• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs)

1. Obat yang tidak Dibutuhkan

Contoh: pasien mendapatkan 2 produk kortikosteroid yang berbeda (deksametason dan triamsinolon) untuk terapi asma.

2.) Dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy) adalah masalah yang terjadi karena adanya kondisi pasien yang memerlukan tambahan obat. Contoh: pasien mengalami sesak nafas tetapi tidak mendapatkan obat bronkodilator.

3.) Obat yang tidak efektif (ineffective drug) adalah masalah yang terjadi karena obat yang diberikan tidak tepat dan kondisi pasien tidak dapat disembuhkan dengan terapi yang diberikan. Contoh: pemberian salbutamol tidak secara inhalasi tetapi secara oral.

4.) Dosis terlalu rendah (dosage too low) adalah masalah yang terjadi karena adanya pemberian dosis terlalu rendah untuk mencapai efek yang diharapkan. Contoh: pemberian salbutamol p.o dengan dosis 2 x

2 mg/5ml dan dosis yang dianjurkan DIH 2009-2010 adalah 3 x 2 mg/5ml.

5.) Efek obat merugikan (adverse drug reaction) adalah masalah yang terjadi karena pemberian obat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan. Contoh: pemberian kortikosteroid secara oral dapat menyebabkan mulut kering dan sariawan.

6.) Dosis terlalu tinggi (dosage too high) adalah masalah yang terjadi karena pemberian dosis obat terlalu tinggi. Contoh: aminofilin yang diberikan 25mg/dosis dan dosis yang dianjurkan DIH (2006) adalah 12,2 mg/dosis.

c. Kajian ketepatan dosis obat berdasarkan sumber informasi Respirologi Anak 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008, Formularium Rumah Sakit Panti Rapih, British National Formulary 2011.

d. Kajian efek yang merugikan dan interaksi obat berdasarkan sumber informasi pada Drug Interaction Facts 2007 dan Stockley’s Drug

Interactions 9th edition 2010 serta dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (darah, urin dan feses) dan pemeriksaan fisik pada rekam medis.

e. Kajian interaksi obat yang dibahas dalam hasil dan pembahasan adalah interaksi dengan tingkat signifikasi 1 sesuai dengan Tatro (2007).

f. Profil pengobatan asma adalah gambaran peresepan obat yang meliputi kelas terapi, kelompok, golongan obat, zat aktif obat, dan jumlah kasus.

g. Kasus merupakan kejadian penggunaan obat dan DTPs yang terjadi per pasien. Dalam satu rekam medis dapat memiliki lebih dari satu kasus.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian meliputi pasien anak yang mendapatkan diagnosis asma di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013.

1. Kriteria inklusi subjek adalah pasien pediatri berumur ≤14 tahun yang

menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang mendapat diagnosis utama keluar asma bronkial dan atau bronkitis asmatis.

2. Kriteria eksklusi subjek adalah tidak lengkapnya rekam medis terkait resep racikan yang tidak diketahui komposisi obatnya.

D. Bahan dan Instrumen Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah data rekam medis pasien pediatri yang mendapat diagnosis utama keluar asma bronkial dan atau bronkitis asmatis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari 2012-Juni 2013.

Instrumen yang digunakan adalah standar/acuan yang meliputi Respirologi Anak edisi pertama (2008), Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008, Formularium Rumah Sakit Panti Rapih, British National Formulary 2011,

E. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada bagian rekam medis.

F. Jalannya Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap berikut: 1. Analisis situasi dan penentuan masalah

Analisis situasi dan penentuan masalah dilakukan dengan mencari informasi mengenai prevalensi penyakit asma melalui media cetak dan melalui media internet seperti buku, penelitian, dan jurnal. Diketahui bahwa penyakit asma pada anak-anak memiliki prevalensi yang tinggi. Kemudian dilakukan penyusunan proposal usulan penelitian dan pengajuan perijinan untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Berdasarkan hasil printout nomor rekam medis dan jumlah pasien asma yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, didapatkan jumlah pasien pediatri yang mendapatkan diagnosa asma baik diagnosa utama keluar dan diagnosa lain/komplikasi sebanyak 128 pasien.

2. Pengambilan data dan pengolahan data

Subjek yang diperoleh dari nomor rekam medis dan jumlah pasien pada analisis situasi dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Terdapat 31 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan 97 pasien tidak memenuhi kriteria (95 pasien mendapatkan diagnosa lain/komplikasi bukan asma bronkial maupun bronkitis asmatis dan 2 pasien mendapatkan resep yang tidak

diketahui komposisi obatnya). Proses pengambilan data dilanjutkan dengan menelusuri dokumen rekam medis pasien di instalasi rekam medis.

Dilakukan pencatatan data meliputi nomor rekam medis, jenis kelamin, umur, berat badan, anamnesa, diagnosa, lama rawat inap, riwayat sakit, riwayat pengobatan, tanda vital, obat yang berikan, dosis obat yang diberikan, frekuensi pemberian, lama pemberian, hasil pemeriksaan laboratorium, dan keterangan-keterangan lain yang dapat mendukung penelitian.

3. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif evaluatif sebagai berikut: a. Karakteristik pasien

Karakteristik pasien asma diidentifikasi dengan mengelompokkan data yang diperoleh berdasarkan jenis kelamin, umur, dan lama hari rawat

1.) Distribusi jumlah pasien berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki. Persentase dihitung dengan cara membagi jumlah pasien pada setiap kelompok jenis kelamin dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100 %.

2.) Distribusi jumlah pasien berdasarkan kelompok umur yang dibagi menjadi umur ≤4 tahun, umur 5-11 tahun, dan umur 12-≤14 tahun. Persentase dihitung dengan cara membagi jumlah pasien pada setiap kelompok umur dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100%. 3.) Distribusi lama hari rawat dikelompokkan berdasarkan lamanya hari

pasien pada setiap banyaknya lama hari rawat dengan jumlah pasien secara keseluruhan dikali 100%.

b. Profil penggunaan obat asma

Distribusi jumlah kelas terapi obat yang digunakan dikelompokkan menjadi 5 kelas terapi yaitu obat saluran pernapasan, obat saluran pencernaan, obat anti infeksi, obat analgesik-antipiretik, suplemen-vitamin. Kemudian profil penggunaan kelas terapi obat dikelompokkan berdasarkan kelompok, golongan, zat aktif obat dan jumlah kasus yang menerima obat tersebut.

c. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs)

Evaluasi DTPs yang dilakukan meliputi obat yang tidak dibutuhkan (unneccessary drug therapy), dibutuhkan tambahan obat (need for additional drug therapy), obat yang tidak efektif (ineffective drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction), dan dosis terlalu tinggi (dosage too high).

Data kemudian evaluasi dengan menggunakan metode Subjective, Objective, Assessment, dan Plan (SOAP). Subjective meliputi nama pasien, jenis kelamin, umur, keluhan yang dialami oleh pasien, keadaan umum pasien, riwayat penyakit dan diagnosa. Objective meliputi berat badan, hasil laboratorium (darah, urin, dan feses), tanda vital (suhu, tekanan darah, RR, nadi, dan saturasi O2). Assessment merupakan penilaian yang dilakukan terkait permasalahan (DTPs) yang mungkin terjadi selama terapi penggunaan obat. Penilaian ini dilakukan dengan mengevaluasi kasus yang didapat

berdasarkan pustaka yang ada. Untuk evaluasi ketepatan dosis digunakan acuan Respirologi Anak edisi pertama (2008), Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008, Formularium Rumah Sakit Panti Rapih, British National Formulary 2011. Kemudian untuk evaluasi interaksi obat digunakan acuan Drug Interaction Facts 2007 dan Stockley’s Drug Interactions, 9th

edition 2010. Plan atau rekomendasi meliputi saran yang dapat diberikan untuk mengatasi DTPs yang terjadi berdasarkan standar/acuan yang ada.

4. Penyajian Hasil Penelitian

Hasil penelitian berupa karakteristik demografi pasien asma, profil pengobatan, dan eveluasi Drug Therapy Problems pada asma diuraikan secara deskriptif yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Presentase kejadian DTPs dihitung berdasarkan kelompok parameter DTPs dengan cara membagi jumlah kasus pada setiap jenis kelompok DTPs dengan jumlah kasus DTPs secara keseluruhan dikali 100%.

G. Keterbatasan Penelitian

Evaluasi obat yang tidak dibutuhkan dilakukan berdasarkan diagnosis, catatan keperawatan dan hasil laboratorium yang ada dalam data rekam medik. Data yang tertulis pada rekam medis terbatas dari catatan perawat terkait kondisi pasien dan keterangan dari keluarga sehingga tidak dapat disimpulkan secara pasti ketepatan penggunaan obat karena tidak dapat melihat secara langsung kondisi pasien yang kemungkinan tidak terdapat dalam rekam medik.

Evaluasi dosis hanya berdasarkan dosis pada rekam medis dan tidak diketahui derajat serangan asma sehingga tidak dapat dilakukan evaluasi penurunan atau peningkatan dosis berikutnya.

42

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan disajikan hasil penelitian yang diperoleh pada penelitian yang meliputi karakteristik demografi pasien, profil pengobatan, dan evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) yang kemungkinan dapat terjadi.

A. Karakteristik Demografi Pasien

1. Jenis Kelamin

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa dari 31 responden, jumlah responden laki-laki yang mengalami asma sebanyak 21 pasien (67,75%) sedangkan perempuan sebanyak 10 pasien (32,25%). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa responden laki-laki merupakan responden terbanyak yang mengalami asma. Hal ini sama dengan penelitian yang sebelumnya telah dilakukan menunjukkan bahwa prevalensi kejadian asma pada anak terjadi lebih besar pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan (Brunton et al., 2010). Hasil penelitian lain yang sama dengan hasil penelitian ini juga dilakukan oleh Wahani (2011) yang menunjukkan bahwa pasien anak dengan jenis kelamin laki-laki merupakan pasien terbanyak yang mengalami asma yaitu sebanyak 29 pasien. Penelitian tersebut tidak menyebutkan secara pasti penyebab utama dominasi jumlah laki-laki.

Penyebab asma pada anak laki-laki lebih besar daripada anak perempuan sampai saat ini masih belum diketahui dengan jelas. Menurut Cristiano (2010), hal ini disebabkan karena ukuran diameter saluran pernapasan pada anak laki-laki relatif lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan.

Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada Gambar 2 sebagai berikut:

Gambar 2. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Jenis Kelamin Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Periode Januari 2012-Juni 2013

2. Umur Pasien

Umur responden diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu ≤4 tahun, 5-11 tahun, dan 12-14 tahun. Dari 31 pasien didapatkan pasien dengan umur ≤4 tahun sebanyak 25 pasien (80,65%), umur 5-11 tahun sebanyak 5 pasien (16,13%), dan umur 12-14 tahun sebanyak 1 pasien (3,22%).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa jumlah responden umur < 12 tahun lebih besar dibandingkan dengan umur >12 tahun. Hal ini kemungkinan terjadi karena asma pada anak terkait erat dengan reaksi alergi dan anak juga lebih rentan terhadap infeksi. Dua hal tersebut merupakan rangsangan yang dapat berinteraksi dengan respon jalan dan dapat menimbulkan episode asma akut. Pada anak-anak umur < 12 tahun belum dapat menghindari faktor-faktor pencetus alergi,

32,25% 67,75%

Perempuan

sedangkan pada anak umur 12-14 tahun sudah dapat menghindari faktor-faktor pencetus dari alergi sehingga kekambuhan asma yang terjadi akibat alergi dapat berkurang (Harrison, 2000).

Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada Gambar 3 sebagai berikut:

Gambar 3. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Umur di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode

Januari 2012-Juni 2013

3. Lama rawat

Pada penelitian ini didapatkan bahwa lamanya hari rawat inap dari 31 pasien anak dengan diagnosis asma terbanyak adalah 4 hari yaitu 12 pasien (38,71%). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Pratiwi (2011) yang menyebutkan bahwa lama rata-rata rawat inap pasien asma adalah 3-4 hari pada 13 pasien (n=22 pasien).

Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada Gambar 4 sebagai berikut: 80,65% 16,13% 3,22% ≤ 4 tahun 5-11 tahun 12- 14 tahun

Gambar 4. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Lama Hari Rawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode

Januari 2012-Juni 2013

B. Profil Pengobatan

Pada penelitian ini ditemukan beberapa macam obat yang digunakan pada pasien dengan diagnosa asma. Dari data yang diperoleh, obat yang diberikan dibagi menjadi 5 kelas terapi obat yaitu obat saluran pernapasan (obat bronkodilator, kortikosteroid, antitusif, dekongestan, antihistamin, anti tuberkulosis), obat yang bekerja pada saluran pencernaan (antiemetika, antitukak, antidiare, dan digestan), obat anti infeksi (antibiotika dan antifungi), obat yang bekerja sebagai analgesik-antipiretik, dan suplemen-vitamin. Pada penelitian ini diketahui bahwa penggunaan obat saluran pernapasan pada 31 pasien. Hal ini berarti pengobatan yang diberikan telah sesuai dengan tujuan terapi yaitu untuk pengobatan asma. Secara ringkas hasil penelitian ini akan disajikan pada Tabel III sebagai berikut : 2 11 12 3 1 1 1 0 2 4 6 8 10 12 14 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Lama Hari Rawat

Lama Hari Rawat

Ju

m

lah

P

Tabel III. Distribusi Jumlah Pasien Asma Berdasarkan Kelas Terapi yang Digunakan dalam Pengobatan Asma pada Pasien Anak Rumah Sakit Panti

Rapih Yogyakarta

No. Kelas Terapi Jumlah Pasien (n=31)

1. Obat saluran pernapasan 31

2. Obat saluran pencernaan 10

3. Obat anti infeksi 30

4. Obat analgesik-antipiretik 23

5. Suplemen-Vitamin 3

1. Obat saluran pernapasan

Penggunaan obat saluran pernapasan yang paling banyak digunakan adalah obat bronkodilator dengan zat aktif salbutamol dan kortikosteroid dengan zat aktif flutikason propionat masing-masing sebanyak 25 kasus. Pemberian obat ini merupakan obat kombinasi pada terapi lini pertama yang biasanya diberikan untuk mengurangi serangan asma. Salbutamol digunakan pada terapi asma sebagai stimulan adrenoreseptor beta 2 selektif yang mempunyai daya bronkodilatasi yang baik dan sangat efektif untuk mengurangi serangan asma. Flutikason propionat merupakan obat profilaksis asma dan sebagai pengobatan asma eksaserbasi akut serta penggunaan secara inhalasi flutikason merupakan terapi controller yang paling efektif pada anak disemua usia (Global Initiative for Asthma, 2012).

Penggunaan kelompok obat bronkodilator pada penelitian ini berjumlah 68 kasus pada 30 pasien. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian obat bronkodilator dalam 1 pasien dapat berjumlah lebih dari 1 obat bronkodilator yaitu terdapat 10 kombinasi dan 2 secara tunggal. Kombinasi yang paling banyak digunakan adalah terbutalin sulfat, aminofilin, dan salbutamol sulfat sebanyak 7 pasien. Penggunaan bronkodilator secara tunggal paling banyak ditemukan pada

pemberian salbutamol sulfat yaitu 8 pasien. Secara detail, jumlah penggunaan kombinasi obat bronkodilator dapat dilihat di Lampiran 2.

Pada penggunaan kelompok obat kortikosteroid berjumlah 55 kasus pada 30 pasien dengan jumlah kombinasi obat terdapat 6 kombinasi dan 2 secara tunggal. Kombinasi yang paling banyak digunakan adalah deksametason dan flutikason propionat sebanyak 11 pasien. Penggunaan kortikosteroid secara tunggal terdapat pada pemberian deksametason (2 pasien) dan flutikason propionat (6 pasien). Secara detail, jumlah penggunaan kombinasi obat kortikosteroid dapat dilihat di Lampiran 3.

Obat saluran pernapasan lain yang banyak digunakan adalah antihistamin, mukolitik, antitusif dan dekongestan. Penggunaan antihistamin pada penelitian ini sebanyak 28 kasus pada 25 pasien dengan jumlah kombinasi sebanyak 2 kombinasi dan 3 secara pemberian tunggal. Kombinasi yang paling banyak digunakan adalah setirizin HCl dan mebhydrolin napadisylate sebanyak 2 pasien. Penggunaan antihistamin secara tunggal paling banyak adalah mebhydrolin napadisylate sebanyak 10 pasien. Pada penyakit asma, antihistamin digunakan untuk mengatasi alergi yang merupakan salah satu pemicu terjadinya serangan asma. Obat ini bekerja dengan menghambat pelepasan mediator histamin oleh sel mastosit sehingga tidak terjadi bronkokonstriksi (Indonesia Pediatrician, 2012). Jumlah penggunaan kombinasi obat antihistamin secara detail dapat dilihat di Lampiran 4.

Pada pasien asma dengan gejala batuk dan pilek seringkali diperlukan obat mukolitik, antitusif maupun dekongestan. Penggunaan mukolitik pada

penelitian ini sebanyak 9 kasus pada 8 pasien dengan pemberian obat secara tunggal sebanyak 2 obat dan jumlah kombinasi sebanyak 1 kombinasi. Pengguaan obat secara tunggal ditemukan pada pemberian ambroksol (4 pasien) dan bromheksin (3 pasien). Penggunaan kombinasi tersebut terdapat pada pemberian ambroksol HCl dan bromheksin sebanyak 1 pasien. Obat mukolitik yang ditemukan pada penelitian ini adalah ambroksol HCl dan bromheksin. Keduanya berfungsi untuk mengurangi kekentalan mukus sehingga mudah dikeluarkan (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008). Jumlah penggunaan kombinasi obat mukolitik secara detail dapat dilihat di Lampiran 5.

Obat antitusif yang digunakan adalah kodein fosfat dan noskapin. Penggunaan antitusif pada penelitian ini sebanyak 3 kasus pada 2 pasien dengan pemberian obat secara tunggal sebanyak 1 yaitu kodein (1 pasien) dan kombinasi sebanyak 1 kombinasi. Penggunaan kombinasi terdapat pada pemberian kodein dan noskapin (1 pasien). Jumlah penggunaan kombinasi obat antitusif secara detail dapat dilihat di Lampiran 6. Obat ini bekerja secara sentral dengan menekan pusat batuk di bagian medulla batang otak. Pemberian antitusif bagi anak-anak dengan asma harus dipertimbangkan karena obat ini memiliki kontraindikasi dengan penyakit asma (Supriyatno, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Laforest et al., (2008), antitusif merupakan terapi tambahan yang umum diberikan pada pasien asma meskipun kurangnya bukti terkait adanya efektivitas obat tersebut. Antitusif dapat diberikan pada pasien dengan kontrol asma yang buruk atau asma berat serta diberikan pada pasien dengan batuk kronis.

Obat dekongestan yang digunakan adalah pseudoefedrin HCl, dan kombinasi antara pseudoefedrin HCl, guaifenesin dan triprolidine. Obat dekongestan bekerja sebagai stimulan reseptor alpha-1 adrenergik yang dapat mengurangi sekresi dan pembengkakan membran mukosa saluran hidung (Gitawati, 2014). Penggunaan obat antitusif maupun ekspektoran dan dekongestan pada penelitian ini ditujukan untuk mengurangi keluhan batuk dan pilek yang seringkali menyertai asma dan dapat menjadi pemicu asma.

Distribusi jumlah kasus pasien asma pada penggunaan obat saluran pernapasan disajikan pada Tabel IV berikut ini.

Tabel IV. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Obat Saluran Pernapasan pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan, Kelompok dan Zat Aktif

Kelompok obat Golongan Zat Aktif Obat Jumlah

Kasus Jumlah per Kel. Bronkodilator Agonis β Adrenergik

Salbutamol sulfat Inhalasi 25

68 Terbutalin Sulfat 13 Prokaterol HCl 6 MetilXantin Aminofilin 10 Kombinasi Ipratropium + Salbutamol sulfat 3 Salbutamol, Glyseryl guaiacol 11 Kortikosteroid Kortikosteroid Inhalasi Budesonide 8 55 Flutikason Propionat 25 Kortikosteroid Peroral Deksametason 19 Triamsinolon 3 Antihistamin Antagonis Reseptor H1 Setirizin 9 28 Mebhydrolin napadisylate 12

Kromoglikat Ketotifen hidrogen

fumarate 6

Kombinasi Isothipendyl,

asetaminophen 1

Mukolitik Mukolitik Ambroksol HCl 5 9

Bromheksin 4

Antitusif Antitusif Kodein fosfat 2 3

Noskapin 1 Dekongestan Pseudoefedrin HCl 3 4 Kombinasi Pseudoefedrin HCl, guaifenesin, triprolidin 1 Jumlah Kasus 167

2. Obat saluran pencernaan

Penggunaan obat saluran pencernaan dalam penelitian ini bertujuan sebagai terapi penyakit penyerta atau untuk mengurangi keluhan yang terjadi pada pasien, meliputi antiemetika, antitukak, digestan, dan antidiare.

Berdasarkan Lampiran 7, golongan obat antiemetik pada penelitian ini digunakan sebanyak 8 kasus pada 7 pasien dengan pemberian secara tunggal sebanyak 1 obat yaitu ondansetron (6 pasien) dan kombinasi sebanyak 1 macam. Penggunaan kombinasi ditemukan pada pemberian metoklopramid dan ondansetron (1 pasien). Pemberian obat antiemetika pada penelitian ditujukan untuk mengurangi keluhan mual dan muntah. Ondansetron dapat mengurangi mual dan muntah karena bekerja dengan menghambat terbentuknya ikatan serotonin dan reseptor 5HT3 sehingga rangsangan mual muntah dapat berkurang (Chow, 2010). Pemberian metoklopramide ditujukan untuk mengurangi mual dan muntah karena memiliki daya anti emetis kuat dengan menghambat reseptor dopamin di CTZ (Tjay dan Rahardja, 2007).

Penggunaan obat antitukak dalam penelitian ditemukan sebanyak 1 kasus yaitu pada rekam medis 10. Pada rekam medis 10 diketahui bahwa pasien mengalami muntah sehingga diberikan obat antitukak dengan zat aktif ranitidin HCl. Ranitidin HCl ditujukan untuk mengurangi sekresi asam lambung melalui penghambatan reseptor histamin-H2 sehingga keluhan mual muntah dapat dikurangi (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008).

Penggunaan obat golongan digestan dengan zat aktif pankreatin ditemukan sebanyak 1 kasus yaitu pada rekam medis 16. Pada rekam medis 16

diketahui bahwa pasien mengalami mual, muntah dan susah makan. Pemberian obat ini digunakan sebagai pengganti enzim pankreas yang membantu pencernaan karbohidrat, lemak dan protein (Badan Pengawas Makanan dan Obat RI, 2008). Berkurangnya enzim pencernaan dalam tubuh dapat menyebabkan timbulnya gas yang berlebihan pada sistem pencernaan baik di dalam lambung, usus halus, dan usus besar sehingga terjadi mual serta muntah atau gejala maag (Nurul, 2011).

Berdasarkan Lampiran 8, obat antidiare dalam penelitian ini digunakan sebanyak 4 kasus pada 3 pasien dengan pemberian secara tunggal sebanyak 2 obat dan kombinasi sebanyak 1 macam. Pemberian secara tunggal terdapat pada obat Lacto B (1 pasien) dan Zn sulfat heptahidrat (1 pasien). Pemberian kombinasi ditemukan pada pemberian Zn sulfat heptahidrat dan Lacto B sebanyak 1 pasien. Penggunaan obat antidiare dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan suplemen dan preparat kombinasi. Golongan suplemen dalam penelitian ini yang digunakan adalah Zn sulfat heptahidrat dan pada golongan preparat kombinasi digunakan probiotik. Pada penelitian ini, pasien mengalami buang air besar sebanyak 5 kali, selain itu terdapat juga pada pemeriksaan feces secara makroskopis diketahui bahwa konsistensi feces lunak dan berwarna coklat.

Menurut penelitian (Walker and Black, 2010) yang berjudul zinc for treatment of diarrhea : effect on diarrhea morbidity, mortality and incidence of future episode dapat diketahui bahwa zinc merupakan terapi yang efektif untuk diare dan dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian terutama jika digunakan di Negara dengan pendapatan yang rendah. Pemberian probiotik

(Lactobacillus) juga diharapkan dapat membantu memperbaiki keseimbangan flora usus yang terganggu akibat terjadinya diare.

Secara ringkas hasil distribusi jumlah kasus penggunaan obat saluran pencernaan disajikan pada Tabel V berikut ini:

Tabel V. Distribusi Jumlah Kasus Penggunaan Obat Saluran Pencernaan pada Pasien Asma Berdasarkan Golongan, Kelompok dan Zat Aktif Obat

Kelompok obat

Golongan Zat aktif Jumlah

Kasus

Jumlah per Kel.

Antiemetika Antagonis serotonin 5-HT3 Ondansetron 7 8

Golongan stimulan motilitas Metoklopramid 1

Antitukak Antagonis reseptor H2 Ranitidin HCl 1 1

Antidiare

Suplemen Zn sulfat

heptahidrat 2 4

Preparat kombinasi Probiotik 2

Digestan Pankreatin 1 1

Jumlah Kasus 14

3. Obat anti infeksi

Pemberian obat anti infeksi diberikan dengan tujuan untuk mengatasi kemungkinan adanya infeksi yang terjadi pada saluran pernapasan pasien. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Oemiati (2010), hasil menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan penyakit asma. Pada kelompok yang terdiagnosis ISPA memiliki 2,7 kali berisiko terkena asma dibandingkan dengan kelompok yang tidak terkena ISPA. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, perlu dipertimbangkan adanya pemberian obat anti infeksi untuk mengatasi infeksi yang terjadi pada saluran penapasan. Pemberian anti infeksi dalam penelitian ini juga ditunjang dengan adanya kenaikan leukosit, limfosit, dan monosit pada hasil pemeriksaan laboratorium pasien.

Berdasarkan Lampiran 9, penggunaan obat anti infeksi dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 41 kasus pada 27 pasien dengan pemberian secara tunggal sebanyak 5 obat dan kombinasi sebanyak 6 macam. Pemberian secara tunggal

Dokumen terkait