• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISASI FIKOSIANIN Spirulina platensis SEBAGAI BAHAN IMUNOSTIMULAN

3. Kandungan protein dan berat molekul protein fikosianin

(extraction purity, EP) dan produksi hasil ekstraksi fikosianin (Yield, mg g-1) dengan pelarut berbeda tercantum pada Lampiran 3.

Tabel 5 Hasil ekstraksi fikosianin dengan menggunakan beberapa pelarut berbeda

Parameter KT4 MT3 Air 0.1 M Na buffer fosfat 1% CaCl2 Air 0.1 M Na buffer fosfat 1% CaCl2 PC (mg mL-1) 0.1331a 0.4662d 0.1170a 0.1718b 0.3486c 0.1833b EP 0.2972a 0.9024c 0.4663b 0.4968b 0.8871c 0.5529b Yield (mg g-1) 3.3264a 11.6212d 2.9153a 4.2858b 8.7018c 4.5633b

Huruf sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada P>0.05. KT4 = medium KT, intensitas cahaya 4000 lux; MT3 = medium MT, intensitas cahaya 3000 lux.

Ekstraksi fikosianin biomas kering Spirulina dari medium KT4 dan MT3 dengan menggunakan pelarut 0.1 M Na buffer fosfat (pH 7) menghasilkan konsentrasi fikosianin sebesar 0.4662 mg mL-1dan 0.3486 mg mL-1 masing- masing. Dari hasil uji statistik terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) hasil ekstraksi fikosianin dengan menggunakan pelarut Na buffer fosfat terhadap pelarut air dan CaCl2.

Tingkat kemurnian ekstrak kasar fikosianin (EP) pada penelitian ini dengan menggunakan pelarut 0.1 M Na buffer fosfat menghasilkan nilai yang cukup tinggi pada KT4 (0.9024) dan tidak berbeda nyata terhadap MT3 (0.8871), namun berbeda nyata (P<0.05) terhadap pelarut air (0.2972 dan 0.4968), dan 1% CaCl2

(0.4663 dan 0.5529). Pemurnian fikosianin

Hasil ekstraksi kasar fikosianin dari hasil kultur medium MT3 dengan menggunakan pelarut 0.1M Na buffer fosfat (pH 7) selanjutnya didialisis dengan menggunakan Snake skin Dialysis Tubing 3500 MWCO pada suhu 4-5oC selama 24 jam, selanjutnya dibekukan dalam freezer -80oC dan dikeringbekukan dengan

freeze dryer selama 24 jam. Hasil murni fikosianin Spirulina dari kultur dengan menggunakan medium MT3 diperoleh berat rata-rata sebesar 45.02 mg g-1 (Lampiran 4). Bila dihitung dari berat kering Spirulina (kadar air 0%) yang diekstraksi, maka fikosianin hasil pemurnian ini adalah sebesar 4.76%.

3. Kandungan protein dan berat molekul protein fikosianin

Dari pengukuran protein standar (BSA) dengan beberapa konsentrasi dengan metode Bradford akan terbentuk kurva standar pada spektrofotometer. Selanjutnya sampel protein (fikosianin) yang diukur dengan menggunakan alat spektrofotometer UV Vis ini menghasilkan perhitungan kandungan protein sebesar 26.64%. Secara lengkap perhitungan kandungan protein fikosianin dapat dilihat dalam Lampiran 5.

Pengujian karakterisasi fikosianin selanjutnya dilakukan dengan menggunakan SDS PAGE untuk mengetahui berat molekul protein yang

28

terkandung dalam fikosianin. Hasil fraksinasi protein melalui SDS PAGE diperoleh protein fikosianin dengan beberapa berat molekul. Dari Gambar 5, terdapat dua pita protein pada fikosianin. Untuk mengetahui besaran berat molekul protein yang terdapat dalam fikosianin dilakukan perhitungan pergerakan relative (Rf) masing-masing protein (Tabel 6) dengan bantuan kurva baku protein standard dan nilai Rf diperoleh persamaan : Y = -1.438 x + 5.348 (Gambar 6).

Gambar 5 SDS-PAGE fikosianin Spirulina platensis M, marker, 1,2 pita protein fikosianin

Dengan memasukkan nilai migrasi relatif (Rf) masing-masing protein ke dalam persamaan regresi dari protein standar maka akan diperoleh berat molekul masing-masing protein tersebut. Dari hasil perhitungan dengan persamaan regresi tersebut diperoleh berat molekul dari dua pita protein yang terfraksinasi dengan SDS PAGE sebesar 19.23 dan 63.32 kDa (Tabel 7).

Tabel 6 Hubungan berat molekul protein standar dengan migrasi relatif (Rf)

Protein standar BM Log BM Migrasi Band Rf

Myosin 204000 5.309630167 5 0.4 0.08

B-galactosidase 121000 5.082785370 5 0.8 0.16

Bovine serum albumin 78000 4.892094603 5 1.3 0.26 Carbonic anhydrase 39500 4.596597096 5 2.5 0.5 Soybean trypsin inhibitor 30700 4.487138375 5 3.2 0.64 Lysozyme 19700 4.294466226 5 4 0.8 Aprotinin 7700 3.886490725 5 4.8 0.96 204 kDa 78 kDa 39,5 kDa 30,7 kDa 7,7 kDa 121 kDa 2 19,7 kDa 1

29

Gambar 6 Regresi antara berat molekul protein standar dengan migrasi relatif (Rf)

Tabel 7 Berat molekul protein fikosianin Spirulina platensis

Sampel Migrasi Band Rf log BM BM

BM (Kda) Fikosianin, pita 1 5 1.9 0.38 4.80156 63322.78393 63.32 pita 2 5 3.7 0.74 4.28388 19225.60432 19.23 Pembahasan

Pertumbuhan populasi Spirulina semua perlakuan pada hari ke 9 menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Hal ini dikarenakan pada hari ke 9 semua perlakuan masih berada pada tahap pertumbuhan kecuali perlakuan MT2 dan MT4 yang telah mencapai hasil optimum, kemudian mengalami penurunan. Pertumbuhan optimum populasi Spirulina perlakuan MT3 pada hari ke 12 tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan perlakuan KT4, namun berbeda nyata (p<0.05) terhadap perlakuan MT2, MT4, KT2 dan KT3. Kondisi ini menunjukkan bahwa ada pengaruh interaksi antara nutrien dengan intensitas cahaya terhadap pertumbuhan populasi Spirulina pada hari ke 12. Hasil ini memperlihatkan bahwa perlakuan MT3 memberikan pertumbuhan populasi Spirulina yang sama baiknya dengan perlakuan KT4 meskipun jumlah nutrien nitrogen pada perlakuan MT3 lebih rendah dibandingkan KT4. Dari hasil ini menunjukkan bahwa selain unsur nutrien, intensitas cahaya juga memegang peranan yang cukup penting dalam pertumbuhan populasi Spirulina platensis. Cahaya berperanan penting pada kultur dan kecepatan pertumbuhan dari organisme fotosintetik seperti mikroalga. Pertumbuhan mikroalga akan meningkat secara proporsional dengan

y = -1.438x + 5.348 R² = 0.975 0 1 2 3 4 5 6 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 lo g B M Rf Series1 Linear (Series1)

30

meningkatnya intensitas cahaya sampai tingkat kejenuhan. Peningkatan intensitas yang tinggi akan mengakibatkan inhibisi pada pertumbuhan sel mikroalga (Pulz 2001; Torzillo et al. 2003; Tanaka et al., 1995a-c dan Lee 2001 diacu dalam

Oncel dan Akpolat 2006; Masojidek et al. 2004).

Berat kering Spirulina perlakuan KT2, KT3 dan KT4 menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan MT3, hal ini diduga karena pada saat penyaringan, pencucian dengan air tawar dan pengeringan Spirulina pada perlakuan KT masih terdapat sisa nutrien NaHCO3 (soda kue) pada kertas saring.

Hal ini dikarenakan penambahan NaHCO3 yang tinggi pada perlakuan KT

mengakibatkan NaHCO3 tidak dapat larut sempurna sehingga terbawa saat

pengambilan sampel dan berpengaruh dalam pengukuran berat kering. Kondisi ini ditunjukkan pada hari ke 12 di dalam medium kultur KT yang berwarna lebih keruh dibandingkan perlakuan MT. Keadaan ini diduga dari NaHCO3 yang digunakan dalam medium kultur adalah bahan kimia teknis yang diduga banyak bahan ikutan (filler) yang berpengaruh pada saat penimbangan berat kering

Spirulina. Namun dari uji anova berat kering tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0,05) antara perlakuan MT3 dengan KT2, KT3 dan KT4.

Penggunaan nutrien MT dengan intensitas cahaya 3000 lux pada kondisi laboratorium memberikan produksi ekstrak kasar fikosianin yang cukup tinggi walaupun sumber nitrogen dari nutrien ini lebih rendah dibandingkan perlakuan KT. Kandungan fikosianin pada tahap stasioner menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0.05). Ekstrak kasar fikosianin pada fase eksponensial lebih tinggi dibandingkan pada fase stasioner. Hal ini dikarenakan pada fase eksponensial mikroalga berada pada fase aktif mengalami pembelahan sel (pertumbuhan dipercepat) sehingga sintesis protein banyak terjadi pada fase ini. Kondisi ini didukung oleh Boussiba dan Richmond (1980) yang menyatakan bahwa sintesis c-phycocyanin banyak terjadi selama fase logaritmik (eksponensial).

Untuk meningkatkan kandungan ekstrak fikosianin pada medium MT perlu ditambahkan unsur nitrogen sampai batas optimum. Hal ini didukung oleh Colla et al. (2005) yang menyatakan bahwa nitrogen sangat dibutuhkan untuk sintesis asam amino guna membentuk protein dan komponen-komponen seluler lainnya seperti fikosianin. Selain itu fosfor juga dibutuhkan untuk penyusunan protein dalam sel. Hasil penelitian Chrismadha et al. (2006) juga menyatakan bahwa penurunan kandungan protein, klorofil a dan fikosianin terjadi pada

Spirulina fusiformis akibat defisiensi nitrogen dan fosfor.

Kualitas air media kultur KT dan MT selama pemeliharaan menunjukkan kondisi adanya sedikit perbedaan. Terlihat disini bahwa ada perbedaan pH antara medium MT dan KT. pH pada medium KT terlihat cenderung lebih tinggi (9.87 – 10.25) dibandingkan MT (9.11–9.61), hal ini dikarenakan pada medium KT mengandung nutrien NaHCO3 yang lebih tinggi daripada MT sehingga

mempengaruhi nilai pH air dan berpengaruh terhadap pertumbuhan Spirulina. Hu (2004) menyatakan bahwa Spirulina dapat tumbuh maksimum pada kisaran pH antara 9.5-9.8, sementara pH pada perlakuan KT lebih tinggi dari kisaran tersebut. Dari hasil produksi massal, MT3 menghasilkan produksi biomas Spirulina

tiga kali lebih tinggi dibandingkan nutrien KT4. Dengan kandungan nutrien nitrogen yang lebih rendah daripada perlakuan KT4, MT3 masih mampu memberikan produksi biomas yang tinggi. Hal ini dikarenakan mikroalga dari

31 kelompok cyanobacteria memiliki kemampuan memfiksasi nitrogen bebas. Selain itu, hal ini diduga urea dan ammonium sulfat (ZA) yang digunakan sebagai sumber nitrogen dalam medium MT lebih mudah larut dalam air sehingga mampu menyediakan nitrogen yang cukup pada saat pertumbuhan. Kondisi ini didukung oleh Kaplan et al. (1986) yang menyatakan bahwa sumber nitrogen dari urea merupakan sumber nitrogen yang potensial baik. Choi et al. (2003) juga menyatakan bahwa Spirulina yang dikultivasi dalam media urea sebagai sumber nitrogen memberikan rasio pertumbuhan spesifik lebih tinggi dibandingkan penggunaan ammonium, nitrat dan nitrit.

Kualitas air pemeliharaan pada kultur skala massal masih berada dalam kondisi yang optimum untuk pertumbuhan Spirulina. pH air pemeliharaan berada dalam kondisi alkalis (pH 10). Richmond (1986) menyatakan bahwa pH 10.5 pada kondisi outdoor tidak membatasi petumbuhan Spirulina, tetapi pH 11 akan mengakibatkan pertumbuhan terbatas. Spirulina tumbuh optimum pada temperatur berkisar antara 35-37oC. Temperatur minimum yang masih dapat ditolerir untuk pertumbuhan Spirulina adalah 18oC (Richmond 1986).

Hasil ekstraksi dengan menggunakan tiga pelarut berbeda menghasilkan bahwa pelarut Na buffer fosfat (pH 7) memberikan hasil ekstraksi fikosianin terbaik dibandingkan pelarut air dan 1% CaCl2. Ekstraksi fikosianin dengan

menggunakan pelarut Na buffer fosfat menghasilkan konsentrasi fikosianin 2 – 3.5 kali lebih tinggi dibandingkan menggunakan pelarut air. Hasil studi yang dilakukan Silveira et al. (2007) juga menunjukkan bahwa pelarut terbaik untuk ekstraksi fikosianin Spirulina adalah dengan menggunakan pelarut Na buffer fosfat. Hal ini dikarenakan pelarut Na buffer fosfat (pH 7) merupakan larutan penyangga (buffer) sehingga lebih stabil dalam pelarutan fikosianin dibandingkan pelarut air dan 1% CaCl2. Ekstraksi merupakan suatu proses yang secara selektif

mengambil zat terlarut dari campuran dengan bahan pelarut. Dikatakan oleh Abalde et al. (1998) dan Silveira et al. (2007) bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi ekstraksi fikosianin yaitu metode pemecahan sel, jenis pelarut, rasio pelarut-biomas, dan lama waktu.

Nilai kemurnian ekstrak fikosianin dari pengujian penggunaan 3 (tiga) pelarut berbeda menghasilkan EP 0.8871 yang diperoleh dari perlakuan MT3 dengan menggunakan pelarut Na buffer fosfat lebih tinggi dibandingkan nilai EP 0.46 yang dicapai dari hasil studi Silveira et al. (2007). Disarankan pula oleh Silveira et al. (2007) bahwa ekstraksi fikosianin baik dilakukan pada suhu ruang. Perubahan suhu dari 23.6 ke 40oC akan mengakibatkan penurunan tingkat kemurnian ekstrak.

Hasil produksi pemurnian fikosianin hingga tahap dialisis dan kering beku dari Spirulina kering yang berasal dari kultur dengan medium MT3 diperoleh produksi fikosianin rata-rata sebesar 45.02 mg g-1 atau 4.76 % (dengan kadar air 0%) (Lampiran 4). Hasil ini hampir mendekati hasil produksi purifikasi (pemurnian) fikosianin yang dilakukan oleh Nemoto-Kawamura (2004) sebesar 6%, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil pemurnian fikosianin dalam penelitian ini cukup baik.

Romay et al, (2003) mengatakan bahwa fikosianin terdiri dari dua sub unit protein yaitu sub unit α dan sub unit dengan berat molekul 17.000 dan 19.500 Da masing-masing. Hasil analisa SDS-PAGE fikosianin mikroalga laut

32

(1998) juga diperoleh 2 pita band yang muncul dengan berat molekul yaitu 21.36 dan 18.90 kDa untuk fikosianin sub unit dan sub unit α masing-masing. Sehingga dapat dikatakan bahwa hasil karakterisasi protein fikosianin Spirulina platensis dalam penelitian ini identik dan mendekati fikosianin yang terukur oleh Romay et al. (2003) yaitu pita 19.23 kDa.

Simpulan

Simpulan dari penelitian teknologi produksi, ekstraksi dan karakterisasi fikosianin Spirulina platensis sebagai bahan imunostimulan adalah : Kombinasi nutrien MT (modifikasi teknis) dengan intensitas cahaya 3000 lux memberikan pertumbuhan populasi Spirulina terbaik pada hari ke 12. Pelarut 0,1 M Na buffer fosfat memberikan hasil ekstraksi fikosianin optimum. Kandungan protein fikosianin sebesar 26.64%, dan berat molekul dua fraksi protein fikosianin terukur adalah 19.23 dan 63.32 kDa.

Saran

Untuk meningkatkan produksi fikosianin secara massal dapat menggunakan nutrien MT dengan intesitas cahaya sebesar 3000 lux. Dari penelitian ini membuka peluang untuk dilakukan studi lebih lanjut guna mencari rasio konsentrasi nitrogen dan fosfor, serta penambahan NaHCO3 yang optimum

33

PENINGKATAN RESPONS PERTUMBUHAN, IMUN NON

SPESIFIK DAN RESISTENSI JUVENIL IKAN KERAPU

Dokumen terkait