• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Bahan Baku (Substrat)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Sistem Batch

4.1.1. Karakteristik Bahan Baku (Substrat)

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu limbah.bagase tebu dan limbah nanas. Analisis awal bahan meliputi parameter kadar abu, C/N, pH, temperatur, total solid (TS), volatile solid (VS) dan volatile fatty acid (VFA).

Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang terkandung dalam bahan baku. Kadar air sangat mempengaruhi dekomposisi bahan organik . Mikroorganisme dapat bekerja dengan baik, bila kadar airnya berkisar antara 40 – 60%. Kadar air yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pengurangan jumlah udara yang bersirkulasi, sehingga menciptakan kondisi anaerob. Sedangkan kadar air yang terlalu rendah dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati, sehingga proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme tidak optimal. Hasil analisa menunjukkan kadar air bagase tebu sebesar 44,76% dan limbah nanas sebesar 93,63%. Price dan Cheremisinoff (1981) menyatakan bahwa peningkatan kadar air substrat dari 36% menjadi 99% dapat meningkatkan produksi biogas sampai 67%, namun kadar air yang terlalu tinggi dapat menghambat aktivitas bakteri metanogenik. Hal ini disebabkan

karena penambahan air akan meningkatkan oksigen yang bersifat racun bagi bakteri anaerob. Sebaliknya bila kadar air yang terlalu rendah akan mengakibatkan terjadinya akumulasi asam asetat yang bersifat menghambat.

Nilai rasio C/N bahan organik merupakan faktor penting dalam pengomposan. Hal ini berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme yang membutuhkan sumber karbon sebagai penyedia energi dan nitrogen sebagai zat pembangun sel mikroorganisme. Rasio C/ N merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam menentukan tingkat kematangan dan kualitas kompos. Rasio C/N yang ideal adalah 20 – 40 (CPIS, 1992). Dalam proses pengomposan kandungan karbon organik akan berkurang karena terdekomposisi menjadi CO2, uap air dan panas, sedangkan nitrogen organik relatif tetap.

Oleh karenanya analisis yang digunakan adalah karbon organik dan nitrogen organik atau Total Kjeidahl Nitrogen (TKN). Nilai N total kompos semakin meningkat seiring dengan waktu pengomposan dibandingkan dengan C. Hal ini disebabkan unsur N cenderung tertahan dalam tumpukan kompos dan selama proses dekomposisi unsur N yang hilang hanya 5 %, sedangkan unsur C yang hilang sebanyak 50% (Alexander, 1977). Analisis kadar C dan TKN bertujuan untuk mengetahui kandungan karbon dan nitrogen organik dalam bahan sehingga dapat menjadi dasar acuan akan kebutuhan kedua unsur tersebut yang tersedia. Kedua unsur tersebut nantinya dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk menghasilkan produk akhir yang berupa gas metan (CH4).

Suhu merupakan faktor penting yang menunjukkan terjadinya proses dekomposisi bahan organik menjadi kompos. Suhu optimum proses pengomposan berkisar antara 350C – 550 C karena pada suhu tersebut aktivitas mikrorganisme berjalan dengan baik (Haug, 1980). Hasil yang diperoleh menunjukkan suhu meningkat mencapai 48,80 C dan suhu terendah mencapai 31,60 C. Hal ini disebabkan pada proses pengomposan kandungan O2 dalam bahan sangat rendah (< 5%) dan kandungan CO2 tinggi (> 20%).

Dengan aerasi , dapat menambah kandungan O2 dan mengurangi CO2. Kondisi ini akan

meningkatkan kegiatan mikroorganisme sehingga suhu meningkat dan CO2 kembali akan

meningkat. Dalam prosesnya akan terjadi difusi dengan udara, suplai O2 tidak berjalan

dengan lancar sehingga tejadi pengurangan O2 jika bahan organik yang mudah

didegradasi cepat habis, kegiatan mikroba akan berkurang. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya produksi CO2 dan meningkatnya kandungan O2 serta menurunnya suhu.

Pada umumnya dalam tumpukan kompos mempunyai nilai pH awal berkisar 6 – 7 (Gaur, 1983). Nilai pH yang cenderung menurun pada awal proses pengomposan menunjukkan telah terbentuknya asam-asam organik yang merupakan asam-asam yang lemah seperti asam laktat, butirat, propionat, asam asetat dan asam lemah lainnya. Sedang peningkatan nilai pH pada saat proses pengomposan disebabkan oleh perubahan asam- asam organik CO2 dan sumbangan kation-kation basa hasil mineralisasi bahan organik.

Pada proses pengomposan kondisi basa disebabkan adanya perubahan nitrogen dan asam lemah menjadi amoniak. Pengomposan aerob biasanya dalam kondisi basa, sedangkan pengomposan anaerob berada dalam kondisi asam (Harada, 1993). Pertumbuhan mikroba dapat terjadi secara optimal pada pH 6 – 8. Pengontrolan pH dilakukan untuk mencegah keasaman tinggi yang menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen.

Total Solid (TS) ialah padatan yang terkandung dalam bahan, dan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjukkan terjadinya proses dekomposisi padatan yang akan dirombak pada saat terjadi degradasi bahan. Sedangkan Volatile Solid (VS) merupakan jumlah padatan dalam bahan yang menguap pada pembakaran di atas suhu 550 oC. Total padatan menguap sering disebut juga sebagai padatan organik total. Parameter lainnya yang terkait dengan TS dan VS adalah nilai kadar abu. Kadar abu merupakan parameter yang diperlukan untuk menentukan kadar karbon total (AOAC, 1984). Besar kadar abu bagase yang digunakan sebesar 7,89 % tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh Harjo etal (1989) sebesar 8,8 %. Menurut Osman (2006) nilai TS bagase tebu yang digunakan sebagai substrat biogas dapat mencapai 94,67%, nilai VS mencapai 93,77% dan kadar abu 6,23%. Nilai ini bergantung pada jenis tebu yang digunakan.

Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan parameter penting lainnya dalam proses dekomposisi anaerob. VFA adalah senyawa lemak yang telah dipecah menjadi asam lemak yang lebih sederhana oleh enzim lipase yang disekresi oleh mikroba. Dalam proses semi aerob pada tahap hidrolisis, padatan organik yang digunakan akan dipecah oleh enzim eksternal yang dihasilkan oleh bakteri yang ada serta dilarutkan dalam air yang terdapat di sekelilingnya. Tahapan ini sulit untuk diamati dan merupakan tahap pembentukan asam, karena sejumlah molekul akan diserap tanpa pemecahan lebih lanjut dan dapat didegradasi secara internal. Pada tahap hidrolisis dan asidogenesis akan terbentuk sejumlah asam, sehingga VFA akan mengalami kenaikan. Asam yang terbentuk

diantaranya asam laktat, asam asetat, asam propionat dan asam butirat. Asam asetat merupakan senyawa organik yang akan diuraikan oleh acetocalstic methane bacteria menjadi metana dan karbon dioksida.

Dekomposisi bahan organik berlangsung dalam lingkungan yang bervariasi dari kondisi aerobik ke anaerobik dan dari bakteri yang mampu tumbuh optimal pada temperatur mesofilik ke temperatur termofilik. Proses ini bergantung pada mikroorganisme yang terlibat, aerasi dan tingat kelembaban lingkungan serta karakteristik dari bahan yang dikomposkan. Kondisi aerobik dan termofilik lebih diinginkan karena laju dekomposisi bahan organik lebih cepat dan sempurna (Gaur, 1981). Menurut Ros dan Zupancic (2004), keuntungan lain yang didapatkan dari proses aerobik adalah pendegradasian senyawa organik makro yang terdapat pada substrat akan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan proses anaerobik, sehingga produk yang dihasilkan akan lebih optimal.

Perlakuan pendekomposisian secara semi-aerobik yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu dengan aerasi dan penambahan bakteri EM4 yang bertujuan untuk mempersingkat fase adaptasi atau lag phase dari mikroorganisme pada saat permulaan proses dekomposisi, sehingga mempercepat pendegradasian. Selain itu, penambahan EM4 juga digunakan untuk mengantisipasi keterbatasan jenis mikroba alami dan ketidak mampuan mikroba alami untuk mendegradasi beberapa senyawa toksik seperti senyawa pestisida dalam bahan tersebut. Pengomposan (composting) atau pendekomposisian secara semi-aerobik pada bagase tebu dilakukan selama 45 – 60 hari dan limbah nanas selama 18 – 24 hari. Selama proses pengomposan tersebut dilakukan pengukuran suhu dan pH secara rutin. Pada Tabel 9 menunjukkan hasil analisa awal dan akhir pengomposan bahan baku substrat menggunakan EM4 dan Acticomp.

Tabel 8. Karakteristik awal dan akhir pengomposan bahan baku substrat Parameter Bagase Tebu Kulit Nanas Bagase (Akhir) Tebu Kulit (Akhir) Nanas

Awal Awal EM4 Acticomp EM4 Acticomp

TS (%) 55,2 6,4 12,9 16,6 3,9 4,2 VS(%) 54,2 5,8 11,9 15,7 2,2 3,1 Kadar Air (%) 44,7 93,6 87,1 83,4 96,1 95,8 Kadar Abu (%) 7,89 0,57 0,96 0,82 0,1 0,1 C (%) 22,8 67,7 6,5 8,6 39,5 44,8 TKN (%) 0,1 0,9 0,1 0,1 2,1 2,5 Temp.(0C) 31,3 32,2 33,4 34,2 34,5 33,6 pH 6,3 5,9 6,9 7,4 7,3 7,6 Rasio C/N 227,5 72,80 64,8 85,9 19,12 17,83 VFA(mM) 68,4 21,7 74,1 104,8 30,7 89,4

Selain menggunakan EM4 sebagai sumber mikroba pendegradasi, juga digunakan Acticomp, produk dari Balai Penelitian Hasil Perkebunan. Hasil pengomposan EM4 dan Acticomp yang menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda, namun berdasarkan nilai C/N rasio yang diperoleh maka dipilih hasil pengomposan dengan menggunakan EM4 karena C/N rasionya mendekati nilai yang diinginkan, yakni C/N 25, 30 dan 35.

Pada tahap semi-aerobik terjadinya proses dekomposisi yang dapat ditunjukkan dari parameter-parameter seperti total solid (TS); volatile solid (VS); volatile fatty acid (VFA); Temperatur (T) ; derajat keasaman (pH) dan rasio C/N.

a. Total Solid (TS)

Padatan dalam bagase tebu dan limbah nanas akan didegradasi oleh mikroba. Gambar 9 menunjukkan nilai TS dari proses semi-aerob yang dilakukan pada bahan baku substrat yang digunakan. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya penurunan nilai TS dari kedua bahan baku substrat yang digunakan. Nilai TS awal bagase tebu yang digunakan sebesar 55,2 % menurun menjadi 12,9 % menggunakan EM4 dan sebesar 16,6% menggunakan Acticomp. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan adanya efisiensi TS sekitar 73,4 %. Sedangkan pada limbah nanas, nilai TS awal sebesar 6,4 % menurun menjadi 3,9 % jika menggunakan EM4 dan sebesar 4,2 % jika menggunakan Acticomp. Efisiensi TS limbah nanas diperoleh sekitar 36,4 %. Nilai efisiensi TS bagase yang diperoleh lebih besar dibandingkan efisiensi TS bagase

Gambar 9. Total Solid (TS) bahan baku substrat.

yang diperoleh Chanakya et al (2006) pada pengomposan selama 40 hari diperoleh efisiensi TS sebesar 53%. Sedangkan efisiensi TS limbah nanas yang diperoleh lebih kecil dibandingkan efisiensi TS buah-buahan yang diperoleh Chanakya et al (2006) pada pengomposan selama 30 hari diperoleh efisiensi TS sebesar 51%. Efisiensi TS bagase yang tinggi dapat dicapai pada kondisi semi-aerobik dan termofilik karena laju dekomposisi bahan organik lebih cepat dan sempurna (Gaur, 1981). Hal ini memungkinkan mikroorganisme bekerja secara optimal.

b. Volatile Solid (VS)

Pada Gambar 10 menunjukkan nilai VS dari kedua jenis bahan baku substrat yang digunakan. Padatan yang menguap berasal dari kandungan organik substrat. Selama proses dekomposisi bahan organik akan dihasilkan garam-garam mineral yang tidak mudah menguap, yang menyebabkan jumlah VS mengalami penurunan. Nilai VS awal bagase tebu yang digunakan sebesar 54,24 % menurun menjadi 11,90 % menggunakan EM4 dan sebesar 15,74 % dengan menggunakan Acticomp. Dari hasil analisa diperoleh efisiensi VS bagase sekitar 74,54 %. Pada limbah nanas yang digunakan, nilai VS awal sebesar 5,8 % menurun menjadi 2,16 dengan menggunakan EM4 dan sebesar 3,04 % menggunakan Acticomp. Nilai efisiensi VS limbah nanas diperoleh sekitar 55,18 %. Nilai efisiensi VS bagase dan limbah nanas yang diperoleh lebih besar daripada yang diperoleh Chanakya et al (2006) pada

pengomposan bagase selama 40 hari, diperoleh efisiensi VS sebesar 49%, sedangkan pengomposan buah-buahan selama 30 hari mendapatkan efisiensi VS sebesar 45%.

Gambar 10. Volatile Solid (VS) bahan baku substrat.

Menurut Chanakya et al (2006) pola degradasi TS menyerupai degradasi VS, ini menunjukkan bahwa TS bahan yang didegradasi merupakan degradasi VS. Pada umumnya pola degradasi pada bahan makanan merupakan pola peluruhan eksponensial ( Lopez et al, 2004).

c. Volatile Fatty Acid (VFA)

Hasil analisa kenaikan nilai VFA dapat dilihat pada Gambar 11. Dari proses semi-aerobik yang berlangsung, akan terbentuk asetat yang akan didegradasi untuk melepas energi yang lebih besar dan menghasilkan karbondioksida dan sejumlah asam yang akan dimanfaatkan oleh bakteri anaerobik untuk memproduksi biogas. Dalam hal ini proses semi-aerobik mempunyai kelebihan yaitu bahwa substrat yang akan digunakan pada proses anaerobik telah mengandung asam asetat dan energi sehingga bakteri tidak memerlukan waktu yang lama untuk merombak substrat dan memproduksi biogas. Nilai VFA cenderung mengalami kenaikan karena pada proses semi-aerobik pada tahap asetogenesis berlangsung akan terjadi perombakan senyawa organik menjadi asam lemak menguap. Nilai VFA awal dari bagase yang digunakan

sebesar 68,37 mM dan meningkat menjadi 74,11 mM menggunakan EM4 dan menjadi 104,78 mM dengan menggunakan Acticomp. Nilai VFA awal bagase tebu

Gambar 11. Kenaikan nilai Volatile Fatty Acid (VFA).

yang relatip tinggi ini juga memungkinkan terbentuknya biogas secara optimal. Nilai VFA awal limbah nanas yang digunakan sebesar 21,71 mM dan meningkat menjadi. 30,67 mM jika menggunakan EM4 dan menjadi sebesar 89,44 mM jika menggunakan ActiComp.

d.Suhu

Suhu merupakan parameter kontrol terhadap aktivitas bakteri selama proses dekomposisi bahan organik. Pengomposan akan berlangsung secara optimal jika suhu yang dicapai sesuai dengan suhu optimum mikroorganisme. Suhu optimum pengomposan berkisar antara 35 – 550 C (Haug, 1980). Sedangkan menurut Murbandono (1983) suhu optimum proses pengomposan berkisar antara 30 – 400 C. Grafik perubahan suhu kompos bagase tebu ditunjukkan pada Gambar 12. Pada pengamatan suhu pengomposan bagase tebu tampak bahwa peningkatan suhu pengomposan cenderung naik pada hari ke-4 pekan pertama, dengan suhu optimal

Gambar 12. Perubahan suhu (0 C) selama pengomposan.

pengomposan bagase berkisar antara 42,3 – 48,70 C. Peningkatan suhu disebabkan aktivitas mikroorganisme yang mendegradasi bahan organik. Panas yang ditimbulkan sebagian tertahan dalam tumpukan kompos dan sebagian menguap yang berupa uap air. Mikroorganisme yang tumbuh optimal dalam EM4 mencapai suhu 48,70 C, sedangkan pada Acticomp, mikroorganisme yang tumbuh optimal mencapai suhu 42,30 C. Mikroorganisme tersebut mempunyai suhu optimum yang berbeda untuk aktivitasnya, sehingga dapat dinyatakan bahwa kondisi tersebut merupakan integrasi dari suhu optimum berbagai kelompok mikroorganisme. Sedangkan suhu pengomposan limbah nanas cenderung stabil, yakni 33,60 – 36,30 C.

Penurunan suhu secara drastis terjadi pada pengomposan bagase menggunakan EM4 mencapai 39,7 0C pada hari ke-8. Sedang pengomposan menggunakan Acticomp mengalami penurunan suhu hingga 35,5 0C pada hari ke-10 dan pada hari ke-13 aktivitas mikroorganisme mengalami peningkatan kembali sehingga suhu mencapai 39,3 0C. Perlakuan aerasi pada pengomposan bagase tebu tidak mempengaruhi suhu pengomposan, karena rongga udara di gundukan bahan relatif cukup besar sehingga suplai oksigen ke dalam bahan cukup merata. Pada hari ke-30 suhu kompos EM4 maupun Acticomp mulai mendekati suhu kamar yaitu 33,2 – 35,5

0

C. hingga hari ke- 47. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan berada dalam tahap pematangan dengan indikasi suhu yang mendekati suhu kamar (32,7 0C) yang mengakibatkan sumber karbon organik mulai berkurang dan aktivitas mikroorganisme mulai menurun sehingga panas yang dihasilkan sedikit.

Pada pengomposan limbah nanas tampak bahwa suhu cenderung konstan, pengomposan menggunakan EM4 mencapai suhu 32,3 - 41,3 0C dan pengomposan menggunakan Acticomp mencapai suhu 33,3 – 40,3 0C dan secara bertahap suhu mencapai stabil ± 34 0C. Hal ini menunjukkan bahwa mikroba yang bekerja pada pengomposan limbah nanas adalah jenis mesofilik. Ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Chaiprasert (2001) bahwa pada kondisi mesofilik mikroba yang bekerja pada limbah industri pengalengan nanas lebih kondisuf dalam menghasilkan produk intermediat seperti asam propionat yang berperan dalam pembentukan produksi biogas.

e. Derajat Keasaman (pH)

Perubahan pH dalam proses pengomposan menunjukkan aktivitas bakteri dalam mendegradasi bahan organik dan melakukan metabolisme. Nilai pH selama proses pengomposan diamati 3 hari sekali sampai waktu pematangan kompos. Perubahan nilai pH kompos bagase dan nanas dapat dilihat pada Gambar 13. Nilai pH selama proses pengomposan cenderung berfluktuasi untuk semua perlakuan. Nilai pH bagase relatif kecil fluktuasinya. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan aktivator baik EM4 maupun ActiComp akan meningkatkan pH dan akan diimbangi dengan pembentukan asam-asam organik seperti asam laktat, yang akan menurunkan nilai pH. Nilai pH

awal bagase sebesar 6,32 dan pada hari ke-40 pengomposan nilai pH mencapai netral sebesar 7,12 – 7,37. Hal ini disebabkan karena selama proses degradasi protein organik akan menghasilkan NH3 yang akan berikatan dengan air membentuk

NH4OH yang bersifat basa, sehingga pH meningkat (Wimbanu, 2005). Pada hari ke-3

nilai pH awal nanas sebesar 4,44 – 5,17 meningkat sebesar 6,85 – 7,56 pada hari ke- 9. Hal ini disebabkan adanya penambahan aktivator EM4 dan ActiComp memberikan peningkatan aktivitas bakteri secara signifikan.

e.Rasio C/N

Setiap bahan organik yang akan dikomposkan memiliki karakateristik yang berlainan. Menurut Sulaeman (2007), unsur karbon (C) dan nitrogen (N) merupakan karakteristik terpenting dalam bahan organik dan berguna untuk mendukung proses pengomposan. Menurut Osman (2006) bagase tebu memiliki nilai rasio C/N 131,34 sedangkan dari Chinese Biogas Manual (1979) bagase tebu memiliki nilai rasio C/N 150. Nilai rasio C/N awal bagase tebu yang digunakan sebesar 227,5.

Gambar 14. Perubahan nilai rasio C/N setelah pengomposan.

Sedangkan Bardiya (1996) mendapatkan nilai rasio C/N kulit nanas sebesar 55. Ini juga tidak berbeda jauh dari nilai rasio C/N limbah kulit nanas yang digunakan sebesar 72,80. Nilai rasio C/N yang diinginkan sebesar 20 - 30 (Yani dan Darwis, 1990). Oleh karena itu perlu ditambahkan kotoran sapi, agar mencapai nilai rasio C/N yang diharapkan (Gaur, 1981). Selama proses aerobik akan terjadi pemanfaatan sumber karbon dan nitrogen oleh mikroba. Ini dapat diindikasikan dengan adanya

penurunan pada nilai rasio C/N. Pada Gambar 14 menunjukkan nilai rasio C/N yang diperoleh, rasio C/N awal bagase tebu sebesar 227,50 menurun menjadi sebesar 64,8 jika menggunakan EM4 dan sebesar 85,9 jika menggunakan Acticomp. Rasio C/N awal limbah nanas sebesar 72,80 menurun menjadi sebesar 19,12 jika menggunakan EM4 dan sebesar 17,83 jika menggunakan Acticomp. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penggunaan atau pemanfaatan karbon dan nitrogen sebagai nutrisi mikroba untuk tumbuh dan berkembang (Yani dan Darwis, 1990).

Dokumen terkait