• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepulauan Riau 864,333 821,365 1,685,698

Selama tahun 2009 kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau memberi kontribusi terbesar pada inflasi sebesar 7,81%. Kelompok lainnya dalam tahun 2009 masing-masing kelompok sandang 6,00%, kelompok kesehatan, kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga masing-masing memberikan kontribusi yang sama 3,89%, kelompok bahan makanan 3,88%, perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar menyumbang sebesar 1,83% pada inflasi nasional; dan kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan -3,67%.

Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5% pada 2009, maka nilai Produk Domestik Bruto (PDB) 2009 naik sebesar Rp 662,0 triliun. Dari Rp 4.951,4 triliun pada 2008 menjadi sebesar Rp 5.613,4 triliun pada 2009. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor pengangkutan dan komunikasi 15,5%. Pertumbuhan terendah terjadi di sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,1%. Sedangkan PDB untuk non migas tumbuh 4,9%.

Untuk mengetahui tingkat pengangguran, dilakukan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Sakernas merumuskan konsep pengangguran sebelum tahun 2001 sebagai angkatan kerja yang tidak bekerja/tidak mempunyai pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan. Sejak tahun 2001 konsep pengangguran menjadi angkatan kerja yang tidak bekerja/tidak mempunyai pekerjaan, yang mencakup angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan/putus asa (sebelumnya dikategorikan sebagai Bukan Angkatan Kerja) dan yang punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja (sebelumnya dikategorikan sebagai Bekerja).

Persentase pengangguran terbuka adalah perbandingan antara jumlah pencari kerja dengan jumlah angkatan kerja. Pengangguran terbuka disini didefinisikan sebagai orang yang sedang mencari pekerjaan atau yang sedang mempersiapkan usaha atau juga yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin lagi mendapatkan pekerjaan, termasuk juga mereka yang baru mendapat kerja tetapi belum mulai bekerja. Pengangguran terbuka tidak termasuk orang yang masih sekolah atau mengurus rumah tangga.

Menurut Sakernas, definisi operasional Angkatan Kerja adalah penduduk usia kerja yang bekerja atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja, dan penganggur. Sementara Bekerja menurut definisi Sakernas adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit satu jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan itu termasuk juga kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi.

Berdasarkan data hasil Sakernas BPS tahun 2008-2010 ada penurunan angka pengangguran. Hal ini disebabkan bertambahnya lapangan kerja pada sektor jasa kemasyarakatan seperti jasa pertukangan, pembantu rumah tangga, transportasi dan

11

pertanian. Perkembangan angkatan kerja, penduduk yang bekerja dan pengangguran pada Februari 2008 - Februari 2010 adalah sebagai berikut.

TABEL 2.1

PERKEMBANGAN ANGKATAN KERJA, PENDUDUK YANG BEKERJA DAN PENGANGGURAN TERBUKA DI INDONESIA TAHUN 2008 – 2010

Feb 2008 (juta orang) Feb 2009 (juta orang) Feb 2010 (juta orang)

Jumlah Angkatan Kerja 111,48 113,74 115,99

Jumlah penduduk yang bekerja 102,05 104,49 107,41

Pengangguran terbuka 9,43 9,26 8,59

Pengangguran terbuka (%) 8,46 8,14 7,40

Sumber: BPS, Survei Angkatan Kerja Nasional 2008-2010

Pembangunan ekonomi yang diupayakan diharapkan mampu mendorong kemajuan, baik fisik, sosial, mental dan spiritual di segenap pelosok negeri terutama wilayah yang tergolong daerah tertinggal. Suatu daerah dikategorikan menjadi daerah tertinggal karena beberapa faktor penyebab, yaitu geografis, sumber daya alam, sumber daya manusia, prasarana dan sarana, daerah rawan bencana dan konflik sosial, dan kebijakan pembangunan. Keterbatasan prasarana terhadap berbagai bidang termasuk di dalamnya kesehatan menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.

Unit terkecil daerah tertinggal yang digunakan dalam Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (STRANAS PPDT) adalah wilayah administrasi kabupaten. Menurut definisinya, daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan berpenduduk relatif tertinggal. Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan 6 (enam) kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah, serta berdasarkan kabupaten yang berada di daerah pedalaman, kepulauan (pulau kecil dan gugus pulau), perbatasan antar negara, daerah rawan bencana dan daerah rawan konflik dan sebagian besar wilayah daerah pesisir.

Berdasarkan pendekatan tersebut, maka ditetapkan 199 kabupaten yang dikategorikan kabupaten tertinggal. Saat ini Indonesia memiliki 19 kabupaten perbatasan, 33 pulau-pulau kecil terluar berpenduduk dan 183 daerah tertinggal (termasuk terpencil). Tahun 2009 persentase daerah tertinggal adalah 40,04% dari 497 kabupaten/kota. Provinsi dengan persentase kabupaten tertinggal tertinggi adalah Sulawesi Barat, yaitu sebesar 100%, diikuti oleh Sulawesi Tengah sebesar 81,82% dan Bengkulu 80,00%. Jumlah dan persentase kabupaten tertinggal menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.6.

12

GAMBAR 2.4

PROVINSI DENGAN PERSENTASE KABUPATEN TERTINGGAL DI INDONESIA TAHUN 2009

Kemiskinan menjadi isu yang cukup menyita perhatian berbagai kalangan termasuk kesehatan. Keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan terkait dengan daya beli ekonomi. Kemiskinan juga menjadi hambatan besar dalam pemenuhan kebutuhan terhadap makanan yang sehat sehingga dapat melemahkan daya tahan tubuh yang dapat berdampak pada kerentanan untuk terserang penyakit- penyakit tertentu. Fenomena gizi buruk dan kurang seringkali dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang buruk jika merujuk pada fakta bahwa keterbatasan pemenuhan pangan dapat menyebabkan busung lapar, Kwashiorkor, penyakit kekurangan vitamin seperti Xeropthalmia, Scorbut, dan Beri-beri.

Pada bulan Maret 2010, jumlah penduduk miskin menurun menjadi 31,02 juta (13,3%) dari 32,53 juta (14,15%) penduduk miskin pada bulan Maret 2009. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan 1,51 juta penduduk miskin. Persentase penduduk miskin dari tahun 2006-2010 disajikan pada Gambar 2.5 berikut ini.

GAMBAR 2.5

PERSENTASE PENDUDUK MISKIN DI INDONESIA TAHUN 2006 – 2010

Sumber: BPS, Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2010 Berita Resmi Statistik, BPS 2008, No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010 Sumber: Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal

13

Berdasarkan data jumlah penduduk miskin menurut provinsi dari BPS (Lampiran 2.8) terdapat persebaran penduduk miskin antar pulau yang nyata perbedaannya. Lebih dari separuh penduduk miskin di Indonesia berada di Pulau Jawa yaitu 57,1% tahun 2008 dan menjadi 55,8% tahun 2010. Selebihnya tersebar di Sumatera 21,4%, Sulawesi 7,6%, Kalimantan 3,3%, Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara 7,1%, Maluku dan Papua 4,8% (tahun 2010). Jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin menurut kelompok pulau tahun 2008-2010 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

TABEL 2.2

PERSEBARAN DAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN

MENURUT KELOMPOK BESAR PULAU DI INDONESIA TAHUN 2008 – 2010 Maret 2008 Maret 2009 Maret 2010 Kelompok Pulau Jumlah

(juta) % Jumlah (juta) % Jumlah (juta) % Sumatera 7,3 20,9 5,3 17,3 6,7 21,4 Jawa 19,9 57,1 18,1 59,1 17,3 55,8 Kalimantan 2,4 6,8 2,2 7,3 2,2 7,1

Bali dan Nusa Tenggara 1,2 3,5 1,0 3,3 1,0 3,3

Sulawesi 2,6 7,5 2,5 8,1 2,3 7,6

Maluku dan Papua 1,5 4,2 1,5 4,9 1,5 4,8

Total 34,9 15,4 32,5 14,2 31,0 13,3

Dalam roadmap reformasi kesehatan masyarakat Kementerian Kesehatan ada 7 prioritas yang harus dikerjakan untuk mencapai sasaran strategis pembangunan kesehatan. Salah satu di antaranya adalah mengatasi permasalahan pelayanan kesehatan di Daerah yang Bermasalah Kesehatan (DBK) dengan pendekatan spesifik yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya. Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK) adalah upaya kesehatan terfokus, terintegrasi, berbasis bukti, dilakukan secara bertahap di daerah yang menjadi prioritas bersama kementerian terkait, dalam jangka waktu tertentu, sampai mampu mandiri dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang kesehatan seluas-luasnya.

Menurut definisi, Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) adalah keadaan/derajat kesehatan wilayah kabupaten/kota yang digambarkan melalui hasil Riskesdas/SUSENAS dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM), wilayah menurut Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan (Pendataan Sosial Ekonomi/PSE BPS).

Hasil Riskesdas tahun 2007 menghasilkan instrumen pengukuran Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). Dengan IPKM, dapat diketahui dimana daerah-daerah bermasalah tersebut dapat dipetakan berdasarkan peringkat

Sumber: BPS, Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2010 Berita Resmi Statistik, BPS 2008, No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010

14

kabupaten/kota. Daerah yang mempunyai IPKM <0,337 merupakan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK). Besaran IPKM setiap kabupaten/kota dirumuskan berdasarkan 20 indikator kesehatan.

Berdasarkan beberapa kriteria yang telah ditetapkan di atas, dari 440 kabupaten/kota yang menjadi daerah pelaksanaan Riskesdas 2007 terdapat 117 DBK yang berada di 22 provinsi. Tiga provinsi mempunyai jumlah kabupaten/kota DBK terbanyak yaitu Aceh (16 kab/kota), Papua (15 kab/kota) dan Nusa Tenggara Timur (12 kab/kota).

Kabupaten/kota bermasalah meliputi 32 DBK, 2 DBK dan Perbatasan, 71 DBK Berat dan Tertinggal, 7 DBK Berat, Tertinggal dan Kepulauan Terluar dan 5 DBK Berat, Tertinggal dan Perbatasan. Secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut ini.

TABEL 2.3

JUMLAH KABUPATEN/KOTA DAERAH BERMASALAH KESEHATAN DI INDONESIA TAHUN 2010

Kab/Kota Berat Berat, Perbatasan Berat, Tertinggal Berat, Tertinggal dan Kepulauan Terluar Berat, Tertinggal dan Perbatasan Jumlah Kabupaten 14 1 71 7 5 98 Kota 18 1 0 0 0 19 Total 32 2 71 7 5 117 Jumlah Penduduk 37.741.501

Sumber: Ditjen Binkesmas, Kemenkes, 2010

C. K EADAAN PEN DI DI K AN

Kondisi pendidikan merupakan salah satu indikator yang kerap ditelaah dalam mengukur tingkat pembangunan manusia suatu negara. Melalui pengetahuan, pendidikan berkontribusi terhadap perubahan perilaku kesehatan. Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk berperilaku sehat.

Angka buta huruf berkorelasi dengan angka kemiskinan. Sebab, penduduk yang tidak bisa membaca secara tidak langsung mendekatkan mereka pada kebodohan, sedangkan kebodohan itu sendiri mendekatkan mereka pada kemiskinan. Jumlah penduduk buta huruf di Indonesia tidak hanya dialami satu generasi, tetapi terdiri atas generasi muda dan tua.

Berdasarkan data BPS 2005-2009, persentase penduduk yang buta huruf cenderung menurun karena akses terhadap pendidikan meningkat dalam 5 tahun terakhir ini. Persentase terbesar penduduk yang buta huruf berada dalam kelompok umur lebih dari 45 tahun, diikuti kelompok umur kurang dari 15 tahun. Dengan

15

demikian, pendidikan sebagai senjata utama penghapusan buta huruf itu senantiasa harus menyentuh baik generasi muda maupun generasi tuanya.

GAMBAR 2.6

PERSENTASE PENDUDUK YANG BUTA HURUF MENURUT KELOMPOK UMUR DI INDONESIA TAHUN 2005 – 2009

Sumber: BPS, www.bps.go.id

Tahun 2005-2009 persentase tertinggi penduduk yang buta huruf menurut kelompok umur adalah penduduk dengan kelompok umur di atas 45 tahun dengan persentase 22,83% pada tahun 2005 dan menurun setiap tahunnya menjadi 18,58% pada tahun 2009.

Indikator pendidikan lainnya yang sejenis adalah Angka Melek Huruf (AMH) yaitu persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. Penggunaan AMH adalah untuk (1) mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama di daerah perdesaan di Indonesia dimana masih tinggi jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD. (2) menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari berbagai media. (3) menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis. Sehingga angka melek huruf dapat berdasarkan kabupaten mencerminkan potensi perkembangan intelektual sekaligus kontribusi terhadap pembangunan daerah.

AMH nasional adalah 92,58%; provinsi dengan persentase AMH tertinggi adalah Sulawesi Utara (99,22%), DKI Jakarta (98,94%) dan Riau (98,11%). Sebaliknya persentase AMH yang terendah adalah Papua (70,29%), NTB (80,18%) dan Sulawesi Selatan (87,02%). AMH secara rinci menurut provinsi dapat dilihat dalam Lampiran 2.9.

16

GAMBAR 2.7

ANGKA MELEK HURUF PENDUDUK BERUSIA 15 TAHUN KE ATAS MENURUT PROVINSI DAN JENIS KELAMIN DI INDONESIA TAHUN 2009

Rata-rata lama sekolah mayoritas penduduk di Indonesia masih relatif rendah yaitu 7,7 tahun pada tahun 2009 atau setara dengan kelas dua SMP.

Gambar di bawah ini menunjukkan rata-rata lama sekolah menurut jenis kelamin secara nasional. Rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas pada tahun 2006 mencapai 7,4 tahun, sedangkan tahun 2008 mencapai 7,5 tahun. Dilihat dari jenis kelamin, rata-rata lama sekolah laki-laki (8,2 tahun) lebih besar daripada perempuan (7,3 tahun),

GAMBAR 2.8

RATA-RATA LAMA SEKOLAH MENURUT JENIS KELAMIN DI INDONESIA TAHUN 2006 – 2009

.

Sumber: BPS, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia, Mei 2010

17

Rata-rata lama sekolah secara rinci menurut provinsi dapat dilihat dalam Lampiran 2.10.

Angka Partisipasi Sekolah (APS) dari BPS secara umum dikategorikan menjadi 3 kelompok umur, yaitu 7-12 tahun mewakili umur setingkat SD, 13-15 tahun mewakili umur setingkat SLTP, dan 16-18 tahun mewakili umur setingkat SLTA. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah APS. Persentase angka partisipasi sekolah menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 2.11.

Gambar di bawah ini merupakan APS nasional menurut usia sekolah dari tahun 2005-2009, berdasarkan 4 kelompok umur dimana kelompok umur 19-24 tahun mewakili umur setingkat perguruan tinggi.

GAMBAR 2.9

PERSENTASE ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH MENURUT USIA SEKOLAH DI INDONESIA TAHUN 2005 – 2009

Sumber: BPS, www.bps.go.id

Terdapat dua ukuran partisipasi sekolah yang utama, yaitu Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Kedua ukuran tersebut mengukur penyerapan penduduk usia sekolah oleh sektor pendidikan. Perbedaan di antara keduanya adalah penggunaan kelompok usia "standar" di setiap jenjang pendidikan. Usia standar yang dimaksud adalah rentang usia yang dianjurkan pemerintah dan umum dipakai untuk setiap jenjang pendidikan

Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan

Gambar di bawah ini menunjukkan persentase APK tertinggi adalah pada tingkat pendidikan SD/MI dan persentase APK yang terendah adalah pada tingkat

Dokumen terkait