• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Produk Tahu

Tahu adalah suatu produk berbahan dasar kedelai yang diekstrak dengan air dan dipresipitasi garam atau asam dalam bentuk gumpalan. Dalam basis basah, tahu mengandung 7.8% protein, 4.2% lemak, 2 mg/g calcium. Pada basis kering, mengandung 50% protein dan 27% lemak, komponen sisanya adalah karbohidrat dan mineral (Wang et al. 1983).

Pengertian tahu menurut SNI (1998) adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui proses pengolahan kedelai dengan cara pengendapan proteinnya, dengan atau tidak ditambah bahan lain yang diizinkan. Pengertian lainnya menurut Shurtleff dan Aoyagi (1975), tahu merupakan gumpalan protein dari susu kedelai yang telah dipisahkan dari bagian yang tidak menggumpal (whey) dengan cara pengepresan. Sedangkan menurut Standar

Industri Indonesia (SII) dengan nomor 0270-80 menetapkan bahwa yang dimaksud dengan tahu adalah suatu jenis makanan padat yang terbuat dari kedelai dan dicetak dengan proses pengendapan protein pada titik isolistriknya, dengan atau tanpa penambahan zat lain yang diizinkan. Tahu juga didefinisikan sebagai gumpalan protein dari susu kedelai sesudah dipisahkan dari air tahu (whey) dengan cara pengepresan (Hadiah 1987).

Tahu memiliki kalori yang lebih rendah karena rasio protein/lemak lebih tinggi. Tahu juga bebas kolesterol, bebas lactose, dan lemak jenuh lebih rendah. Karena rasanya yang lembut dan teksturnya yang poros (menyerap), tahu dapat disiapkan dengan hampir semua makanan. Tahu juga mempunyai daya cerna yang sangat tinggi karena serat dan karbohidrat yang bersifat larut dalam air sebagian besar terbuang pada proses pembuatannya. Dengan daya cerna sekitar 95%, tahu dapat dikonsumsi dengan aman oleh semua golongan umur dari bayi hingga orang dewasa, termasuk orang yang mengalami gangguan pencernaan (Shurtleff dan Aoyagi 1975).

Tabel 5 Komposisi asam amino tahu dibandingkan dengan komposisi asam amino yang dianjurkan FAO/WHO

Jenis asam amino Anjuran FAO/WHO (mg/g)

Komposisi asam amino tahu (mg/g) Metionin dan sistin

Threonin Valin Lisin Leusin Isoleusin

Fenilalanin dan Tirosin Triptofan 220 250 310 340 440 250 380 60 156 178 264 333 448 261 490 96 Total 2250 2226

Metode pembuatan tahu ditemukan oleh Liu An pada zaman dinasti Han di Cina, kira-kita 164 tahun sebelum masehi. Sekitar 900 tahun kemudian, tahu menyebar ke Jepang dan kemudian ke negara-negara timur jauh. Sejak saat itu, tahu menjadi cara populer untuk menyediakan kedelai sebagai bahan makanan di timur jauh. Komposisi kimia tahu dapat dilihat pada tabel 6. Syarat mutu tahu berdasarkan Standar Industri Indonesia SII No. 0270-1990 dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 6 Komposisi gizi tahu dalam (g/100 g) Komposisi Jumlah Energi (kcal) Kadar Air Protein Lemak Karbohidrat Abu Serat 72 86.8 6.6 4.2 1.6 0.8 0.4 Sumber : Anonim (2000)

Tabel 7 Syarat mutu tahu, SII (0270-1990)

Jenis uji Persyaratan

Keadaan: - Bau - Rasa - Warna - Penampakan Abu Protein (N x 6.25) Lemak Serat kasar

Bahan tambahan makanan

Cemaran mikroba : - Angka lempeng total - E. Coli

- Salmonella

Normal Normal

Putih normal atau kuning normal Normal tidak berlendir dan tidak berjamur

Maksimal 1.0% (b/b) Minimal 9.0 % (b/b) Minimal 0.5 (b/b) Maksimal 0.1 % (b/b)

Sesuai SNI 01-0222-1995 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 722/Menkes/Per/IX/1988

Maksimal 1.0 x 106 (koloni/g) Negatif/25 g (APM/g)

Negatif /25 g 2.3.1 Bahan utama pembuatan tahu

- Kedelai

Kedelai atau kacang kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar banyak makanan bagian asia seperti kecap, tahu dan tempe. Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti Tiongkok dan Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara.

Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia. Penghasil kedelai utama dunia adalah Amerika Serikat meskipun kedelai praktis baru dibudidayakan masyarakat di luar Asia setelah 1910.

Di Indonesia, kedelai menjadi sumber gizi protein nabati utama, meskipun Indonesia harus mengimpor sebagian besar kebutuhan kedelai. Ini terjadi karena kebutuhan Indonesia yang tinggi akan kedelai putih. Kedelai putih bukan asli tanaman tropis sehingga hasilnya selalu lebih rendah daripada di Jepang dan Tiongkok. Pemuliaan serta domestikasi belum berhasil sepenuhnya mengubah sifat fotosensitif kedelai putih. Di sisi lain, kedelai hitam yang tidak fotosensitif kurang mendapat perhatian dalam pemuliaan meskipun dari segi adaptasi lebih cocok bagi Indonesia (Anonim 2006)

Di antara jenis sereal dan legum, kedelai memiliki kandungan protein yang paling tinggi. Kandungan proteinnya sekitar 40% pada basis basah, sedangkan legum lain hanya sekitar 20-30%, sedangkan sereal kandungan proteinnya sekitar 8-15%. Kedelai juga mengandung 20% minyak, kedua tertinggi dari semua legum. Komponen yang terbanyak ketiga adalah karbohidrat (kira-kira 35%). Komponen lainnya yang terdapat dalam kedelai adalah phospolipid, vitamin, mineral dan fitokimia sebagai isoflavon-isoflavon.

Asam lemak yang paling banyak terdapat pada kedelai adalah asam linoleat yaitu sekitar 53%. Kemudian diikuti asam oleat (23%), palmitat (11%), linolenic (8%) dan asam stearat (4%).

Protein kedelai mengandung semua asam amino esensial seperti isoleusin, leusin, lisin, methionin, sistein, phenilalanin, tirosin, threonin, triptophan, valin, dan histidin. Semua asam amino ini hadir dalam jumlah yang cocok dengan yang dibutuhkan manusia. Jumlah asam amino yang terbatas (sedikit jumlahnya) adalah methionin dan sistein.

- Asam asetat

Asam asetat dikenal juga dengan nama ethanoic acid. Asam asetat adalah senyawa kimia organik yang paling dikenal memberikan rasa asam dan bau tajam. Tidak berwarna. Titik bekunya 16.7oC (62oF). Asam asetat bersifat korosif, dan uapnya menyebabkan iritasi pada mata, kering dan terbakar pada hidung, sakit

pada tenggorokan, sesak pada paru-paru, walaupun ini termasuk asam lemah yang mempunyai kemampuan untuk terdisosiasi dalam larutan cair.

Asam asetat adalah satu dari asam karboksilat yang paling sederhana (paling sederhana kedua setelah asam format). Asam asetat merupakan suatu pereaksi kimia yang penting dan industri kimia menggunakannya untuk memproduksi polyethylene terephthalate yang umumnya digunakan dalam botol minuman ringan. Selain itu juga untuk memproduksi selulosa asetat yang digunakan terutama untuk film fotografi. Polivinil asetat untuk lem kayu yang sama baiknya dengan serat sintetik. Dalam industri makanan asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman.

Sifat kimia dari asam asetat (dalam keasaman) yaitu atom Hidrogen (H) dalam kelompok karboksil (-COOH) dalam asam karboksilat seperti asam asetat dapat melepaskan ion H+ (proton), inilah yang memberikan sifat asamnya. Asam asetat termasuk asam lemah dengan nilai pKa 4.8. Dasar konjugasinya adalah asetat (CH3COO-).

Gambar 4 Equilibrium deprotonasi asam asetat dalam air

Dalam pembuatan tahu, asam asetat berfungsi sebagai koagulan. Chang et al. (2002) mengatakan bahwa asam asetat yang dicampurkan dengan kitosan akan menghasilkan tahu yang memiliki umur simpan yang lebih panjang dibandingkan jika dicampurkan bahan koagulan lainnya seperti Gypsum dan GDL (glucono-δ-lactone).

2.3.2 Proses Pembuatan tahu

Terdapat beberapa cara yang dalam pembuatan tahu, dan semuanya berasal dari metode Cina tradisional yang telah digunakan sekitar 2000 tahun lalu. Pada dasarnya, prosedurnya dimulai dengan penyiapan susu kedelai (soymilk) (lihat gambar 5). Setelah susu dipanaskan kira-kira 10 menit, kemudian dipindahkan pada wadah lainnya, dan dibiarkan dingin. Pada saat yang sama,

suspensi koagulan disiapkan dengan mencampurkan bubuk koagulan dengan air panas. Secara tradisional, bubuk koagulan yang umum digunakan adalah gypsum dan nigari. Ketika susu kedelai dingin kira-kira 78oC, larutan koagulan ditambahkan ke dalamnya sambil diaduk. Ketika terbentuk sedikit gumpalan (biasanya kurang dari 30 detik), wadah ditutup, dan koagulan didiamkan selama 30 menit. Gumpalan kedelai kemudian dipindahkan ke wadah berbentuk kotak dangkal yang dilapisi kain ditiap sudutnya. Keempat ujung kain ditarik dan dilipat ke bagian atas. Selanjutnya wadah ditutup dengan menggunakan papan yang ukurannya lebih kecil dari ukuran dari wadah tersebut dan bagian atasnya ditempatkan batu (pemberat). Kira-kira 30 menit, whey akan tertekan keluar dan tahu menjadi keras. Tahu yang dingin kemudian dipotong dan siap untuk disajikan atau diimmersi dalam air dingin untuk penyimpanan waktu yang lama (Liu 1999).

Saat ini, metode tradisional masih popular digunakan pada tingkat rumah tangga atau pedesaan. Banyak metode baru yang dikreasikan untuk membuat tahu berbagai jenis tahu tetapi masih berdasarkan prinsip yang sama.

Berbagai macam jenis tahu antara lain tahu putih, tahu kuning, tahu sutra, tahu cina, tahu keras, dan tahu kori (Sarwono dan Saragih 2004). Dari berbagai jenis tahu tersebut dibedakan oleh rasio air:biji kedelai, jenis dan konsentrasi koagulan, cara penambahan koagulan, dan jumlah whey yang dikeluarkan.

Tiga tahap paling penting dalam pembuatan tahu adalah cara penyiapan susu kedelai, cara protein digumpalkan, dan cara tahu dipres dan dikemas.

Secara umum, faktor yang mempengaruhi penyiapan susu kedelai adalah varietas kedelai, tingkat panas yang diaplikasikan baik pada biji kedelai, bubur dan susu kedelai.

2.3.3 Kerusakan tahu

Tahu merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak sehingga digolongkan ke dalam High Perishable Food (Shurtleff dan Aoyagi 1979). Menurut Dotson et al. (1977) bahwa tahu yang disimpan pada suhu rendah (15oC) hanya dapat mempertahankan kesegaran tahu 1-2 hari. Tahu yang dibiarkan pada udara terbuka tanpa perendaman di dalam air hanya bertahan sekitar 10 jam. Secara organoleptik, tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan tahu antara lain adalah permukaan tahu berlendir, tekstur menjadi lunak, kekompakan berkurang, warna dan penampakan tidak cerah, dan kadang-kadang berjamur pada permukaannya (Prastawa et al. 1980). Dotson et al. (1977) mengatakan bahwa kerusakan ditandai dengan rasa asam dan diasosiasi dengan pertumbuhan bakteri

Kerusakan tahu mempunyai kaitan erat dengan aktivitas mikroorganisme. Menurut Frazier dan Westhoff (1978) bahwa mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan yang berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral terutama adalah golongan bakteri. Shurtleff dan Aoyagi (1979) menyatakan penyebab utama kerusakan tahu adalah bakteri. Terdapatnya mikroba pada tahu yang baru saja keluar dari proses produksi tidak dapat dihindari, meskipun proses pembuatannya telah dilakukan dengan sanitasi yang baik. Jumlah koloni bakteri sering mencapai 100.000 per gram (Shurtleff dan Aoyagi 1979).

Sehubungan dengan aktivitas bakteri, kerusakan tahu dapat tergantung dari beberapa faktor antara lain: 1) adanya bakteri yang tahan panas seperti golongan

termodurik, 2) adanya kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama proses pembuatan sampai tahu siap dikonsumsi, 3) suhu penyimpanan, dan 4) adanya enzim tahan panas yang dihasilkan oleh golongan bakteri tertentu (Shurtleff dan Aoyagi 1979).

Tujuh bakteri diisolasi dari tahu rusak dan yang diidentifikasi sebagai Bacillus sp. (S08), B. megaterium (S10), B. cereus (S17, S27, S28, S32), dan Enterobacter sakazakii (S35) (No et al, 2002). Sedangkan Shin et al. (1992) menemukan Acinetobacter calcoaceticus var. anitrat dan Klebsiella pneumoniae subgrup pneumoniae, yang menjadi bakteri mayoritas yang muncul. Joo et al. (1998) melaporkan bahwa Acinetobacter calcoaceticus, Bacillus cereus, Klebsiella pneumoniae, dan Xenorhabdus luminescens yang mayoritas menyebabkan kerusakan tahu.

Dotson et al. (1977) mengembangkan kriteria untuk pengukuran seperti pembusukan dan dianggap bahwa ini disebabkan oleh bakteri asam laktat. Fouad dan Hegeman (1993) bahwa tahu dipengaruhi terutama oleh bakteri asam laktat, Serratia liquefaciens, dan spesies Pseudomonas.

2.3.4 Proses pembentukan gel tahu

Tahap pertama dalam pembentukan gel adalah denaturasi protein, dan tahap kedua adalah proses agregasi. Ada dua perlakuan sebagai penyebab proses penggumpalan protein susu kedelai yaitu pemanasan yang mendenaturasi protein dan penambahan bahan penggumpal untuk membantu atau mempercepat proses penggumpalan (Shurtleff dan Aoyagi 1979).

Denaturasi protein adalah perubahan protein yang disebabkan oleh panas. Selain itu, denaturasi dapat disebabkan oleh pH ekstrim misalnya pada beberapa pelarut organik seperti alkohol, atau aseton, oleh zat terlarut tertentu seperti urea, deterjen, atau hanya dengan pengguncangan intensif larutan protein (Lehninger 1993).

Perubahan konformasi struktur protein dapat disebabkan oleh panas, garam, perubahan pH, pelarut organik, dan agen denaturasi seperti garam guanidium. Ada jenis perubahan yang dapat terjadi, 1) interaksi rantai-rantai (diantara grup rantai samping dalam polipeptida) hasil dalam asosiasi, agregasi, flokulasi, koagulasi dan presipitasi. 2) interaksi rantai pelarut (diantara molekul

pelarut dan grup rantai samping) hasil dari kelarutan, disosiasi, pembengkakan, dan denaturasi (Wong 1989).

Protein kedelai terdiri dari campuran komponen protein yang mempunyai bobot molekul antara 8.000 sampai 600.000. Melalui ultrasentrifugasi, protein kedelai dapat digolongkan menjadi empat golongan utama, yaitu protein 2S, 7S, 11S, dan 15S atas dasar laju pengendapannya (Wolf dan Cowan 1971).

Protein globulin adalah komponen utama dari protein kedelai yang jumlahnya hampir 50 persen dari total protein kedelai. Protein globulin ini terdiri dari fraksi 7S dan 11S yang jumlahnya masing 18.5% dan 31% dari total protein kedelai, dengan bobot molekul masing-masing 180.000 – 210.000 dan 600.000 (Wolf dan Cowan 1971).

Pemanasan larutan protein kedelai dalam air menyebabkan pembentukan agregat dari fraksi 11S, 15S dan sebagian 7S (Watanabe dan Nakayama 1962). Bila larutan 11S dipanaskan di atas 70oC, larutan menjadi keruh dan protein mengendap pada pemanasan 90oC (Wolf dan Cowan 1971).

Proses pengendapan ini terjadi pada saat titik isoelektrik yaitu muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul bermuatan nol.

Pada tahu, faktor yang mempengaruhi penggumpalan adalah suhu pada saat koagulan ditambahkan, jenis dan konsentrasi koagulan, cara penambahan koagulan dan lama penggumpalan.

- Suhu Koagulasi

Suhu susu kedelai pada saat penambahan koagulan mempengaruhi kecepatan koagulasi. Pada suhu yang tinggi, protein memiliki energi aktif yang tinggi, yang menyebabkan koagulasi berlangsung cepat. Hasilnya tahu cenderung memiliki water holding capacity (WHC) yang rendah, tekstur yang kasar dan keras, hasil curah yang rendah. Ketika suhu koagulasi rendah, pengaruhnya berlawanan. Jika suhu terlalu rendah (dibawah 60oC) koagulasi menjadi tidak sempurna dan tahu mengandung terlalu banyak air dan terlalu lembut untuk mempertahankan bentuknya. Umumnya temperatur yang digunakan adalah 70-80oC (Beddows dan Wong 1987).

- Waktu Koagulasi

Setelah penambahan koagulan, campuran susu kedelai-koagulan didiamkan. Jika terlalu cepat maka koagulasi tidak akan sempurna. Sedangkan jika terlalu lama, suhu akan menurun yang selanjutnya akan sulit melakukan pengepresan. Umumnya untuk tahu lembut (Sutra) membutuhkan 30 menit, tahu reguler 20-25 menit dan untuk tahu keras 10-15 menit.

Pengukuran kekuatan gel dapat diklasifikasikan atas pengukuran kekerasan gel dan pengukuran daya tahan pecah gel. Kekerasan gel menunjukkan besarnya beban untuk melakukan deformasi gel sebelum terjadi pemecahan gel. Daya tahan pecah gel merupakan batas elastisitas gel yang menunjukkan besarnya daya tahan gel terhadap deformasi dimana gel menjadi sobek. Kalau dikaitkan dengan nilai pH, ternyata naiknya pH akan meningkatkan kekerasan dan daya tahan pecah gel, namun kenaikan yang semakin besar akan menurunkan kekerasan dan daya tahan pecah gel (Matz 1959).

Dokumen terkait