• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat kelangsungan hidup relatif ( Relative Percent Survival , RPS)

FIKOSIANIN Spirulina

4 Tingkat kelangsungan hidup relatif ( Relative Percent Survival , RPS)

Untuk mengetahui kemampuan imunostimulan fikosianin dalam meningkatkan sistem pertahanan tubuh juvenil ikan kerapu bebek maka dilakukan infeksi dengan bakteri patogen Vibrio alginolyticus. Pengamatan kematian ikan diamati setiap hari hingga 14 hari pemeliharaan. Kematian ikan kerapu bebek mulai terlihat sebelum 24 jam setelah infeksi dengan V. alginolyticus. Kematian terus berlanjut hingga hari ke sepuluh pada perlakuan KP (0 mg fikosianin/kg pakan), hari ke tujuh pada perlakuan KN (0 mg fikosianin kg-1 pakan tanpa diinfeksi patogen). Pada perlakuan 150 mg fikosianin kg-1 pakan kematian ikan terjadi hingga hari ke tiga, perlakuan 350 mg fikosianin kg-1 pakan hingga hari ke lima, perlakuan 450 mg kg-1 pakan hingga hari ke dua, sementara perlakuan 250 mg fikosianin kg-1 hingga hari pertama (24 jam) setelah infeksi (Gambar 15).

Dari perhitungan Relative Percent Survival (RPS) terlihat bahwa penambahan fikosianin 250 mg kg-1 pakan memberikan nilai RPS tertinggi sebesar 81.83 % (Tabel 13).

Gambar 15 Kematian kumulatif juvenil ikan kerapu bebek pada perlakuan infeksi

V.alginolitycus, PF1 (150 mg fikosianin kg-1 pakan), PF2 (250 mg fikosianin kg-1 pakan, PF3 (350 mg fikosianin kg-1 pakan), PF4 (450 mg fikosianin kg-1 pakan), KP (0 mg fikosianin kg-1 pakan), KN (0 mg fikosianin kg-1 pakan tanpa infeksi V. alginolyticus)

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 K em at ian ku m ulat i f (% ) PF1 PF2 PF3 PF4 KP KN

49 Tabel 13 Tingkat Relative Percent Survival (RPS) juvenil ikan kerapu bebek

yang diuji tantang dengan V. alginolyticus

Perlakuan Kematian kumulatif (%) RPS (%)

PF1 10 72.75

PF2 6.67 81.83

PF3 20 45.50

PF4 16.67 54.59

K 36.67 0

PF1 (150 mg fikosianin kg-1 pakan), PF2 (250 mg fikosianin kg-1 pakan, PF3 (350 mg fikosianin kg-1 pakan), PF4 (450 mg fikosianin kg-1 pakan), KP (0 mg fikosianin kg-1 pakan).

5 Tingkah laku dan tanda-tanda klinis juvenil ikan kerapu bebek setelah infeksi V. alginolitycus

Tingkah laku juvenil ikan kerapu bebek setelah infeksi V. alginolyticus

pada 24 jam setelah infeksi memperlihatkan kondisi yang sama yaitu ikan berenang lemah dan banyak berdiam di dasar wadah pemeliharaan. Pada perlakuan KP (kontrol positif), ikan kerapu bebek tidak ada respons terhadap pakan yang diberikan, ikan sebagian besar diam di dasar dan berenang lemah di permukaan (Gambar 16), ikan berwarna lebih gelap.

Gambar 16 Tingkah laku juvenil ikan kerapu bebek setelah infeksi V. alginolyticus, a) ikan berenang lemah di dasar, b) ikan diam di dasar, c) ikan berenang lemah di permukaan, d) ikan berenang lemah menghadap ke atas

a b

50

Gambar 17 Tanda-tanda makroskopis ikan kerapu bebek terinfeksi V. alginolyticus, a) rahang mulut bagian bawah kemerahan (24 jam setelah infeksi), b) hati berwarna pucat (24 jam setelah infeksi), c), limpa berwarna hitam (48 jam setelah infeksi) d) hati dan usus berwarna pucat dan terdapat cairan dekat usus/rongga perut (48 jam setelah infeksi), e), exopthalmi pada mata, f) luka di rahang mulut bagian bawah (120 jam setelah infeksi)

Gambar 18 Kultur bakteri hasil isolasi dari organ ginjal dan hati juvenil ikan kerapu pada media TCBS (a) dan TSA 2% NaCl (b).

a b

c d

e f

51 Tabel 14 Hasil uji morfologi dan biokimia bakteri yang diisolasi dari organ ginjal dan hati juvenil ikan kerapu bebek pada saat uji tantang

Karakteristik Ginjal Hati

Morfologi :

TCBS agar + +

Warna koloni kuning kuning

Bentuk koloni bulat bulat

TSA 2% NaCl agar + +

Warna koloni krem krem

Bentuk koloni swarm swarm

Biokimia : O/F + + SIM + + Katalase + + Oksidase + + Pewarnaan gram - -

Perubahan secara makroskopis yang terjadi pada juvenil ikan kerapu bebek adalah terjadinya perdarahan di rahang mulut bagian bawah dengan tanda kemerahan (24 jam setelah infeksi), tubuh berwarna gelap, exopthalmi pada mata dan munculnya luka di rahan mulut bagian bawah (120 jam setelah infeksi). Sementara pada organ bagian dalam terlihat hati berwarna pucat (24 jam setelah infeksi), limpa berwarna lebih gelap (hitam) dibanding yang normal (48 jam setelah infeksi) dan terdapat cairan di dekat usus/rongga perut.

Selain itu untuk memastikan bahwa ikan kerapu bebek terserang V. alginolyticus, maka dari organ ginjal dan hati ikan kerapu bebek yang baru mati diambil untuk dilakukan penumbuhan pada media agar TCBS. Dari hasil kultur selama 24 jam terjadi pertumbuhan koloni bakteri berbentuk bulat warna kuning, kemudian dari salah satu koloni bakteri ini di tumbuhkan pada media TSA 2% NaCl.

Setelah 24 jam inkubasi, pada media TSA 2% NaCl terlihat pertumbuhan bakteri berbentuk swarming warna krem (Gambar 18). Selanjutnya dilakukan uji biokimia dan API 20 E (Lampiran 9) terhadap bakteri ini untuk diidentifikasi bakteri apa yang menyebabkan penyakit pada ikan kerapu bebek dalam penelitian ini. Pada uji API 20 E ini dilakukan serangkain uji sesuai dengan manual kit yang tersedia seperti tes ADH, LDC, H2S, glukosa (GLU) dan seterusnya hingga diperoleh nilai dari masing-masing uji tersebut. Selanjutnya dari serangkaian nilai yang diperoleh tersebut dibaca dengan menggunakan software API 20 E. Dari uji API 20 E memberikan nilai % ID 96.9% terhadap V. alginolyticus yang berarti bakteri yang diuji memiliki kemiripan 96.9% dengan bakteri V. alginolyticus. Dari hasil uji API 20 E, uji morfologi dan uji biokimia yang tertera pada Tabel 14 menunjukkan bahwa bakteri yang menyebabkan penyakit pada ikan kerapu bebek adalah bakteri V. alginolyticus.

52

6 Gambaran histopatologi juvenil ikan kerapu bebek terserang V. alginolyticus

Hasil pengamatan histopatologi pada beberapa organ juvenil ikan kerapu bebek yang terinfeksi V. alginolyticus mengalami beberapa perubahan. Perubahan patologi terjadi pada organ ginjal, limpa dan hati. Pada organ ginjal menunjukkan adanya hemoragi ektensif, kongesti dan nekrosis (Gambar 19-2), infiltrasi sel radang dan hemoragi (Gambar 19-3), hiperemi dan hemoragi (Gambar 19-4).

Gambar 19 Histopatologi kerusakan organ ginjal juvenil ikan kerapu bebek yang terinfeksi V. alginolyticus, 1). ginjal normal, 2). ginjal (a. hemoragi ektensif, b.kongesti. c. nekrosis), 3) ginjal (a. hemoragi, b. infiltrasi sel radang), 4). ginjal (a.hiperemi, b. hemoragi), (10x10)

Pada organ hati menunjukkan perubahan adanya vacuola lemak, kongesti dan hemoragi (Gambar 20-2), sementara pada organ limpa terdapat kongesti dan hemoragi (Gambar 20-4). 1 2 3 4 a b c a b a b

53

Gambar 20 Histopatologi kerusakan organ hati dan limpa juvenil ikan kerapu bebek yang terinfeksi V. alginolyticus, 1) hati normal, 2). hati (a.vacuola lemak, b. kongesti, c. hemoragi ), 3). limpa normal, 4). limpa (a.kongesti, b. hemoragi). (10x10)

Pembahasan

Respons pertumbuhan dan imun non spesifik juvenil ikan kerapu bebek

Beberapa ikan karnivora seperti ikan salmon, percid dan ikan pipih (flatfish) air laut menunjukkan pertumbuhan optimum ketika separuh energi pakannya berasal dari protein. Untuk spesies ini umumnya protein harus disediakan sekitar 40-50% untuk energi pakan (Jobling 1994). Protein adalah nutrien penting untuk fungsi jaringan normal ikan, untuk pemeliharaan, memperbaharui protein tubuh dan untuk pertumbuhan. Kebutuhan protein ikan berhubungan erat dengan tingkat kebutuhan optimum protein pakan, kebutuhan

1 2 3 4 a b c a b

54

ini tidak sama untuk jenis ikan satu dengan lainnya (Furuichi 1988). Ikan kerapu termasuk jenis ikan karnivora laut yang membutuhkan protein tinggi dalam pakan untuk pertumbuhannya.

Ikan kerapu membutuhkan protein berkisar 40-50% (Furuichi 1988), ikan kerapu (Epinephelus malabaricus) mencapai pertumbuhan maksimum pada pemberian pakan dengan kandungan protein sebesar 50.2% (Shiau dan Lan 1996). Sementara kebutuhan akan asam aminonya belum diketahui.

Dari hasil analisis proksimat pakan ikan kerapu bebek menunjukkan kandungan protein pakan dengan penambahan fikosianin tidak berbeda dengan pakan basal. Sementara kandungan lemaknya sedikit berbeda pada perlakuan pakan tanpa penambahan fikosianin (kontrol). Fungsi penting lemak selain sebagai sumber energi adalah sebagai media transpor senyawa-senyawa larut lemak, sebagai bagian dari struktur membran sel, dan sebagai prekursor senyawa- senyawa penting seperti; pigmen dan hormon (Jobling 1994).

Williams et al. (2004) menyatakan bahwa kandungan protein pakan untuk ikan kerapu bebek tidak kurang dari 44% untuk pertumbuhan optimum. Dari data analisis proksimat menunjukkan bahwa kebutuhan protein untuk ikan kerapu bebek telah terpenuhi. Berat akhir dan laju pertumbuhan tertinggi pada perlakuan PF2 pada penelitian ini diduga karena penambahan fikosianin 250 mg kg-1 pakan telah memberikan kebutuhan protein yang optimum (46,59%) dan kualitas protein yang baik dengan adanya penambahan fikosianin untuk pertumbuhan ikan kerapu bebek dibandingkan perlakuan kontrol. Selain itu, pada perlakuan dengan penambahan fikosianin memberikan energi yang lebih tinggi dibandingkan kontrol yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan. Menurut Cho dan Watanabe (1988) bagian terbesar energi digunakan untuk metabolisme basal dan mengatur suhu tubuh dalam menjaga keseimbangan suhu, sisanya untuk bergerak.

Pada penelitian ini fikosianin yang ditambahkan dalam pakan memiliki sembilan macam asam amino esensial dan enam asam amino non esensial yang dapat mendukung pertumbuhan juvenil ikan kerapu bebek dan meningkatkan efisiensi digestibilitas dan penyerapan nutrien lebih baik dibandingkan kontrol. Diduga asam amino methionin dan lisin yang terkandung dalam fikosianin yang ditambahkan kedalam pakan juvenil ikan kerapu bebek dapat memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan ikan. Di dalam tubuh ikan, methionin dibutuhkan untuk mensintesis taurin yang penting guna meningkatkan pertumbuhan (Takeuchi 2007). Selain itu dari hasil penelitian Giri et al. (2006) menyatakan bahwa pemberian lisin sebesar 2.77% memberikan pertumbuhan yang baik pada benih ikan kerapu bebek. Ikan laut, termasuk ikan kerapu bebek tidak dapat mensintesis sendiri kebutuhan asam amino esensial, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya harus disuplai dari luar. Ikan yang kekurangan asam amino esensial mengakibatkan pertumbuhan yang lambat (Jobling 1994). Ini terlihat dari rasio konversi pakan pada perlakuan dengan penambahan fikosianin menghasilkan nilai yang lebih rendah (1.13-1.43) dibandingkan kontrol (1.86). Hal ini menunjukkan bahwa juvenil ikan kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan fikosianin lebih efisien dalam pemanfaatan pakan.

Selain mengandung beberapa asam amino esensial yang dibutuhkan oleh ikan kerapu bebek, fikosianin juga memiliki fungsi sebagai antioksidan. Antioksidan ini akan memelihara sel-sel dalam tubuh dari kerusakan oleh radikal bebas.

55 Pemberian fikosianin pada juvenil ikan kerapu bebek tidak menimbulkan efek negatif terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup juvenil ikan kerapu bebek. Hal ini terlihat dari pertumbuhan yang meningkat dan tingkat kelangsungan hidup tinggi yang dihasilkan. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan diantara semua perlakuan (P>0.05). Ini menunjukkan bahwa pakan dengan penambahan fikosianin dapat dikonsumsi dan dicerna oleh ikan sehingga dapat memberikan energi yang cukup untuk tumbuh dan hidup di lingkungan dalam media pemeliharaan ini dengan baik. Hal ini memperlihatkan bahwa fikosianin aman diberikan pada juvenil ikan kerapu bebek sebagai imunostimulan.

Hal ini didukung dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Abdel- Tawwab et al. (2008) bahwa suplementasi Spirulina sebesar 5.0 – 10.0 g kg-1 pakan dapat meningkatkan pertumbuhan dan imunitas ikan tilapia, Oreochromis niloticus. Juvenil ikan mas, Cyprinus carpio yang diberi pakan dengan penambahan 3% Spirulina pada pakannya memberikan kelangsungan hidup, pertumbuhan, FCR dan rasio efisiensi protein terbaik dibandingkan dengan pemberian probiotik Saccharomyces cerevisiae dan Lactobacillus acidophilus

(Ramakrishnan et al. 2008). Watanabe et al. (1990) menyatakan bahwa pakan yang diberi tambahan Spirulina meningkatkan pertumbuhan dan menurunkan rasio konversi pakan ikan striped jack, Pseudocaranx dentex. Palmegiano et al. (2005) juga menyatakan bahwa Spirulina meningkatkan pertumbuhan pada ikan sturgeon, Acipenser baeri.

Total eritrosit tertinggi dicapai pada perlakuan PF1 dan terendah pada perlakuan PF4. Ini menunjukkan bahwa penambahan fikosianin pada pakan dapat meningkatkan jumlah total eritrosit pada perlakuan dengan penambahan

fikosianin ≤ β50 mg kg-1 pakan. Penambahan fikosianin lebih besar dari 250 mgkg-1 pakan menghasilkan total eritrosit yang lebih rendah dibandingkan

penambahan fikosianin ≤ β50 mg kg-1 pakan. Fungsi eritrosit dalam tubuh ikan adalah mengangkut hemoglobin (Hb) yang berperan membawa oksigen dari insang ke jaringan. Dengan meningkatnya jumlah eritrosit maka akan semakin banyak oksigen yang ditransportasi oleh darah sehingga akan meningkatkan sistem metabolisme ikan. Peningkatan metabolisme ikan akan mengakibatkan aktivitas dan pertumbuhan ikan juga meningkat.

Total eritrosit ikan kerapu bebek yang terukur setelah diuji tantang dengan

V. alginolyticus selama 14 hari menunjukkan adanya sedikit kenaikan kecuali pada perlakuan PF1, KP dan KN. Penurunan total eritrosit pada perlakuan PF1 dan KP diduga karena adanya infeksi bakteri V. alginolyticus. Sementara peningkatan total eritrosit setelah uji tantang pada PF2, PF3 dan PF4, diduga karena tubuh ikan kerapu bebek yang mendapat penambahan fikosianin telah kembali normal sehingga sudah dapat memproduksi kembali eritrosit lebih banyak untuk mengganti eritrosit yang hilang akibat infeksi bakteri V. alginolyticus dibanding kontrol (tanpa penambahan fikosianin).

Pemberian fikosianin dalam penelitian ini dapat meningkatkan produksi eritrosit dan leukosit ikan kerapu bebek, ini terlihat dari data bahwa pemberian fikosianin 250 mg kg-1 pakan menghasilkan total eritrosit dan leukosit yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Ini sesuai dengan pendapat Kozenko dan Henson (2010) menyatakan bahwa fikosianin mempengaruhi sel-sel induk dalam sum-sum tulang untuk memproduksi eritrosit dan leukosit.

56

Peningkatan total leukosit adalah sebagai upaya untuk memfagositosis sel bakteri patogen yang masuk kedalam tubuh ikan, sehingga bakteri tidak mampu tumbuh dan berkembang. Pada perlakuan kontrol positif menunjukkan total leukosit yang lebih rendah dibandingkan perlakuan dengan penambahan fikosianin. Sementara kontrol negatif menunjukkan nilai yang rendah pula. Hasil ini menunjukkan bahwa penambahan fikosianin pada juvenil ikan kerapu bebek mempengaruhi peningkatan jumlah eritrosit dan leukosit.

Hal ini didukung oleh Hayashi et al. (2006) dan Hayashi (2012) yang menyatakan bahwa fikosianin dapat meningkatkan faktor stimulasi koloni (faktor pertumbuhan hematopoietik) seperti GM-CSF (Granulocyte macrophage-colony stimulating factor) dan interleukin-3 (IL-3) yang menginduksi erythropoietin (Epo), makrofag dan granulosit makrofag untuk memproduksi eritrosit dan leukosit (granulosit dan agranulosit).

Ini memperlihatkan bahwa penambahan fikosianin pada ikan kerapu bebek memberikan peningkatan sistem pertahanan non spesifik ditandai dengan meningkatnya produksi leukosit untuk melawan serangan penyakit. Ikan tidak memiliki sum-sum tulang sebagai sel induk pembentukan sel darah merah dan putih. Pada ikan, organ limfoid ekuivalen dengan sum-sum tulang (bagian dari fungsi pembentukan darah) yang berpartisipasi dalam respons imun (Zapata et al. 1996). Pada ikan, jaringan limfoid menyatu dengan jaringan myeloid sehingga dikenal sebagai jaringan limfomieloid. Organ limfomieloid pada ikan teleostei adalah limpa, timus dan ginjal. Produk jaringan limfomieloid adalah sel-sel darah dan respons imun baik seluler maupun humoral. Pemberian fikosianin pada ikan kerapu bebek diduga menginduksi jaringan limfomieloid untuk memproduksi sel- sel darah.

Hasil ini didukung oleh beberapa penelitian pemberian imunostimulan yang dilakukan oleh Choudhury et al.( 2005) dan Das et al. (2009) bahwa terjadi kenaikan total leukosit pada juvenil ikan Labeo rohita yang diberi imunostimulan seperti RNA yeast dan penambahan tepung mikroalga Euglena viridis masing- masing. Abdel-Tawwab et al. (2008) juga melaporkan bahwa pemberian tambahan tepung Spirulina melalui pakan pada ikan tilapia selama 12 minggu juga memberikan hasil peningkatkan terhadap total leukosit.

Leukosit pada ikan dibedakan menjadi tiga macam sel yaitu granulosit (eosinofil, neutrofil, basofil), limfosit dan monosit. Eosinofil, neutrofil dan monosit adalah leukosit fagosit.

Monosit limfosit dan neutrofil pada perlakuan dengan penambahan fikosianin menunjukkan jumlah lebih tinggi dibandingkan kontrol. Limfosit pada hari ke 7 pemberian fikosianin terlihat lebih tinggi daripada hari ke 14, 21 dan 28. Perlakuan dengan pemberian fikosianin menunjukkan jumlah limfosit sedikit lebih tinggi daripada kontrol, hanya pada perlakuan 450 mg fikosianin kg-1 pakan memberikan nilai paling rendah pada hari ke 28, namun jumlah monositnya paling tinggi sehingga fungsi sel fagosit masih terlihat tinggi disini. Sementara pada neutrofil terlihat adanya jumlah kenaikkan hingga hari ke 21.

Sistem pertahanan non spesifik seluler ikan pada dasarnya hampir sama dengan mamalia (Iwama dan Nakanishi 1996). Beberapa tipe leukosit terlibat dalam sistem pertahanan non spesifik seluler yaitu monosit/makrofag, granulosit dan sel-sel sitotoksi non spesifik (sel Natural Killer). Ketika terjadi serangan patogen atau benda asing, maka makrofag dan granulosit banyak ditemukan dalam

57 darah dan jaringan limfoid khususnya pada peradangan yang merupakan respons seluler terhadap serangan mikroba (Secombes 1996).

Monosit merupakan sel-sel besar dengan nukleus besar dan sitoplasmanya berisi granul-granul kecil yang tersebar. Respons seluler, khususnya respon terhadap organisme patogen potensial adalah dengan meningkatnya neutrofil dalam darah dan munculnya monosist dan makrofag (Secombes 1996). Monosit dan neutrofil merupakan fagosit kuat. Satu neutrofil dapat memfagosit 5 sampai 20 bakteri sebelum neutrofil itu menjadi tidak aktif dan mati. Monosit lebih kuat dibandingkan neutrofil dalam memfagositosis bakteri (Secombes 1996; Fujaya 2004).

Ikan kerapu bebek yang mendapat penambahan fikosianin memperlihatkan adanya peningkatan kadar hemoglobin dalam darahnya. Hemoglobin adalah metallopophyrin, merupakan kombinasi dari haem yang merupakan porphyrin besi dan globin. Atom besi dari hem berasosiasi dengan satu molekul oksigen yang dikenal dengan istilah oksigenasi (Fujaya, 2004; Koolman dan Rohm 2001). Dengan semakin meningkatnya hemoglobin di dalam darah (eritrosit) maka semakin banyak oksigen yang dapat terikat oleh hemoglobin dan semakin banyak oksigen yang ditranspor oleh eritrosit ke dalam jaringan. Kondisi ini akan mengakibatkan aktivitas ikan kerapu bebek akan semakin tinggi karena kebutuhan energinya tercukupi.

Sementara pada 14 hari setelah infeksi terjadi penurunan kadar hemoglobin, penurunan ini diduga karena adanya serangan infeksi bakteri patogen

V. alginolyticus. Kondisi ini merupakan bentuk respons yang normal pada ikan terhadap adanya suatu perubahan lingkungan maupun adanya infeksi karena serangan patogen. Pada penelitian ini diduga ada pemanfaatan Fe yang terdapat dalam hemoglobin oleh bakteri V. alginolyticus untuk tetap hidup di dalam tubuh ikan kerapu bebek sehingga mempengaruhi hemoglobin dalam eritrosit. Hal ini didukung oleh Frans et al. (2011) yang menyatakan bahwa V. anguillarum dapat mengambil Fe dari haem dan haem mengandung protein seperti hemoglobin dan hemoglobin-haptoglobin dengan mediasi iron siderophore. Disebutkan pula bahwa V. anguillarum memiliki kesamaan 95% dengan V. alginolyticus, sehingga

V. alginolyticus juga memiliki kesamaan dalam memanfaatkan Fe dalam darah. Hematokrit merupakan persentase volume eritrosit dalam darah. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian fikosianin meningkatkan kadar hematokrit pada ikan kerapu bebek dibandingkan ikan kerapu bebek tanpa penambahan fikosianin. Menurunnya kadar hematokrit dapat dijadikan petunjuk mengenai rendahnya kandungan protein pakan, defisiensi vitamin atau ikan mendapat infeksi (Anderson dan Siwicki 1993), karena bila hematokrit turun maka volume eritrosit akan menurun dan hemoglobin yang terdiri dari protein juga akan turun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ikan kerapu bebek yang mendapat tambahan fikosianin berada dalam kondisi nutrisi baik, sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhannya.

Aktivitas fagositosis hari ke 14 setelah infeksi bakteri V. alginolyticus

menunjukkan peningkatan pada hampir di semua perlakuan, ini menggambarkan adanya aktivitas dari sel fagosit untuk menyerang mikroorganisme patogen. Perlakuan yang diberi penambahan fikosianin menghasilkan peningkatan aktivitas fagositosis yang signifikan (50-62.67%) dibandingkan sebelum infeksi (37- 59.67%). Perlakuan PF2 memberikan aktivitas fagositosis tertinggi (62.67%) dan

58

berbeda nyata (P<0.05) terhadap perlakuan kontrol positif (50.0%). Kondisi ini memperlihatkan bahwa penambahan fikosianin ke dalam pakan yang diberikan pada ikan kerapu bebek dapat meningkatkan aktivitas fagositosis pada keadaan ikan terinfeksi bakteri patogen. Dengan meningkatnya aktivitas fagositosis ini maka bakteri patogen penyebab infeksi tidak mampu untuk berkembang dan menyebarkan virulensinya (Iwama dan Nakanishi 1996).

Seperti yang dikatakan oleh Secombes (1996); Baratawidjaja (2006), bahwa fagositosis adalah kemampuan membunuh patogen dengan mekanisme membunuh yang dapat dikategorikan menjadi dua sistem yaitu oksigen dependen dan oksigen independen. Mekanisme pertama adalah pada saat sel fagosit membunuh patogen dibutuhkan pengambilan oksigen yang tinggi dan mekanisme yang kedua adalah dengan bantuan enzim yaitu lisozim. Fagositosis adalah proses sel melakukan internalisasi, membunuh dan menghancurkan mikroorganisme patogen. Proses ini dibagi ke dalam tiga fase utama yaitu penempelan partikel (patogen) pada permukaan sel, penelanan dengan melibatkan pembentukan fagosom dan terakhir penghancuran partikel dalam fagosom (Secombes 1996). Sel-sel yang melakukan fagositosis adalah monosit/makrofag, neutrofil dan eosinofil pada beberapa kasus.

Penghancuran mikroorganisme oksigen dependen adalah mikroorganisme yang dapat dibunuh melalui produk respiratory burst oleh beberapa metabolit oksigen mikrobisidal yang dilepas selama fagositosis (Secombes 1996; Baratawijaya 2006). Dalam proses fagositosis, sel fagosit memproduksi radikal oksigen bebas selama respiratory burst yang bersifat toksik bagi mikroorganisme patogen (Anderson dan Siwicki 1995; Secombes 1996; Lin dan Shiau 2005). NBT

assay mengindikasikan produksi radikal oksidatif dari neutrofil dan monosit untuk digunakan dalam pertahanan melawan patogen (Anderson dan Siwicki 1995; Secombes 1996). Reduksi NBT adalah assay yang sederhana dan digunakan luas untuk menunjukkan produksi anion superoksida. NBT menerima elektron dari donor seperti superoksida dan diubah menjadi bentuk tereduksi sebagai bahan terendapkan tak larut berwarna biru tua (formazan) pada sitoplasma sel fagosit (Abreu et al. 2009).

Kondisi ini memperlihatkan bahwa fikosianin yang dikenal sebagai anti oksidan dapat memberikan peningkatan aktivitas respiratory burst pada juvenil ikan kerapu bebek. Pada hari ke 42, perlakuan PF2 menghasilkan nilai absorban NBT 30-33% lebih tinggi dibandingkan KP, yang berarti bahwa ada produksi oksigen radikal lebih tinggi 30-33% pada perlakuan PF2 untuk sistem pertahanan terhadap infeksi bakteri V. alginolyticus.

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Watanuki et al. (2006), bahwa ikan mas (Cyprinus carpio) yang diberi makan Spirulina secara oral meningkatkan aktivitas fagositosis dan produksi anion superoksida yang diukur dengan NBT. Demikian juga pada ikan kerapu, Epinephelus bruneus

yang diberi pakan dengan penambahan ekstrak Lactuca indica sebesar 1% dan 2% juga memberikan hasil peningkatan aktivitas fagositosis dan NBT pada minggu ke dua dan ke empat (Harikrishnan etal. 2011a).

Pada penelitian ini terlihat adanya korelasi bahwa dengan meningkatnya leukosit terjadi peningkatan aktivitas fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel fagosit (monosit, makrofag dan neutrofil). Menurut Secombes (1996) leukosit

59 akan bermigrasi keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah sekitar jaringan yang terinfeksi untuk selanjutnya melakukan fagositosis terhadap patogen.

Lisozim banyak ditemukan secara luas pada hewan vertebrata dan merupakan salah satu faktor pertahanan melawan serangan mikroorganisme (Yano 1996). Serum lisozim adalah salah satu indikator yang digunakan untuk respons imun non spesifik humoral (Yano 1996; Tort et al. 2003 diacu dalam

Abreu et al. 2009; Harikrishnan et al. 2011a). Lisozim berperan penting dalam imunitas non spesifik dengan cara melisis dinding sel bakteri dan menstimulasi fagositosis bakteri (Ellis 1990; Harikrishnan et al. 2012). Fungsi aktivitas lisozim adalah sebagai faktor pertahanan utama dari imunitas humoral dalam mekanisme pertahanan seluler dan kemampuannya memecah dinding sel patogen membuat lisozim melawan mikroorganisme berbahaya seperti parasit, bakteri dan virus

Dokumen terkait