• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Demografi Pasien

2012-Juni 2013?

b. Seperti apa profil pengobatan pada pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013?

c. Apakah terdapat Drug Therapy Problems (DTPs) penggunaan obat pada pasien pediatri dengan diagnosa asma yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high) di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti

4

Rapih periode Januari 2012-Juni 2013 belum pernah dilakukan, tetapi terdapat beberapa penelitian terkait dengan penyakit asma telah di lakukan oleh beberapa peneliti lain dengan judul sebagai berikut :

a. Gibson (2000) mengenai “Kajian peresepan pasien dewasa asma bronkial non

komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun

2000”. Dalam penelitian ini dilakukan kajian kerasionalan obat secara teoritis

meliputi kesesuaian obat asma yang diberikan dengan standar pelayanan medik, ketepatan dosis, dan potensial interaksi obat. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif non analitis dan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Gibson terletak pada tahun penelitian, subyek penelitian yaitu pada pasien pediatri dan evaluasi yang dilakukan terkait dengan DTPs yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).

b. Yusriana (2002) mengenai “Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial pada Pasien Anak Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode 1999-2001”. Kajian yang dilakukan adalah pola pengobatan penyakit asma

bronkial yang meliputi jumlah obat yang diberikan, golongan obat yang diberikan, jenis obat yang diberikan, dan cara pemberian obat. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif non

5

analitis dan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusriana terletak pada tahun penelitian dan evaluasi yang dilakukan yaitu DTPs yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).

c. Kusuma (2004) mengenai “Kajian Pola peresepan obat asma yang diberikan

pada pasien asma anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta tahun 2002”. Kajian yang dilakukan meliputi pola peresepan obat

asma yang meliputi kesesuaian obat asma yang diberikan dengan standar pelayanan medik, ketepatan dosis, dan potensial interaksi. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan deskriptif non analitis serta pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan dengan penelitian Kusuma, penelitian ini dilakukan pada tahun 2012-2013 dan evaluasi yang dilakukan terkait dengan Drug Therapy Problems (DTPs) yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high). Persamaan penelitian ini adalah subyek penelitian pada pasien asma anak.

d. Handayani (2009) mengenai “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini

6

Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009”. Kajian yang dilakukan meliputi karakteristik pasien pasien asma bronkial, pola pengobatan pasien asma bonkial dan DRPs. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dengan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan dengan penelitian Handayani, penelitian ini dilakukan pada tahun 2012-2013 dan subyek penelitian pada pasien pediatri. Persamaan penelitian ini adalah evaluasi yang dilakukan yaitu evaluasi DTPs yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).

e. Pratiwi (2011) mengenai “Kajian Drug Related Problems pada Pasien Anak dengan Infeksi Saluran Nafas Bawah dan Asma di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode 1 Januari-30 Juni 2006”. Kajian yang dilakukan adalah

DRPs yang meliputi butuh obat baru atau penambahan obat dalam terapi, obat yang tidak diperlukan, obat salah, dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, interaksi obat, dan kepatuhan pasien. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif dan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan dengan penelitian Pratiwi, penelitian ini dilakukan pada tahun 2012-2013 dan subyek penelitian pada pasien pediatri dengan diagnosa asma. Persamaan penelitian ini adalah evaluasi DRPs.

f. Hidayah (2011) mengenai “Identifikasi Drug Related Problems pada Pasien Asma Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun

7

2009”. Kajian yang dilakukan adalah DRPs yang meliputi membutuhkan

tambahan terapi obat, obat tanpa indikasi dan duplikasi terapi, obat salah, dosis terlalu rendah, interaksi obat, dan dosis terlalu tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimental dengan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan dengan penelitian Hidayah, penelitian ini dilakukan pada tahun 2012-2013, subyek penelitian pada pasien pediatri dengan diagnosa asma dan tempat penelitian di RS Panti Rapih Yogyakarta. Persamaan penelitian ini adalah terdapat pada evaluasi DRPs.

3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh tenaga kesehatan sebagai sumber informasi dan sebagai salah satu pertimbangan dalam penatalaksanaan terapi asma pada anak sehingga dapat mencegah terjadinya DTPs serta meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) penggunaan obat asma pada pasien pediatri di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada periode Januari 2012-Juni 2013

8 2. Tujuan Khusus

Penelitian ini memiliki tujuan khusus sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi karakteristik demografi pasien pediatri dengan diagnosa asma.

b. Mengidentifikasi profil pengobatan pasien asma.

c. Mengidentifikasi potensial kejadian Drug Therapy Problems yang meliputi: obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Drug Therapy Problems (DTPs)

Drug Therapy Problem merupakan peristiwa yang tidak diinginkan atau yang mungkin dialami oleh pasien selama proses terapi sehingga dapat mengganggu tercapainya tujuan dari terapi. Drug Therapy Problems yang dapat terjadi dalam suatu proses terapi menurut Cipolle (2004) adalah:

Tabel I. Kategori dan Penyebab Umum DTPs

No DTPs Penyebab

1.

Obat yang tidak dibutuhkan (unnecessary

drug therapy)

Obat tidak sesuai kondisi pasien Pemberian duplikasi obat

Kondisi lebih tepat dengan terapi non farmakologi Terapi obat untuk mencegah efek samping Penyalahgunaan obat

2.

Butuh tambahan obat (need for additional drug

therapy)

Kondisi baru butuh tambahan terapi obat

Obat untuk mencegah resiko baru yang mungkin terjadi Dibutuhkan pencapaian efek sinergis/peningkatan efek

3. Obat tidak efektif

(ineffective drug)

Obat tidak efektif/tidak sesuai dengan kondisi

Kondisi medis tidak dapat disembuhkan dengan obat yang diberikan

Bentuk sediaan yang tidak tepat

Obat yang digunakan bukan obat yang efektif atau bukan yang paling efektif

4. Dosis terlalu rendah

(dosage too low)

Dosis yang diberikan terlalu rendah Interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif Interval pemberian terlalu jarang

Durasi pemberian terlalu singkat

5. Reaksi yang merugikan

(adverse drug reaction)

Adanya reaksi obat yang tidak diharapkan

Obat lebih aman digunakan untuk mengurangi faktor resiko

Regimen dosis yang teratur atau berubah terlalu cepat Kontraindikasi obat

6. Dosis terlalu tinggi

(dosage too high)

Dosis yang diberikan terlalu tinggi Frekuensi pemberian terlalu singkat Durasi pemberian terlalu lama

Terjadi interaksi yang menyebabkan reaksi toksik

7. Ketidakpatuhan

(noncompliance)

Pasien tidak mengerti aturan pakai Pasien tidak mau minum obat Pasien lupa meminum obat Obat terlalu mahal

Pasien tidak dapat menelan atau menggunakan obat secara tepat

Penyebab Drug Therapy Problems yang sering terjadi pada terapi asma adalah karena kondisi pasien yang tidak mendapatkan terapi, pemberian dosis yang tidak tepat, pemberian obat dengan bentuk sediaan yang tidak tepat terjadi

pada penggunaan kortikosteroid dan β2 agonis tidak diberikan secara inhalasi

tetapi secara per oral, adanya efek samping obat, adanya kesalahan dalam teknik penggunaan inhalasi. Masalah terkait terapi ini juga disebabkan karena pasien tidak mau menggunakan inhalasi, kegagalan pasien mendapatkan obat, ketidakpatuhan pasien, dan tidak adanya pengetahuan pasien yang cukup tentang terapi asma (Mackinnon, 2007; Abdelhamid, 2008).

Drug Therapy Problems obat yang tidak dibutuhkan pada asma umumnya disebabkan obat yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi pasien dan adanya pemberian duplikasi obat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2011), diketahui bahwa pasien mendapatkan obat antibiotika berupa sefiksim dan amoksisilin tetapi pada pasien tidak terdapat indikasi infeksi seperti peningkatan suhu tubuh dan peningkatan kadar leukosit. Pada penelitian ini juga terdapat adanya pemberian 2 obat dalam golongan yang sama (duplikasi) yaitu sama-sama

golongan β2 adrenergik yang merupakan bronkodilator dan bekerja secara cepat namun aksinya tidak bertahan lama. Terjadinya pemberian duplikasi obat ini dapat meningkatkan efek samping yang meliputi tremor otot rangka, hipokalemia, hiperglikemi, peningkatan kadar asam laktat, dan sakit kepala.

Adanya DTPs butuh tambahan terapi obat pada pasien asma disebabkan karena terdapat kondisi pasien yang memerlukan terapi tetapi tidak mendapatkan terapi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2011), diketahui bahwa 5

pasien mengalami sesak nafas tetapi tidak mendapatkan obat bronkodilator untuk mengatasi keluhan yang dialami. Pada kondisi kelima pasien ini, ada kemungkinan pasien telah mendapatkan terapi suportif berupa pemberian oksigen namun tidak tercantumkan dalam rekam medis. Kemudian terdapat juga pasien yang mengalami demam selama 2 hari dan suhu mencapai 39,1°C tetapi tidak mendapatkan antipiretik untuk menurunkan demam yang dialami.

DTPs karena pemberian obat yang tidak efektif pada asma pada umumnya disebabkan karena pemberian obat dengan bentuk sediaan yang tidak tepat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abdelhamid (2008) di Sudan, pemberian obat dengan bentuk sediaan yang tidak tepat terjadi pada penggunaan

kortikosteroid dan β2 agonis tidak diberikan secara inhalasi tetapi secara per oral. Hal ini dapat menyebabkan adanya peningkatan efek samping seperti sariawan pada penggunaan kortikosteroid serta tremor dan palpitasi pada penggunaan oral

β2 agonis. Oleh karena itu penggunaan secara inhalasi lebih disarankan untuk mengurangi efek samping yang dapat terjadi.

Dosis terlalu rendah terjadi karena pasien menerima obat dengan dosis dibawah dosis terapeutik yang terdapat dalam standar yang ada. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2011), dosis obat terlalu rendah terjadi pada pemberian salbutamol dan terbutalin yang dianalisis berdasarkan DIH 2009-2010 dan IONI 2008. Salbutamol secara p.o diberikan dengan dosis 2 x 2 mg/5ml sedangkan dosis yang dianjurkan adalah 3 x 2 mg/5ml. Terbutalin secara p.o diberikan dengan dosis 2 x 2 mg sedangkan dosis yang dianjurkan adalah 3 x 2,5

mg. Dosis terlalu rendah dalam penelitian ini disebabkan karena frekuensi yang terlalu sedikit sehingga dosis sehari yang diberikan terlalu rendah.

Efek yang merugikan pada asma umumnya disebabkan oleh interaksi obat dan adanya efek samping obat. Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2011), interaksi obat paling banyak terjadi pada pemberian aminofilin dengan metilprednisolon yang menyebabkan meningkatnya efek aminofilin sehingga toksisitasnyapun ikut meningkat dan perlu adanya monitoring serum level aminofilin dan perubahan dosis. Kemudian interaksi lain juga terjadi pada pemberian aminofilin dengan eritromisin sehingga meningkatkan kliren ginjal dari eritromisin.

Efek yang merugikan karena adanya efek samping obat pada pasien asma terjadi karena penggunaan obat N-asetilsistein (Fluimucil®, Pectocil®, dan Rhinatiol®) yang dapat menyebabkan efek samping berupa rasa sesak di dada, bronkospasme, iritasi trakeal dan bronkial (Handayani, 2010).

Dosis terlalu tinggi terjadi karena pasien menerima obat dengan dosis di atas dosis terapeutik yang dianjurkan oleh standar yang ada. Pada penelitian Pratiwi (2011), dosis terlalu tinggi terjadi pada pemberian eritromisin, aminofilin, dan sefiksim dengan standar DIH (2006) dan MIMS Volume 11 tahun 2010. Eritromisin diberikan dengan dosis 450mg/hari sedangkan dosis yang dianjurkan adalah 225-375 mg/hari. Aminofilin diberikan dengan dosis 25 mg/dosis sedangkan dosis yang dianjurkan adalah 12,2 mg/dosis. Sefiksim diberikan dosis 15 mg/hari sedangkan dosis yang dianjurkan 6,5-12,9 mg/hari.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2011), didapatkan juga masalah terkait pemberian dosis terlalu tinggi yang terjadi pada pemberian deksametason secara i.v yang dievaluasi berdasarkan DIH 2009-2010 dan IONI 2008. Deksametason diberikan dengan dosis 3 x 2 mg sedangkan dosis yang dianjurkan 3 x 1,1 mg sehingga kelebihan dosis sebesar 82%.

DTPs pada aspek ketidakpatuhan pasien asma umumnya disebabkan karena kurangnya pengetahuan pasien mengenai terapi asma. Pada penelitian yang dilakukan oleh Abdelhamid (2008), ketidakpatuhan pasien disebabkan karena sedikitnya pengetahuan pasien maupun keluarga tentang penggunaan dosis obat, frekuensi pemberian, pentingnya terapi maintenance, dan teknik pengunaan inhalasi secara tepat. Hal ini menyebabkan tidak tercapainya efek terapi yang diharapkan sehingga perlu adanya edukasi kepada pasien maupun keluarga.

B. Asma Bronkial dan Bronkitis Asmatis 1. Pengertian

Asma atau asma bronkial merupakan penyakit inflamasi kronis karena adanya hipersensitivitas pada saluran pernafasan yang ditandai dengan adanya penyempitan bronkus yang berulang namun reversibel secara spontan atau dengan terapi. Asma yang terjadi pada anak-anak sangat erat kaitannya dengan reaksi alergi. Kurang lebih 80% pasien asma memiliki alergi (Dipiro et al., 2008).

Bronkitis asmatis adalah kondisi ketika asma dan bronkitis akut terjadi secara bersamaan. Bronkitis akut adalah inflamasi pada saluran bronkus yang disebabkan oleh adanya infeksi virus atau bakteri (Robinson, 2014).

Faktor pemicu asma juga dapat meliputi faktor host yaitu genetik, obesitas, jenis kelamin, dan faktor lingkungan yaitu alergen, infeksi, sensitivitas karena pekerjaan, rokok, diet dan polusi udara (Global Initiative for Asthma, 2012).

2. Patofisiologi

Asma merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 1, dimana reaksi timbulnya inflamasi berlangsung cepat. Inflamasi yang menyebabkan asma diawali oleh adanya pejanan alergen yang masuk ke dalam tubuh dari lingkungan atau adanya faktor pencetus lain (Brasher, 2007).

Pada asma tipe alergi terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi fase lambat ini dimulai dengan adanya pejanan alergen tertentu dan menyebabkan aktivasi sel THelper2 (TH2) yang akan memproduksi interleukin (IL)-4 dan IL-13 dibantu oleh IL-5, dan IL-6 yang akan menstimulasi sel B yang spesifik terhadap antigen asing yang untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian membentuk IgE yang akan berikatan dengan mastosit melalui Fracmen crystallizable Receptor (Fc-R). Apabila terpejan dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan berikatan dengan IgE yang sudah ada pada permukaan mastosit. Ikatan antara antigen dan IgE tersebut akan menyebabkan degradulasi mastosit yang akan mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien, kemotaksin, eosinofil, dan bradikinin. Mediator inflamasi ini akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, kontraksi otot polos, sekresi mukus sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi saluran pernapasan. Inflamasi ini juga terjadi karena adanya Granulocyte Monocyte Colony Stimulating Factor

(GM-CSF), TNFα, IL-8/9 dan sel inflamasi. GM-CSF akan mengaktivasi granulosit dan makrofag. TNFα akan mengaktivasi neutrofil dan merangsang makrofag mensekresi kemokin serta menginduksi kemotaksis. IL-8/9 akan mengaktivasi neutrofil dan kemoatraktan neutrofil. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-9 jam pejanan alergen (Akib dkk., 2008; Baratawidjaja dan Rengganis., 2010).

Reaksi fase cepat ini terjadi ketika adanya antigen berikatan dengan IgE yang menyebabkan degranulasi mastosit dan terjadi pelepasan mediator proinflamasi seperti histamin, eikosanoid, leukotrien, dan sitokin. Dalam reaksi cepat ini, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF, dan IFN terbukti dapat menginduksi dan meningkatkan pelepasan histamin. Pada reaksi fase cepat, obstruksi saluran pernapasan terjadi antara 10-15 menit setelah pejanan alergen (Dipiro et al., 2008; Akib dkk., 2008).

Gambar 1.Mekanisme Paparan Alergen yang Menyebabkan Keluarnya Mediator Kimiawi dan Memicu terjadinya Reaksi Alergi

3. Penatalaksanaan Terapi Asma 1. Tujuan terapi

Tujuan dari terapi asma adalah untuk menghilangkan dan mengendalikan asma, mencegah eksaserbasi akut, mempertahankan dan meningkatkan faal paru, menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya airflow limitation irreversibel, serta mencegah kematian karena asma (Departemen Kesehatan RI, 2007).

2. Tatalaksana serangan asma

Penatalaksanaan terapi asma menurut Respirologi Anak (2008) dibagi menjadi 3 yaitu, tatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat (UGD), di Ruang Rawat Sehari, dan di Ruang Rawat Inap.

a. Tatalaksana di klinik atau UGD

Tatalaksana awal ketika pasien datang dalam keadaan serangan asma adalah dengan pemberian β2-agonis kerja cepat dengan penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi ini dapat diulangi dua kali dengan selang 20 menit dan pada pemberian ketiga dapat ditambahkan dengan obat antikolinergik.

Pada serangan asma ringan, pasien akan menunjukkan respon yang baik dengan sekali pemberian nebulisasi. Kemudian dilakukan pemantauan selama 1-2 jam dan jika respon baik tersebut dapat bertahan maka pasien dapat dipulangkan.

Pasien dibekali dengan obat β agonis (hirupan atau oral) diberikan 4-6 jam. Jika setelah dilakukan pemantauan 2 jam gejala timbul kembali maka serangan asma merupakan serangan asma sedang.

Derajat serangan asma dikatakan sedang yaitu apabila pada pemberian dua kali nebulisasi pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response). Jika serangan asma sedang, maka pasien dapat diberikan inhalasi β2 -agonis dan ipratropium bromide (antikolinergik) secara langsung dan perlu dilakukan pemantauan dan ditangani di ruang rawat sehari. Pada serangan asma sedang, pasien dapat diberikan kortikosteroid sistemik/oral metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari.

Apabila dengan pemberian tiga kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon (poor response) maka dapat dikatakan derajat serangan asma berat dan harus dirawat di ruang rawat inap. Pada serangan asma berat, pasien diberikan oksigen 2-4L/menit dan dapat langsung diberikan nebulisasi β2-agonis dengan antikolinergik.

b. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari (RRS)

Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan dan setelah pemberian nebulisasi 2 kali dalam 1 jam dengan respon parsial, maka di RRS dilajutkan dengan nebulisasi β2-agonis dengan antikolinergik bila perlu setiap 2 jam. Kemudian dapat diberikan kortikosteroid sistemik oral (metilprednisolon, prednisolon, atau triamsinolon) dan dilajutkan sampai 3-5 hari. Jika dalam 8-12 jam keadaan klinis tetap baik, pasien dapat dipulangkan dan dibekali obat seperti pada serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/UGD. Bila responnya tidak baik, maka pasien dialihkan ke ruang rawat inap dengan tatalaksana asma berat.

c. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap

Pada ruang rawat inap, pemberian oksigen dapat diteruskan dan jika ada dehidrasi serta asidosis, maka dehidrasi dapat diatasi dengan pemberian cairan intravena dan lakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi. Nebulisasi β2-agonis dengan antikolinergik dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian terjadi perbaikan klinis maka frekuensi pemberian dapat diperlebar menjadi 4-6 jam. Steroid intravena dapat diberikan secara bolus dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari setiap 6-8 jam.

Aminofilin dapat diberikan secara intravena dengan dosis awal (jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya) 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml dan diberikan dalam 20-30 menit. Jika pasien sudah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam) maka dosis yang dapat diberikan adalah setengah dari dosis awal. Kadar aminofilin ini sebaiknya diukur dan dipertahankan sebesar 10-20 μg/ml. Dosis rumatan

aminofilin diberikan setelah 4 jam dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/jam. Jika terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6-12 jam. Steroid dan aminofilin dapat diganti dengan pemberian per oral dan jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan diberikan obat hirupan β2-agonis (hirupan atau oral) setiap 4-6 jam selama 24-48 jam.

3. Terapi farmakologi

Terapi melalui rute inhalasi merupakan rute terapi pertama untuk anak dengan asma pada semua umur. Hampir semua anak dapat memberikan hasil yang

efektif dengan terapi inhalasi. Pada terapi farmakologi asma dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu controllers dan relievers.

a. Controllers

Obat ini merupakan terapi yang diberikan setiap hari secara jangka panjang untuk menjaga asma tetap terkontrol terutama melalui efek antiinflamasi. Obat golongan controllers untuk terapi pada anak meliputi: inhalasi dan injeksi glukokortikosteroid, leukotriene modifiers, inhalasi long acting β2 -agonists, teofilin, kromolin, dan long-acting β2-agonists secara per oral. Inhalasi glukokortikosteroid merupakan terapi controllers yang paling efektif (Global Initiative for Asthma, 2012).

1.) Inhalasi dan glukokortikosteroid sistemik

Inhalasi glukokortikosteroid merupakan terapi controllers yang paling efektif dan direkomendasikan untuk terapi asma pada anak di semua usia (Global Initiative for Asthma, 2012). Formulasi ini sangat efektif meningkatkan indeks terapeutik obat dan mengurangi efek samping tanpa menghilangkan efek terapinya. Obat yang termasuk dalam glukokortikosteroid yang ada untuk terapi saat ini adalah beklometason dipropionat, triamsinolon asetonid, flutikason propionat, flunisolid, dan budesonid yang semuanya efektif untuk mengontrol asma pada dosis yang sesuai (Brunton et al., 2010).

Mekanisme aksi dari glukokortikosteroid dalam terapi asma adalah

dengan meningkatkan reseptor β2-adrenergik dan meningkatkan responsivitas reseptor untuk menstimulasi β2-adrenergik, mengurangi produksi mukus dan

hipersekresi mukus, mengurangi bronkokonstriksi, mengurangi inflamasi pada saluran pernapasan dan eksudasi. Reseptor glukokortikosteroid ditemukan di sitoplasma pada sebagian besar sel di dalam tubuh. Kortikosteroid bersifat lipofilik dan dapat masuk melewati membran dan akan berikatan dengan reseptor glukokortikosteroid. Aktivasi reseptor kortikosteroid akan mengaktifkan faktor transkripsi untuk memicu aktivasi biologis. Kemudian akan terbentuk mRNA yang akan meningkatkan produksi dari mediator anti inflamasi; dan menekan produksi beberapa sitokin proinflamasi seperti IL-1, GM-CSF, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-8,

Dokumen terkait