• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012 – Juni 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012 – Juni 2013"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN PEDIATRI DENGAN DIAGNOSA ASMA DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA PERIODE JANUARI 2012 – JUNI 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Ciptaning Hayu Susesi NIM : 108114093

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS (DTPs) PADA PASIEN

PEDIATRI DENGAN DIAGNOSA ASMA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA

PERIODE JANUARI 2012 – JUNI 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Ciptaning Hayu Susesi NIM : 108114093

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

When we do the small things, JESUS

has a way of making them BIG

Kupersembahkan karyaku ini untuk

Kedua orang tuaku, Suharsi Harismanto dan Sudartriningsih atas segala doa dan dukungannya

Kakak dan adikku tercinta

Sahabatku Ajeng, Venta, dan Yulia

Teman-teman FKKA dan 2010

Dan..

(6)
(7)
(8)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang turut membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini yaitu:

1. Ibu Dra. Th.B. Titien Siwi Hartayu, M.Kes., Ph.D., Apt. dan Ibu Dra. AM. Wara Kusharwanti, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, masukan dan ilmu kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

2. Direktur dan segenap staf Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rapih.

3. Ibu Yunita Linawati, M.Sc., Apt. dan Ibu Maria Wisnu Donowati, M. Si., Apt. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan kritik, dan saran yang membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

(9)

viii

5. Teman-teman seperjuangan Venta, Elvira, Agnes, Tyas, Ndanda dan sahabatku untuk semangat, kerjasama, bantuan dan informasi yang selalu dibagikan selama proses penyusunan skripsi.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkatnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penatalaksanaan terapi asma pada anak-anak.

Yogyakarta, 09 Desember 2014

(10)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI ... xx

ABSTRACT ... xxi

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

(11)

x

2. Keaslian Penelitian ... 3

3. Manfaat Penelitian ... 7

B. Tujuan Penelitian ... 7

1. Tujuan Umum ... 7

2. Tujuan Khusus ... 8

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 9

A. Drug Therapy Problems ... 9

B. Asma Bronkial dan Bronkitis Asmatis ... 13

1. Pengertian ... 13

2. Patofisiologi ... 14

3. Penatalaksanaan Terapi Asma ... 16

a. Tujuan Terapi ... 16

b. Tatalaksana Serangan Asma ... 16

c. Terapi Farmakologi ... 18

C. Interaksi Obat ... 30

D. Keterangan Empiris ... 31

BAB III. METODE PENELITIAN... 33

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 33

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 33

C. Subjek Penelitian ... 36

D. Bahan dan Instrumen Penelitian... 36

(12)

xi

F. Jalannya Penelitian ... 37

1. Analisis Situasi dan Penentuan Masalah ... 37

2. Pengambilan dan Pengolahan Data ... 37

3. Analisis Data ... 38

4. Penyajian Hasil Penelitian ... 40

G. Keterbatasan Penelitian ... 40

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

A. Karakteristik Demografi Pasien ... 42

1. Jenis Kelamin ... 42

2. Umur ... 43

3. Lama Rawat ... 44

B. Profil Pengobatan ... 45

1. Obat Saluran Pernapasan ... 46

2. Obat Saluran Pencernaan ... 50

3. Obat Anti Infeksi ... 52

4. Obat Analgesik-Antipiretik ... 55

5. Suplemen-Vitamin ... 56

C. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) ... 56

1. Obat yang tidak Dibutuhkan ... 57

2. Obat tidak Efektif ... 58

3. Dosis Terlalu Rendah ... 59

4. Reaksi Obat yang Merugikan ... 62

(13)

xii

D. Rangkuman Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) ... 68

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN ... 78

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Kategori dan Penyebab Umum DTPs... 9

Tabel II. Tingkat Signifikasi Potensial Interaksi Obat ... 31

Tabel III. Distribusi Jumlah Kasus Pasien Asma Berdasarkan Kelas Terapi yang Digunakan dalam Pengobatan Asma pada Pasien Anak Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta ... 46

Tabel IV. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Obat Saluran Pernapasan pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan,

Kelompok dan Zat Aktif ... 49

Tabel V. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Obat Saluran Pencernaan pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan,

Kelompok dan Zat Aktif Obat ... 52

Tabel VI. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Anti Infeksi pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan, Kelompok dan

Zat Aktif ... 54

Tabel VII. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Obat Analgesik-Antipiretik pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan,

(15)

xiv

Tabel VIII. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Vitamin dan Suplemen pada Pasien Asma Berdasarkan Kelompok

dan Zat Aktif... 56

Tabel IX. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Obat

yang tidak Diperlukan (Unnecessary Drug Therapy) ... 58

Tabel X. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Dosis Terlalu Rendah (Dosage too Low) Obat Saluran

Pernapasan ... 61

Tabel XI. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Dosis Terlalu Rendah (Dosage too Low) pada Obat Anti

Infeksi ... 62

Tabel XII. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Obat

yang Merugikan (Adverse Drug Reaction) ... 65

Tabel XIII. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Dosis Obat Terlalu Tinggi (Dosage too High) pada Obat

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme Paparan Alergen yang Menyebabkan Keluarnya Mediator Kimiawi dan Memicu terjadinya

Reaksi Alergi ... 15

Gambar 2. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Jenis Kelamin Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Rapih Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni 2011 ... 43

Gambar 3. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Umur di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013 ... 44

Gambar 4. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Lama Hari Rawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013 ... 45

Gambar 5. Bagan Jumlah Kejadian Drug Therapy Problems yang Terjadi pada Pasien Pediatri dengan Diagnosa Asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni 2013 ... 69

Gambar 6. Bagan Rekomendasi yang dapat diberikan pada Pasien Pediatri dengan Diagnosa Asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada Pasien Pediatri dengan Diagnosa Asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Periode Januari 2012-Juni 2013 ... 79

Lampiran 2. Jumlah Kombinasi Penggunaan Obat Bronkodilator yang

Digunakan dalam Setiap Pasien ... 80

Lampiran 3. Jumlah Kombinasi Penggunaan Kortikosteroid yang

Digunakan dalam Setiap Pasien ... 81

Lampiran 4. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antihistamin yang

Digunakan dalam Setiap Pasien ... 81

Lampiran 5. Jumlah Kombinasi Penggunaan Mukolitik yang

Digunakan dalam Setiap Pasien ... 82

Lampiran 6. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antitusif yang

Digunakan dalam Setiap Pasien ... 82

Lampiran 7. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antiemetika yang

Digunakan dalam Setiap Pasien ... 82

Lampiran 8. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antidiare yang

(18)

xvii

Lampiran 9. Jumlah Kombinasi Penggunaan Antibiotika yang

Digunakan dalam Setiap Pasien ... 83

Lampiran 10. Jumlah Kombinasi Penggunaan Analgesik yang Digunakan dalam Setiap Pasien ... 83

Lampiran 11. Rekam Medis 1 ... 84

Lampiran 12. Rekam Medis. 2 ... 86

Lampiran 13. Rekam Medis 3 ... 88

Lampiran 14. Rekam Medis 4 ... 90

Lampiran 15. Rekam Medis 5 ... 92

Lampiran 16. Rekam Medis 6 ... 94

Lampiran 17. Rekam Medis 7 ... 96

Lampiran 18. Rekam Medis 8 ... 98

Lampiran 19. Rekam Medis 9 ... 100

Lampiran 20. Rekam Medis 10 ... 102

Lampiran 21. Rekam Medis 11 ... 104

Lampiran 22. Rekam Medis 12 ... 106

Lampiran 23. Rekam Medis 13 ... 108

(19)

xviii

Lampiran 25. Rekam Medis 15 ... 112

Lampiran 26. Rekam Medis 16 ... 114

Lampiran 27. Rekam Medis 17 ... 116

Lampiran 28. Rekam Medis 18 ... 118

Lampiran 29. Rekam Medis 19 ... 120

Lampiran 30. Rekam Medis 20 ... 122

Lampiran 31. Rekam Medis 21 ... 124

Lampiran 32. Rekam Medis 22 ... 126

Lampiran 33. Rekam Medis 23 ... 128

Lampiran 34. Rekam Medis 24 ... 130

Lampiran 35. Rekam Medis 25 ... 132

Lampiran 36. Rekam Medis 26 ... 134

Lampiran 37. Rekam Medis 27 ... 136

Lampiran 38. Rekam Medis 28 ... 138

Lampiran 39. Rekam Medis 29 ... 140

Lampiran 40. Rekam Medis 30 ... 142

(20)

xix

Lampiran 42. Surat Keterangan Permohonan Ijin Penelitian di RS

(21)

xx INTISARI

Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai dengan episode berulang berupa mengi, rasa berat di dada dan batuk. Asma pada anak memiliki prevalensi yang lebih besar dibandingkan dengan prevalensi pada dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada pasien pediatri dengan diagnosa asma.

Penelitian ini termasuk dalam jenis deskriptif evaluatif dan menggunakan rancangan cross-sectional dengan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Data yang diambil adalah data rekam medis pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013.

Dari hasil penelitian didapatkan 31 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Responden terbanyak berjenis kelamin laki-laki sebesar 67,75% (n=31). Penggunaan obat saluran pernapasan sebanyak 31 pasien dengan zat aktif yang paling banyak digunakan adalah salbutamol sulfat dan flutikason propionat (25 kasus). DTPs yang ditemukan sebanyak 45 kasus yaitu pemberian obat yang tidak dibutuhkan sebanyak 5 kasus, obat tidak efektif sebanyak 1 kasus, dosis terlalu rendah sebanyak 18 kasus, interaksi obat yang merugikan sebanyak 7 kasus, dan dosis terlalu tinggi sebanyak 14 kasus. Dapat disimpullkan bahwa Drug Therapy Problems (DTPs) pada pasien pediatri dengan asma masih perlu mendapat perhatian.

Kata kunci : asma, pediatri, Drug Therapy Problems

(22)

xxi ABSTRACT

Asthma is a chronic respiratory disease which characterized by recurrent episodes of wheezing, chest tightness and coughing. Asthma in children has a greater prevalence than in adults. This study aims to evaluate of Drug Therapy Problems (DTPs) on pediatric patient with asthma.

This is a descriptive evaluative study with cross-sectional study design. Data collection is conducted using retrospective method based on the medical records of pediatric patients with asthma in inpatient of Panti Rapih Hospital Yogyakarta during January 2012 – June 2013 period.

There are 31 patients involve in the study. Most of patients are male (21 patients). The respiratory drug are used by 31 patients. The most drugs widely used are salbutamol sulphate and fluticasone propionate (25 cases). Results of the study shows that there are 45 cases of DTPs. The DTPs consist of unnecessary drug therapy (5 cases), ineffective drug (1 case), dosage too low (18 cases), adverse drug reaction (7 cases), and dosage too high (14 cases). In conclusion, the health care provider had to pay attention to the Drug Therapy Problems.

(23)

1

BAB I

PENGANTAR A.Latar Belakang

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang ditandai dengan hiperresponsivitas yang menyebabkan episode berulang berupa mengi, sesak nafas, rasa berat di dada serta batuk terutama terjadi pada malam dan dini hari. Umumnya gejala ini bersifat reversibel baik secara spontan atau dengan pengobatan (Global Initiative for Asthma, 2012).

Penyakit asma dapat terjadi setiap saat dan dapat menyerang pada semua umur, tetapi pada umumnya asma merupakan pediatric disease karena banyak terjadi pada anak-anak. Sekitar 50% anak-anak mempunyai gejala pada umur 2 tahun tetapi kebanyakan pasien mendapatkan diagnosa asma pada umur 5 tahun. Antara 30-70% anak dengan penyakit asma dapat membaik atau gejalanya hilang pada usia remaja (Dipiro et al., 2008). Anak yang menderita asma sering mengalami kekambuhan dan akan mempengaruhi masa tumbuh kembang anak karena dapat menimbulkan dampak negatif seperti menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dan membatasi kegiatan aktivitas pribadi maupun keluarga (Matondang, 2009).

(24)

2

menunjukkan bahwa dari 32 pasien asma, didapatkan jumlah pasien usia <5 tahun yaitu sebesar 28%.

Prevalensi asma di Yogyakarta dan asma pada anak cukup tinggi, sehingga sangat diperlukan suatu upaya untuk mengatasi keadaan tersebut antara lain dengan pencegahan dan pengobatan yang efektif. Salah satu parameter untuk menilai suatu pengobatan yang efektif adalah dengan melakukan evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs). DTPs merupakan peristiwa atau masalah tidak

diinginkan yang terjadi pada pasien terkait terapi obat yang telah diberikan. Drug Therapy Problems yang dapat terjadi pada suatu terapi pengobatan dapat

disebabkan oleh faktor seperti ketepatan indikasi, efektivitas obat, dan keamanan obat. Adanya DTPs ini dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan terapi sehingga setiap tenaga kesehatan mempunyai tanggung jawab untuk mencegah masalah-masalah yang mungkin terjadi selama proses terapi.

(25)

3

periode Januari 2012-Juni 2013 masih terdapat adanya DTPs pada pasien pediatri dengan diagnosa asma.

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Seperti apa karakteristik demografi pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013?

b. Seperti apa profil pengobatan pada pasien pediatri dengan diagnosa asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013?

c. Apakah terdapat Drug Therapy Problems (DTPs) penggunaan obat pada pasien pediatri dengan diagnosa asma yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis

terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high) di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013?

2. Keaslian Penelitian

(26)

4

Rapih periode Januari 2012-Juni 2013 belum pernah dilakukan, tetapi terdapat beberapa penelitian terkait dengan penyakit asma telah di lakukan oleh beberapa peneliti lain dengan judul sebagai berikut :

a. Gibson (2000) mengenai “Kajian peresepan pasien dewasa asma bronkial non komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun

2000”. Dalam penelitian ini dilakukan kajian kerasionalan obat secara teoritis

meliputi kesesuaian obat asma yang diberikan dengan standar pelayanan medik, ketepatan dosis, dan potensial interaksi obat. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif non analitis dan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Gibson terletak pada tahun penelitian, subyek penelitian yaitu pada pasien pediatri dan evaluasi yang dilakukan terkait dengan DTPs yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat

yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).

(27)

5

analitis dan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusriana terletak pada tahun penelitian dan evaluasi yang dilakukan yaitu DTPs yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).

c. Kusuma (2004) mengenai “Kajian Pola peresepan obat asma yang diberikan pada pasien asma anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta tahun 2002”. Kajian yang dilakukan meliputi pola peresepan obat

asma yang meliputi kesesuaian obat asma yang diberikan dengan standar pelayanan medik, ketepatan dosis, dan potensial interaksi. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan deskriptif non analitis serta pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan dengan penelitian Kusuma, penelitian ini dilakukan pada tahun 2012-2013 dan evaluasi yang dilakukan terkait dengan Drug Therapy Problems (DTPs) yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high). Persamaan penelitian ini adalah subyek penelitian pada pasien asma anak.

(28)

6

Yogyakarta bulan Januari-Desember 2009”. Kajian yang dilakukan meliputi karakteristik pasien pasien asma bronkial, pola pengobatan pasien asma bonkial dan DRPs. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dengan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan dengan penelitian Handayani, penelitian ini dilakukan pada tahun 2012-2013 dan subyek penelitian pada pasien pediatri. Persamaan penelitian ini adalah evaluasi yang dilakukan yaitu evaluasi DTPs yang meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).

e. Pratiwi (2011) mengenai “Kajian Drug Related Problems pada Pasien Anak dengan Infeksi Saluran Nafas Bawah dan Asma di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode 1 Januari-30 Juni 2006”. Kajian yang dilakukan adalah DRPs yang meliputi butuh obat baru atau penambahan obat dalam terapi, obat yang tidak diperlukan, obat salah, dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, interaksi obat, dan kepatuhan pasien. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif dan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan dengan penelitian Pratiwi, penelitian ini dilakukan pada tahun 2012-2013 dan subyek penelitian pada pasien pediatri dengan diagnosa asma. Persamaan penelitian ini adalah evaluasi DRPs.

(29)

7

2009”. Kajian yang dilakukan adalah DRPs yang meliputi membutuhkan

tambahan terapi obat, obat tanpa indikasi dan duplikasi terapi, obat salah, dosis terlalu rendah, interaksi obat, dan dosis terlalu tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif non eksperimental dengan pengambilan data secara retrospektif. Perbedaan dengan penelitian Hidayah, penelitian ini dilakukan pada tahun 2012-2013, subyek penelitian pada pasien pediatri dengan diagnosa asma dan tempat penelitian di RS Panti Rapih Yogyakarta. Persamaan penelitian ini adalah terdapat pada evaluasi DRPs.

3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh tenaga kesehatan sebagai sumber informasi dan sebagai salah satu pertimbangan dalam penatalaksanaan terapi asma pada anak sehingga dapat mencegah terjadinya DTPs serta meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

(30)

8 2. Tujuan Khusus

Penelitian ini memiliki tujuan khusus sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi karakteristik demografi pasien pediatri dengan diagnosa asma.

b. Mengidentifikasi profil pengobatan pasien asma.

(31)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Drug Therapy Problems (DTPs)

Drug Therapy Problem merupakan peristiwa yang tidak diinginkan atau yang mungkin dialami oleh pasien selama proses terapi sehingga dapat mengganggu tercapainya tujuan dari terapi. Drug Therapy Problems yang dapat terjadi dalam suatu proses terapi menurut Cipolle (2004) adalah:

Tabel I. Kategori dan Penyebab Umum DTPs

No DTPs Penyebab

1.

Obat yang tidak dibutuhkan (unnecessary

drug therapy)

Obat tidak sesuai kondisi pasien Pemberian duplikasi obat

Kondisi lebih tepat dengan terapi non farmakologi Terapi obat untuk mencegah efek samping Penyalahgunaan obat

2.

Butuh tambahan obat (need for additional drug

therapy)

Kondisi baru butuh tambahan terapi obat

Obat untuk mencegah resiko baru yang mungkin terjadi Dibutuhkan pencapaian efek sinergis/peningkatan efek

3. Obat tidak efektif

(ineffective drug)

Obat tidak efektif/tidak sesuai dengan kondisi

Kondisi medis tidak dapat disembuhkan dengan obat yang diberikan

Bentuk sediaan yang tidak tepat

Obat yang digunakan bukan obat yang efektif atau bukan yang paling efektif

4. Dosis terlalu rendah

(dosage too low)

Dosis yang diberikan terlalu rendah Interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif Interval pemberian terlalu jarang

Durasi pemberian terlalu singkat

5. Reaksi yang merugikan

(adverse drug reaction)

Adanya reaksi obat yang tidak diharapkan

Obat lebih aman digunakan untuk mengurangi faktor resiko

Regimen dosis yang teratur atau berubah terlalu cepat Kontraindikasi obat

6. Dosis terlalu tinggi

(dosage too high)

Dosis yang diberikan terlalu tinggi Frekuensi pemberian terlalu singkat Durasi pemberian terlalu lama

Terjadi interaksi yang menyebabkan reaksi toksik

7. Ketidakpatuhan

(noncompliance)

Pasien tidak mengerti aturan pakai Pasien tidak mau minum obat Pasien lupa meminum obat Obat terlalu mahal

Pasien tidak dapat menelan atau menggunakan obat secara tepat

(32)

Penyebab Drug Therapy Problems yang sering terjadi pada terapi asma adalah karena kondisi pasien yang tidak mendapatkan terapi, pemberian dosis yang tidak tepat, pemberian obat dengan bentuk sediaan yang tidak tepat terjadi

pada penggunaan kortikosteroid dan β2 agonis tidak diberikan secara inhalasi

tetapi secara per oral, adanya efek samping obat, adanya kesalahan dalam teknik penggunaan inhalasi. Masalah terkait terapi ini juga disebabkan karena pasien tidak mau menggunakan inhalasi, kegagalan pasien mendapatkan obat, ketidakpatuhan pasien, dan tidak adanya pengetahuan pasien yang cukup tentang terapi asma (Mackinnon, 2007; Abdelhamid, 2008).

Drug Therapy Problems obat yang tidak dibutuhkan pada asma umumnya disebabkan obat yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi pasien dan adanya pemberian duplikasi obat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2011), diketahui bahwa pasien mendapatkan obat antibiotika berupa sefiksim dan amoksisilin tetapi pada pasien tidak terdapat indikasi infeksi seperti peningkatan suhu tubuh dan peningkatan kadar leukosit. Pada penelitian ini juga terdapat adanya pemberian 2 obat dalam golongan yang sama (duplikasi) yaitu sama-sama

golongan β2 adrenergik yang merupakan bronkodilator dan bekerja secara cepat

namun aksinya tidak bertahan lama. Terjadinya pemberian duplikasi obat ini dapat meningkatkan efek samping yang meliputi tremor otot rangka, hipokalemia, hiperglikemi, peningkatan kadar asam laktat, dan sakit kepala.

(33)

pasien mengalami sesak nafas tetapi tidak mendapatkan obat bronkodilator untuk mengatasi keluhan yang dialami. Pada kondisi kelima pasien ini, ada kemungkinan pasien telah mendapatkan terapi suportif berupa pemberian oksigen namun tidak tercantumkan dalam rekam medis. Kemudian terdapat juga pasien yang mengalami demam selama 2 hari dan suhu mencapai 39,1°C tetapi tidak mendapatkan antipiretik untuk menurunkan demam yang dialami.

DTPs karena pemberian obat yang tidak efektif pada asma pada umumnya disebabkan karena pemberian obat dengan bentuk sediaan yang tidak tepat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abdelhamid (2008) di Sudan, pemberian obat dengan bentuk sediaan yang tidak tepat terjadi pada penggunaan

kortikosteroid dan β2 agonis tidak diberikan secara inhalasi tetapi secara per oral.

Hal ini dapat menyebabkan adanya peningkatan efek samping seperti sariawan pada penggunaan kortikosteroid serta tremor dan palpitasi pada penggunaan oral

β2 agonis. Oleh karena itu penggunaan secara inhalasi lebih disarankan untuk

mengurangi efek samping yang dapat terjadi.

(34)

mg. Dosis terlalu rendah dalam penelitian ini disebabkan karena frekuensi yang terlalu sedikit sehingga dosis sehari yang diberikan terlalu rendah.

Efek yang merugikan pada asma umumnya disebabkan oleh interaksi obat dan adanya efek samping obat. Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi (2011), interaksi obat paling banyak terjadi pada pemberian aminofilin dengan metilprednisolon yang menyebabkan meningkatnya efek aminofilin sehingga toksisitasnyapun ikut meningkat dan perlu adanya monitoring serum level aminofilin dan perubahan dosis. Kemudian interaksi lain juga terjadi pada pemberian aminofilin dengan eritromisin sehingga meningkatkan kliren ginjal dari eritromisin.

Efek yang merugikan karena adanya efek samping obat pada pasien asma terjadi karena penggunaan obat N-asetilsistein (Fluimucil®, Pectocil®, dan Rhinatiol®) yang dapat menyebabkan efek samping berupa rasa sesak di dada, bronkospasme, iritasi trakeal dan bronkial (Handayani, 2010).

(35)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2011), didapatkan juga masalah terkait pemberian dosis terlalu tinggi yang terjadi pada pemberian deksametason secara i.v yang dievaluasi berdasarkan DIH 2009-2010 dan IONI 2008. Deksametason diberikan dengan dosis 3 x 2 mg sedangkan dosis yang dianjurkan 3 x 1,1 mg sehingga kelebihan dosis sebesar 82%.

DTPs pada aspek ketidakpatuhan pasien asma umumnya disebabkan karena kurangnya pengetahuan pasien mengenai terapi asma. Pada penelitian yang dilakukan oleh Abdelhamid (2008), ketidakpatuhan pasien disebabkan karena sedikitnya pengetahuan pasien maupun keluarga tentang penggunaan dosis obat, frekuensi pemberian, pentingnya terapi maintenance, dan teknik pengunaan inhalasi secara tepat. Hal ini menyebabkan tidak tercapainya efek terapi yang diharapkan sehingga perlu adanya edukasi kepada pasien maupun keluarga.

B. Asma Bronkial dan Bronkitis Asmatis 1. Pengertian

Asma atau asma bronkial merupakan penyakit inflamasi kronis karena adanya hipersensitivitas pada saluran pernafasan yang ditandai dengan adanya penyempitan bronkus yang berulang namun reversibel secara spontan atau dengan terapi. Asma yang terjadi pada anak-anak sangat erat kaitannya dengan reaksi alergi. Kurang lebih 80% pasien asma memiliki alergi (Dipiro et al., 2008).

(36)

Faktor pemicu asma juga dapat meliputi faktor host yaitu genetik, obesitas, jenis kelamin, dan faktor lingkungan yaitu alergen, infeksi, sensitivitas karena pekerjaan, rokok, diet dan polusi udara (Global Initiative for Asthma, 2012).

2. Patofisiologi

Asma merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 1, dimana reaksi timbulnya inflamasi berlangsung cepat. Inflamasi yang menyebabkan asma diawali oleh adanya pejanan alergen yang masuk ke dalam tubuh dari lingkungan atau adanya faktor pencetus lain (Brasher, 2007).

Pada asma tipe alergi terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi fase lambat ini dimulai dengan adanya pejanan alergen tertentu dan menyebabkan aktivasi sel THelper2 (TH2) yang akan memproduksi interleukin (IL)-4 dan IL-13 dibantu oleh IL-5, dan IL-6 yang akan menstimulasi sel B yang spesifik terhadap antigen asing yang untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian membentuk IgE yang akan berikatan dengan mastosit melalui Fracmen crystallizable Receptor (Fc-R). Apabila terpejan dengan antigen yang sama, maka

(37)

(GM-CSF), TNFα, IL-8/9 dan sel inflamasi. GM-CSF akan mengaktivasi granulosit dan makrofag. TNFα akan mengaktivasi neutrofil dan merangsang makrofag mensekresi kemokin serta menginduksi kemotaksis. IL-8/9 akan mengaktivasi neutrofil dan kemoatraktan neutrofil. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-9 jam pejanan alergen (Akib dkk., 2008; Baratawidjaja dan Rengganis., 2010).

Reaksi fase cepat ini terjadi ketika adanya antigen berikatan dengan IgE yang menyebabkan degranulasi mastosit dan terjadi pelepasan mediator proinflamasi seperti histamin, eikosanoid, leukotrien, dan sitokin. Dalam reaksi cepat ini, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF, dan IFN terbukti dapat menginduksi dan meningkatkan pelepasan histamin. Pada reaksi fase cepat, obstruksi saluran pernapasan terjadi antara 10-15 menit setelah pejanan alergen (Dipiro et al., 2008; Akib dkk., 2008).

Gambar 1.Mekanisme Paparan Alergen yang Menyebabkan Keluarnya Mediator Kimiawi dan Memicu terjadinya Reaksi Alergi

(38)

3. Penatalaksanaan Terapi Asma

1. Tujuan terapi

Tujuan dari terapi asma adalah untuk menghilangkan dan mengendalikan asma, mencegah eksaserbasi akut, mempertahankan dan meningkatkan faal paru, menghindari efek samping obat, mencegah terjadinya airflow limitation irreversibel, serta mencegah kematian karena asma (Departemen Kesehatan RI, 2007).

2. Tatalaksana serangan asma

Penatalaksanaan terapi asma menurut Respirologi Anak (2008) dibagi menjadi 3 yaitu, tatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat (UGD), di Ruang Rawat Sehari, dan di Ruang Rawat Inap.

a. Tatalaksana di klinik atau UGD

Tatalaksana awal ketika pasien datang dalam keadaan serangan asma adalah dengan pemberian β2-agonis kerja cepat dengan penambahan garam

fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi ini dapat diulangi dua kali dengan selang 20 menit dan pada pemberian ketiga dapat ditambahkan dengan obat antikolinergik.

Pada serangan asma ringan, pasien akan menunjukkan respon yang baik dengan sekali pemberian nebulisasi. Kemudian dilakukan pemantauan selama 1-2 jam dan jika respon baik tersebut dapat bertahan maka pasien dapat dipulangkan.

(39)

Derajat serangan asma dikatakan sedang yaitu apabila pada pemberian dua kali nebulisasi pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response). Jika serangan asma sedang, maka pasien dapat diberikan inhalasi β2

-agonis dan ipratropium bromide (antikolinergik) secara langsung dan perlu dilakukan pemantauan dan ditangani di ruang rawat sehari. Pada serangan asma sedang, pasien dapat diberikan kortikosteroid sistemik/oral metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari.

Apabila dengan pemberian tiga kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon (poor response) maka dapat dikatakan derajat serangan asma berat dan harus dirawat di ruang rawat inap. Pada serangan asma berat, pasien diberikan oksigen 2-4L/menit dan dapat langsung diberikan nebulisasi β2-agonis

dengan antikolinergik.

b. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari (RRS)

Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan dan setelah pemberian nebulisasi 2 kali dalam 1 jam dengan respon parsial, maka di RRS dilajutkan dengan nebulisasi β2-agonis dengan antikolinergik bila perlu setiap 2 jam.

(40)

c. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap

Pada ruang rawat inap, pemberian oksigen dapat diteruskan dan jika ada dehidrasi serta asidosis, maka dehidrasi dapat diatasi dengan pemberian cairan intravena dan lakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi. Nebulisasi β2-agonis dengan antikolinergik dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian terjadi perbaikan klinis maka frekuensi pemberian dapat diperlebar menjadi 4-6 jam. Steroid intravena dapat diberikan secara bolus dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari setiap 6-8 jam.

Aminofilin dapat diberikan secara intravena dengan dosis awal (jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya) 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml dan diberikan dalam 20-30 menit. Jika pasien sudah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam) maka dosis yang dapat diberikan adalah setengah dari dosis awal. Kadar aminofilin ini sebaiknya diukur dan dipertahankan sebesar 10-20 μg/ml. Dosis rumatan aminofilin diberikan setelah 4 jam dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/jam. Jika terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6-12 jam. Steroid dan aminofilin dapat diganti dengan pemberian per oral dan jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan diberikan obat hirupan β2-agonis (hirupan atau oral) setiap 4-6 jam selama 24-48 jam.

3. Terapi farmakologi

(41)

efektif dengan terapi inhalasi. Pada terapi farmakologi asma dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu controllers dan relievers.

a. Controllers

Obat ini merupakan terapi yang diberikan setiap hari secara jangka panjang untuk menjaga asma tetap terkontrol terutama melalui efek antiinflamasi. Obat golongan controllers untuk terapi pada anak meliputi: inhalasi dan injeksi glukokortikosteroid, leukotriene modifiers, inhalasi long acting β2 -agonists, teofilin, kromolin, dan long-acting β2-agonists secara per oral. Inhalasi glukokortikosteroid merupakan terapi controllers yang paling efektif (Global Initiative for Asthma, 2012).

1.) Inhalasi dan glukokortikosteroid sistemik

Inhalasi glukokortikosteroid merupakan terapi controllers yang paling efektif dan direkomendasikan untuk terapi asma pada anak di semua usia (Global Initiative for Asthma, 2012). Formulasi ini sangat efektif meningkatkan indeks terapeutik obat dan mengurangi efek samping tanpa menghilangkan efek terapinya. Obat yang termasuk dalam glukokortikosteroid yang ada untuk terapi saat ini adalah beklometason dipropionat, triamsinolon asetonid, flutikason propionat, flunisolid, dan budesonid yang semuanya efektif untuk mengontrol asma pada dosis yang sesuai (Brunton et al., 2010).

Mekanisme aksi dari glukokortikosteroid dalam terapi asma adalah

dengan meningkatkan reseptor β2-adrenergik dan meningkatkan responsivitas

(42)

hipersekresi mukus, mengurangi bronkokonstriksi, mengurangi inflamasi pada saluran pernapasan dan eksudasi. Reseptor glukokortikosteroid ditemukan di sitoplasma pada sebagian besar sel di dalam tubuh. Kortikosteroid bersifat lipofilik dan dapat masuk melewati membran dan akan berikatan dengan reseptor glukokortikosteroid. Aktivasi reseptor kortikosteroid akan mengaktifkan faktor transkripsi untuk memicu aktivasi biologis. Kemudian akan terbentuk mRNA yang akan meningkatkan produksi dari mediator anti inflamasi; dan menekan produksi beberapa sitokin proinflamasi seperti IL-1, GM-CSF, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-8, mengurangi aktivasi sel inflamasi, infiltrasi dan penurunan permeabilitas vaskular (Dipiro et al., 2008).

Obat steroid inhalasi yang sering digunakan untuk anak-anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah budesonid inhalasi untuk anak usia kurang dari 12 tahun adalah 100-200 μg/hari (yang setara dengan 50-100 μg/hari flutikason) dan untuk anak berusia di atas 12

tahun adalah 400 μg/hari (100-200 μg/hari flutikason). Pada penggunaan obat ini belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Jika setelah penggunaan steroid dengan dosis rendah selama 8-12 minggu tidak timbul respon dan masih terdapat gejala asma, maka pengobatan dilanjutkan

tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid inhalasi dengan 400 μg/hari dan

(43)

Pemberian glukokortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalam waktu 12-24 jam. Pilihan steroid yang utama adalah metil prednisolon karena memiliki efek antiinflamasi yang lebih besar dan efek mineralokortikoid yang minimal. Dosis metil-prednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB diberikan setiap 4-6 jam. Hidrokortison IV diberikan dengan dosis 4 mg/kgBB setiap 4-6 jam. Deksametasone diberikan secara bolus intravena dengan dosis ½ - 1 mg/kgBB, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6-8 jam (Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008).

Efek samping inhalasi glukokortikosteroid adalah pada dosis tinggi dapat menyebabkan kulit menjadi tipis dan memar serta insufisiensi adrenal. Pemberian dosis rendah pada anak dapat menyebabkan pertumbuhan menjadi terhambat (Global Initiative for Asthma, 2012). Pada pemberian budesonid memiliki efek samping seperti nyeri, sakit punggung, infeksi saluran pernapasan atas, sinusitis, faringitis, batuk, sakit kepala, infeksi telinga, infeksi virus, dan perubahan suara. Pada pemberian flutikason dapat menimbulkan efek samping seperti sakit kepala, faringitis, sinusitis, infeksi saluran pernapasan atas, diare, hidung berair, dan demam (Departemen Kesehatan RI, 2007).

2.) Leukotriene modifiers

(44)

anak-anak maupun orang dewasa dengan asma persisten. Obat ini dapat mengurangi faktor pemicu asma seperti alergen, latihan fisik, udara dingin, iritan, dan aspirin. Penggunaan terapi obat dari zileuton terbatas kerena adanya potensi peningkatan enzim hati khususnya pada 3 bulan pertama terapi dan adanya penghambatan potensial dari metabolisme obat oleh isoenzim CYP3A4 (Sukandar dkk., 2009).

Dalam uji klinis, antagonis reseptor LTD4 (zafirlukast dan montelukast)

telah menunjukkan keberhasilan terapi pada orang dewasa dan anak-anak dengan asma persisten. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru (FEV1 dan

PEF), menurunkan gejala terbangun pada malam hari, dan penggunaan β2

-agonis. Manfaat utama dari golongan obat ini adalah dapat efektif pada pemberian per oral dengan frekuensi pemberian sekali atau 2x sehari. Namun, penggunaan terapi obat ini kurang efektif dibandingkan dengan terapi dosis rendah pada inhalasi kortikosteroid. Mekanisme kerja zafirlukast dan montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien yang selektif dan kompetitif sehingga dapat menghambat produksi leukotrien yang akan menimbulkan inflamasi. Mekanisme zileuton adalah sebagai inhibitor spesifik 5-lipoksigenase yang akan menghambat pembentukan LTB1, LTC1, LTD1, Lte1

(Dipiro et al., 2008).

(45)

2012). Efek samping pemberian Leukotriene modifiers terjadi pada 3% pasien seperti sakit kepala, mual, dan infeksi (Departemen Kesehatan RI, 2007). 3.) Inhalasi long acting β2-agonists dan long-acting β-agonists secara oral

Obat-obat golongan long acting β2-agonist yaitu formoterol dan salmeterol yang dapat memberikan efek bronkodilatasi jangka panjang dalam bentuk aerosol. Salmeterol lebih selektif dibandingkan albuterol karena dapat tertinggal lebih lama di paru. Yang membedakan formoterol dari salmeterol adalah formoterol mempunyai onset yang lebih cepat. Salah satu jenis obat ini biasanya dikombinasikan dengan sediaan kortokosteroid sebagai terapi profilaksis (Dipiro et al., 2008).

Mekanisme kerja obat pada golongan β2-agonis berkaitan dengan

relaksasi langsung otot polos saluran napas dan mengakibatkan

bronkodilatasi. Stimulasi reseptor β2 adrenergik ini akan mengaktifkan jalur

Gs-adenilil siklase-AMP siklik yang mengakibatkan penurunan tonus otot polos. Obat ini juga meningkatkan konduktansi saluran Ca2+ yang sensitif terhadap K+ dalam otot polos saluran napas, menyebabkan hiperpolarisasi dan relaksasi membran (Brunton et al., 2010)

Efek samping pada pemberian inhalasi long acting β2-agonists memiliki

(46)

4.) Teofilin

Teofilin merupakan suatu metil xantin yang masih sering digunakan untuk terapi asma. Teofilin dapat menghasilkan efek bronkodilatasi dengan bekerja menghambat nonselektif fosfodiesterase yang kemudian akan meningkatkan kadar cAMP dan cyclic guanosine monophosphate. Teofilin mulai jarang digunakan sebagai pertimbangan akan peningkatan risiko severe life threatening toxicity dan banyak interaksi antar obat serta penurunan efikasi dibandingan dengan inhalasi kortikosteroid dan long acting β2-agonis (Dipiro et al., 2008).

Efek samping dari pemberian teofilin adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi serum tinggi dapat menyebabkan takikardi, aritmia, dan seizure (Global Initiative for Asthma, 2012).

b. Relievers

Obat ini merupakan terapi yang digunakan pada saat dibutuhkan aksi yang cepat untuk mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala yang ada.

Golongan obat ini meliputi: inhalasi β2-agonis kerja cepat, inhalasi antikolinergik, teofilin kerja pendek, dan β2 agonis kerja pendek secara per oral (Global Initiative

for Asthma, 2012).

1.) Inhalasi β2-agonis kerja cepat dan β2 agonis kerja pendek secara per oral

Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, levalbuterol HFA, reproterol, dan pirbuterol. Terapi dengan

(47)

dibutuhkan dengan dosis rendah dan frekuensi yang diperlukan (Global Initiative for Asthma, 2012).

Terapi β2 agonis kerja pendek secara per oral tepat jika digunakan pada

sebagian pasien yang tidak dapat menggunakan terapi dengan inhalasi meskipun penggunaannya sangat berkaitan dengan tingginya prevalensi terjadinya efek samping. Efek samping yang dapat terjadi pada pemberian secara per oral adalah takikardi, tremor, sakit kepala, dan iritasi serta pada dosis tinggi dapat menyebabkan hiperglikemi dan hipokalemia. (Global Initiative for Asthma, 2012).

Dosis yang dapat diberikan pada salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali dan diberikan setiap 6 jam; dosis terbutalin oral 0,005-0,1 mg/kgBB/kali setiap 6 jam; fenoterol 0,1 mg/kgBB. Pemberian secara oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai pada 2-4 jam dan lama kerjanya sampai 5 jam (Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008).

Pemberian salbutamol secara nebuliser dapat diberikan dengan dosis 0,1-0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5 mg/kali), dengan interval 20 menit, atau nebulisasi secara kontinu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam) (Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008). 2.) Inhalasi antikolinergik

Antikolinergik merupakan inhibitor kompetitif reseptor muskarinik,

mengatasi bronkokonstriksi termediasi kolinergik. Golongan ini merupakan

(48)

tapi tidak menghambat bronkokonstriksi akibat olahraga. Contoh obatnya

adalah ipratropium dan tiotropium bromida (Dipiro et al., 2008).

Pada terapi asma, inhalasi antikolinergik tidak direkomendasikan untuk

penggunaan jangka panjang manajemen asma pada anak-anak. Efek samping

dari pemberian obat ini adalah mulut kering dan rasa tidak enak di mulut

(Global Initiative for Asthma, 2012).

c. Obat-obat lain 1.) Mukolitik

Mukolitik diberikan untuk membantu ekspektorasi dengan mengurangi viskositas sputum (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008). Pemberian mukolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat diberikan tetapi harus hati-hati pada anak dengan reflek batuk yang optimal. Terapi mukolitik inhalasi tidak menunjukkan manfaat dalam penanganan serangan asma, pada serangan asma berat bahkan bisa memperberat batuk dan menghambat aliran napas (Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008).

Obat mukolitik yang sering digunakan adalah bromheksin. Obat ini bekerja dengan mengurangi kekentalan mukus sehingga mudah untuk dikeluarkan. Efek samping obat ini berupa gangguan pada saluran cerna, pusing, berkeringat, tetapi jarang terjadi (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.) Antibiotika

(49)

bakteri seperti adanya tanda-tanda pneumonia, sputum yang purulen, serta jika diduga ada rinosinusitis yang menyertai asma (Rahajoe, N., Supriyatno, B., Setyanti, D., 2008).

a.) Eritromisin

Eritromisin merupakan anti bakteri yang memiliki spektrum yang hampir sama dengan penisilin dan memiliki aktivitas terhadap bakteri gram positif. Eritromisin juga aktif terhadap bakteri anaerob yang terdapat di usus. Anti bakteri ini bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga bakteri dapat lisis. Eritromisin dapat digunakan untuk infeksi saluran pernapasan, pertusis, enteritis karena kampilobakter, dan penyakit legionaire (Brunton et al., 2010).

Eritromisin memiliki efek antiinflamasi yang terjadi pada asma bronkial. Obat ini bekerja dengan mengurangi produksi sel endotelin-1 yang berperan utama dalam bronkokonstriksi asma bronkial. Pada uji klinis terdahulu, dapat diketahui bahwa makrolida dapat mengurangi produksi sitokin proinflamasi dengan menghambat pelepasan IL-8, epithelial cell-derived neutrophil attractant (ENA-78), and macrophage inflammatory protein 1 (MIP-1) sehingga inflamasi yang terjadi dapat berkurang (Kanoh, 2010; Wales, 2014).

(50)

b.) Isoniazid

Obat ini berfungsi untuk terapi tuberkulosis aktif dan untuk profilaksis orang yang memiliki risiko tinggi terjadi infeksi. Obat ini efektif terhadap bakteri dalam keadaan metabolik aktif yaitu bakteri yang sedang berkembang dengan bekerja pada sintesis mycolic acid yang diperlukan untuk membentuk dinding sel bakteri (Departemen Kesehatan RI, 2005).

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, neuritis perifer, kejang, reaksi hipersensitif seperti eritema multiforme, demam, agranulositosis (Sukandar dkk., 2009).

c.) Rifampisin

Rifampisin digunakan untuk terapi tuberkulosis yang dikombinasikan dengan antituberkulosis lain. Obat ini bekerja dengan menghambat aktivasi polymerase RNA sehingga sintesis RNA pada bakteri dapat terganggu (Departemen Kesehatan RI, 2005).

Efek samping rifampisin adalah gangguan saluran pencernaan yang meliputi mual, muntah anoreksia, diare, rasa panas di perut. Pada terapi intermitten dapat terjadi gangguan respiratori pendek, syok, anemia, trombositopenia, gangguan fungsi hati, ruam, udem, leukopenia, eosinofilia, dan gagal ginjal akut (Sukandar dkk., 2009).

3.) Antihistamin

(51)

generasi pertama bersifat larut lemak dan dapat melewati sawar ini dengan mudah. Obat yang selektif terhadap perifer memiliki sedikit atau tidak sama sekali memiliki efek pada sistem saraf pusat atau otonom (Sukandar dkk., 2009).

Antihistamin H1 bekerja dengan menghambat secara kompetitif

terhadap histamin untuk berikatan dengan reseptor histamin sehingga reseptor tidak teraktivasi. Tidak adanya aktivasi ini menyebabkan tidak terjadinya efek seperti kontraksi otot polos, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah (Pohan, 2007).

4.) Antiemetika a.) Ondansetron

Ondansetron merupakan serotonergis agonis dan antagonis terbaru yang dapat memiliki efek antimuntah yang sangat efektif. Obat ini bekerja menghambat terbentuknya ikatan serotonin dengan reseptor 5HT3 (Chow, 2010).

Efek samping obat ini adalah konstipasi, nyeri kepala, sensasi hangat atau muka merah, reaksi hipersensitivitas, nyeri dada, aritmia, hipotensi dan bradikardia (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008).

b.) Metoklopramid

(52)

Obat ini dapat menimbulkan efek samping seperti, efek ekstrapiramidal terutama terjadi pada anak-anak, hiperprolaktinemia, mengantuk, gelisah, diare, depresi, ruam kulit, udem (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008).

5.) Antitukak

Ranitidin merupakan obat yang dapat mengurangi sekresi asam lambung yang bekerja sebagai antagonis kompetitif histamin pada reseptor H2 di sel parietal sehingga histamin tidak dapat berikatan dengan reseptor H2 dan menginduksi sekresi asam lambung (Birnkammer, 2011).

Efek samping yang dapat ditimbulkan adalah diare, gangguan fungsi cerna, sakit kepala, pusing, ruam dan rasa letih (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008).

4. Interaksi Obat

Pada evaluasi potensial terjadinya interaksi obat, hal yang perlu diperhatikan adalah tingkat signifikasi dari interaksi. Tingkat signifikasi yang mungkin terjadi ini diperlukan untuk melihat besar kecilnya efek yang ditimbulkan jika terjadi interaksi. Hal ini penting sebagai pertimbangan dalam menentukan terapi yang akan dilakukan sehingga kemungkinan efek yang merugikan dapat dihindari (Tatro, 2007).

Tingkat signifikasi diklasifikasikan berdasarkan tingkat keamanan (severity) dan dokumentasi yang telah ada (documentation).

(53)

permanen. Pada tingkat moderate, potensial interaksi obat dapat menyebabkan keadaan yang buruk pada kondisi pasien sedangkan pada tingkat minor, efek yang ditimbulkan tidak besar dan tidak menimbulkan efek yang signifikan.

b. Documentation dibedakan menjadi 5 tingkatan yaitu established, probable, suspected, possible, unlikely. Pada tingkat established, efek yang ditimbulkan telah terbukti terjadi pada studi kontrol yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Pada tingkat probable, efek yang ditimbulkan sangat mungkin terjadi tetapi tidak terdapat bukti secara klinis. Pada tingkat suspected, efek yang ditimbulkan kemungkinan dapat terjadi. Pada tingkat possible, efek yang ditimbulkan dapat kemungkinan terjadi tetapi data yang ada sangat sedikit. Pada tingkat unlikely, efek yang ditimbulkan belum dapat dipastikan dan tidak terdapat bukti yang cukup.

Tabel II. Tingkat Signifikasi Potensial Interaksi Obat (Tatro, 2007) Significance

rating

Severity Documentation

1 Major Suspected or >

2 Moderate Suspected or >

3 Minor Suspected or >

4 Major/Moderate Possible

5 Minor Possible

Any Unlikely

Keterangan: Suspected or > : established, probable

5. Keterangan Empiris

(54)
(55)

33

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif evaluatif dan menggunakan rancangan penelitian cross-sectional dengan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Jenis penelitian deskriptif evaluatif karena dalam penelitian ini dilakukan identifikasi gambaran fenomena yang terjadi dalam suatu populasi tertentu yaitu pada pasien pediatri dengan diagnosa asma kemudian dievaluasi berdasarkan pedoman/standar yang ada tanpa adanya intervensi terhadap subjek uji. Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross-sectional karena pengambilan data yang meliputi variabel penelitian dilakukan pada satu kurun waktu yang bersamaan yaitu periode Januari 2012-Juni 2013.

Pengambilan data dilakukan secara retrospektif yaitu dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu yang diambil dari rekam medis pasien pediatri yang mendapat diagnosis asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada periode Januari 2012-Juni 2013.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

(56)

yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).

2. Definisi Operasional

a. Asma yang dimaksud dalam penelitian ini adalah asma bronkial dan bronkitis asmatis.

b. Drug Therapy Problems (DTPs) adalah masalah-masalah dalam penggunaan obat yang meliputi:

1.) Obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy) adalah masalah yang terjadi karena adanya pemberian obat secara duplikasi. Contoh: pasien mendapatkan 2 produk kortikosteroid yang berbeda (deksametason dan triamsinolon) untuk terapi asma.

2.) Dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy) adalah masalah yang terjadi karena adanya kondisi pasien yang memerlukan tambahan obat. Contoh: pasien mengalami sesak nafas tetapi tidak mendapatkan obat bronkodilator.

3.) Obat yang tidak efektif (ineffective drug) adalah masalah yang terjadi karena obat yang diberikan tidak tepat dan kondisi pasien tidak dapat disembuhkan dengan terapi yang diberikan. Contoh: pemberian salbutamol tidak secara inhalasi tetapi secara oral.

(57)

2 mg/5ml dan dosis yang dianjurkan DIH 2009-2010 adalah 3 x 2 mg/5ml.

5.) Efek obat merugikan (adverse drug reaction) adalah masalah yang terjadi karena pemberian obat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan. Contoh: pemberian kortikosteroid secara oral dapat menyebabkan mulut kering dan sariawan.

6.) Dosis terlalu tinggi (dosage too high) adalah masalah yang terjadi karena pemberian dosis obat terlalu tinggi. Contoh: aminofilin yang diberikan 25mg/dosis dan dosis yang dianjurkan DIH (2006) adalah 12,2 mg/dosis.

c. Kajian ketepatan dosis obat berdasarkan sumber informasi Respirologi Anak 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008, Formularium Rumah Sakit Panti Rapih, British National Formulary 2011.

d. Kajian efek yang merugikan dan interaksi obat berdasarkan sumber informasi pada Drug Interaction Facts 2007 dan Stockley’s Drug Interactions 9th edition 2010 serta dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (darah, urin dan feses) dan pemeriksaan fisik pada rekam medis.

e. Kajian interaksi obat yang dibahas dalam hasil dan pembahasan adalah interaksi dengan tingkat signifikasi 1 sesuai dengan Tatro (2007).

(58)

g. Kasus merupakan kejadian penggunaan obat dan DTPs yang terjadi per pasien. Dalam satu rekam medis dapat memiliki lebih dari satu kasus.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian meliputi pasien anak yang mendapatkan diagnosis asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013.

1. Kriteria inklusi subjek adalah pasien pediatri berumur ≤14 tahun yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang mendapat diagnosis utama keluar asma bronkial dan atau bronkitis asmatis.

2. Kriteria eksklusi subjek adalah tidak lengkapnya rekam medis terkait resep racikan yang tidak diketahui komposisi obatnya.

D. Bahan dan Instrumen Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah data rekam medis pasien pediatri yang mendapat diagnosis utama keluar asma bronkial dan atau bronkitis asmatis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013.

Instrumen yang digunakan adalah standar/acuan yang meliputi Respirologi Anak edisi pertama (2008), Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008, Formularium Rumah Sakit Panti Rapih, British National Formulary 2011,

(59)

E. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada bagian rekam medis.

F. Jalannya Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap berikut: 1. Analisis situasi dan penentuan masalah

Analisis situasi dan penentuan masalah dilakukan dengan mencari informasi mengenai prevalensi penyakit asma melalui media cetak dan melalui media internet seperti buku, penelitian, dan jurnal. Diketahui bahwa penyakit asma pada anak-anak memiliki prevalensi yang tinggi. Kemudian dilakukan penyusunan proposal usulan penelitian dan pengajuan perijinan untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Berdasarkan hasil printout nomor rekam medis dan jumlah pasien asma yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, didapatkan jumlah pasien pediatri yang mendapatkan diagnosa asma baik diagnosa utama keluar dan diagnosa lain/komplikasi sebanyak 128 pasien.

2. Pengambilan data dan pengolahan data

(60)

diketahui komposisi obatnya). Proses pengambilan data dilanjutkan dengan menelusuri dokumen rekam medis pasien di instalasi rekam medis.

Dilakukan pencatatan data meliputi nomor rekam medis, jenis kelamin, umur, berat badan, anamnesa, diagnosa, lama rawat inap, riwayat sakit, riwayat pengobatan, tanda vital, obat yang berikan, dosis obat yang diberikan, frekuensi pemberian, lama pemberian, hasil pemeriksaan laboratorium, dan keterangan-keterangan lain yang dapat mendukung penelitian.

3. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif evaluatif sebagai berikut: a. Karakteristik pasien

Karakteristik pasien asma diidentifikasi dengan mengelompokkan data yang diperoleh berdasarkan jenis kelamin, umur, dan lama hari rawat

1.) Distribusi jumlah pasien berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki. Persentase dihitung dengan cara membagi jumlah pasien pada setiap kelompok jenis kelamin dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100 %.

2.) Distribusi jumlah pasien berdasarkan kelompok umur yang dibagi menjadi umur ≤4 tahun, umur 5-11 tahun, dan umur 12-≤14 tahun. Persentase dihitung dengan cara membagi jumlah pasien pada setiap kelompok umur dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100%. 3.) Distribusi lama hari rawat dikelompokkan berdasarkan lamanya hari

(61)

pasien pada setiap banyaknya lama hari rawat dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100%.

b. Profil penggunaan obat asma

Distribusi jumlah kelas terapi obat yang digunakan dikelompokkan menjadi 5 kelas terapi yaitu obat saluran pernapasan, obat saluran pencernaan, obat anti infeksi, obat analgesik-antipiretik, suplemen-vitamin. Kemudian profil penggunaan kelas terapi obat dikelompokkan berdasarkan kelompok, golongan, zat aktif obat dan jumlah kasus yang menerima obat tersebut.

c. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs)

Evaluasi DTPs yang dilakukan meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).

(62)

berdasarkan pustaka yang ada. Untuk evaluasi ketepatan dosis digunakan acuan Respirologi Anak edisi pertama (2008), Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008, Formularium Rumah Sakit Panti Rapih, British National Formulary 2011. Kemudian untuk evaluasi interaksi obat digunakan acuan Drug Interaction Facts 2007 dan Stockley’s Drug Interactions, 9th edition 2010. Plan atau rekomendasi meliputi saran yang dapat diberikan untuk mengatasi DTPs yang terjadi berdasarkan standar/acuan yang ada.

4. Penyajian Hasil Penelitian

Hasil penelitian berupa karakteristik demografi pasien asma, profil pengobatan, dan eveluasi Drug Therapy Problems pada asma diuraikan secara deskriptif yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Presentase kejadian DTPs dihitung berdasarkan kelompok parameter DTPs dengan cara membagi jumlah kasus pada setiap jenis kelompok DTPs dengan jumlah kasus DTPs secara keseluruhan dikali 100%.

G. Keterbatasan Penelitian

(63)
(64)

42

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan disajikan hasil penelitian yang diperoleh pada penelitian yang meliputi karakteristik demografi pasien, profil pengobatan, dan evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) yang kemungkinan dapat terjadi.

A. Karakteristik Demografi Pasien

1. Jenis Kelamin

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa dari 31 responden, jumlah responden laki-laki yang mengalami asma sebanyak 21 pasien (67,75%) sedangkan perempuan sebanyak 10 pasien (32,25%). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden laki-laki merupakan responden terbanyak yang mengalami asma. Hal ini sama dengan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi kejadian asma pada anak terjadi lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan (Brunton et al., 2010). Hasil penelitian lain yang sama dengan hasil penelitian ini juga dilakukan oleh Wahani (2011) yang menunjukkan bahwa pasien anak dengan jenis kelamin laki-laki merupakan pasien terbanyak yang mengalami asma yaitu sebanyak 29 pasien. Penelitian tersebut tidak menyebutkan secara pasti penyebab utama dominasi jumlah laki-laki.

(65)

Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada Gambar 2 sebagai berikut:

Gambar 2. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Jenis Kelamin Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni 2013

2. Umur Pasien

Umur responden diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu ≤4 tahun, 5-11 tahun, dan 12-14 tahun. Dari 31 pasien didapatkan pasien dengan umur ≤4 tahun sebanyak 25 pasien (80,65%), umur 5-11 tahun sebanyak 5 pasien (16,13%), dan umur 12-14 tahun sebanyak 1 pasien (3,22%).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa jumlah responden umur < 12 tahun lebih besar dibandingkan dengan umur >12 tahun. Hal ini kemungkinan terjadi karena asma pada anak terkait erat dengan reaksi alergi dan anak juga lebih rentan terhadap infeksi. Dua hal tersebut merupakan rangsangan yang dapat berinteraksi dengan respon jalan dan dapat menimbulkan episode asma akut. Pada anak-anak umur < 12 tahun belum dapat menghindari faktor-faktor pencetus alergi,

32,25% 67,75%

Perempuan

(66)

sedangkan pada anak umur 12-14 tahun sudah dapat menghindari faktor-faktor pencetus dari alergi sehingga kekambuhan asma yang terjadi akibat alergi dapat berkurang (Harrison, 2000).

Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada Gambar 3 sebagai berikut:

Gambar 3. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Umur di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode

Januari 2012-Juni 2013

3. Lama rawat

Pada penelitian ini didapatkan bahwa lamanya hari rawat inap dari 31 pasien anak dengan diagnosis asma terbanyak adalah 4 hari yaitu 12 pasien (38,71%). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Pratiwi (2011) yang menyebutkan bahwa lama rata-rata rawat inap pasien asma adalah 3-4 hari pada 13 pasien (n=22 pasien).

Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada Gambar 4 sebagai berikut:

80,65%

16,13% 3,22%

≤ 4 tahun

5-11 tahun

(67)

Gambar 4. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Lama Hari Rawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode

Januari 2012-Juni 2013

B. Profil Pengobatan

(68)

Tabel III. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Kelas Terapi yang Digunakan dalam Pengobatan Asma pada Pasien Anak Rumah Sakit Panti

Rapih Yogyakarta

No. Kelas Terapi Jumlah Pasien (n=31)

1. Obat saluran pernapasan 31

2. Obat saluran pencernaan 10

3. Obat anti infeksi 30

4. Obat analgesik-antipiretik 23

5. Suplemen-Vitamin 3

1. Obat saluran pernapasan

Penggunaan obat saluran pernapasan yang paling banyak digunakan adalah obat bronkodilator dengan zat aktif salbutamol dan kortikosteroid dengan zat aktif flutikason propionat masing-masing sebanyak 25 kasus. Pemberian obat ini merupakan obat kombinasi pada terapi lini pertama yang biasanya diberikan untuk mengurangi serangan asma. Salbutamol digunakan pada terapi asma sebagai stimulan adrenoreseptor beta 2 selektif yang mempunyai daya bronkodilatasi yang baik dan sangat efektif untuk mengurangi serangan asma. Flutikason propionat merupakan obat profilaksis asma dan sebagai pengobatan asma eksaserbasi akut serta penggunaan secara inhalasi flutikason merupakan terapi controller yang paling efektif pada anak disemua usia (Global Initiative for Asthma, 2012).

Gambar

Tabel I. Kategori dan Penyebab Umum DTPs..............................
Tabel IX. Distribusi Jumlah Kasus Drug Therapy Problems Obat
Gambar 1. Mekanisme Paparan Alergen yang Menyebabkan
Tabel I. Kategori dan Penyebab Umum DTPs DTPs
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa sehubungan dengan maksud tersebut dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 141 huruf a dan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Philips, TBK Surabaya Berdasarkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya dengan Analisis Profil Multivariate , sedangkan pada penelitian ini membahas tentang kepuasan kerja

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 39 Tahun 2008 tentang Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo

Berdasarkan tujuan tersebut diatas, maka penulisan penelitian ini berguna untuk menambah wawasan berkaitan dengan adanya pasal 197 Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang

(3) Rancangan Anggaran Perusahaan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku sepenuhnya setelah mendapat pertimbangan dari Badan Pengawas mengemukakan keberatan

Dalam kegiatan pemeliharaan suatu perusahaan merupakan persoalan yang menyangkut usaha-usaha untuk menghilangkan kemungkinan–kemungkinan yang menimbulkan kemacetan yang

Otak  merupakan    pusat  dari  kontrol  segala  aktivitas  manusia.  Otak  juga  memerlukan  latihan  untuk  menjaga  kwalitas  kesehatan 

Dengan menggunakan rumusan pada indeks kesukaran aitem, indeks daya diskriminasi aitem, dan membandingkan hasilnya dengan kategori evaluasi indeks oleh Ebel kita dapat