oleh NTB dan Kalimantan Tengah masing-masing sebesar 1,29 dan 1,57 per 100.000 anak < 15 tahun. Informasi lebih rinci menurut provinsi terdapat pada Lampiran 3.24 dan 3.25.

3 . Pe nya k it Pot e nsia l K LB/Wa ba h

Terdapat beberapa penyakit yang berpotensi KLB/wabah yang sering terjadi di Indonesia, di antaranya adalah Demam Berdarah Dengue (DBD), Diare dan Chikungunya. Seluruh penyakit potensial KLB ini banyak mengakibatkan kematian dan kerugian secara ekonomi.

a.Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty. Penyakit ini sebagian besar menyerang anak berumur < 15 tahun, namun dapat juga menyerang orang dewasa.

(68)

48

GAMBAR 3.26

INCIDENCE RATE DBD PER 100.000 PENDUDUK DAN CASE FATALITY RATE DBD

DI INDONESIA TAHUN 2005-2009

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2009

Meskipun CFR tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan tahun 2008, namun sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2008, nampak adanya kecenderungan penurunan CFR. Kecenderungan penurunan tersebut tidak nampak pada IR per 100.000 penduduk.

Angka Insidens (IR) tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta, yaitu 313,41 per 100.000 penduduk, diikuti oleh Kalimantan Barat sebesar 228,3 per 100.000 penduduk dan Kalimantan Timur sebesar 173,84 per 100.000 penduduk. Sedangkan IR terendah di Provinsi NTT sebesar 8,44 dan Jambi sebesar 8,55 per 100.000 penduduk. Provinsi Maluku melaporkan 0 kasus.

GAMBAR 3.27

INCIDENCE RATE DBD PER 100.000 PENDUDUK DI INDONESIA TAHUN 2009

(69)

49

Pada tahun 2009, provinsi dengan CFR tertinggi adalah Kep. Bangka Belitung sebesar 4,58%, diikuti oleh Bengkulu sebesar 3,08%, Gorontalo sebesar 2,2%. Sedangkan CFR terendah terdapat di provinsi Sulawesi Barat, dimana tidak ada kasus meninggal, dan DKI Jakarta sebesar 0,11%.

GAMBAR 3.28

CASE FATALITY RATE DBD DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen PP&PL, Kemenkes RI 2009

Pola perkembangan DBD pada tahun 2009 secara nasional menunjukkan terjadinya peningkatan kasus dan kematian DBD dibandingkan tahun 2008. Puncak peningkatan kasus tahun 2009 terjadi pada bulan Januari, Februari dan Maret, kemudian kasus menurun kembali setelah bulan Juli dan mencapai titik terendah pada bulan September, namun terjadi peningkatan sedikit pada bulan November dan Desember.

Jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD sejak tahun 1968 sampai dengan 2009 cenderung mengalami peningkatan seiring dengan terjadinya pemekaran wilayah di Indonesia. Puncak IR DBD terjadi pada tahun 1973, 1988, 1998 dan 2005. Jumlah kabupaten/kota terjangkit DBD terus meningkat sampai tahun 1998, dan sedikit menurun di tahun 1999, kemudian meningkat kembali sampai tahun 2007. Pada tahun 2008 sebesar 73,5% kabupaten/kota terjangkit, sedangkan tahun 2009 tercatat 384 Kabupaten/kota dari 497 Kabupaten/kota yang ada atau sebesar 77,26%.

GAMBAR 3.29

PERSENTASE KABUPATEN/KOTA TERJANGKIT DBD DI INDONESIA TAHUN 2009

(70)

50

Informasi lebih rinci menurut provinsi terkait dengan penyakit DBD dapat dilihat pada Lampiran 3.26 dan Lampiran 3.27.

b. Diare

Diare merupakan penyakit yang terjadi ketika terdapat perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar. Seseorang dikatakan menderita Diare bila feses lebih berair dari biasanya, atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam.

Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare terjadi di 15 provinsi dengan jumlah penderita sebanyak 5.756 orang, jumlah kematian sebanyak 100 orang atau CFR sebesar 1,74%. CFR tahun 2009 tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 2008 CFR Diare sebesar 2,48%. Kecenderungan CFR Diare pada periode tahun 2005-2009 terdapat pada gambar berikut.

GAMBAR 3.30

CASE FATALITY RATE (CFR) DIARE

DI INDONESIA TAHUN 2005 – 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemkes RI, 2010

Pada gambar di atas terlihat adanya penurunan CFR yang cukup signifikan pada tahun 2006-2007, dari 2,52% menjadi 1,26%. Angka ini naik menjadi 2,48% pada tahun 2008. Angka ini turun menjadi 1,74% pada tahun 2009. Penurunan ini dapat disebabkan oleh adanya perbaikan penatalaksanaan kasus Diare.

Berikut ini disajikan gambaran distribusi provinsi dengan KLB Diare pada tahun 2009.

GAMBAR 3.31

KLB DIARE DI INDONESIA TAHUN 2009

(71)

51

Informasi lebih rinci menurut provinsi terkait Diare dapat dilihat pada Lampiran 3.28.

c.Chikungunya

Chikungunya adalah penyakit infeksi akut yang ditandai gejala utama demam, ruam /bercak-bercak kemerahan di kulit dan nyeri persendian, penyakit disebabkan oleh infeksi virus Chik yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

Penyakit ini kerap dijumpai terutama di daerah tropis/subtropis dan sering menimbulkan epidemi. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya penyakit ini antara lain rendahnya status kekebalan kelompok masyarakat, kepadatan populasi nyamuk penular karena banyaknya tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada musim penghujan.

Pada tahun 2008 dilaporkan di Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Sumbar dan DI Yogyakarta dengan jumlah 3.592 kasus tanpa kematian. Sedangkan pada tahun 2009 dilaporkan di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kep. Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur dengan jumlah 83.756 kasus tanpa kematian.

Berikut ini disajikan gambaran kasus Chikungunya menurut provinsi pada tahun 2009.

GAMBAR 3.32

JUMLAH KASUS CHIKUNGUNYA DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemkes RI, 2010

(72)

52

d.Rabies

Rabies adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus rabies yang ditularkan melalui gigitan hewan seperti anjing, kucing, kelelawar, kera, musang dan serigala yang di dalam tubuhnya mengandung virus Rabies.

Penyakit dengan CFR tinggi ini terus menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Sampai akhir tahun 2009, daerah tertular rabies adalah 24 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Dengan demikian hanya 9 provinsi yaitu: Kep.Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat, Papua Barat, dan Papua yang masih dinyatakan sebagai daerah bebas rabies.

Terdapat beberapa indikator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian Rabies, yaitu : GHPR (kasus Gigitan Hewan Penular Rabies), kasus yang divaksinasi dengan Vaksin Anti Rabies (VAR), dan Lyssa. Berikut ini disajikan gambaran GHPR, kasus divaksinasi, dan Lyssa pada tahun 2004-2009.

GAMBAR 3.33

JUMLAH KASUS GHPR, VAR

DAN LYSSA DI INDONESIA TAHUN 2004-2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemkes RI, 2010

Selama tahun 2004-2009, nampak adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus GHPR dan kasus VAR. Kasus GHPR pada tahun 2004 dilaporkan sebanyak 14.996 dengan 7.895 kasus divaksinasi dan 109 kasus lyssa. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan kasus GHPR menjadi 45.466 kasus dengan kasus divaksinasi 35.316 dan lyssa sebesar 195 kasus. Pada tahun 2009 provinsi dengan kasus GHPR terbanyak adalah Bali, sedangkan provinsi yang berhasil menekan jumlah lyssa menjadi 0 kasus pada tahun 2009 adalah Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat. Gambaran situasi Rabies di Indonesia menurut provinsi pada tahun 2009 terdapat pada Lampiran 3.30.

(73)

53

GAMBAR 3.34

WILAYAH TERTULAR RABIES DI INDONESIA TAHUN 2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemkes RI, 2010

Berdasarkan gambar di atas, maka provinsi yang bebas rabies pada tahun 2009 yaitu Kep. Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Barat, Papua Barat, dan Papua.

e. Filariasis

Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit berupa cacing filaria, yang terdiri dari Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Penyakit ini menginfeksi jaringan limfe (getah bening). Filariasis menular melalui gigitan nyamuk yang mengandung cacing filaria dalam tubuhnya. Dalam tubuh manusia, cacing tersebut tumbuh menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan limfe sehingga menyebabkan pembengkakan di lengan dan organ genital.

GAMBAR 3.35

JUMLAH KASUS FILARIASI DI INDONESIA TAHUN 2003-2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemkes RI, 2010

(74)

54

f. Antraks

Penyakit Antraks adalah penyakit infeksi yang akut yang disebabkan oleh spora dari bakteri Bacillus anthracis. Spora Bacillus anthracis dapat bertahan hidup di lingkungan selama bertahun-tahun hingga mendapatkan host baru. Umumnya penyakit ini terjadi pada mamalia herbivora baik yang liar maupun peliharaan, meskipun dapat juga menyerang mamalia lain dan beberapa jenis unggas. Manusia dapat tertular Antraks melalui kontak langsung maupun tidak langsung atau mengkonsumsi binatang yang terinfeksi atau produk hewan yang terkontaminasi bakteri/spora Antraks.

Selama tahun 2009 telah dilaporkan kasus antraks pada manusia sebanyak 17 kasus 2 orang diantaranya meninggal (CFR 11,76%). Terdapat 2 kasus yang meninggal akibat antraks tipe pencernaan yang bersifat sangat akut. Semua kasus berasal dari Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan.

g. Pes

Penyakit pes atau bubonic plaque disebabkan oleh infeksi bakteri Pasteurella pestis melalui hewan pengerat liar. Terdapat 4 wilayah yang merupakan wilayah fokus Pes yaitu

1. Provinsi Jawa Timur di Kabupaten Pasuruan, Kecamatan Tutur Nongkojajar

2. Provinsi Jawa Tengah di Kabupaten Boyolali, Kecamatan Selo dan Cepogo, 3. Provinsi DI Yogyakarta di Kabupaten Sleman, Kecamatan Cangkringan

4. Provinsi Jawa Barat di Kabupaten Bandung, Kecamatan Ciwidey.

Seluruh daerah tersebut adalah merupakan daerah pegunungan (daerah ketinggian) seperti Kecamatan Tutur Nongkojajar di kaki Gunung Bromo, Kecamatan Selo & Cepogo serta Cangkringan di Kaki Gunung Merapi, Kecamatan Ciwidey di daerah kawah putih Ciwidey.

Surveilans aktif dan pasif terhadap rodent dan pinjalnya masih tetap dilakukan secara rutin di empat daerah fokus Pes tersebut untuk mengantisipasi terjadinya KLB Pes yang biasa terjadi setiap 10 tahun. KLB Pes terakhir terjadi pada tahun 2007 di Dusun Sulorowo, Desa Kayukebek, Kecamatan Tutur Nongkojajar Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2009, provinsi yang masih melaporkan kegiatan trapping hanya Jawa Timur, dimana terdapat 40 spesimen manusia dan 3.175 spesimen rodent yang diperiksa di BLK Surabaya dan hasilnya menunjukkan negatif.

(75)

55

GAMBAR 3.36

HASIL SURVEILANS PES PADA MANUSIA DI INDONESIA TAHUN 2004-2009

Sumber: Ditjen PP-PL, Kemkes RI, 2010

Pada gambar di atas nampak terjadi peningkatan jumlah manusia yang diperiksa maupun yang menunjukkan hasil positif pada tahun 2004-2007. Pada tahun 2008 dan 2009 tidak ditemukan lagi kasus positif pada manusia. Data dan Informasi mengenai penyakit pes terdapat pada Lampiran 3.32.

h. Leptospirosis

Leptospirosis ditularkan melalui urin hewan pengerat yang telah terinfeksi bakteri penyebab Leptospirosis. Manusia dapat terinfeksi jika terpapar dengan air, tanah basah yang telah terkontaminasi urin tersebut. Penyakit ini ditandai dengan beberapa gejala seperti flu sampai dengan gangguan serius yang dapat menyebabkan kematian. Kasus Leptospirosis seringkali dilaporkan dari wilayah yang terkena banjir.

Pada tahun 2009 terdapat tiga wilayah yang melaporkan adanya kasus leptospirosis yaitu Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan kasus Leptospirosis di Jawa Tengah pada bulan Januari sampai dengan April 2009, dimana sedang terjadi bencana banjir di wilayah tersebut. Secara nasional, pada tahun 2009 terdapat 378 kasus dengan 23 kasus meninggal. Berikut ini ditampilkan gambaran jumlah kasus, meninggal dan CFR Leptospirosis selama tahun 2004-2009.

GAMBAR 3.37

JUMLAH KASUS, MENINGGAL DAN CFR LEPTOSPIROSIS DI INDONESIA TAHUN 2004-2009

Gambar

GAMBAR 2.5 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN DI INDONESIA TAHUN 2006 – 2010
GAMBAR 2.7 ANGKA MELEK HURUF PENDUDUK BERUSIA 15 TAHUN KE ATAS MENURUT
GAMBAR 2.15 PERSENTASE RUMAH SEHAT
GAMBAR 2.16 PERSENTASE RUMAH BEBAS JENTIK NYAMUK
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegagalan PTA, telah membawa kepada penubuhan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) pada tahun 1992 semasa mesyuarat peringkat menteri ASEAN di Singapura secara amnya akan

Tabel 4.36 Persentase Rumah Tangga yang Mendapat Pelayanan Kesehatan Gratis selama 6 Bulan Referensi Menurut Jenis Kartu yang Digunakan dan Provinsi Tahun 2010 (di

Berdasarkan studi Bank Dunia pada tahun 2004, bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, perijinan untuk memulai suatu usaha dari berbagai instansi baik

Selain dengan hubungan kedua negara yang sangat erat, alasan lain Indonesia memilih Singapura sebagai partner ekspor komoditas ternak adalah keberadaan Singapura

Bila akuntan Indonesia tidak siap menghadapi AEC 2015, maka akuntan dari negara lain akan berdatangan ke Indonesia. “Jumlah akuntan profesional di kita lebih kecil

Indonesia berada di peringkat ke empat di dunia dan ke tiga se Asia Tenggara, hal ini mengindikasikan dua Negara seperti Malaysia dan Singapura telah mengambil langkah

Singapura, Kanada, Australia &amp; New Zealand, adalah negara yang umurnya kurang dari 150 tahun dalam membangun.. Tetapi saat ini mereka adalah bagian dari negara maju di

Lampiran 5.20 Cakupan Pelayanan Kesehatan Bayi dan Anak balita Menurut Provinsi Tahun 2014 Lampiran 5.21 Cakupan Imunisasi Anak Sekolah Menurut Provinsi Tahun 2014 Lampiran 5.22