• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORMULASI DETERJEN CAIR: PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES) Oleh IKA NURIYANA FAUZIAH F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FORMULASI DETERJEN CAIR: PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES) Oleh IKA NURIYANA FAUZIAH F"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

FORMULASI DETERJEN CAIR: PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES)

Oleh

IKA NURIYANA FAUZIAH F34053091

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

FORMULASI DETERJEN CAIR: PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

IKA NURIYANA FAUZIAH F34053091

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

FORMULASI DETERJEN CAIR: PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

IKA NURIYANA FAUZIAH F34053091

Dilahirkan pada tanggal 17 Oktober 1987 di Pati Tanggal Kelulusan : 3 Desember 2009

Menyetujui,

Dr. Ir. Mulyorini R, M.Si Dr. Indah Yuliasih, STP., M.Si Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(4)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

FORMULASI DETERJEN CAIR: PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

IKA NURIYANA FAUZIAH F34053091

Dilahirkan pada tanggal 17 Oktober 1987 di Pati Tanggal Kelulusan : 3 Desember 2009

Menyetujui,

Dr. Ir. Mulyorini R, M.Si Dr. Indah Yuliasih, STP., M.Si Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian

(5)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Formulasi Deterjen Cair: Pengaruh Konsentrasi Dekstrin dan Metil Ester Sulfonat (MES)” adalah karya saya sendiri, dengan arahan dosen. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2009 Yang membuat pernyataan,

Ika Nuriyana Fauziah F34053091

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 17 Oktober 1987. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di MI Nihayatur Rogibhin Sundoluhur pada tahun 1999. Pada tahun 2002, penulis menyelesaikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 2 Kayen dan pada tahun 2005 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 2 Pati.

Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapangan pada tahun 2008 di PT. Dua Kelinci dengan judul “Mempelajari Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Teh Siti di PT. Dua Kelinci Pati-Jawa Tengah.

Penulis melakukan penelitian dengan judul Formulasi Deterjen Cair: Pengaruh Konsentrasi Dekstrin dan Metil Ester Sulfonat (MES) sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dibawah bimbingan Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si. dan Dr. Indah Yuliasih, STP., M.Si.

(7)

Ika Nuriyana Fauziah F34053091. Formulasi Deterjen Cair: Pengaruh Konsentrasi Dekstrin dan Metil Ester Sulfonat (MES). Di bawah bimbingan Mulyorini Rahayuningsih dan Indah Yuliasih.

RINGKASAN

Deterjen merupakan campuran dari bahan-bahan khusus untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada suatu permukaan. Formulasi deterjen terdiri dari bahan utama yaitu surfaktan. Surfaktan yang banyak digunakan dalam industri deterjen saat ini adalah LAS (Linier Alkylbenzen

Sulfonat). LAS berasal dari petroleum sehingga sulit untuk didegradasi oleh

bakteri dalam perairan.

MES (Metil Ester Sulfonat) merupakan surfaktan yang berbasis minyak kelapa sawit sehingga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan LAS. Keunggulan MES diantaranya dapat diperbaharui, biodegradable, dan pada kondisi air sadah kinerja produk pembersih yang dihasilkan lebih baik dibandingkan surfaktan berbasis petroleum.

Selain deterjen dengan daya deterjensi yang baik, konsumen juga menginginkan bentuk fisik deterjen yang baik. Oleh karena itu dalam penelitian ini selain mengkaji pengaruh suraktan MES juga mengkaji tentang pengaruh penggunaan pengental untuk menciptakan karakteristik deterjen yang baik. pengental yang digunakan dalam penelitian ini adalah dekstrin.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi MES dan dekstrin terbaik untuk diaplikasikan pada produk deterjen cair. Deterjen cair yang dihasilkan diaplikasikan untuk pencucian pakaian. Konsentrasi terbaik ditentukan berdasarkan sifat fisikokimia dan kinerja dari deterjen cair yang dihasilkan dengan menggunakan software analisa keputusan CDP (Criterium Decision Plus). Pengukuran sifat fisikokimia meliputi pH, viskositas, bobot jenis, dan stabilitas emulsi. Sedangkan pengukuran kinerja dari deterjen cair yang dihasilkan meliputi daya pembusaan, stabilitas busa dan daya deterjensi.

Penelitian ini diawali dengan pembuatan surfaktan MES. Selanjutnya dilakukan pembuatan deterjen cair dengan konsentrasi MES 9 %, 11 %, 13 %, dan konsentrasi dekstrin 0 %, 2 %, 3 %, 4 %, serta formula tanpa penambahan MES dan dekstrin sebagai kontrol. Pada tahap berikutnya dilakukan pengukuran sifat fisikokimia dan kinerja produk deterjen cair yang dihasilkan. Pada tahap akhir dilakukan pengukuran karakteristik fisikokimia dan kinerja deterjen cair komersial sebagai pembanding.

Berdasarkan analisis pengambilan keputusan maka dipilih deterjen dengan penambahan MES 13% dan dekstrin 2% (A2B3) sebagai produk dengan formulasi terbaik. Nilai karakteristik fisikokimia A2B3 telah memenuhi standar SNI yaitu dengan nilai pH 7,3; viskositas sebesar 46,06 cp; bobot jenis 1,1158 g/ml; total fosfat 1182,45 mg/l; stabilitas emulsi 76,11 %; daya deterjensi 46 FTU; daya pembusaan 170 ml-0,5 menit; serta stabilitas busa 0,65 ml-5,5 menit/0,5 menit.

(8)

Pengukuran karakteristik fisikokimia dan kinerja produk deterjen cair komersial dilakukan terhadap dua jenis merk, YB dan YM. Nilai pengukuran yang teramati untuk pH berturut-turut menghasilkan nilai pH sebesar 6,01 dan 9,32; viskositas sebesar 7587,5 dan 4000 cp; nilai stabilitas emulsi sebesar 63,22 dan 54,23%; daya pembusaan sebesar 90 dan 80 ml; stabilitas busa sebesar 1 untuk kedua merk; dan nilai daya deterjensi sebesar 37 dan 36 FTU. Analisis terhadap deterjen cair komersial menunjukkan bahwa deterjen cair yang dihasilkan lebih unggul pada nilai stabilitas emulsi, daya pembusaan dan daya deterjensi.

(9)

Ika Nuriyana Fauziah F34053091. Formulation of Liquid Detergent: Dextrins dan Metil Ester Sulfonat (MES) Concentration Influence. Supervised by Mulyorini Rahayuningsih dan Indah Yuliasih.

SUMMARY

Detergent is a product which produced from mixture of materials. Detergent is a cleaning agent. Formula of detergent consists of main material namely surfactant. Surfactant is recently common to be used in detergent industrial is LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat). LAS is made from petroleum, that is difficult to degrade by bacteria in water.

MES (Metil Ester Sulfonat) which is oleochemically based, has few competitive adventages than LAS. It is renewable, biodegradable, high tolerant to hard water and accounted for their superior characteristics than any other surfactants.

Detergent which is produced must have good detergency. On the other hand, consumer also likes detergent with high viscosity. Therefore in this research, besides study about influence of MES concentration also study about influence of thickener to be applicated in liquid detergent. Dextrin is the one of thickener that is used in this formula detergent.

The objectives of the research is to find the best consentration of MES and dextrin to be applicated in liquid detergent. The best concentration of MES and dextrin was decided by CDP (Criterium Decision Plus) in accordance to its physicochemical characteristics and its performance as laundry detergent. The measurement of physicochemical characteristics comprised of acidity, viscosity, density, and emulsion stability. Resulted liquid detergent’s performance was evaluated by means of foaming and cleaning characteristics.

The research was preceeded with producing MES. It was followed with applicating MES and dextrin in liquid detergent. The application of MES ranged as follows, 9 %, 11 %, 13 %, and dextrin ranged as follows, 0 %, 2 %, 3 %, 4 %. Blanko is made without addition MES and dextrin concentration in this formulation. The liquid detergents were evaluated for its physicochemical characteristics and performance. The last steps is compare product with commercial liquid detergent.

Based on decision making analysis, detergent with MES concentration 13 % and dextrins concentration 2 % (A2B3) as the best formulation of liquid detergent on this research. This product has characteristics that are pH 7,3; viscosity 46,06 cp; density 1,1158 g/ml; phosphate total 1182,45 mg/l; emulsion stability 76,11 %; detergency 46 FTU; foaming power 170 ml-0,5 second; and foam stability 0,65 ml-5,5 second/0,5 second.

Two commercial liquid detergent, YB and YM, were choosen as reference. Their measured characteristics are follows: acidity (pH) 6,01 and 9,32; viscosity 7587,5 and 4000 cp; emulsion stability 63,22 and 54,23%; foaming power 90 and 80 ml-0,5 second; foam stability 1 ml-5,5 second/0,5 second for both brands; and detergency 37 and 36 FTU. It was recorded that resulted detergent exhibited higher emulsion stability, foaming power and detergency.

(10)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Deterjen merupakan bahan pembersih yang umum digunakan oleh masyarakat, baik oleh rumah tangga, industri, perhotelan, rumah makan, dan lain-lain. Berdasarkan bentuknya deterjen yang beredar di pasaran dapat berupa deterjen bubuk, dan deterjen cair. Deterjen cair pada umumnya mempunyai fungsi yang sama dengan deterjen bubuk. Hal yang membedakan keduanya adalah bentuknya, yaitu dalam bentuk bubuk dan cair. Deterjen cair banyak digunakan dalam pembersih alat-alat dapur. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, deterjen cair juga banyak diaplikasikan untuk kebutuhan industri, serta pembersih pakaian. Hal tersebut dikarenakan deterjen cair lebih mudah cara penanganannya serta lebih praktis dalam penggunaannya.

Deterjen yang beredar di pasaran pada umumnya merupakan deterjen dengan bahan aktif berupa surfaktan LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat) berasal dari petroleum. Masalah yang timbul akibat penggunaan surfaktan LAS adalah masalah biodegradasi. Selama penggunaannya deterjen sulit untuk didegredasi oleh bakteri dalam air, sehingga limbah deterjen tetap berada dalam air, oleh karena itu terjadi akumulasi jumlah deterjen dalam air. Akumulasi deterjen dalam air dapat menjadi sumber pencemaran dalam air. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan terutama pada habitat air. Masalah lain yang timbul adalah adanya keterbatasan tersedianya bahan baku LAS yaitu petroleum, karena merupakan sumber daya alam yang tidak terbaharui.

Pergeseran zaman ke era produk yang lebih ramah lingkungan mendorong industri untuk menciptakan deterjen yang ramah lingkungan. Penyelesaian terhadap masalah tersebut dapat diatasi dengan menggunakan surfaktan yang berbahan baku oleokimia. Salah satu contoh surfaktan yang berbahan baku oleokimia adalah Metil Ester Sulfonat (MES).

MES merupakan surfaktan yang berasal dari hasil sulfonasi metil ester. MES memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan LAS, yaitu; pada kondisi air sadah MES memiliki kemampuan deterjensi yang lebih baik dari pada dibandingkan surfaktan anionik lain. Dengan kata lain, MES memiliki toleransi

(11)

2 yang tinggi terhadap keberadaan ion kalsium. Surfaktan MES dibandingkan surfaktan LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat), dengan konsentrasi yang sama memiliki daya deterjensi yang lebih tinggi (Watkins, 2001). Selain itu MES juga lebih bersifat biodegradable.

Penelitian ini bermaksud untuk menjawab masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh deterjen, dengan formulasi deterjen menggunakan surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) yang lebih mudah didegradasi, diharapkan dapat tercipta deterjen yang ramah terhadap lingkungan. Pada penelitian ini akan dikaji pengaruh konsentrasi surfaktan MES terhadap daya deterjensi deterjen, sehingga deterjen yang dihasilkan mempunyai daya deterjensi yang baik, lebih aman dan ramah lingkungan.

Formulasi deterjen cair pada umunya terdiri dari bahan utama yaitu surfaktan, builder, air, serta zat pengental. Formulasi yang tepat dalam pembuatan deterjen cair sangat penting untuk dapat menciptakan produk deterjen cair dengan kualitas yang baik sesuai dengan permintaan konsumen. Selain deterjen dengan daya deterjensi yang baik, konsumen juga menginginkan bentuk fisik deterjen yang baik. Oleh karena itu dalam penelitian ini selain mengkaji pengaruh surfaktan MES juga mengkaji tentang pengaruh penggunaan pengental untuk menciptakan karakteristik deterjen yang baik. Pengental yang digunakan dalam penelitian ini adalah dekstrin.

Dekstrin merupakan hasil modifikasi pati dengan cara hidrolisis. Dekstrin banyak dimanfaatkan sebagai sebagai zat pengental dalam industri makan. Dekstrin mempunyai sifat aman untuk dikonsumsi karena berasal dari bahan alami. Selain itu menurut Satterwaite dan Iwinski, (1973) dekstrin merupakan hasil hidrolisis pati dengan asam atau enzim. Hidrolisis pati tersebut akan menghasilkan berat molekul yang lebih kecil dan lebih mudah larut dalam air, terutama air panas. Dalam pembentukan dekstrin juga terjadi transglukosilasi yaitu perubahan ikatan α-D-(1,4)-glukosidik menjadi ikatan α-D-(1,6)-glukosidik. Perubahan ikatan ini menyebabkan dekstrin lebih cepat terdispersi, tidak kental dan lebih stabil dari pati asalnya.

(12)

3 Sesuai dengan karakteristik dan kelebihan dekstrin yaitu aman, ramah lingkungan, lebih mudah larut dalam air serta lebih stabil dalam suatu larutan, maka penggunaan dekstrin sebagai zat pengental dalam pembuatan deterjen cair, diharapkan dapat meningkatkan sifat stabilitas emulsi dan viskositas deterjen cair yang dihasilkan sehingga sesuai dengan permintaan pasar. Selain itu penggunaan dekstrin diharapkan mendukung terciptanya deterjen yang ramah lingkungan. Hal tersebut dikarenakan dekstrin merupakan hasil modifikasi pati yang dapat didegradasi dengan baik oleh bakteri di lingkungan.

B.TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi penggunaan dekstrin dan surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) terhadap karakteristik serta daya kerja deterjen cair.

(13)

4 II.TINJAUAN PUSTAKA

A.DETERJEN CAIR

Deterjen cair didefinisikan sebagai larutan surfaktan yang ditambahkan bahan-bahan lain untuk memberikan warna dan aroma yang diinginkan, dan juga untuk menyesuaikan viskositas dan mempertahankan karakteristik aslinya selama masa penyimpanan hingga penggunaan (Woolat, 1985).

Bhairi (2001), menambahkan deterjen merupakan molekul amfipatik,yaitu suatu senyawa yang mengandung gugus polar dan nonpolar, sehingga dikenal juga sebagai surfaktan karena dapat menurunkan tegangan permukaan air. Berdasarkan gugus hidrofiliknya, deterjen secara umum diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu;

1. Deterjen ionik, memiliki gugus muatan yang terdiri dari deterjen anionik bermuatan negatif dan deterjen kationik bermuatan positif. Deterjen ini efisien untuk memecah ikatan protein-protein.

2. Deterjen nonionik, tidak memiliki muatan, secara umum deterjen ini lebih baik untuk memecah ikatan lemak-lemak atau lemak-protein dibandingkan dengan ikatan protein-protein.

3. Deterjen zwitterionik, merupakan kombinasi antara deterjen ionik dengan deterjen nonionik.

Deterjen cair merupakan suatu emulsi yang terdiri dari bahan-bahan dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Untuk memformulasikan komponen-komponen deterjen cair di dalam formula tunggal diperlukan suatu sistem emulsi dengan karakteristik yang baik. Menurut Schueller dan Ramanowsky (1998) emulsi adalah sistem heterogen dimana terdapat sedikitnya satu jenis cairan yang terdispersi di dalam cairan lainnya dalam bentuk droplet-droplet kecil. Emulsi dapat distabilkan oleh molekul-molekul surfaktan yang membentuk agregat melalui pembentukan lapisan pelindung antara fase terdispersi dan pendispersi. Sedangkan menurut Suryani et. al. (2000) sistem emulsi mampu mencampurkan berbagai macam bahan yang memiliki perbedaan kepolaran ke dalam satu campuran yang homogen.

(14)

5 Di dalam SNI (06-0475-1996), deterjen cair dikategorikan sebagai pembersih berbentuk cair yang dibuat dari bahan dasar deterjen dengan penambahan bahan lain yang diizinkan dan digunakan untuk mencuci pakaian serta alat dapur, tanpa menimbulkan iritasi kulit. Terdapat dua kelompok deterjen cair, yaitu yang digunakan dalam pencucian pakaian (kelompok P) dan yang digunakan dalam pencucian alat-alat dapur (kelompok D). Pada penelitian ini deterjen yang dihasilkan akan diaplikasikan untuk keperluan mencuci pakaian. Standar SNI (06-0475-1996) untuk deterjen cair yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu deterjen cair menurut SNI

No. Kriteria Satuan Persyaratan

1 Keadaan: Bentuk

Bau dan warna

- -

Cairan homogen Khas

2 pH 25o C - 6 – 8

3 Bahan aktif % Min. 10

4 Bobot jenis g/ml 1.0 – 1.2 5 Total mikroba Koloni/g Maks 1 x 105 Sumber : SNI 16-4075-1996

B.METIL ESTER SULFONAT (MES)

Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan kelompok surfaktan anionik

(Matheson, 1996). MES dapat diperoleh melalui reaksi sulfonasi metil ester. Metil ester diperoleh dengan melakukan reaksi esterifikasi terhadap asam lemak atau transesterifikasi langsung terhadap minyak/lemak nabati dengan alkohol (Gervasio, 1996). Minyak/lemak yang digunakan dapat diperoleh dari minyak kelapa sawit (CPO/PKO). Reaksi transesterifikasi minyak/lemak dapat dilihat pada Gambar 1.

R’COOR” + R”’OH R’COOR”’ + R”OH

(15)

6 Menurut De Groot (1991) terdapat beberapa pereaksi yang dapat digunakan dalam proses sulfonasi, diantaranya gas SO3 murni, oleum, asam klorosulfonat, asam sulfat dan NaHSO3. Selama proses sulfonasi gugus sulfonat dapat terikat di dua tempat pada molekul metil ester, yaitu pada posisi alfa dan gugus ester. Bila –SO3 terikat pada kedua tempat tersebut akan terbentuk disulfonat. Selama berjalannya reaksi disulfonat bertindak sebagai sulfonator bagi metil ester yang belum bereaksi. Hal ini dilakukan dengan cara melepaskan –SO3 dari gugus ester untuk ditangkap oleh metil ester pada posisi alfa membentuk molekul MES (Gervasio, 1996).

Reaksi sulfonasi pembentukan metil ester sulfonat (MES) menurut Pore (1983) dapat dilihat pada Gambar 2. Struktur molekul MES menurut Watkins (2001) dapat dilihat pada Gambar 3.

O O

R – CH2 – C – OCH3 + NaHSO3 R – CH – C – OCH3 SO3Na

Gambar 2. Reaksi pembentukan metil ester sulfonat (Pore, 1983)

O

R – CH – C – OCH3 SO3Na

Gambar 3. Struktur molekul metil ester sulfonat (Watkins, 2001)

Pada industri deterjen yang berkembang saat ini, surfaktan yang umum digunakan adalah LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat). Namun LAS memiliki kelemahan yaitu sulit untuk di degradasi oleh lingkungan.

Beberapa karakteristik yang dimiliki oleh MES adalah sebagai berikut; pada kondisi air sadah MES memiliki kemampuan deterjensi yang lebih baik dari pada dibandingkan surfaktan anionik lain. Dengan kata lain MES memiliki toleransi yang tinggi terhadap keberadaan ion kalsium. Surfaktan MES dibandingkan surfaktan LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat), dengan konsentrasi yang sama memiliki daya deterjensi yang lebih tinggi. LAS merupakan salah satu

(16)

7 surfaktan yang dihasilkan dari minyak bumi sebagai komponen penyusun deterjen yang banyak digunakan di dunia. (Watkins, 2001)

C.DEKSTRIN

Dekstrin adalah produk yang dihasilkan dari hidrolisa pati dengan enzim tertentu atau dengan hidrolisa pati secara basah yang dikatalis dengan asam (Satterthwaite dan Iwinski, 1973). Menurut Acton (1979), dekstrin adalah produk degradasi pati sebagai hasil hidrolisis tidak sempurna pati dengan katalis asam atau enzim pada kondisi yang dikontrol. Dekstrin umumnya berbentuk bubuk dan berwarna putih sampai kuning keputihan.

Hidrolisa pati akan menghasilkan berat molekul yang lebih kecil dan lebih mudah larut dalam air, terutama air panas. Dalam pembentukan dekstrin juga terjadi transglukosilasi yaitu perubahan ikatan α-D-(1,4)- glukosidik menjadi ikatan α-D-(1,6)-glukosidik. Perubahan ikatan ini menyebabkan dekstrin lebih cepat terdispersi, tidak kental dan lebih stabil dari pada pati asalnya (Satterthwaite dan Iwinski, 1973). Sedangkan menurut Furia (1975) dekstrin merupakan hasil modifikasi pati yang dilakukan dengan memecahkan ikatan glukosida pada rantai molekulnya. Konversi pati tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas dari pati aslinya, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipergunakan pada konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati aslinya.

Menurut Fennema (1985), apabila dekstrin dilarutkan ke dalam air, maka gugus-gugus hidroksil dari monomer-monomer dekstrin (unit-unit D-glukosa) akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air di sekitarnya. Gugus hidroksil akan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil lainnya dari sesama monomer sehingga terbentuk kristal apabila air dihilangkan dengan cepat misalnya dengan proses pengeringan atau penggorengan. Jika dalam suatu bahan terdapat molekul-molekul polar seperti alkohol, ester dan keton (komponen-komponen flavour), maka (komponen-komponen-(komponen-komponen tersebut akan menggantikan posisi molekul air dan terperangkap ke dalam matriks yang amorf. Struktur molekul dekstrin dapat dilihat pada Gambar 4.

(17)

8 Gambar 4. Struktur Molekul Dekstrin (Fennema, 1985)

Menurut Lewis (1989), dekstrin merupakan bahan yang aman (Generally

Recognize as Safe), tidak beracun dan tidak berbahaya untuk dikonsumsi manusia.

Dekstrin berfungsi sebagai thickener dan memperbaiki panampakan produk sehingga sering digunakan sebagai bahan campuran serbuk minuman, permen dan macam-macam kue. Dekstrin termasuk ke dalam bahan pengisi yang dapat menstabilkan, memekatkan, atau mengentalkan suatu larutan untuk membentuk suatu kekentalan tertentu.

D.FORMULASI DETERJEN CAIR

Formula yang digunakan dalam pembuatan deterjen cair merupakan formula yang berasal dari Matheson (1996) yang telah dimodifikasi dengan menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan dan penggunaan dekstrin sebagai bahan pengental untuk meningkatkan viskositas dan kestabilan emulsi. Formula tersebut menyebutkan bahwa deterjen cair terdiri dari surfaktan, soap,

builders, hydrotropes, other (enzymes, bleach, optical brigtener, perfume, coloring). Sedangkan menurut Bird (1983) bahwa bahan baku deterjen terdiri atas

surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta enzim. Formulasi deterjen cair menurut Matheson (1996) dapat dilihat pada Tabel 2.

(18)

9 Tabel 2. Formulasi Deterjen Cair

Bahan Konsentrasi

Surfaktan 20% - 40%

Soap 0% - 5 %

Builders 0% - 10%

Hydrotropes 5% - 10%

Others (enzymes, bleach, optical brigtener, perfume, coloring)

1% - 2%

Sumber : Matheson, 1996

Pada penelitian ini, formulasi Matheson (1996) dimodifikasi dengan menggunakan surfaktan yang ramah lingkungan yaitu MES (Metil Ester Sulfonat) dan SLS (Sodium Lauril Sulfat). Pada formulasi ini tidak dipergunakan soap dan

hydrotropes. Soap (sabun) pada formulasi ini berfungsi sebagai pembusa dan

membantu kerja surfaktan dalam membentuk emulsi. Fungsi sabun dalam formulasi tersebut telah digantikan oleh surfaktan SLS (Sodium Lauril Sulfat).

Dalam formulasi ini hydrotropes berfungsi sebagai penstabil larutan deterjen yang terbentuk serta sebagai zat tambahan yang dapat membantu melarutkan bahan-bahan pembuat deterjen yang mempunyai nilai kepolaran berbeda (Matheson, 1996). Pada formulasi yang dikembangkan, hydrotropes tidak digunakan karena pada formulasi tersebut telah ditambahkan dekstrin dan MES yang diduga dapat meningkatkan kestabilan emulsi.

1. Surfaktan

Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang mengandung hidrokarbon yang tidak larut dalam air dan hidrokarbon yang larut dalam air. Hidrokarbon yang larut dalam air dikenal dengan gugus hidrofilik, sedangkan hidrokarbon yang tidak larut dalam air disebut gugus hidrofobik/lipofilik (Matheson, 1996).

Gugus hidrofobik surfaktan terdiri dari rantai hidrokarbon C8-C18 yang dapat berupa senyawa alifatik, aromatik atau gabungan dari keduanya. Sedangkan gugus hidrofilik surfaktan dapat berupa gugus anionik, kationik atau nonionik. Menurut Ilyani (2002), surfaktan berfungsi menurunkan tegangan permukaan air, sehingga kotoran dapat lepas dari kain. Surfaktan juga berfungsi sebagai

(19)

10 emulsifier yang dapat menjaga minyak tetap terdispersi dan tersuspensi sehingga minyak tersebut tidak tepisah.

Tegangan permukaan merupakan gaya tarik menarik antar molekul dalam sebuah larutan. Setiap molekul dalam jumlah besar saling berikatan dengan molekul-molekul yang berada di dekatnya dengan kekuatan tarik yang sama besar, sehingga menimbulkan suatu lapisan yang memisahkan antara larutan dengan udara (Hargreaves, 2003).

Menurut Hargreaves (2003)ketika molekul surfaktan berada di dalam air, gugus hidrofiliknya berikatan kuat dengan molekul air (ikatan antar molekul polar), sedangkan gugus hirofobiknya (non-polar) mempunyai kecenderungan untuk menjauh dari molekul air. Gugus hidrofilik surfaktan bergerak ke permukaan air dan berikatan dengan molekul udara, sehingga membuat tegangan permukaan air menurun.

Schuller dan Romanowsky (1998), menyatakan bahwa pada konsentrasi yang cukup molekul-molekul surfaktan beragregat membentuk sebuah struktur

spherical yang disebut missel. Pada bentuk ini rantai hidrofobik berorientasi ke

dalam missel, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi ke luar missel. Pada kondisi tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan konsentrasi missel kritis (KMK) atau critical micelle concentration (CMC). Digunakan surfaktan MES dan SLS dalam formulasi deterjen cair pada penelitian ini. Ilustrasi molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Ilustrasi molekul surfaktan (Anonim, 2009)

SLS adalah surfaktan anionik, dengan viskositas larutannya dapat ditingkatkan dengan penambahan elektrolit (Gervasio, 1996). Pada suhu ruang SLS berbentuk pasta dan tidak berwarna (Cognis, 2003). Surfaktan ini memiliki daya pembusaan yang baik dan lembut terhadap kulit. Beberapa perusahaan di Inggris mengkombinasikan SLS dengan surfaktan anionik lainnya dalam formulasi deterjen cair (Woolat, 1985).

(20)

11 Pada penelitian ini menggunakan SLS dengan nama dagang Texapon N-70. Menurut Greenberg, et. al (1954), senyawa ini merupakan campuran garam natrium dari senyawa alkil sulfat primer. Rumus molekulnya adalah C12H25OSO3Na. Senyawa ini berbentuk hablur, berwarna putih atau kuning pucat, bau lemah dan khas, sangat mudah larut dalam air dan larutannya berkabut. Kegunaan senyawa ini adalah sebagai surfaktan, selain itu senyawa ini berguna sebagai bahan pembersih dan pengemulsi.

2. Builders

Builders merupakan komponen penting kedua dalam formula deterjen

karena berfungsi meningkatkan efisiensi kinerja surfaktan. Fosfat merupakan salah satu builders dalam formulasi deterjen. Sodium tripolifospat (STPP) merupakan salah satu contoh dari fosfat yang paling penting dalam pembuatan deterjen bubuk. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya mencegah kain putih menjadi keabu-abuan dan memiliki karakteristik yang memperkuat deterjen dalam mencuci ketika komponen organik deterjen tidak ada. Secara umum fungsi

sodium tripolifospat adalah meningkatkan kekuatan menghilangkan dan

mengendapkan kotoran dan membantu deterjen memiliki struktur yang baik (Sasser, 2001).

Menurut Wittcoff dan Reuben (1980), tujuan penambahan builders adalah untuk mengkelat ion-ion Ca2+ dan Mg2+. Builders dalam deterjen akan melindungi/menghalangi redoposisi kotoran akan kembali ke permukaan. Rumus bangun sodium tripolifosfat terlihat pada Gambar 6.

_

O P O P O P O 5 Na+

Gambar 6. Rumus bangun STPP (Wittcoff dan Reuben 1980) 3. Bleaching

Bleaching (pemutih) adalah bahan yang digunakan untuk memutihkan

pakaian yang dicuci. Salah satu bahan pemutih yang digunakan dalam formulasi deterjen adalah H2O2 (Hidrogen Peroksida). Menurut Broze (1999) hidrogen

(21)

12 peroksida mempunyai kecenderungan yang kuat untuk membebaskan oksigen, sehingga dapat digunakan untuk reaksi oksidasi pada suhu yang rendah. Berikut ini adalah persamaan reaksi proses pemutihan:

H2O2 + X H2O + XO (pigmen teroksidasi) 4. Parfum

Parfum merupakan campuran aromatik yang dapat berupa minyak yang berbahan alami, campuran minyak wangi yang berbahan alami dan minyak wangi berbahan sintetis. Pemberian parfum ke dalam deterjen dimaksudkan untuk memberikan aroma yang menyenangkan dan menutupi bau yang timbul pada saat pencucian (Gunter dan Lohr, 1987). Pada umumnya penggunaan konsentrasi parfum maksimal adalah 1.0 persen.

E.KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN KINERJA DETERJEN CAIR Sifat fisikokimia emulsi merupakan parameter yang menentukan kualitas system emulsi. Karakteristik fisikokimia adalah nilai pH, viskositas, bobot jenis, dan stabilitas emulsi. Sedangkan untuk menentukan kualitas kinerja produk digunakan analisa terhadap parameter daya pembusaan, stabilitas busa, daya deterjensi.

1. Nilai pH

Menurut teori asam-basa Lowry, asam sebagai zat yang mampu menghasilkan proton dan basa sebagai penerima proton. Lebih lanjut proton didefinisikan sebagai atom H yang kehilangan satu elektronnya (H+) sehingga hanya memiliki satu muatan positif, dengan massa sedikit lebih kecil dibanding atom H. Sedangkan teori asam-basa Lewis, asam sebagai radikal, ion atau molekul yang sanggup menerima elektron (Bird, 1993).

Teori Arhenius menyebutkan bahwa senyawa asam sanggup membebaskan ion hidrogen apabila dilarutkan di dalam air. Kekuatan asam (derajat keasaman) ditentukan oleh sifat basa dari pelarut yang digunakan (kemampuan menarik proton). Derajat keasaman adalah fungsi logaritmik dari konsentrasi ion H+ di dalam larutan (Respati, 1992).

(22)

13 2. Viskositas

Viskositas atau kekentalan adalah indeks hambatan alir cairan (Bird, 1993; Respati, 1992). Di dalam Kodeks Kosmetika RI (1986), viskositas didefinisikan sebagai tenaga yang diperlukan untuk menggerakkan satu permukaan lain dalam kondisi yang ditentukan, apabila ruang diantaranya diisi oleh cairan tersebut. Definisi lainnya shearing stress yang diberikan dalam luasan tertentu sewaktu diberikan kecepatan dalam gradien normal pada area tersebut (Suryani et. al., 2000).

Standar Nasional Indonesia tidak mencantumkan nilai viskositas yang harus dipenuhi oleh produk deterjen cair. Stephan Co., salah satu produsen surfaktan di Amerika menyatakan nilai viskositas sediaan pembersih cair berada didalam kisaran 500 cp hingga 2000 cp.

3. Bobot Jenis

Bobot jenis atau densitas didefinisikan sebagai berat suatu cairan per satuan volume (ASTM, 2002). Menurut Waistra (1996) nilai bobot jenis spesifik pada suhu tertentu. Bobot jenis deterjen cair ditentukan oleh bobot jenis komponen-komponen penyusunnya. Perbedaan bobot jenis komponen penyusun sebuah emulsi pada kisaran yang semakin lebar akan menurunkan stabilitas emulsi tersebut dengan meningkatnya kecederungan fenomena creaming.

4. Stabilitas Emulsi

Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh suhu, jenis dan konsentrasi emulsifier, kondisi penyimpanan dan aktivitas mikroorganisme. Pada dasarnya nilai stabilitas emulsi terkait dengan kualitas emulsi tersebut dikaitkan dengan waktu. Dengan kata lain berkaitan dengan faktor penyimpanan produk emulsi (Waistra, 1996). 5. Daya Pembusaan

Busa adalah agregat dari buih, sedangkan buih merupakan emulsi gas dalam cairan (Stubenrauch et al., 2003; Bird, 1993). Buih-buih yang saling berdekatan membentuk dinding-dinding polihedral yang saling membagi sudut menjadi 120°. Formasi tersebut mirip dengan sarang lebah. Dinding yang terbentuk dari cairan ini memisahkan fase gas dalam ruang-ruang polihedral. Pada proses pembersihan oleh deterjen cair, busa berperan dalam mempertahankan kotoran yang lepas di dalam suspensi (SDA-Amerika, 2003).

(23)

14 6. Stabilitas Busa

Busa yang dihasilkan oleh produk deterjen cair juga harus stabil agar bertahan lebih lama selama proses pencucian berjalan. Stabilitas busa dikaitkan dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging, yaitu dengan menghubungkan volume busa terhadap waktu. Selain dipengaruhi oleh jenis surfaktan, stabilitas busa dipengaruhi oleh suhu dan laju drainase (Stubenrauch et.

al., 2003).

7. Daya Deterjensi

Deterjensi adalah proses pembersihan permukaan padat dari benda asing yang tidak diinginkan dengan menggunakan cairan pencuci/perendam berupa larutan surfaktan. Sedangkan deterjen merupakan bahan yang digunakan untuk meningkatkan daya pembersihan oleh air (Hanson, 1992).

Proses deterjensi tejadi melalui pembentukan missel-missel oleh surfaktan yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses pelepasan globula zat pengotor terjadi melalui penurunan tegangan antar muka dan dibantu dengan adanya interaksi elektrostatik antar muatan (Hanson, 1992). Gambar mengenai proses pembentukan missel-missel oleh surfaktan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Proses pembentukan misel-misel oleh surfaktan (Anonim, 2009)

Sedangkan menurut Hargreaves (2003) proses deterjensi oleh deterjen adalah sebagai berikut, gugus hidrofobik surfaktan akan berikatan dengan kotoran dan gugus hidrofilik akan berikatan dengan molekul air, sehingga membawa kotoran larut dalam air. Sedangkan pada konsentrasi tinggi surfaktan akan membentuk missel dan kotoran akan di hilangkan dari permukaan kain dengan

(24)

15 melarutkannya dalam bentuk mikro emulsi. Gambar proses deterjensi dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Proses deterjensi oleh deterjen (Hargreaves, 2003)

8. Kadar Fosfat

Fosfat total merupakan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat maupun terlarut, anorganik maupun organik. Fosfor anorganik biasanya disebut soluble

reactive phosphorus, misalnya ortofosfat. Keberadaan fosfor secara berlebihan

yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga di perairan (Effendi, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian total fosfat dalam produk deterjen.

(25)

16 III. METODOLOGI PENELITIAN

A. ALAT DAN BAHAN

Alat yang digunakan adalah hotplate stirrer, reaktor labu leher tiga dan alat sentrifuse. Alat yang digunakan dalam analisis deterjen cair adalah

viscosimeter brookfield, spektrofotometer Hach DR 2000, tensiometer Du Nouy, vortex, neraca analitik, pH meter, blender, oven, autoclave, stopwatch dan

alat-alat gelas.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air, Metil Ester

Sulfonat (MES), SLS (Sodium Lauryl Sulfat), dekstrin, STPP (Sodium Tripolifosfat), hidrogen peroksida, parfum, serta bahan-bahan yang digunakan

untuk pengujian yaitu xylene, kecap manis.

B.METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu penelitian pendahuluan yang terdiri dari pembuatan MES dan analisa karakteristik MES yang dihasilkan, tahap kedua adalah penelitian utama yang terdiri dari pembuatan deterjen cair dan analisa sifat fisikokimia dan daya kerja deterjen, tahap ketiga adalah penentuan produk yang terbaik.

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk membuat Metil Ester Sulfonat (MES) sebagai bahan baku yang mempunyai karakteristik (mampu menurunan tegangan permukaan dan tegangan antar muka) sesuai yang dibutuhkan untuk pembuatan deterjen cair ramah lingkungan. MES dibuat dengan cara reaksi sulfonasi metil ester dengan NaHSO3. Perbandingan berat antara metil ester dan NaHSO3 yang digunakan adalah 1:1,5. Reaksi sulfonasi terjadi di dalam sebuah labu reaktor leher empat yang dilengkapi dengan pendingin balik, thermometer, dan rotor sebagai pengaduk. Cara pembuatan MES dilakukan dengan memanaskan metil ester diatas penangas dan terus diaduk dengan kecepatan putaran 1000 rpm. Kemudian pereaksi (NaHSO3) dimasukkan ke dalam reaktor berisi metil ester yang telah bersuhu 40°C sedikit demi sedikit hingga mencapai

(26)

17 suhu 100°C. Setelah suhu reaksi mencapai 100°C, reaktor didiamkan untuk proses sulfonasi selama 4,5 jam. Pemisahan antara MES dengan residu pereaksi dilakukan dengan sentrifugasi selama 15 menit (Savitri, 2003). Selanjutnya dilakukan pemurnian MES yang dihasilkan dengan menambahkan metanol pada suhu 50°C sebanyak 30 % dari jumlah MES, selama 1,5 jam. Pemurnian MES tersebut dilakukan dengan menggunakan alat rotary evaporator. Kemudian dilakukan pemisahan antara MES dan metanol dengan menguapkan metanol pada suhu antara 70 - 80°C selama 15 menit atau hingga tidak ada lagi aliran metanol yang telah terkondensasi. Diagram alir pembuatan MES dapat dilihat pada Gambar 8. Prosedur analisa terhadap penurunan tegangan permukaan dan tegangan antar muka MES, serta pH MES yang dihasilkan disajikan pada Lampiran 1.

Gambar 9. Diagram Alir Pembuatan Metil Ester Sulfonat (Hidayati, 2008)

Metil Ester

Proses sulfonasi pada kondisi mol reaktan 1:1,5

suhu 100°C Lama reaksi 4,5 jam (1000 rpm) Sentrifugasi 1500 rpm Selama 15 menit NaHSO3 sisa NaHSO3

Metil Ester Sulfonat Pemurnian Suhu 50°C Selama 1,5 jam Metanol Penguapan metanol Suhu 77-78° C Selama 15 menit Metanol

(27)

18 2. Penelitian Utama

Pada penelitian ini faktor perlakuan yang diujikan adalah konsentrasi surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) dan konsentrasi dekstrin sebagai bahan pengental. Taraf MES yang digunakan sebesar 9, 11, 13 persen (w/w) terhadap total massa deterjen yang dibuat, sedangkan konsentrasi dekstrin yang digunakan adalah sebesar 0, 2, 3, 4 persen (w/w) terhadap total massa deterjen yang dibuat. Blangko atau kontrol dibuat dengan tidak menambahkan MES dan dekstrin. Tabel formulasi disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Formulasi Deterjen Cair dengan Penambahan MES dan dekstrin

Nama Bahan Formula

Kontrol M1 M2 M3 MES (%) b/b 0 9 11 13 SLS (%) b/b 28 28 28 28 Dekstrin (%) b/b 0 Ai Ai Ai STPP (%) b/b 10 10 10 10 Parfum (%) b/b 1 1 1 1 Hidrogen Peroksida (%) b/b 1 1 1 1 Air (%) b/b 60 60- Ai 60- Ai 60- Ai Total 100.00 100.00 100.00 100.00 Keterangan : Ai = konsentrasi dekstrin ke i (0, 2, 3, 4%)

Proses pembuatan deterjen cair dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan penyusunnya pada suhu 60°-80° C hingga homogen, dengan keseluruhan proses selama 1-1,5 jam. Proses pertama yang dilakukan dalam pembuatan deterjen cair adalah dengan mencampur SLS, MES, H2O2 dan STPP dan diaduk sampai homogen. Selanjutnya campuran tersebut menjadi sediaan 1. Kemudian dekstrin dan air dicampur hingga homogen dan menjadi sediaan 2. Sediaan 1 dan sediaan 2 dicampur hingga homogen dan terakhir ditambahkan parfum. Diagram pembuatan deterjen secara lengkap disajikan pada Gambar 10.

(28)

19 Gambar 10. Diagram Alir Pembuatan Deterjen Cair

Analisis produk deterjen cair meliputi sifat fisikokimia deterjen cair (pH, viskositas, bobot jenis, stabilitas emulsi) dan daya kerja deterjen cair (daya pembusaan, stabilitas busa, daya deterjensi, serta total fosfat dalam limbah deterjen cair). Prosedur analisa yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2. 3. Penentuan Formulasi Terbaik

Penentuan formulasi terbaik dilakukan dengan menggunakan software CDP (Criterium Decision Plus) untuk analisa pengambilan keputusan. Analisa pengambilan keputusan bertujuan untuk menentukan sampel terbaik dari deterjen yang telah dibuat. Pengambilan keputusan dilakukan dengan pemberian nilai skor pada masing-masing parameter sifat fisikokimia dan daya kerja deterjen. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian nilai skor pada masing-masing alternatif produk berdasarkan hasil uji lanjut Duncan.

SLS 28 % MES 9; 11;13% STPP 10 % H2O2 1 % Kocok homogen Dekstrin 0; 2; 3; 4 % Aquades q.s Kocok homogen Kocok homogen Deterjen Cair Sediaan3 Sediaan 2 Sediaan 1 Parfum 1%

(29)

20 Pada tahap akhir penelitian dilakukan analisis terhadap deterjen cair komersial pembanding. Produk komersial pembanding yang digunakan adalah YM dan YP. Analisa yang dilakukan meliputi pH, viskositas, bobot jenis, stabilitas emulsi, daya pembusaan, stabilitas busa, daya deterjensi serta total fosfat dalam limbah deterjen cair komersial tersebut. Prosedur analisa terhadap deterjen pembanding sama dengan prosedur pengujian terhadap deterjen cair yang dihasilkan.

C.RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan dua faktor perlakuan. Faktor yang digunakan adalah konsentrasi dekstrin dan konsentrasi Metil Ester Sulfonat (MES). Percobaan dilakukan dengan dua kali ulangan. Model rancangan percobaan dapat dilihat sebagai berikut:

Y

=

µ + A

i

+ B

j

+ (AB)

ij

+

ε

ji (n) Dimana:

Yij = hasil pengamatan terhadap pengaruh dekstrin ke-i dan konsentrasi Metil

Ester Sulfonat (MES) ke- j pada ulangan ke - n

µ = rata-rata sebenarnya

Ai = pengaruh konsentrasi dekstrin ke-i

Bj = pengaruh konsentrasi Metil Ester Sulfonat (MES) ke-j εji (n) = galat eksperimen

(30)

21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES)

Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan hasil dari sulfonasi metil ester, yang terbuat dari minyak kelapa sawit, dengan reaktan natrium bisulfit (NaHSO3). Karakteristik MES yang dihasilkan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Metil Ester Sulfonat (MES)

Parameter Air sebelum

ditambahkan MES Air setelah ditambahkan MES Penurunan Tegangan permukaan 72 mN/m 32,13 mN/m 39,87 mN/m Tegangan antar muka 20,70 mN/m 3,40 mN/m 17,30 mN/m pH 4,20 Bobot jenis 0,87 g/ml

Metil Ester Sulfonat (MES) yang dihasilkan mampu menurunkan tegangan

air sebesar 39,87 mN/m dan tegangan permukaan air-xylene sebesar 17,3 mN/m. Tegangan permukaan air terbentuk pada suatu cairan dikarenakan adanya gaya tarik menarik antara molekul air dengan kekuatan yang sama. Gaya tarik menarik tersebut menyebabkan terbentuknya lapisan seperti kulit yang memisahkan antara air dan udara. Penurunan tegangan permukaan air akibat penambahan MES, dikarenakan MES menempati ruang-ruang diantara molekul air sehingga melemahkan ikatan hidrogen yang terbentuk antara molekul air.

Kedua hasil analisa diatas menunjukkan bahwa surfaktan yang dihasilkan mampu menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka air, sehingga layak untuk diaplikasikan pada formulasi deterjen cair yang akan dibuat.

Sifat MES yang mempunyai gugus hidrofilik dan hidrofobik menyebabkan penurunan tegangan antar muka air-xylene. Pada larutan antara air dan xylene surfaktan MES yang ditambahkan akan berada di antara molekul-molekul air dan

(31)

22 berikatan dengan xylene pada gugus hidrofobiknya sehingga terjadi penurunan tegangan antar muka air-xylene.

B.KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DETERJEN CAIR 1. Nilai pH

Deterjen cair yang dibuat dalam penelitian ini adalah deterjen cair yang digunakan dalam proses pencucian secara manual yaitu dengan tangan, sehingga nilai pH menjadi sifat fisikokimia yang penting untuk diperhatikan. Hal tersebut karena nilai pH mempengaruhi respon kulit saat kontak langsung terhadap deterjen cair pada proses pencucian. Pada pH yang relatif basa atau asam daya adsorpsi kulit menjadi lebih tinggi sehingga memperbesar resiko iritasi kulit. Menurut SNI pH deterjen cair harus berada kisaran 6-8, sehingga aman bagi kulit. Data hasil analisa pH selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Analisa keragaman (Lampiran 4) terhadap pH menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata dari penambahan MES pada konsentrasi 9, 11, 13 persen, dekstrin pada konsentrasi 0, 2, 3, 4 persen, serta interaksi dari keduanya terhadap penurunan nilai pH deterjen cair. Analisa keragaman dilakukan pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05).

Nilai pH deterjen cair yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan SNI (Standar Nasional Indonesia) yaitu nilai pH antara 6-8. Nilai pH deterjen cair bersifat netral yaitu antara 7,46-7,28. Nilai pH tersebut aman bagi kulit sehingga deterjen cair yang dihasilkan dapat digunakan dengan aman dan tidak menimbulkan iritasi kulit.

Penurunan nilai pH hanya terlihat jelas pada produk tanpa penambahan dekstrin, sedangkan pada konsentrasi dekstrin 2, 3, 4 % tidak terjadi penurunan pH secara jelas. Hal tersebut dikarenakan ada pengaruh dekstrin terhadap nilai pH deterjen cair. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai derajat keasaman (pH) dapat dilihat pada Gambar 11.

(32)

Kontrol: pH 7,55

Gambar 11. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan derajat keasaman (

Penambahan MES pada pembuatan deterjen cair menyebabkan penurunan pH deterjen dari nilai awal (kontrol) sebesar 7,

tengah pada selang kepercayaan 95 %

rata-rata terhadap nilai pH kontrol menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Pada analisi

mengalami penurunan yang berbeda nyata dengan kontrol. Hal tersebut dikarenakan nilai rata-rata populasi produk lebih kecil dari nilai rata

(µ<µo). Penurunan nilai pH tersebut menyebabkan nila

mendekati netral, sehingga tingkat kualitasnya lebih baik dari pada kontrol. Penurunan nilai

asam. MES yang ditambahkan mempunyai nilai asam yaitu 4,2, sehingga dengan penambahan MES ke dalam deterjen cair menyebabkan peningkatan konsentrasi ion hidronium (H+) yang akan bereaksi dengan ion hidroksida

antara kedua ion-ion tersebut membentuk H pH deterjen cair.

Penambahan dekstrin

nilai penurunan pH deterjen cair, sehingga tidak lagi terjadi penurunan jelas. Hal ini dikarenakan dekstrin mempunyai bentuk struktur molekul

helix yang dapat berikatan dengan komponen 6,80 7,00 7,20 7,40 7,60 7,80 8,00 0 P H Konsentrasi Dekstrin (%)

. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan derajat keasaman (pH)

Penambahan MES pada pembuatan deterjen cair menyebabkan penurunan nilai awal (kontrol) sebesar 7,55. Selain itu berdasarkan uji nilai pada selang kepercayaan 95 %, yang disajikan pada Lampiran 4,

rata terhadap nilai pH kontrol menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Pada analisis tersebut juga dapat disimpulkan bahwa pH produk mengalami penurunan yang berbeda nyata dengan kontrol. Hal tersebut rata populasi produk lebih kecil dari nilai rata-rata kontrol enurunan nilai pH tersebut menyebabkan nilai pH deterjen semakin mendekati netral, sehingga tingkat kualitasnya lebih baik dari pada kontrol.

Penurunan nilai pH oleh konsentrasi MES disebabkan oleh pH

asam. MES yang ditambahkan mempunyai nilai asam yaitu 4,2, sehingga dengan dalam deterjen cair menyebabkan peningkatan konsentrasi ) yang akan bereaksi dengan ion hidroksida (OH

ion tersebut membentuk H2O (air) yang akan menurunkan nilai

Penambahan dekstrin pada konsentrasi 2, 3, 4 % mempengaruhi grafik deterjen cair, sehingga tidak lagi terjadi penurunan

jelas. Hal ini dikarenakan dekstrin mempunyai bentuk struktur molekul yang dapat berikatan dengan komponen-komponen ester, keton, dan alkohol.

2 3 4

Konsentrasi Dekstrin (%)

MES 9% MES 11% MES 13% batas atas SNI

23 . Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin

Penambahan MES pada pembuatan deterjen cair menyebabkan penurunan itu berdasarkan uji nilai , yang disajikan pada Lampiran 4, nilai pH rata terhadap nilai pH kontrol menunjukkan adanya perbedaan yang

s tersebut juga dapat disimpulkan bahwa pH produk mengalami penurunan yang berbeda nyata dengan kontrol. Hal tersebut rata kontrol i pH deterjen semakin mendekati netral, sehingga tingkat kualitasnya lebih baik dari pada kontrol.

MES yang asam. MES yang ditambahkan mempunyai nilai asam yaitu 4,2, sehingga dengan dalam deterjen cair menyebabkan peningkatan konsentrasi (OH-). Reaksi O (air) yang akan menurunkan nilai

mempengaruhi grafik deterjen cair, sehingga tidak lagi terjadi penurunan pH secara jelas. Hal ini dikarenakan dekstrin mempunyai bentuk struktur molekul spiral en ester, keton, dan alkohol.

MES 9% MES 11% MES 13% batas atas SNI

(33)

24 MES (Metil Ester Sulfonat) merupakan senyawa ester sehingga ketika bereaksi dengan dekstrin, komponen ester tersebut akan menggantikan posisi molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan monomer-monomer dekstrin dan terperangkap di dalam matriks yang amorf. Semakin banyak MES yang terperangkap oleh dekstrin akan membuat semakin sedikit ion hidrogen yang terlarut dalam deterjen cair, sehingga penurunan pH akan lebih kecil.

2. Viskositas (Kekentalan)

Nilai viskositas dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan alat

Viscosimeter Brookfiled pada suhu ruangan. Viskositas merupakan kemampuan

suatu cairan untuk dapat mengalir atau dapat juga disebut dengan kekentalan. Nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan berkisar antara 15,8-48,2 cp. Nilai tersebut meningkat sesuai dengan penambahan konsentrasi MES. Data nilai viskositas deterjen cair dapat dilihat pada Lampiran 5.

Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 6) tehadap data nilai viskositas pada tingkat nilai kepercayaan 95 % (α = 0,05), penambahan MES mempunyai peningkatan nyata terhadap peningkatan nilai viskositas dalam taraf 9, 11, 13 %. Selain itu penambahan konsentrasi dekstrin dengan taraf 0, 2, 3, 4 % dan interaksi dari konsentrasi MES dan dekstrin juga mempunyai pengaruh nyata terhadap nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan.

Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 6) pada interaksi dari konsentrasi MES dan konsentrasi dekstrin memperlihatkan tujuh kelompok rata-rata, dimana nilai untuk penambahan MES 13 % dan dekstrin 2, 3, 4 % berada pada kelompok dengan nilai paling tinggi dan berbeda nyata pada taraf perlakuan yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan semakin banyak konsentrasi MES maka akan semakin menaikkan nilai viskositas. Sedangkan penambahan dekstrin pada konsentrasi 2, 3, 4 % pada konsentrasi MES 13 % tidak mempunyai pengaruh yang berbada nyata. Hal tersebut menunjukkan pada formula tersebut penambahan dekstrin 2, 3, 4 % tidak menunjukkan perubahan nilai viskositas yang siginifikan.

Berdasarkan uji keragaman penambahan konsentrasi dekstrin 2, 3, 4 % memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai viskositas deterjen. Hal tersebut dikarenakan dekstrin merupakan pati termodifikasi yang mempunyai sifat kelarutan lebih baik dari pada pati aslinya dan akan menaikkan viskositas, akan

(34)

25 tetapi viskositas yang dihasilkannya tidak besar. Hal ini dikarenakan dekstrin mempunyai nilai viskositas yang lebih kecil dibandingkan dengan sifat pati aslinya. Dekstrin mempunyai struktur molekul yang lebih kecil dari pada pati aslinya sehingga untuk mendapatkan viskositas yang tinggi memerlukan konsentrasi dekstrin yang lebih tinggi.

Menurut Hamid (2000), pengolahan pati menjadi dekstrin telah mengubah sifat asli pati, yaitu jika ditambahkan dengan air, dekstrin akan menyerap air lebih sedikit sehingga kekentalannya (viskositas) yang sama volumenya menjadi lebih kecil.

Pentingnya nilai viskositas deterjen cair dikarenakan konsumen pada umumnya mengasosiasikan kekentalan (viskositas) dengan konsentrasi (Woolat, 1985). Selain itu menurut Waistra (1996), kekentalan dapat meningkatkan stabilitas emulsi karena dapat menghambat proses coalescence (bersatunya misel-misel).

Pada perlakuan penambahan konsentrasi MES 11 dan 13 % terjadi kenaikan nilai viskositas produk. Hal tersebut disebabkan karena adanya proses emulsifikasi yang terjadi antara molekul-molekul MES yang mempunyai sisi hidrofilik dan hidrofobik, sehingga dapat mengikat molekul-molekul polar dan nonpolar. Grafik hubungan antara penambahan MES, dan penambahan dekstrin dengan nilai viskositas produk dapat dilihat pada Gambar 12.

Berdasarkan pada grafik nilai viskositas produk deterjen cair yang paling tinggi adalah pada penambahan MES 13 % dengan nilai viskoistas 48,1875 cp. Menurut Nurhayati (1997), dalam penelitiannya tentang penentuan nilai CMC (Critical Micelle Concentration) surfaktan dan beberapa produk pembersih dengan melakukan proses emulsifikasi dengan kenaikan surfaktan yang berbeda-beda. Selanjutnya nilai CMC ditentukan berdasarkan kenaikan nilai viskositas yang tajam. Nilai CMC sangat berkaitan dengan pembentukan missel-missel (Tadros, 1992). Dengan begitu kenaikan nilai viskositas pada produk dapat disebabkan karena pembentukan misel-misel yang lebih sempurna, akibat penambahan surfaktan.

(35)

26 Kotrol : nilai viskositas 9281,25 cp

Gambar 12. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai viskositas (cp)

Nilai viskositas deterjen yang dihasilkan mengalami penurunan sebesar 99,67 % dari nilai viskositas kontrol (blangko) yang bernilai 9281,3 cp. Penurunanan nilai viskositas tersebut menunjukkan pengaruh yang nyata atas penambahan MES dan dekstrin, serta beda nyata antara kontrol dan produk deterjen. Hal tersebut diduga dikarenakan penambahan MES dalam formulasi deterjen cair mengakibatkan surfaktan SLS berikatan dengan senyawa minyak yang masih terkandung dalam MES. Peristiwa tersebut mengakibatkan minyak yang bersifat nonpolar teradsorpsi ke dalam missel yang dibentuk oleh surfaktan SLS.

Adsorpsi tersebut dapat mengakibatkan penggelembungan missel SLS dan mengurangi rigiditasnya. Menurut Suryani et al., (2000) nilai rigiditas missel, diameter dan distribusi ukuran misel berpengaruh terhadap nilai viskositas yang didapatkan. Semakin besar ukuran missel SLS yang terbentuk maka akan mengurangi viskositas yang terbentuk pada suatu emulsi. Oleh karena itu penambahan MES dapat mengurangi nilai viskositas produk.

Berdasarkan grafik hubungan antara penambahan MES dengan nilai viskositas dapat disimpulkan bahwa penambahan MES dapat menurunkan nilai viskositas dari nilai kontrol, tetapi penambahan MES juga dapat menyebabkan kenaikan nilai viskositas produk. Meskipun penambahan MES dapat menaikkan

0 10 20 30 40 50 60 0 2 3 4 N il ai V is k os it as ( cp ) Konsentrasi Dekstrin (%) MES 9% MES 11% MES 13%

(36)

27 nilai viskositas produk akan tetapi nilai viskositas produk tersebut jauh lebih rendah dari pada nilai viskositas kontrol (tanpa penambahan MES). Hal tersebut dikarenakan dalam MES yang digunakan masih mengandung minyak (bahan-bahan nonpolar), sedangkan di sisi lain MES juga mempunyai sifat untuk menaikkan viskositas.

3. Bobot Jenis

Bobot jenis merupakan sifat fisikokimia deterjen cair yang penting untuk diperhatikan. Nilai bobot jenis deterjen cair yang dihasilkan berkisar antara 1,0252-1,1158 g/ml. Nilai tersebut mengalami penurunan dari nilai bobot jenis awal (kontrol) yaitu 1,1197 g/ml. Nilai bobot jenis dari deterjen cair yang dihasilkan telah memenuhi syarat mutu SNI (Standar Nasional Indonesia) yaitu berkisar antara 1,0-1,2 g/ml. Data hasil analisa bobot jenis dapat dilihat pada Lampiran 7.

Analisis keragaman terhadap nilai bobot jenis deterjen cair yang dihasilkan (Lampiran 8) memperlihatkan tidak adanya pengaruh nyata dari penambahan MES pada konsentrasi 9, 11, 13 %, dekstrin pada konsentrasi 0, 2, 3, 4 %, serta interaksi dari keduanya. Analisis keragaman tersebut dilakukan pada taraf kepercayaan 95 % (α = 0,05).

Bobot jenis deterjen cair akan berpangaruh pada kemampuan deterjen untuk larut dalam air serta stabilitas emulsi dari deterjen cair tersebut. Bobot jenis deterjen cair sangat dipengaruhi oleh bobot jenis komponen-komponen penyusunnya. Semakin jauh selisih bobot jenis dari komponen penyusun deterjen akan menyebabkan penurunan stabilitas emulsi dari deterjen tersebut.

Penambahan MES ke dalam formulasi deterjen cair menyebabkan bobot jenis dari deterjen menurun. Penurunan nilai bobot jenis deterjen cair hanya terjadi pada formulasi tanpa penambahan dekstrin, sedangkan pada konsentrasi dekstrin 2, 3, 4 % tidak terjadi penurunan atau peningkatan bobot jenis deterjen cair secara jelas.

Penambahan dekstrin dengan konsentrasi 2, 3, 4 % tidak lagi terjadi penurunan atau peningkatan secara jelas dari nilai bobot jenis deterjen cair yang dihasilkan. Hal tersebut karena sebagian dari komponen MES yang terperangkap

(37)

ke dalam matriks amorf

yang tidak ikut terlarut dalam deterjen cair.

Reaksi antara MES, SLS dengan dekstrin akan menyebabkan nilai bobot jenis deterjen cair yang dihasilkan sulit untuk diperkirakan. Hal tersebut dikarenakan adanya persaingan antara MES dan SLS untuk dapat berikatan dengan dekstrin. Namun dari semua sampel d

memenuhi kriteri nilai bobot jenis yang ditetapkan oleh SNI.

antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai bobot jenis deterjen cair dapat dilihat pada G

Kontrol: nilai bobot jenis 1,1197 g/ml

Gambar 13. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai bobot jenis (g/ml) deterjen cair

Nilai bobot jenis produk deterjen cair mempunyai beda nyata dengan kontrol. Hal tersebut dapat dilihat dari

dilakukan antara kontrol dan produk deterjen cair yang dihasilkan. uji nilai tengah tersebut dilakukan pada selang kep

tersebut membuat nilai bobot jenis deterjen semakin mendekati nilai 1 g/ml, sehingga akan menaikkan kualitas deterjen cair untuk dapat larut dalam air.

Penurunan nilai bobot jenis deterjen cair akibat penambahan M disebabkan karena nilai bobot jenis MES yang kurang dari 1 g/ml yaitu 0,87 g/ml. Hal ini disebabkan nilai bobot jenis MES deterjen cair dipengaruhi oleh nilai

0,9500 1,0000 1,0500 1,1000 1,1500 1,2000 0 B ob ot Je n is ( g/ m l) Konsentrasi Dekstrin (%)

amorf dekstrin, sehingga ada sebagian dari konsentrasi MES

yang tidak ikut terlarut dalam deterjen cair.

Reaksi antara MES, SLS dengan dekstrin akan menyebabkan nilai bobot jenis deterjen cair yang dihasilkan sulit untuk diperkirakan. Hal tersebut dikarenakan adanya persaingan antara MES dan SLS untuk dapat berikatan dengan dekstrin. Namun dari semua sampel deterjen cair yang dihasilkan telah memenuhi kriteri nilai bobot jenis yang ditetapkan oleh SNI. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai bobot jenis deterjen

Gambar 13.

Kontrol: nilai bobot jenis 1,1197 g/ml

. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai bobot jenis (g/ml) deterjen cair

bobot jenis produk deterjen cair mempunyai beda nyata dengan Hal tersebut dapat dilihat dari uji nilai tengah (Lampiran 8) yang dilakukan antara kontrol dan produk deterjen cair yang dihasilkan. uji nilai tengah tersebut dilakukan pada selang kepercayaan 95 %. Penurunan nilai bobot jenis tersebut membuat nilai bobot jenis deterjen semakin mendekati nilai 1 g/ml, sehingga akan menaikkan kualitas deterjen cair untuk dapat larut dalam air.

Penurunan nilai bobot jenis deterjen cair akibat penambahan M disebabkan karena nilai bobot jenis MES yang kurang dari 1 g/ml yaitu 0,87 g/ml. Hal ini disebabkan nilai bobot jenis MES deterjen cair dipengaruhi oleh nilai

2 3 4

Konsentrasi Dekstrin (%)

MES 9% MES 11% MES 13% batas bawah SNI batas atas SNI

28 dekstrin, sehingga ada sebagian dari konsentrasi MES

Reaksi antara MES, SLS dengan dekstrin akan menyebabkan nilai bobot jenis deterjen cair yang dihasilkan sulit untuk diperkirakan. Hal tersebut dikarenakan adanya persaingan antara MES dan SLS untuk dapat berikatan eterjen cair yang dihasilkan telah Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai bobot jenis deterjen

. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin

bobot jenis produk deterjen cair mempunyai beda nyata dengan uji nilai tengah (Lampiran 8) yang dilakukan antara kontrol dan produk deterjen cair yang dihasilkan. uji nilai tengah ercayaan 95 %. Penurunan nilai bobot jenis tersebut membuat nilai bobot jenis deterjen semakin mendekati nilai 1 g/ml, sehingga akan menaikkan kualitas deterjen cair untuk dapat larut dalam air.

Penurunan nilai bobot jenis deterjen cair akibat penambahan MES disebabkan karena nilai bobot jenis MES yang kurang dari 1 g/ml yaitu 0,87 g/ml. Hal ini disebabkan nilai bobot jenis MES deterjen cair dipengaruhi oleh nilai

MES 9% MES 11% MES 13%

(38)

29 bobot jenis komponen-komponen penyusunnya. Semakin kecil nilai bobot jenis komponen-komponen penyusunnya maka akan semakin kecil nilai bobot jenis dari deterjen cair yang dihasilkan.

4. Stabilitas Emulsi

Stabilitas emulsi merupakan sifat fisikokimia yang penting untuk dianalisa pada suatu sistem emulsi. Stabilitas emulsi dari suatu campuran menunjukkan tingkat kualitas emulsi tersebut. Nilai stabilitas emulsi deterjen cair yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 9.

Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 10) pada data nilai stabilitas emulsi, peningkatan konsentrasi MES dan peningkatan konsentrasi dekstrin tidak memberikan pengaruh nyata teradap stabilitas emulsi produk, sehingga tidak bisa dilakukan uji lanjut Duncan. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05).

Nilai stabilitas emulsi produk yang dihasilkan berkisar antara 79,02-87,19%. Nilai tersebut mengalami kenaikan dari nilai awalnya (kontrol) yang bernilai 56,85 %. Nilai stabilitas emulsi tertinggi terukur pada produk dengan panambahan MES sebesar 11% dan dekstrin sebesar 4 %, yaitu 87,19%. Grafik hubungan antara penambahan konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin serta interaksi antara keduanya terhadap nilai stabilitas emulsi dapat dilihat pada Gambar 14.

Dari grafik pada Gambar 14, dapat dilihat bahwa pada formula tanpa penambahan dekstrin, peningkatan konsentrasi MES dapat meningkatkan nilai stabilitas emulsi. Sedangkan pada penambahan konsentrasi dekstrin pada konsentrasi 2, 3, 4 % menyebabkan grafik stabilitas emulsi tidak lagi menunjukkan peningkatan atau penurunan nilai stabilitas emulsi. Hal tersebut dikarenakan adanya ikatan yang terjadi antara SLS dan MES dengan dekstrin dengan proporsi yang tidak pasti.

(39)

30 Kontrol: 56,85 %

Gambar 14. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai stabilitas emulsi (%) deterjen cair

Nilai stabilitas emulsi yang tertinggi dicapai pada produk dengan konsentrasi MES 11 % dan dekstrin 4 %. Pada formulasi ini diduga telah terbentuk proses emulsifkasi yang sempurna. Hal tersebut juga dapat dilihat pada grafik nilai bobot jenis, produk dengan penambahan konsentrasi MES 11 % dan dekstrin 4 % mempunyai nilai bobot jenis yang paling mendekati nilai 1 g/ml. Hal ini dikarenakan nilai bobot jenis yang semakin mendekati nilai 1 g/ml akan semakin membuat stabilitas emulsi suatu larutan menjadi lebih tinggi.

Berdasarkan uji nilai tengah (Lampiran 10) terhadap kontrol dan produk didapatkan bahwa penambahan MES menyebabkan nilai stabilitas emulsi produk deterjen cair berbeda nyata terhadap nilai stabilitas emusli kontrol. Hal ini dikarenakan penambahan MES yang digunakan dapat menurunkan tegangan diantara kedua fasa yang mempunyai nilai kepolaran yang berbeda. Sifat tersebut dapat meningkatkan nilai stabilitas emulsi suatu larutan. Ikatan yang terjadi antara MES dan SLS akan semakin meningkatkan stabilitas emulsi larutan tersebut. Hal tersebut karena MES akan membentuk ikatan yang kuat pada gugus hidrofiliknya dengan molekul-molekul polar dalam formulasi deterjen cair tersebut.

74 76 78 80 82 84 86 88 0 2 3 4 S tab il it as E m u ls i (% ) Konsentrasi Dekstrin (%) MES 9% MES 11% MES 13%

(40)

31 C.KINERJA DETERJEN CAIR

1. Daya Pembusaan

Pada penelitian ini daya pembusaan diukur sebagai kemampuan deterjen cair dalam menghasilkan busa pada konsentrasi deterjen 0,1 persen pada suhu ruang dengan menggunakan air suling (aquades) dan dalam waktu 0,5 menit. Hasil pengukuran daya pembusaan dinyatakan sebagai volume busa selama 0,5 menit (ml-0,5 menit). Data hasil analisa daya pembusaan deterjen cair dapat dilihat pada Lampiran 11.

Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 12) yang dilakukan terhadap hasil uji daya pembusaan didapatkan hasil bahwa penambahan MES dengan konsentrasi 9, 11, 13 %, penambahan dektrin dengan konsentrasi 2, 3, 4 % serta interaksi antara keduanya tidak memberikan hasil daya pembusaan yang berbeda nyata pada sampel deterjen cair yang dihasilkan. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05). Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai daya pembusaan deterjen cair dapat dilihat pada Gambar 15.

Kontrol: nilai daya pembusaan 160 ml-0,5 menit

Gambar 15. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai daya pembusaan (ml-0,5 menit) deterjen cair

0 50 100 150 200 250 300 0 2 3 4 D aya P eb u saan ( m l-0, 5 m n t) Konsentrasi Dekstrin (%) MES 9% MES 11% MES 13%

Gambar

Tabel 1. Syarat mutu deterjen cair menurut SNI
Gambar 7. Proses pembentukan misel-misel oleh surfaktan (Anonim, 2009)
Gambar 9. Diagram Alir Pembuatan Metil Ester Sulfonat (Hidayati, 2008) Metil Ester
Tabel 3. Formulasi Deterjen Cair dengan Penambahan MES dan dekstrin
+7

Referensi

Dokumen terkait