• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK DETERJEN CAIR KOMERSIAL PEMBANDING Sebagai pembanding produk deterjen cair yang dihasilkan digunakan SNI

dan produk deterjen komersial yang telah beredar dipasaran. Penggunaan produk komersial ini dikarenakan SNI saja tidak cukup untuk mengkatagorikan sebuah produk deterjen cair sebagai produk dengan kualitas yang baik. Sedangkan produk deterjen komersial yang telah beredar dipasaran merupakan produk deterjen yang nilai mutunya telah dapat diterima oleh konsumen pada umumnya.

Deterjen cair komersial yang digunakan sebagai produk pembanding adalah deterjen cair dengan merk YP dan YM. Produk deterjen cair yang dibandingkan adalah produk terpilih dengan kode A2B3, yaitu deterjen dengan penambahan MES 13 % dan dekstrin 2 %. Produk tersebut yang dibandingkan karena merupakan produk dengan nilai bobot skor tertinggi pada sistem pengambilan keputusan yang dilakukan. Gambar perbandingan antara deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial dapat dilihat pada Gambar 18.

Gambar 18. Panampakan visual deterjen cair (a) YM (b) A2B3 (c) YP

Dari grafik dapat dilihat bahwa deterjen cair dan yang dihasilkan masih memenuhi standar SNI dengan nilai pH 7,3. Sedangkan produk pembanding mempunyai nilai pH lebih basa dari syarat SNI, yaitu 9,32 dan produk pembanding YP mempunyai nilai pH yang memenuhi standar SNI, akan tetapi lebih asam yaitu 6,01. Dengan demikian nilai pH dari deterjen cair yang dihasilkan telah aman bagi kulit karena mendekati pH normal. Grafik perbandingan antara deterjen cair komersial dengan deterje

dapat dilihat pada Gambar 1

Gambar 19. Grafik perbandingan nilai pH antara deterjen YM, deterjen cair yang dihasilkan.

Parameter kedua y viskositas deterjen komersial

dengan nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan. Nilai viskositas tertinggi dicapai oleh deterjen cair komersial YM

viskositas deterjen cair

jika dibandingkan dengan nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan yaitu 46,06 cp. Dengan demikian perlu dilakukan modifikasi kekentalan dengan menggunakan bahan pengental yang sesuai untuk formulasi deterjen. Penambahan dekstrin dengan konsentrasi 2

pengaruh yang nyata terhadap peningkatan nilai viskositas deterjen cair. Gambar 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 YP P H

Dari grafik dapat dilihat bahwa deterjen cair dan yang dihasilkan masih memenuhi standar SNI dengan nilai pH 7,3. Sedangkan produk pembanding mempunyai nilai pH lebih basa dari syarat SNI, yaitu 9,32 dan produk

mempunyai nilai pH yang memenuhi standar SNI, akan tetapi lebih asam yaitu 6,01. Dengan demikian nilai pH dari deterjen cair yang dihasilkan telah aman bagi kulit karena mendekati pH normal. Grafik perbandingan antara deterjen cair komersial dengan deterjen cair hasil penelitian

ambar 19.

. Grafik perbandingan nilai pH antara deterjen YM, YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan.

Parameter kedua yang diuji adalah nilai viskositas. Hasil uji terhadap nilai viskositas deterjen komersial YP dan YM menunjukkan selisih yang sangat jauh dengan nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan. Nilai viskositas tertinggi dicapai oleh deterjen cair komersial YM dengan nilai 4000 cp, sedangkan nilai viskositas deterjen cair YP adalah 7587,5 cp. Nilai tersebut sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan yaitu cp. Dengan demikian perlu dilakukan modifikasi kekentalan dengan menggunakan bahan pengental yang sesuai untuk formulasi deterjen. Penambahan n dengan konsentrasi 2-4 % pada penelitian ini terbukti tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan nilai viskositas deterjen cair. Gambar

YM A2B3

batas atas SNI

40 Dari grafik dapat dilihat bahwa deterjen cair dan yang dihasilkan masih memenuhi standar SNI dengan nilai pH 7,3. Sedangkan produk pembanding YM mempunyai nilai pH lebih basa dari syarat SNI, yaitu 9,32 dan produk mempunyai nilai pH yang memenuhi standar SNI, akan tetapi lebih asam yaitu 6,01. Dengan demikian nilai pH dari deterjen cair yang dihasilkan telah aman bagi kulit karena mendekati pH normal. Grafik n cair hasil penelitian

dengan produk

ang diuji adalah nilai viskositas. Hasil uji terhadap nilai menunjukkan selisih yang sangat jauh dengan nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan. Nilai viskositas tertinggi cp, sedangkan nilai ut sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan yaitu cp. Dengan demikian perlu dilakukan modifikasi kekentalan dengan menggunakan bahan pengental yang sesuai untuk formulasi deterjen. Penambahan % pada penelitian ini terbukti tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan nilai viskositas deterjen cair. Gambar

nilai viskosits antara deterjen (A2B3) dapat dilihat pada

Gambar 20. Grafik perbandingan nilai viskositas (cp) antara deterjen dengan produk deterjen cair yang dihasilkan.

Gambar 21. Grafik perbandingan nilai bobot jenis (g/ml) antara deterjen dengan produk deterjen cair yang dihasilkan.

Nilai bobot jenis deterjen cair menunjukkan bahwa deterjen memupunyai bobot jenis yang paling tinggi yaitu 1,1646 g/ml, sedangkan mempunyai nilai yang hamp

cair hasil penelitian A2B3 mempunyai nilai bobot jenis 1, 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 YP N il ai V is k os it as ( cp ) 0,90 0,95 1,00 1,05 1,10 1,15 1,20 YP B ob ot Je n is ( g/ m l)

nilai viskosits antara deterjen YM, YP dengan deterjen cair yang dihasilkan B3) dapat dilihat pada Gambar 20.

Grafik perbandingan nilai viskositas (cp) antara deterjen dengan produk deterjen cair yang dihasilkan.

. Grafik perbandingan nilai bobot jenis (g/ml) antara deterjen dengan produk deterjen cair yang dihasilkan.

ilai bobot jenis deterjen cair menunjukkan bahwa deterjen memupunyai bobot jenis yang paling tinggi yaitu 1,1646 g/ml, sedangkan mempunyai nilai yang hampir mendekati 1 g/ml yaitu 1,0322 g/ml dan deterjen

B3 mempunyai nilai bobot jenis 1,1158 g/ml. Ketiga jenis

YM A2B3

Pembanding produk deterjen

YP YM A2B3

Pembanding produk deterjen

batas bawah SNI batas atas SNI 46,06

41 dengan deterjen cair yang dihasilkan

Grafik perbandingan nilai viskositas (cp) antara deterjen YM, YP

. Grafik perbandingan nilai bobot jenis (g/ml) antara deterjen YM , YP

ilai bobot jenis deterjen cair menunjukkan bahwa deterjen YP memupunyai bobot jenis yang paling tinggi yaitu 1,1646 g/ml, sedangkan YM r mendekati 1 g/ml yaitu 1,0322 g/ml dan deterjen g/ml. Ketiga jenis bawah SNI

42 deterjen tersebut mempunyai nilai bobot jenis yang telah memenuhi standar SNI yaitu 1,0-1,2 g/ml. Nilai bobot jenis tersebut berkaitan dengan kemampuan deterjen untuk larut dengan air dan nilai stabilitas emulsi dari deterjen cair. Grafik nilai bobot jenis dari deterjen cair komersial YM , YP serta A2B3 dapat dilihat pada Gambar 21.

Nilai bobot jenis suatu deterjen cair juga mempengaruhi nilai stabilitas emulsi deterjen cair tersebut. Semakin mendekati nilai 1 g/ml maka nilai stabilitas emulsi deterjen tersebut akan semakin baik. Dari hasil pengukuran nilai stabilitas emulsi produk A2B3 mempunyai nilai stabilitas emulsi yang paling tinggi yaitu 79,11 %. Sedangkan produk deterjen komersial mempunyai nilai stabilitas emulsi lebih rendah yaitu untuk deterjen YP dengan nilai stabilitas emulsi 63,72 % dan YM 54,23 %. Nilai stabilitas emulsi deterjen YM lebih redah dari pada YP mungkin dikarenakan pada deterjen YM proses pencampurannya kurang membentuk proses emulsifikasi yang sempurna. Grafik nilai stabilitas emulsi dapat dilihat pada Gambar 22.

Gambar 22. Grafik perbandingan nilai stabilitas emulsi (%) antara deterjen YM , YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan.

Nilai daya deterjensi produk deterjen cair A2B3 mempunyai nilai yang lebih tinggi dari pada produk deterjen cair komersial. Daya deterjensi berkaitan dengan kemampuan deterjen untuk membersihkan pakaian dari kotoran. Nilai daya deterjensi A2B3 mempunyai nilai yang paling tinggi yaitu 46 FTU. Sedangkan deterjen cair YP dan YM mempunyai nilai daya deterjensi yang

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 YP YM A2B3

Pembanding produk deterjen

S tab il it as E m u ls i (%)

43 hampir sama yaitu 37 FTU dan 36 FTU. Nilai daya deterjensi A2B3 yang lebih tinggi dari pada YM dan YP diharapkan mampu memberikan hasil pencucian yang lebih baik dari pada deterjen cair komersial. Grafik nilai daya deterjensi dapat dilihat pada Gambar 23.

Gambar 23. Grafik perbandingan nilai daya deterjensi (FTU) antara deterjen YM ,

YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan.

Daya pembusaan deterjen cair menunjukkan kemampuan deterjen cair untuk menghasilkan busa sedangkan stabilitas busa diukur dengan membandingkan daya pembusaan dengan waktu. Nilai daya pembusaan A2B3 adalah yang paling tinggi yaitu 170 ml-0,5 menit, sedangkan nilai daya pembusaan YM dan YP mempunyai nilai yang hampir sama yaitu 80 ml-0,5 menit dan 90 ml-0,5 menit. Akan tetapi jika dibandingkan nilai stabilitas busa dari ketiga deterjen tersebut A2B3 mempunyai stabilitas busa yang paling rendah yaitu 0,65 ml-5,5 menit/0,5 menit. Sedangkan YM dan YP mempunyai nilai stabilitas busa 1 ml-5,5 menit/0,5 menit.

Deterjen yang dihasilkan A2B3 mempunyai nilai daya pembusaan yang jauh lebih tinggi dari pada deterjen komersial dan mempunyai nilai stabilitas busa yang lebih rendah. Dengan demikian diharapkan deterjen tersebut mampu menghasilkan busa yang melimpah sehingga dapat memuaskan persepsi konsumen yang lebih menyukai busa yang banyak dan lebih mudah dibilas karena mempunyai nilai stabilitas busa yang lebih rendah dari deterjen komersial. Grafik

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 YP YM A2B3

Pembanding produk deterjen

D a y a D e te rj e n si (F tu )

44 tentang nilai daya pembusaan dan stabilitas busa dapat dilihat pada Gambar 24 dan Gambar 25.

Gambar 24. Grafik perbandingan nilai daya pembusaan (ml-0,5 menit) antara deterjen YM , YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan.

Gambar 25. Grafik perbandingan nilai stabilitas busa (ml-5,5 menit /0,5 menit) antara deterjen YM , YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan.

Selain semua parameter mutu diatas juga diukur total fosfat pada produk deterjen cair. Total fosfat deterjen cair ini dibandingkan untuk mengetahui sejauh mana pengurangan fosfat yang dihasilkan oleh produk deterjen cair dibandingkan dengan deterjen cair komersial. Total fosfat merupakan jumlah total fosfor yang

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 YP YM A2B3

Pembanding produk deterjen

D a y a P e b u sa a n ( ml -0 ,5 mn t) 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 YM YP A2B3

Pembanding produk deterjen

S ta b il it a s B u sa ( m l-5 ,5 m n t/ m l-0 ,5 m n t)

terkandung dalam produk deterjen cair. Pengukuran total fosfat ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran deterjen terhadap perairan.

Dari hasil pengukuran

adalah 1182,45 mg/l. Sedangakan kandungan fosfat dari deterjen komersial adalah 1314,65 mg/l dan

bahwa deterjen cair yang dihasilkan

perairan dari pada deterjen cair komersial. Grafik perbandingan kadar fosfat dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26. Grafik perbandingan nilai

dengan produk deterjen cair yang dihasilkan.

Berdasarkan syarat mutu SNI tentang

produk serbuk deterjen pencuci sintetik untuk rumah tangga fosfat dalam deterjen (diukur sebagai

(18 % berat produk). Maka produk deterjen cair yang dihasilkan telah memenuhi syarat. Hal tersebut karena penambahan STPP pada formulasi deterjen cair hanya 10% berat produk.

terkandung dalam produk deterjen cair. Pengukuran total fosfat ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran deterjen terhadap perairan.

Dari hasil pengukuran, nilai rata-rata kadar fosfat dalam produk A2B3 edangakan kandungan fosfat dari deterjen komersial adalah 1314,65 mg/l dan YP adalah 1766,85 mg/l. Data tersebut menunjukkan bahwa deterjen cair yang dihasilkan lebih sedikit menyumbang kadar fosfat dalam i pada deterjen cair komersial. Grafik perbandingan kadar fosfat dapat dilihat pada Gambar 26.

. Grafik perbandingan nilai kadar fosfat (mg/l) antara deterjen dengan produk deterjen cair yang dihasilkan.

Berdasarkan syarat mutu SNI tentang kriteria ekolabel untuk kategori produk serbuk deterjen pencuci sintetik untuk rumah tangga. Total kandungan fosfat dalam deterjen (diukur sebagai STPP) < 18 gr per 100 gr produk deterjen . Maka produk deterjen cair yang dihasilkan telah memenuhi syarat. Hal tersebut karena penambahan STPP pada formulasi deterjen cair hanya

45 terkandung dalam produk deterjen cair. Pengukuran total fosfat ini bertujuan

produk A2B3 edangakan kandungan fosfat dari deterjen komersial YM

adalah 1766,85 mg/l. Data tersebut menunjukkan lebih sedikit menyumbang kadar fosfat dalam i pada deterjen cair komersial. Grafik perbandingan kadar fosfat dapat

antara deterjen YM, YP

riteria ekolabel untuk kategori Total kandungan produk deterjen . Maka produk deterjen cair yang dihasilkan telah memenuhi syarat. Hal tersebut karena penambahan STPP pada formulasi deterjen cair hanya

46 V. KESIMPULAN DAN SARAN

A.KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan dekstrin dengan konsentrasi 0-4 % dan MES dengan konsentrasi 9-13% dari berat deterjen cair memberikan pengaruh yang nyata terhadap viskositas dan daya deterjensi. Interaksi antara MES dan dekstrin pada konsentrasi tersebut hanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap viskositas deterjen. Semakin banyak konsentrasi MES dan konsentrasi dekstrin yang ditambahkan dalam formula deterjen cair, maka akan semakin meningkatkan viskositas deterjen cair yang dihasilkan. Begitu juga dengan daya deterjensi akan naik seiring dengan kenaikan konsentrasi MES dan konsentrasi dekstrin yang ditambahkan.

Berdasarkan analisis pengambilan keputusan alternatif produk deterjen cair yang terbaik dengan mempertimbangkan parameter nilai karakteristik fisikokimia dan kinerja deterjen yang teramati, deterjen dengan penambahan MES 13 % dan dekstrin 2, 3, 4 % menunjukkan nilai bobot skor yang paling tinggi yaitu 1. Dengan mempertimbangkan biaya produksi (aspek ekonomi) maka dipilih deterjen dengan penambahan MES 13 % dan dekstrin 2 % (A2B3) sebagai produk dengan formulasi terbaik.

Nilai karakteristik fisikokimia A2B3 telah memenuhi standar SNI yaitu dengan nilai pH 7,3; viskositas sebesar 46,06 cp; bobot jenis 1,1158 g/ml; stabilitas emulsi 79,11 %; daya deterjensi 46 FTU; total fosfat 1182,45 mg/l; daya pembusaan 170 ml-0,5 menit; serta stabilitas busa 0,65 ml-5,5 menit/0,5 menit.

Analisa terhadap deterjen komersial menunjukkan keunggulan deterjen cair yang dihasilkan (A2B3) pada nilai pH yang lebih mendekati normal, total fosfat, stabilitas emulsi, daya pembusaan serta nilai daya deterjensi. Dengan demikian diharapkan deterjen cair yang dihasilkan mampu untuk diaplikasikan sebagai deterjen untuk pencuci pakaian yang mempunyai daya cuci yang lebih baik dari pada deterjen komersial yang telah ada dipasaran selama ini.

47 B.SARAN

1. Nilai viskositas deterjen yang dihasilkan masih jauh lebih rendah dari pada deterjen komersial, untuk itu perlu dicari thickener yang cocok untuk digunakan pada deterjen cair berbasis MES.

2. Tidak menggunakan builders yang berbahan dasar fosfat (misalnya; zeolit) untuk mengurangi pencemaran fosfat di perairan.

48 DAFTAR PUSTAKA

Acton, W. 1976. The Manufacture of Dextrin and British Gums dalam Radley, J. A Starch Production Technology Applied Sci. Publisher Ltd, London Anonim. 2009. Development of The Detergent Industry. www.chemistry.co.nz.

[7 September 2009]

ASTM. 2002. D 3050-92 : Standard Guide for Measuring Soil Removal From Arttiticially Soiled Fabric.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2002. Statistik Impor Indonesia. BPS, Jakarta. Bhairi, M. 2001. Detergent A Guide To the Properties and Uses A Detergent in

Biological System. Calbiochem, Nova Biochem Corporation.

Bird, T. 1993. Kimia Fisika untuk Universitas. PT. Gramedia, Jakarta.

Blaber, M. 1996. Properties of Liquids: Viscosity and Surface Tension. In Chemistry1.From:http://wine1.sb.fsu.edu.chm1045/notes/forces/liquids/f orces03.htm [11 Oktober 2003]

Broze, G. 1999. Handbook of Detergents: Part A; Properties. Marcel Dekker, Inc., New York.

Cognis: Product Data Sheet Ceti01 HE; Revision 4-07/2003.

De Groot, E. H. 1991. Detergency. Di dalam Baileys Industrial Oils and Fats Product. Wiley Interscience Publisher, New York – USA.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan

Lingkungan Perairan. Kanisius : Yogyakarta

Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. 2nd Edition, Revised, Expand. Marcel Dekker, Inc., New York.

Furia, T. E. dan Bellanca. 1975. Fenaroli’s Handbook of Flavour Ingredients: Synthetic Flavours. Volume II. CRC Press: Calofornia.

Gervasio, G.C. 1996. Detergency. Di dalam Baeiley’s Industrial Oil and Fats Products. Wiley Interscience Publisher, New York – USA.

Greenberg, A., et.,al. 1954. Handbook of Comestic Materials, Interscience Publisher Inc., New York

Gunter, J. and Lohr. 1987. Detergents and Textil Washing Principles and Practice. Verlagsgesellschaft: Weinheim Jerman.

Hanson, A. L. 1992. Encyclopedia of Science and Technology Vol-5 7th edition. Mc Graw-Hill, Inc.

Hargreaves, T. 2003. Chemical Formulation : an overview surfactant-based

49 Hidayati, S., Ilmi dan P. Permadi. 2008. Optimasi Proses Sulfonasi untuk Memproduksi Metil Ester Sulfonat dari Minyak Sawit Kasar. Jurnal. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II. 2008, 17-18 November 2008. Universitas Lampung.

Ilyani, A.S. 2002. Kiat Memilih Deterjen: Banyak Busa Belum Tentu Lebih

Bersih. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Ismayanti, 2002. Aplikasi Gelatin Tipe B sebagai Bahan Pengental (Thickening

Agents) pada Shampoo. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian.

Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Lewis, R. 1989. Food Additive Handbook. Chapman Hall Thompson Publ. Co: New York.

Lynn, J.L. 2005. Detergents and Detergency. Di dalam Fereidoon S. (Eds.). 2005. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products From Oil and Fats. John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.

Matheson, K.L. 1996. Surfactant Raw Materials; Clasification, Syntesis, uses. Di

dalam Soap and Detergent, A Theoretical and Partical Review. AOCS

Press, Champaign- Illinois, USA.

Pore, J. 1983. Oils and Fats Manual. Intercept Ltd., Andover-UK.

Priyanto, H. 1990. Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman Dalam Hidrogen Peroksida (H2O2) Terhadap Kualitas Pemutihan Rotan Sega (Calamus

caesius BI). [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian

Bogor: Bogor.

Respati. 1992. Dasar-dasar Ilmu Kimia untuk Universitas. Rineka Cipta, Yogyakarata.

Sasser, S.L. 2001. Consumer Desaign Making Contest 2001-2002 Study Louide

Loundry Detergent. Texas Agriculture Extension Service.

Satterhwaite, R.W. dan D.J. Iwinski. 1973. Starch Dextrins. Di dalam Whistler, R.L. Industri Gums Polysaccharides and Their Derivatives. Academics Press, New York.

Savitri, M. 2003. Kajian Pengaruh Konsentrasi Katalis dan Lama Reaksi Pada Proses Sulfonasi Metil Ester. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, IPB: Bogor.

Schueller R. dan P. Romanousky. 1998. Cosmetic and Toiletries Magazine:

Understanding Emulsion. Allured Publishing Corp., Illinois-USA.

Sittig, M. 1979. Detergent Manufacture Including Zeolit, Builders, and Other

New Maerial. Nayer Data Corporation. New Jersay ; USA.

Soap and Detergent Association (SDA-Amerika). 2003. Understanding Cleaning

Chemicals. www.cleaning101.com. [30 Oktober 2009].

Srivastava, S.B. 1986. Soap. Detergent and Parfume Industry. Small Industry Research Institute. Roop Nayor. New Delhi. India.

50 Stubenrauch, C., et.,al. 2003. Tenside Surfactants Detergents: A New Experimental Technique to Measure the Drainage and Life Time of Foams. Hanser, Deutschland-Munchen.

Suryani, A., I. Sailah, dan E. Hambali. 2000. Teknologi Emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Bogor.

Waistra, P. 1996. Encyclopedia of Emulsion Technology. Tire Dekkle Inc., New York- USA.

Watkins, C. 2001. Surfactants and Detergent: All Eyes are no Texas. Inform 12: 1152-1159.

Wittcoff, H. A. dan B. G. Reuben. 1980. Industrial Organic Chemicals in

Perspective 2nd. John Wiley & Sons: New York.

Woollat, E. 1985. The Manufacture of Soaps, Other Detergent and Glycerine. Ellis Horwood Ltd., West Sussex-England.

52 Lampiran 1. Prosedur analisis surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES)

1. Tegangan permukaan (Zajic dan Steffens, 1984)

Air dimasukkan ke dalam gelas (diameter minimum 45 mm) yang betul-betul bersih. Lingkaran logam (terbuat dari platinum-iridium) dibersihkan dengan alkohol. Suhu cairan sampel diukur dan dicatat. Posisi alat diatur supaya horizontal dengan water pas. Selanjutnya gelas berisi sampel dipasang pada meja kecil dibawah tangan torsion. Lingkaran dicelupkan ke dalam sampel (lingkaran logam tercelup 3-5 mm di bawah permukaan cairan). Tangan torsion dilepaskan dan sekrup kanan diputar sampai jarum penunjuk berimpit dengan garis pada kaca. Sekrup di bawah skala depan diputar sampai skala vernier mulai pada nol. Meja kecil diturunkan sedikit demi sedikit dengan sekrup di bawah meja dan pada waktu yang sama sekrup kanan diputar sedemikian rupa sehingga jarum penunjuk tetap berimpit dengan garis pada kaca. Proses ini diteruskan sampai film cairan tepat diputuskan. Kemudian skala dibaca dan dicatat sebagai nilai tegangan permukaan.

Pengukuran penurunan tegangan permukaan dilakukan dengan cara yang sama dengan pengukuran tegangan permukaan air. Sampel yang digunakan adalah campuran antara air dan MES (1:1). Penurunan tegangan permukaan di hitung sebagai selisih antara nilai tegangan permukaan air dengan nilai tegangan permukaan air-MES.

2. Tegangan antar muka (Zajic dan Steffens, 1984)

Kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka dilakukan pada campuran air dengan xylen (1:1), diukur menggunakan tensiometer du Nouy. Konsentrasi surfaktan yang ditambahkan adalah 10 % (dalam campuran xylene-air). Nilai tegangan antar muka antara air dan xylene setelah ditambahkan surfaktan diukur kembali. Kemudian dibandingkan nilai tegangan antar muka antara sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan.

3. Deterjen keasaman (pH)

53 Lampiran 2. Prosedur analisa produk deterjen cair

1. pH (SNI 06-4075-1996)

Pengukuran pH menggunakan pH meter. Pada awal pengukuran dilakukan pengkalibrasian pH meter dengan larutan buffer. Larutan buffer yang digunakan adalah larutan dengan pH 4 dan 7. Elektroda dicelupkan ke dalam sampel dan nilai yang terbaca pada layar digital merupakan pH sampel.

2. Viskositas

Sebanyak 120 ml sampel diukur viskositasnya dengan spindle nomor dua dengan kecepatan 30 rpm. Nilai yang terbaca dikalikan dengan faktor konversi 10 dengan satuan centipoises (cp).

3. Bobot Jenis (SNI 06-4075-1996)

Piknometer dibersihkan dan dikeringkan. Piknometer kering ditimbang dan dicatat beratnya sebagai A, kemudian diisi dengan air destilasi dan direndam dalam air dingin hingga suhunya mencapai 25°C. Piknometer berisi air destilata dikeluarkan dari rendaman dan didiamkan hingga mencapai suhu ruang untuk ditimbang dan dicatat beratnya sebagai B. Nilai volume pikometer diperoleh dengan perhitungan berikut;

Hal yang sama dilakukan dengan mengganti air destilata dengan sampel dan beratnya dicatat sebagai C. Bobot jenis sampel diperoleh dengan perhitungan berikut:

4. Stabilitas Emulsi (Acton dan Saffle, 1970)

Sejumlah bahan emulsi yang sudah ditimbang seberat 5 gram dimasukkan ke dalam wadah aluminium. Wadah dan bahan tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45ºC selama satu jam kemudian bersuhu 0ºC selama satu jam. Selanjutnya dipanaskan kembali dalam oven dengan suhu 45ºC dan dibiarkan

Vpiknometer = (B – A)* BJ air pada suhu pengukuran

54 sampai beratnya konstan. Rumus untuk menghitung stabilitas emulsi adalah sebagai berikut:

5. Daya pembusaan dan stabilitas Busa (Malayasian Palm Oil Board, 2001) Larutan sampel 0.1% sebanyak 200 ml diblender pada kecepatan level satu selama tiga detik, kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur 500 ml. Volume busa dicatat setelah didiamkan selama 0.5 menit dan 5.5 menit. Nilai daya pembusaan adalah volume busa setelah pendiaman selama 0.5 menit. Stabilitas busa adalah perbandingan volume busa ketika 5.5 menit terhadap volume busa 0.5

Dokumen terkait