• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakterisasi Kitosan .1 Derajat Deasetilasi

Di antara beberapa karakteristik kitosan, derajat deasetilasi (DD) adalah salah satu dari karakteristik kimia yang paling penting, dimana berpengaruh terhadap daya guna kitosan di berbagai aplikasinya. Derajat deasetilasi

menunjukkan tingkat pelepasan kandungan gugus amino bebas dalam polisakarida (Li et al. 1992), yang selanjutnya dapat digunakan untuk membedakan antara kitin

dan kitosan. Derajat deasetilasi kitosan berkisar antara 56% sampai 99% dengan rata-rata 80%, tergantung pada spesies crustacea dan metode preparasinya (No 2000; No dan Meyers 1995). Berbeda dengan pernyataan Li et al. (1997) bahwa kitin dengan derajat deasetilasi di atas 70% dianggap sebagai kitosan. Sedangkan menurut Knaul et al. (1999), kitin dengan derajat deasetilasi 75% digolongkan sebagai kitosan.

Sejumlah metode telah digunakan untuk menentukan derajat deasetilasi, seperti linear potentiometric titration (Ke dan Chen 1990), infrared spectroscopy (Baxter et al. 1992), nuclear magnetic resonance spectroscopy (Hirai et al. 1991), pyrolysis-mass spectrometry (Nieto et al. 1991), UV-spectrophotometry (Muzzarelli dan Rocchetti 1985), dan titrimetry (Raymond et al. 1993). Metode yang paling sering digunakan adalah infrared spectroscopy karena kemudahannya.

Dalam penelitian ini digunakan metode infrared spectroscopy. FTIR spektrometer yang digunakan untuk merekam spektra adalah FT-IR 1720 yang

berasal dari Nicolet. Berdasarkan hasil pengukurannya pada frekuensi 4000 - 400 cm-1 bahwa dua jenis kitosan yang digunakan dalam penelitian ini

diketahui memiliki derajat deasetilasi yang berbeda. Nilai derajat deasetilasi masing-masing kitosan adalah 78,79 % dan 97,8 %. Perbedaannya juga terlihat pada penampakan fisik kitosan. Lihat gambar 9.

Temperatur atau konsentrasi larutan yang digunakan untuk menghilangkan gugus asetil dari kitin (misalnya sodium hydroksida) akan mempengaruhi sifat molekul kitosan (Baxter et al. 1992; Mima et al. 1983). Derajat deasetilasi

terutama tergantung dari metode pemurnian dan kondisi reaksi (Baxter et al. 1992; Li et al. 1997), oleh karena itu karakterisasi kitosan merupakan hal yang esensial dengan penentuan derajat deasetilasi sebelum penggunaannya.

(a) (b)

Gambar 9 Sampel Kitosan yang digunakan dalam penelitian, (a) DD 78,79%, dan (b) DD 97,8%

Metode infrared spectroscopy yang pertama kali digunakan Moore dan Robert (1980), ini merupakan metode yang umum digunakan untuk estimasi nilai DD kitosan. Metode ini memiliki sejumlah kelebihan dan kekurangan. Pertama, relatif cepat karena tidak memerlukan pemurnian sampel untuk pengujian dan

juga tidak memerlukan pelarut sampel kitosan dalam pelarut encer (Baxter et al. 1992). Meskipun demikian, metode IR menggunakan baseline untuk

menghitung DD dimana ini memungkinkan terdapat argumen dari baseline berbeda yang akan berkontribusi terhadap variasi nilai DD. Kedua, dalam preparasi sampel tipe instrumen dan kondisinya memungkinkan berpengaruh terhadap analisis sampel. Kitosan bersifat higroskopis di alam dan sampel dengan DD yang rendah dapat mengabsorbsi kelembaban dibanding kitosan dengan DD lebih tinggi, sehingga diutamakan agar sampel dianalisis dalam kondisi yang kering (Khan et al. 2001; Blair et al. 1987).

Dalam proses deasetilasi, gugus asetil yang berasal dari rantai molekul kitin dilepaskan sehingga terbentuk gugus amino. Proses tersebut dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10 Konversi kitin menjadi kitosan

Menurut No dan Meyer (1989) deasetilasi adalah proses untuk mengubah kitin menjadi kitosan dengan menghilangkan gugus asetil. Umumnya dicapai melalui perlakuan dengan konsentrat sodium atau larutan potassium hidroksid (40 – 50 %). Biasanya pada 100oC atau lebih tinggi selama 30 menit atau lebih untuk sebagian atau semua gugus asetil dari polimer. Muzzarelli (1977) mengatakan bahwa gugus N-asetil tidak dapat dihilangkan dengan reagen asam tanpa hidrolisis polisakarida, jadi metode alkali berfungsi sebagai N-deasetilasi. Selanjutnya No et al. (1989) menjelaskan deasetilasi dapat dicapai melalui reaksi demineralisasi kitin dari cangkang kerang atau kepiting dengan larutan 50% NaOH (w/w) pada suhu 100o C selama 30 menit dalam udara yang solid menjadi pelarut pada rasio 1:10 (w/v). Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi tingkat deasetilasi antara lain temperatur dan waktu deasetilasi, konsentrasi alkali, perlakuan-perlakuan awal terhadap isolasi kitin, dan ukuran partikel (Rigby 1936).

Menurut Chang et al. (2003) bahwa reaksi dalam larutan alkalin/basa pada temperatur tertinggi atau periode terlama menghasilkan sampel kitosan dengan DD yang tertinggi. ini dikarenakan deasitilasi pada temperatur yang ditinggikan

dalam larutan alkalin merusak ikan glikosidik dalam molekul kitosan. Sebagai konsekuensinya, viskositas intrinsik dan berat molekul kitosan menurun dengan meningkatnya DD.

Nilai DD tidak hanya tergantung pada sumber dan metode purifikasi tapi juga tipe metode analisa, persiapan sampel, dan tipe alat yang digunakan, dan kondisi lain yang mempengaruhi DD (Khan et al. 2002). Dalam penentuan derajat deasetilasi kitosan menggunakan spektrum FTIR. Pengukuran absorbansi pada frekuensi 1655 cm-1 dan absorbansi pada frekuensi 3450 cm-1. Berikut adalah gambar spektrum FTIR kitosan.

Gambar 11 Spektrum FTIR kitosan : (a) Kitosan A DD 78,82 %, (b) Kitosan B DD 97,8%

Karakterisasi kitin dan kitosan sangat sulit dan telah banyak didiskusikan dalam literatur. Untuk kitosan yang larut dalam medium encer, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Tetapi ada beberapa metode yang dianggap lebih utama yaitu potentiometry, 1 H NMR, UV spectroscopy dan infrared spectroscopy (Brugnerotto et al. (2001). Infrared spectroscopy adalah metode yang paling banyak didiskusikan karena kesederhanaannya, namun demikian metode ini memerlukan kalibrasi dan teknik

yang absolut. Validasi spektum IR terhadap unit struktur polimer yaitu dengan penentuan baseline dan karakteristik frekuensi.

Menurut Brugnerotto et al. (2001) bahwa rasio absorbsi A1320/A1420 menunjukkan hasil superior. Dengan berdasarkan perhitungan pada rasio absorbansi A1320/A1420 dalam menentukan nilai DA, untuk selanjutnya melakukan penghitungan DD maka diketahui nilai derajat deasetilasi untuk kitosan A dan kitosan B masing-masing adalah 77.84% dan 96.98%.

20 . 12 92 . 31 % 1420 1320− ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = A A DA

Penyiapan kitosan, jenis instrumen yang digunakan, dan kondisi akan mempengaruhi analisis (Khan et al. 2002). Pada tabel 8 tertera spesifikasi kitosan komersil.

Tabel 8 Spesifikasi kitosan komersil

Ciri Parameter Kitosan A Kitosan B ukuran partikel Derajat deasetilasi kadar air kadar abu Kadar protein Kadar Lemak

serpihan sampai bubuk 78,82% 12,35% 0,46% 36,87% 0,02% bubuk 97,8% 10,41% 2,148% 41,03% 0,10% 4.1.2 Karakteristik Kitosan Sebagai Edible Film

Gambar 12 Edible film kitosan

Menurut Shahidi et al. (1998) bahwa kitosan berhasil digunakan sebagai pengemas makanan karena sifat film yang terbentuk. Pada penelitian ini hasil karakterisasi edibel film kitosan yang dibentuk dari pelarut asam asetat 1% disajikan pada tabel 9.

Tabel 9 Karakteristik edible film kitosan Karakteristik Unit Kuat tarik % elongasi WVTR O2TR Warna - L - a - b Kadar air aw pH 21.2152 mpa 26.34 % 238.5758 (g/m2/24 jam) 2.2729 (cc/m2/24 jam) 80.54 1.15 22.64 26.34 % (b.k) 0.624 4.03

Dari beberapa penelitian menyebutkan kemampuan film atau coating kitosan untuk memperpanjang masa simpan dan mengontrol kerusakan buah dan sayuran lebih baik dengan menurunkan kecepatan respirasi, menghambat pertumbuhan kapang, dan atau menghambat pematangan dengan mengurangi produksi etilen dan karbondioksida. Pada penelitian Smith et al. (1994) dilaporkan bahwa kitosan memiliki kemampuan untuk membentuk film yang sesuai sebagai pengawet makanan dengan menghambat patogen psikotrofik. Penelitian yang dilakukan Jiang et al. (2005) membuktikan bahwa coating kitosan (2% kitosan dalam 5% asam asetat) mampu menghambat penurunan kandungan antosianin dan

peningkatan aktivitas polyphenol oxidase pada penyimpanan leci. El Ghaouth et al. (1992) juga melaporkan bahwa coating kitosan (1% dan 2 %

dalam 0.25 N HCl) mengurangi kecepatan respirasi dan produksi etilen pada tomat. Tomat yang di-Coating dengan kitosan lebih keras, titrasi keasaman lebih tinggi, dan lebih sedikit pigmentasi merah dibandingkan kontrol setelah penyimpanannya selama 4 minggu pada suhu 20oC.

Penelitian yang dilakukan Astuti (2008) dalam memperbaiki sifat barrier terhadap uap air dan sifat mekanik dari edible film kitosan dapat dilakukan dengan penambahan asam lemak palmitat dan asam lemak laurat dalam pelarut asam asetat. Selain itu penambahan zat lain seperti kunyit yang diketahui memiliki sifat antimikroba terbukti mampu meningkatkan daya penghambatan dari edible film kitosan terhadap pertumbuhan mikroba.

Dokumen terkait