• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Karakteristik biometrik ikan nila

Pola pertumbuhan ikan nila jantan dan betina di tiga stasiun terlihat sama pada TKG IV yaitu isometrik, sedangkan pada TKG I sampai III pola pertumbuhan tersebut tidak sama. Pola pertumbuhan dapat saja berubah dari allometrik menjadi isometrik diakibatkan oleh lingkungan perairan yang berbeda (Tresnati 2001). Pada ikan nila TKG IV pola pertumbuhannya sama diduga ikan nila tersebut dapat memaksimalkan ketersedian makanan di alam dan dapat menentukan tempat yang sesuai untuk hidupnya.

Nilai faktor kondisi ikan nila yang diperoleh umumnya menurun di stasiun 2 dan meningkat di stasiun 3. Berdasarkan analisis statistika nilai faktor kondisi ikan nila antar stasiunnya menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 2 dan 3. Perbedaan nilai faktor kondisi tersebut dapat mengindikasikan kegemukan, kesesuaian lingkungan hidupnya, dan perkembangan gonad ikan (Suwarni 2009).

Kandungan logam berat di dalam perairan dan di dalam tubuh ikan akan mengakibatkan rendahnya IKG ikan. Jalius et al. (2008) menjelaskan bahwa adanya senyawa pencemar terutama logam berat Pb, Cd, Cr, dan Hg mempengaruhi perkembangan sel-sel kelamin tahap awal dan akhir. Keadaan ini diduga terjadi pada tahap penggandaan sel-sel yang mempengaruhi proses pembelahan mitosis terutama pada fase metaphase yang sangat sensitif terhadap perubahan kimia, suhu, dan lingkungan. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian IKG ikan nila hasilnya justru meningkat dari stasiun 1 ke 3. Berdasarkan analisis statistika nilai IKG ikan nila antar stasiunnya menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 2 dan 3. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat ukuran kisaran panjang dan berat yang sama tidak mempunyai TKG yang sama. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan dimana ikan tersebut hidup, ada tidaknya ketersediaan makanan, suhu, salinitas, dan kecepatan pertumbuhan ikan itu sendiri (Yustina & Arnetis 2001).

Fekunditas di stasiun 2 merupakan yang paling rendah jika dibandingkan dengan stasiun 1 dan 3. Berdasarkan analisis statistik fekunditas ikan nila antar stasiunnya menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 2. Rendahnya fekunditas di stasiun 2 tersebut dikarenakan perbedaan ikan nila dalam beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga akan mempengaruhi strategi reproduksinya. Royce (1984) menyatakan bahwa fekunditas ikan selain dipengaruhi oleh bobot dan panjang ikan, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, genetik, ketersediaan pakan, dan juga berkaitan dengan umur ikan. Ikan nila betina TKG IV di stasiun 2 juga memiliki nilai faktor kondisi yang rendah, hal ini berkorelasi positif dengan fekunditas yang rendah di stasiun 2, karena menurut Baltz dan Moyle (1982) ikan yang mempunyai nilai faktor kondisi yang rendah akan menghasilkan fekunditas yang rendah.

Rendahnya fekunditas di stasiun 2 justru meningkatkan diameter telur ikan nila di stasiun 2. Berdasarkan analisis statistika diameter telur ikan nila antar stasiunnya menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) di tiga stasiun. Hasil pengamatan diameter telur ikan nila di stasiun 2 lebih besar dibandingkan dengan di stasiun 1 dan 3, sehingga besarnya diameter telur ikan tersebut membuat telur ikan yang dihasilkan sedikit. Hasil rata-rata diameter telur ikan nila tertinggi terdapat di stasiun 2, akan tetapi modus/puncak yang dimiliki setiap stasiun terbanyak pada stasiun 1 yang memiliki tiga modus/puncak sedangkan stasiun 2 dan 3 hanya dua modus/puncak. Adanya beberapa modus/puncak diameter telur di tiga stasiun pada setiap tahapan pematangan gonad menunjukkan bahwa ikan nila di Sungai Cimanuk Lama memiliki tipe pemijahan

sebagian-sebagian (partial spawning), artinya ikan akan mengeluarkan telurnya sebagian-sebagian dalam satu musim pemijahan.

Hepato somatic index (HSI) ikan nila cenderung meningkat dari stasiun 1 sampai

3. Berdasarkan analisis statistika HSI antar stasiunnya menunjukkan hasil berbeda nyata (p<0,05) di tiga stasiun. Meningkatnya HSI tersebut didukung dengan histologis organ hati di stasiun 2 dan 3 yang menunjukkan adanya degenerasi lemak. Pada Gambar 4 terlihat adanya vakuola-vakuola yang membesar pada organ hati di stasiun 2 dan 3. Pembesaran vakuola tersebut akan menyebabkan nilai HSI menjadi meningkat.

Berat insang relatif (BIR) ikan nila cenderung meningkat ke stasiun 2 dan menurun ke stasiun 3. Berdasarkan analisis statistik BIR antar stasiunnya menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) di stasiun 2 dan 3. Meningkatnya BIR pada stasiun 2 didukung dengan hasil histologis ikan nila di stasiun 2 yang mengalami edema. Edema merupakan timbunan cairan yang berlebihan pada ruang intraselluler insang (Lu 1995), sehingga akan menyebabkan perluasan jaringan antara pembuluh darah dengan lapisan epitel lamella primer.

4. Kondisi histologis organ insang dan hati ikan nila

Logam berat kromium mengakibatkan kerusakan jaringan insang ikan nila semua ukuran di tiga stasiun. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 6 yang menunjukkan tingkat kerusakan dari ringan sampai berat. Kerusakan tersebut ditandai dengan peradangan dengan adanya limfosit, kongesti, edema, hemoragi, dan nekrosis. Mishra dan Mohanty (2008) mengatakan paparan logam berat kromium dapat mengakibatkan kerusakan organ insang ikan. Logam berat kromium tersebut akan merusak sel epitel insang, sehingga sel epitel tersebut dapat mengalami nekrosis. Selain itu juga, logam berat kromium dapat mengakibatkan pembengkakkan pembuluh darah dan lamella sekunder (dapat dilihat dengan adanya edema).

Insang ikan nila yang tertangkap di stasiun 1 menunjukkan kerusakan yang terjadi tergolong ringan, kemudian kerusakan tersebut terlihat berat pada ikan nila (100–250 g) hasil tangkapan di sungai yang tertangkap di stasiun 2 dan 3 dengan adanya nekrosis. Kerusakan jaringan pada organ insang ikan nila akibat logam berat kromium dapat mengurangi konsumsi oksigen dan mengganggu proses osmoregulasi (Mishra & Mohanty 2008). Hal ini tentu saja dapat mengganggu proses respirasi, kemudian akan mengganggu proses penguraian energi (katabolisme) di dalam tubuh ikan nila. Pada proses katabolisme ikan nila membutuhkan oksigen yang cukup di dalam tubuhnya, hal ini dikarenakan akan terjadi proses penguraian makanan, sehingga akan terjadi deposit energi dan menghasilkan energi untuk pertumbuhan. Akan tetapi, jika proses tersebut terganggu maka pertumbuhan ikan nila akan terganggu.

Kerusakan organ hati ikan nila di tiga stasiun menunjukkan tingkat kerusakan ringan hingga berat. Kerusakan tersebut ditandai dengan peradangan berupa munculnya limfosit, kongesti, hemoragi, edema, degenerasi lemak, degenerasi inti sel, dan degenerasi hidropis. Mishra dan Mohanty mengatakan perubahan pada organ hati yang disebabkan oleh logam berat kromium adalah sel hepatosit hati yang mengalami vakuolisasi, nekrosis, dan degenerasi. Hal ini dikarenakan logam berat kromium (IV) sangat larut dalam air, sehingga mudah menembus membran sel, dan mengakibatkan kerusakan sel.

Hati ikan nila yang tertangkap di stasiun 1 mengalami kerusakan ringan hingga sedang, sedangkan di stasiun 2 dan 3 kerusakan yang terjadi sudah menunjukkan kerusakan berat yang terjadi pada ikan nila (30–90 g dan 100–250 g) hasil tangkapan

dari sungai. Kerusakan jaringan pada organ hati ikan nila akan mengganggu proses detoksifikasi. Terganggunya proses detoksifikasi tersebut, akan mempengaruhi proses vitalogenesis. Jumlah vitalogenin ikan nila akan menurun sehingga deposit material di oocit terhambat atau tidak berkembang dan mengakibatkan degenerasi oocit (Medina 2012).

5. Konsumsi maksimum mingguan daging ikan nila

Akumulasi logam berat kromium dalam tubuh manusia dapat menggangu dan membahayakan kesehatan manusia. Badan internasional untuk penelitian kanker (IARC) telah menetapkan bahwa logam berat kromium (VI) adalah karsinogenik bagi manusia. Hal ini ditandai dengan adanya paparan logam berat kromium yang dapat mengakibatkan kematian. Selain itu juga logam berat kromium (IV) mengakibatkan iritasi kulit pada kulit yang sensitif. Oleh karenanya organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan rekomendasi maksimum konsentrasi yang diijinkan untuk logam berat kromium (IV). Rekomendasi tersebut dibuat dikarenakan adanya efek yang dilaporkan akibat manusia mengkonsumsi air minum yang mengandung logam berat kromium berupa diare, sakit perut, gangguan pencernaan, dan muntah (Tepe 2014). WHO membatasi kandungan kromium untuk air minum sebesar 0,05 mg L-1 (Romero- Gonzalez et al. 2005)

Salah satu cara untuk menghindari resiko keracunan logam berat kromium adalah dengan menentukan berat maksimal daging ikan nila yang dapat ditolerir dengan menghitung Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI). Menurut WHO, PTWI merupakan sebuah cara yang digunakan untuk mengukur kontaminan, seperti logam berat pada makanan yang sifatnya kumulatif. Ikan nila merupakan salah satu organisme perairan yang mampu mengakumulasi logam berat kromium di dalam tubuhnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam berat kromium dalam tubuh ikan nila telah melampaui ambang batas yang telah ditentukan. Oleh karenanya konsumsi daging ikan nila tersebut harus sesuai dengan batasan yang dapat dikonsumsi. Batas maksimum berat daging ikan nila yang ditolerir untuk dikonsumsi dalam waktu satu minggu

(Maximum Tolerable Intake/ MTI) untuk orang dewasa (50 kg bb) sebesar 17,9–38,4 g

daging minggu-1 dan anak-anak (15 kg bb) sebesar 5,3–11,2 g daging minggu-1. Apabila logam berat kromium yang masuk dalam tubuh orang dewasa dan anak-anak melebihi nilai MTI tersebut, maka logam berat kromium akan bersifat toksik di dalam tubuhnya. Palar (2004) menyatakan bahwa akumulasi logam berat kromium dalam tubuh manusia dapat menyebabkan kerusakan pada organ respirasi dan menyebabkan kanker.

Dokumen terkait