• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Konsentrasi Gelatin dan Metil Ester Sulfonat (MES) dalam Formulasi Deterjen Cair.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Konsentrasi Gelatin dan Metil Ester Sulfonat (MES) dalam Formulasi Deterjen Cair."

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Deterjen merupakan salah satu produk pembersih yang banyak dimanfaatkan pada kegiatan pembersihan untuk laundry, alat-alat rumah tangga, transportasi, kegiatan komersial dan industri metal. Berdasarkan bentuk fisiknya deterjen dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu deterjen cair, deterjen bubuk, serta deterjen krim. Deterjen cair pada umumnya mempunyai fungsi yang sama dengan deterjen bubuk. Hal yang membedakan keduanya adalah bentuknya, yaitu dalam bentuk bubuk dan cair. Deterjen cair banyak digunakan dalam pembersih alat-alat dapur. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, deterjen cair juga banyak di aplikasikan untuk kebutuhan industri, serta laundry. Oleh karena itu pada penelitian ini mencoba memformulasikan deterjen cair yang dapat digunakan untuk laundry.

Berdasarkan data statistik impor deterjen cair di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 714.497 kg, senilai US $ 436.964 (BPS, 2002). Besarnya nilai impor deterjen cair menunjukkan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap deterjen cair. Jumlah kebutuhan tersebut diperkirakan akan terus meningkat setiap tahun. Hal tersebut didorong dengan gaya hidup masyarakat yang lebih menyukai produk yang lebih praktis. Dengan demikian, peningkatan mutu produk deterjen harus dilakukan, baik dengan mengganti bahan baku, atau dengan menigkatkan kualitas bahan yang digunakan.

(2)

2 dibandingkan petroleum, yaitu berasal dari sumber daya hayati sehingga terbarukan dan beberapa surfaktan berbasis oleokimia memiliki daya kerja yang lebih toleran terhadap kondisi air sadah (Gervasio, 1996). Meskipun surfaktan merupakan komponen utama yang menyusun deterjen, cleaning effect dari produk ini tidak hanya kinerja dari surfaktan semata tetapi juga kombinasi faktor-faktor penyusun deterjen yang bekerja secara sinergis untuk menghilangkan suatu pengotor tertentu.

Daya kerja yang baik belum cukup untuk deterjen cair yang ditujukan untuk keperluan komersil. Produsen harus pandai membaca apa saja karakteristik yang diinginkan oleh konsumen terhadap produk yang dihasilkannya untuk meningkatkan daya jual, diantaranya memiliki viskositas yang baik dan memiliki busa yang banyak dan stabil. Konsumen beranggapan bahwa semakin tinggi tingkat kekentalan suatu deterjen maka daya bersihnya pun semakin baik. Oleh karena itu, selain menggunakan surfaktan berbasis oleokimia yaitu MES, formulasi deterjen dalam penelitian ini juga menambahkan gelatin sebagai pengental.

Penelitian sebelumnya, Idris (2004), telah berhasil membuat deterjen cair berbahan baku Metil Ester Sulfonat (MES). Penelitian ini juga menggunakan surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) karena surfaktan ini berbahan baku oleokimia sehingga mudah didegradasi oleh alam. Deterjen cair yang dihasilkan pada penelitian sebelumnya mempunyai tingkat kekentalan yang masih kalah jauh bila dibandingkan dengan deterjen cair komersial. Penambahan konsentrasi gelatin diharapkan dapat memperbaiki viskositas deterjen cair yang telah dibuat pada penelitian sebelumnya.

B. Tujuan

(3)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gelatin

Gelatin merupakan senyawa turunan yang dihasilkan dari serabut kolagen jaringan penghubung, kulit, tulang dan tulang rawan yang dihidrolisis asam atau basa. Susunan asam aminonya hampir mirip dengan kolagen, dimana glisin sebagai asam amino utama dan 2/3 dari seluruh asam amino yang menyusunnya, 1/3 asam amino yang tersisa diisi oleh prolin dan hidroksiprolin (Charley, 1982).

Menurut Imeson (1992), gelatin merupakan salah satu hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai gelifying agent, bahan pengental (thickening agent), atau bahan penstabil (stabilizer). Gelatin berbeda dari hidrokoloid lainnya karena pada umumnya hidrokoloid merupakan polisakarida sedangkan gelatin sendiri adalah senyawa protein.

CH2 CHOH H2C CH2 H2C CH2

N CH

CH2 NH CH2 NH N CH CO-NH CO CO CH-CO-NH CO CH-CO

R R

Gambar 1.Struktur Kimia Gelatin (Imeson, 1992)

(4)

4 gelatin dalam larutan sekurang-kurangnya 49 oC atau biasanya pada suhu 60-70 oC.

Gelatin memiliki berbagai macam kegunaan, selain sebagai bahan pengental gelatin juga berfungsi sebagai emulsifier. Emulsifier memiliki gugus polar dan nonpolar sekaligus dalam satu molekulnya sehingga gugus polar akan mengikat air dan gugus nonpolar akan mengikat minyak dalam suatu emulsi. Dalam sistem emulsi, gelatin sebagai emulsifier menempatkan dirinya pada batas antar muka dari air dan minyak sehingga tegangan permukaan dua cairan yang berbeda tersebut akan berkurang. Berkurangnya tegangan permukaan kedua cairan yang berbeda tersebut akan membuat kedua cairan tersebut menyatu dan membentuk emulsi.

Gelatin mempunyai beberapa sifat yaitu dapat berubah secara reversible dari bentuk sol ke gel, mengembang dalam air dingin, dapat membentuk film, mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat melindungi sistem koloid (Parker, 1982). Sifat fisik dan kimia gelatin terutama tergantung dari kualitas bahan baku, pH, keberadaan zat-zat organik, metoda ekstraksi, suhu, dan konsentrasi. Sifat gelatin berdasarkan tipenya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat Gelatin Berdasarkan Tipenya.

Sifat Tipe A Tipe B

Kekuatan gel (Bloom) 75 – 300 75 – 275 Viskositas (cP) 2,0 – 7,5 2,0 – 7,5 Kadar Abu 0,3 – 2,0 0,05 – 2,0

pH 3,8 – 6,0 5,0 – 7,1

Titik isoelektris 9,0 – 9,2 4,8 – 5,0 Sumber : Tourtelotte (1980)

(5)

5 gelatin dapat berbentuk bubuk, pasta, maupun lembaran. Gelatin yang berbentuk lembaran dan butiran sebelum digunakan perlu direndam terlebih dahulu, sedangkan gelatin yang berbentuk bubuk dapat langsung digunakan. Gelatin komersial bersifat tidak berasa, tidak berbau, warnanya kekuningan sampai tidak berwarna.

Penggunaan gelatin pada berbagai jenis industri, perlu memperhatikan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap fungsi gelatin tersebut, seperti konsentrasi, bobot molekul, suhu, pH dan penambahan senyawa lain (Meyer, 1982). Menurut Pouradier dan Venet (1950) di dalam Fatimah (1996), berat molekul gelatin rata-rata berkisar antara 15.000-250.000, sementara menurut Ward dan Courts (1997) sekitar 90.000 sedangkan rata-rata berat molekul gelatin komersial berkisar antara 20.000-70.000.

B. Metil Ester Sulfonat (MES)

Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan kelompok surfaktan anionik (Matheson, 1996). MES dapat diperoleh dari proses sulfonasi dari metil ester. Metil ester diperoleh dari reaksi esterifikasi asam lemak atau transesterifikasi terhadap minyak atau lemak nabati (Gervasio, 1996).

MES memiliki beberapa karakteristik yang menguntungkan. Pada kondisi air sadah MES memiliki kemampuan deterjensi yang lebih baik dibandingkan surfaktan anionik lain. MES memiliki toleransi yang tinggi terhadap keberadaan ion kalsium. MES dibandingkan LAS, dengan konsentrasi yang sama, memiliki daya deterjensi yang lebih tinggi. Disamping itu formulasi produk pembersih yang menggunakan enzim, MES mampu mempertahankan kerja enzim lebih baik dibandingkan LAS (Watson, 2001).

O

R – CH – C – OCH3 SO3Na

(6)

6 Reaksi sulfonasi pembentukan MES menurut Pore (1983) dapat dilihat pada gambar 2. Struktur molekul MES menurut Watkins (2001) dapat dilihat pada gambar 3.

O O

R – CH2 – C – OCH3 + NaHSO3 R – CH – C – OCH3 SO3Na

Gambar 3. Reaksi pembentukan metil ester sulfonat (Pore, 1993)

Penggunaan MES merupakan salah satu cara untuk membuat suatu deterjen yang mudah terdegradasi. Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik yang baik, diantaranya mudah terdegradasi (biodegradable) dan memiliki sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi.

C. Deterjen Cair

Deterjen cair didefinisikan sebagai larutan surfaktan yang ditambahkan bahan-bahan lain untuk memberikan warna dan aroma yang diinginkan, dan juga untuk menyesuaikan viskositas dan mempertahankan karakteristik aslinya selama masa penyimpanan hingga penggunaan (Woolat, 1985), sedangkan Watkins (2001) hanya membedakan deterjen cair sebagai bentuk lain dari sediaan pembersih.

Deterjen cair termasuk golongan emulsi karena terdiri atas beberapa bahan yang memiliki sifat dan kepolaran yang berbeda dan dicampur untuk membentuk produk yang homogen. Schueller dan Romanowsky (1998) menyatakan, emulsi adalah sistem heterogen dimana terdapat sedikitnya satu jenis cairan yang terdispersi di dalam cairan lainnya dalam bentuk droplet-droplet kecil.

(7)

7 dalam pencucian alat dapur (kelompok D). Penggunaan produk deterjen cair yang dihasilkan pada penelitian ini termasuk kelompok P di dalam SNI (06-4075-1996). Standar SNI untuk deterjen cair disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Syarat mutu deterjen cair menurut SNI No. Kriteria Satuan Persyaratan 1 Keadaan: dimiliki oleh deterjen cair :

 Deterjen cair memiliki busa yang stabil

 Daya pembersihan yang efektif

 Lembut ditangan atau tidak menyebabkan iritasi

 Tidak merusak perlengkapan yang dicuci

 Penampakan dan aroma yang dapat diterima

 Stabil selama penyimpanan dan mudah untuk dikemas dan digunakan Komposisi utama deterjen cair adalah surfaktan. Surfaktan yang digunakan tidak sebagai surfaktan tunggal tetapi dalam bentuk kombinasi agar menghasilkan kemampuan melepas kotoran dan mempertahankan kotoran dalam suspensi sekaligus memberikan daya pembusaan yang baik dari segi volume dan stabilitas busa (Hipschman, 1995).

(8)

8 (brand identity) dengan produk sejenis lainnya (Idris, 2004). Penambahan pengental digunakan untuk menambah nilai estetika deterjen tersebut.

Tabel 3. Formulasi deterjen cair untuk laundry

Bahan Persentase

Surfaktan 20-40%

Soap 0-5%

Builders 0-10%

Hydrotropes 5-10%

Others ( enzyme, bleach, optical brightener, perfume, coloring)

1-2%

Sumber : Matheson (1996)

Surfaktan merupakan senyawa kimia dengan struktur molekul yang terdiri atas dua gugus yang memiliki perbedaan kecenderungan, yaitu hidrofilik/polar dan hidrofobik/non polar. Gugus polar dapat bermuatan negatif, positif, zwitterionik ataupun tidak bermuatan (nonionik) dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap pelarut polar. Sedangkan gugus nonpolarnya dapat terdiri atas rantai hidrokarbon, linear ataupun bercabang, berasal dari petroleum ataupun oleokimia dan pada umumnya mengandung lebih dari delapan atom karbon serta memiliki afinitas yang rendah terhadap pelarut polar (Schueller dan Romanousky, 1998; Gervasio, 1996; Goddard, 1993; Tadros, 1992).

(9)

9 Apabila jumlah surfaktan dalam air meningkat diatas nilai CMC, misel yang berbentuk spherical akan menampung kelebihan molekul surfaktan dengan memperpanjang ukuran menjadi berbentuk silinder. Larutan yang tersusun oleh misel yang berbentuk spherical akan lebih kental dibandingkan dengan yang tersusun dari surfaktan yang tidak bersatu karena ada banyak titik yang akan kontak diantara spheres, tetapi transisi bentuk sphere menjadi bentuk silinder akan membentuk garis kontak yang membuat viskositas meningkat tajam (Hargreaves, 2003).

Lebih lanjut menurut Hargreaves (2003), peningkatan jumlah molekul surfaktan membuat jumlah molekul air menjadi berkurang untuk mengisi spaces antara silinder, akibatnya silinder-silender tersebut akan berkumpul menjadi susunan berbentuk heksagonal. Dalam bentuk heksagonal ini jumlah molekul air masih cukup untuk ditarik ke kepala hidrofilik molekul surfaktan. Terakhir dimana surfaktan tersusun rapi, surfaktan akan berubah bentuk lagi. Dalam konsentrasi ini, ketika air yang tersedia tinggal sedikit, misel berubah bentuk menjadi bentuk lamella dengan molekul surfaktan tersusun dalam bentuk palisade dimana ekor lipofilik berbentuk struktur layer. Kepala hidrofilik saling tolak menolak yang membuat struktur layer bebas bergerak yang mengakibatkan penurunan kekentalan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Penelitian ini menggunakan surfaktan MES dan SLES (Sodium Lauril Ester Sulfat). SLES adalah surfaktan anionik, dengan viskositas larutannya dapat ditingkatkan dengan penambahan elektrolit (Gervasio, 1996). Pada suhu ruang SLES berbentuk pasta dan tidak berwarna (Cognis, 2003). Surfaktan ini memiliki daya pembusaan yang baik dan lembut terhadap kulit. Beberapa perusahaan di Inggris mengkombinasikan SLES dengan surfaktan anionik lainnya dalam formulasi deterjen cair (Woolat, 1985).

(10)

10 pemendakan (membentuk bahan tak larut), atau melalui pertukaran ion. Garam phosphate digunakan sebagai builders dalam deterjen dimana phosphate menghasilkan pelembut, alkalinitas, suspensi, dan dispersi tanah. Phosphate yang sering diaplikasikan untuk pembuatan deterjen adalah sodium dan potassium dari pyrophosphate dan tripolyphosphate (Matheson, 1996). Phosphate dapat didegradasi oleh alam, akan tetapi dalam jumlah banyak menyebabkan eutrofikasi dalam perairan.

Gambar 4. Perubahan bentuk misel dalam bentuk molekul surfaktan dalam air (Hargreaves, 2003)

(11)

11 dalam bentuk yang murni atau dalam air (larutan yang mengandung air), dicirikan oleh kecenderungan untuk mengurai menjadi air dengan membebaskan oksigen. Penguraian Hidrogen Peroksida menjadi air dan oksigen merupakan reaksi eksoterm (Wood et al.., 1966).

Menurut Wood et al., (1996) sifat Hidrogen peroksida mempunyai kecenderungan yang kuat untuk membebaskan oksigen, maka bahan ini merupakan bahan yang istimewa, karena bisa digunakan untuk reaksi oksidasi pada suhu rendah. Pigmen rambut yang hitam, cepat dioksidasi pada suhu kamar menjadi rambut yang berwarna putih atau rambut yang kaku seperti jerami yang berwarna kuning, semuanya itu karena aktivitas Hidrogen Peroksida ini.

Lebih jauh Wood et al.., (1966) menyatakan bahwa proses produksi yang lebih murah dari hydrogen peroksida telah membawa bahan ini banyak digunakan sebagai pemutih untuk berbagai banyak hal. Penggunaan yang umum adalah pemutihan pulp, tekstil, barang-barang yang terbuat dari gading, kulit berbulu, kayu yang digunakan untuk mebel dan bahan-bahan lain.

Parfum atau bahan pewangi (fragrance) sering ditambahkan pada deterjen untuk memberikan bau yang menarik. Parfum merupakan campuran aromatik yang dapat berupa minyak yang berbahan alami, campuran minyak wangi yang berbahan alami dan minyak wangi berbahan sintetis, atau minyak wangi yang berbahan sintetis (Ismayanti, 2002). Pemberian parfum ke dalam deterjen dimaksudkan untuk memberikan aroma menyenangkan dan menutupi bau yang timbul saat proses pencucian (Günter dan Löhr, 1987)

(12)

12 D. Parameter Fisikokimia dan Kinerja Deterjen Cair

Karakteristik fisikokimia yang diuji adalah nilai pH, viskositas, bobot jenis dan stabilitas emulsi. Sedangkan kinerja produk yang dianalisis adalah daya pembusaan, stabilitas busa dan daya deterjensi serta analisis kadar fosfat untuk deterjen dengan perlakuan terbaik.

1. Nilai pH

Deterjen cair yang dihasilkan digunakan untuk laundry secara manual, yaitu dengan tangan. Kontak langsung antara kulit dengan cairan pencuci dapat menyebabkan iritasi kulit. Pada pH yang relatif basa atau asam daya adsorpsi kulit menjadi lebih tinggi sehingga memperbesar resiko iritasi kulit (Idris, 2004). Menurut standar SNI pH deterjen cair harus berada pada kisaran 6-8.

2. Viskositas

Viskositas didefinisikan sebagai tenaga yang diperlukan untuk menggerakkkan satu permukaan lain dalam kondisi yang ditentukan, apabila diantaranya diisi oleh cairan tersebut (Kodeks Kosmetika RI, 1983). Definisi lainnya yaitu shearing stress yang diberikan dalam luasan tertentu sewaktu diberikan kecepatan dalam gradien normal pada area tertentu (Suryani et al., 2000).

3. Bobot Jenis

Bobot jenis adalah berat suatu cairan per satuan volume (ASTM, 2002). Perbedaan bobot jenis komponen penyusun sebuah emulsi pada kisaran yang semakin lebar akan menurunkan stabilitas emulsi tersebut dengan meningkatnya creaming (Waistra, 1996).

4. Stabilitas Emulsi

(13)

13 5. Daya Pembusaan

Busa adalah buih-buih yang saling berdekatan membentuk dinding-dinding polihedral yang saling membagi sudut menjadi 120o. Formasi tersebut mirip dengan struktur sarang lebah. Dinding-dinding yang terbentuk dari cairan ini memisahkan kotoran yang lepas di dalam suspensi. Ketika proses pembersihan berjalan, jumlah busa yang masih tersisa dijadikan indikator jumlah substrat (perlengkapan yang dicuci) yang masih dapat dibersihkan dengan larutan deterjen yang ada (SDA-Amerika, 2003; Lynn, 1996).

6. Stabilitas Busa

Stabilitas busa dikaitkan dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging, yaitu dengan menghubungkan volume busa terhadap waktu. Busa yang dihasilkan harus stabil agar bertahan lebih lama selama proses pencucian (MPOB, 2001).

7. Daya Deterjensi

Deterjensi adalah proses pembersihan permukaan padat dari benda asing yang tidak diinginkan dengan menggunakan cairan pencuci/perendam berupa larutan surfaktan (Lynn, 1996). Daya deterjensi adalah jumlah kotoran yang dapat dilepaskan oleh deterjen cair dari substrat (permukaan padat) dan dinyatakan dalam unit kekeruhan yang disebabkan kotoran dalam cairan pencuci, FTU Turbidity (Formazyn Turbidity Unit) (Idris, 2004).

8. Analisis Fosfat

(14)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat 1. Bahan

Bahan-bahan utama yang digunakan untuk membuat deterjen cair adalah (1) surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) (2) Sodium Lauril Eter Sulfat (SLES), (3) Gelatin, (4) Hidrogen Peroksida, (5) STPP (Sodium Tripoliphospat), (6) parfum, (7) aquades serta bahan-bahan lain untuk analisis.

2. Alat

Peralatan yang digunakan adalah hotplate stirrer, reaktor labu leher empat, rotary evaporator dan sentrifuse. Alat yang digunakan untuk analisa adalah viscometer Brookfield, spectrophotometer Hach DR/2000, tensiometer Du Nouy, neraca analitik, pHmeter, blender, oven suhu 45 oC, kulkas 0 oC, stopwatch dan alat-alat gelas.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan empat tahap, yaitu (1) pembuatan dan karakterisasi surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES), (2) pembuatan deterjen cair, (3) analisa produk deterjen yang dihasilkan, (4) penentuan formulasi deterjen cair yang terbaik.

1. Penelitian Pendahuluan

(15)

15 dimasukkan sedikit-sedikit ke dalam reaktor yang berisi metil ester yang bersuhu 40 oC. Metil ester yang telah di sulfonasi selanjutnya di sentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 30 menit. Proses selanjutnya adalah pemurnian dengan penambahan metanol sebanyak 30 % dari volume metil ester yang telah di sentrifuse. Proses pemurnian ini dilakukan selama 1,5 jam dengan suhu 55 oC. Proses selanjutnya adalah penguapan metanol selama 10 menit dengan suhu 70-80 oC.

Gambar 5. Diagram alir pembuatan Metil Ester Sulfonat (MES) (Hidayat et al.,2008-dengan modifikasi)

Metil ester C16 dari CPO

Proses produksi MES Rasio mol reaktan 1 : 1,5 Suhu 100 oC

Lama reaksi 4,5 jam Pengadukan 1000 rpm

NaHSO

NaHSO3 sisa

Sentrifugasi 1500 rpm, 30 menit

Proses pemurnian MES Suhu 55 oC, waktu 1,5 jam

Penguapan metanol 70-80 oC

Waktu 10 menit

Metanol 30 %

Metanol sisa

(16)

16 2. Penelitian utama

Formulasi deterjen cair yang digunakan pada penelitian ini merujuk pada formulasi Matheson (1996) yang telah dimodifikasi dengan menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan dan penambahan gelatin sebagai pengental. Penelitian ini menggunakan kombinasi Metil Ester Sulfonat (MES) dan Sodium Lauril Eter Sulfat (SLES) sebagai surfaktan. Kedua surfaktan ini dipilih karena memiliki sifat lebih mudah didegradasi alam. Formulasi deterjen pada penelitian ini tidak menggunakan soap yang berfungsi untuk meningkatkan daya pembusaan karena fungsi ini sudah digantikan oleh SLES. Selain soap, hydrotropes yang berfungsi sebagai penstabil larutan deterjen yang terbentuk serta sebagai zat tambahan yang dapat membantu melarutkan bahan-bahan pembuat deterjen yang mempunyai nilai kepolaran berbeda juga tidak digunakan dalam formulasi ini. Fungsi hydrotropes dalam formulasi ini digantikan oleh gelatin dan MES yang diduga dapat meningkatkan kestabilan emulsi. Additive’ adalah zat tambahan untuk mendapatkan sifat deterjen yang diinginkan misalnya zat anti karat, parfum, warna dan lain-lain (Austin, 1987). Others atau additive yang ditambahkan dalam formulasi ini adalah parfum dan H2O2 (pemutih). Formulasi deterjen cair dapat dilihat pada Tabel 4.

Analisis produk MES meliputi pH, kemampuan menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antarmuka. Metode yang digunakan untuk menganalisis MES dapat dilihat pada Lampiran 2.

Proses pembuatan deterjen cair dilakukan dengan mencampurkan seluruh bahan-bahan yang membentuk formula deterjen hingga homogen. Proses pencampuran ini dilakukan dengan menggunakan hotplate stirrer pada suhu 60-80 oC, selama 1,5 jam. Diagram alir pembuatan deterjen cair dapat dilihat pada Gambar 6.

(17)

17 Tabel 4. Formulasi deterjen cair

Nama Bahan

Konsentrasi (%) b/b

P1S1 P1S2 P1S3 P2S1 P2S2 P2S3 P3S1 P3S2 P3S3 P4S1 P4S2 P4S3

SLES 28 28 28 28 28 28 28 28 28 28 28 28

MES 9 11 13 9 11 13 9 11 13 9 11 13

Gelatin 0 0 0 1 1 1 1,5 1,5 1,5 2 2 2

H2O2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

STPP 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

Parfum 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Aquades 51 49 47 50 48 46 49,5 47,5 45,5 49 47 45

(18)

18 Sampel terbaik diputuskan menggunakan program Criterium Decision Plus (CDP), kemudian dibandingkan dengan deterjen komersial yang ada dipasaran. Produk komersial pembanding yang digunakan adalah YM dan YB. Analisis produk deterjen meliputi viskositas, bobot jenis, pH (derajat keasaman), daya deterjensi, stabilitas emulsi, stabilitas busa dan daya pembusaan. Prosedur Analisis dapat dilihat pada Lampiran 3.

Gambar 6. Diagram Alir Pembuatan Deterjen Cair

SLES 28 % MES 9; 11;13%

STPP 10 % H2O2 1 %

Kocok homogen Gelatin 0:1;1,5;2 %

Aquades q.s

Kocok homogen Kocok homogen Kocok homogen

Deterjen Cair Sediaan3

Sediaan 2 Sediaan 1

(19)

19 C. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali ulangan. Model matematisnya menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) adalah sebagai berikut:

Yijk = + Si+Pj+(SP)ij+ ijk

Dimana

Yijk : Hasil pengamatan pada MES taraf ke-i dan gelatin taraf ke-j dan ulangan ke k;

(i = 1,2,3), (j = 1,2,3,4), (k = 1,2)

 : rata-rata sebenarnya Si : pengaruh utama MES Pj : pengaruh utama Gelatin

(SP)ij : komponen interaksi dari MES dan Gelatin

(20)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Metil Ester Sulfonat (MES)

Metil Ester Sulfonat (MES) yang digunakan untuk penelitian ini merupakan hasil sulfonasi metil ester dengan reaktan NaHSO3. MES yang dihasilkan kemudian diuji karakteristiknya, meliputi: kemampuan menurunkan tegangan permukaan, kemampuan menurunkan tegangan antarmuka dan derajat keasamannya (pH). Hasil analisis uji MES dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tegangan permukaan didefinisikan sebagai usaha yang dibutuhkan untuk memperluas permukaan cairan per satuan luas (Shaw, 1980). Hasil pengukuran tegangan permukaan menunjukkan bahwa tegangan permukaan air turun sebesar 39,87 mN/m setelah penambahan MES. Nilai tegangan permukaan ini cukup baik apabila dibandingkan dengan nilai tegangan permukaan MES komersial yang berada dalam kisaran 39-40,2 mN/m (Pore, 1993). Surfaktan dinilai semakin baik apabila memiliki nilai penurunan tegangan permukaan air semakin besar.

Efektifitas surfaktan selain ditunjukkan oleh kemampuannya dalam menurunkan tegangan permukaan, juga mampu menurunkan tegangan antar muka dari dua fasa yang berbeda. Pengukuran terhadap tegangan antar muka dilakukan pada dua cairan yang berbeda derajat polaritasnya. MES yang dihasilkan dalam penelitian ini mampu menurunkan tagangan antar muka sebesar 17,3 mN/m. Nilai penurunan tegangan antar muka yang dihasilkan pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai penurunan tegangan antar muka MES komersial, yaitu berkisar antara 8,4-9,7 mN/m (Pore, 1993). Surfaktan dinilai semakin baik apabila memiliki nilai penurunan tegangan permukaan yang semakin tinggi. Hal ini menunjukkan kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka semakin besar.

(21)

21 B. Karakteristik Fisikokimia Deterjen Cair

1. Nilai pH

Deterjen cair yang dihasilkan dalam penelitian ini digunakan untuk laundry secara manual, yaitu dengan tangan. Menurut Idris (2004), kontak langsung antara kulit dengan cairan pencuci dapat menyebabkan iritasi kulit. Pada pH yang relatif basa atau asam daya absorbsi kulit menjadi lebih tinggi sehingga memperbesar resiko iritasi kulit, oleh karena itu pH deterjen cair untuk laundry harus mendekati pH netral. Menurut standar SNI pH deterjen cair harus berada pada kisaran 6-8. Hasil analisis nilai pH deterjen cair yang dihasilkan berkisar antara 4,11 – 7,46, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Dari hasil analisis ini, sampel yang memenuhi standar SNI hanya sampel dengan penambahan gelatin 1,5%. Sampel dengan penambahan gelatin 0, 1 dan 2% tidak memenuhi standar karena berada di bawah standar yang disyaratkan oleh SNI.

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor perlakuan

konsentrasi gelatin berpengaruh (α = 0,05) nyata terhadap penurunan nilai pH deterjen cair. Semakin banyak gelatin yang ditambahkan, pH sampel menjadi meningkat kemudian turun setelah pH larutan mencapai titik isoelektris gelatin. Faktor perlakuan MES dan interaksi antara konsentrasi gelatin dan konsentrasi MES tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap nilai pH deterjen cair yang dihasilkan karena mempunyai nilai Fhitung yang lebih kecil dibandingkan Ftabel. Analisis keragaman dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 5a.

(22)

22 Gambar 7. Grafik hubungan antara konsentrasi MES dan konsentrasi

gelatin dengan derajat keasaman (pH)

Penambahan MES dan gelatin pada formulasi deterjen cair menyebabkan penurunan nilai pH dari nilai awal blanko sebesar 7,50. Berdasarkan uji keseragaman nilai pH pada konsentrasi gelatin juga menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara rata-rata nilai pH deterjen cair dengan nilai pH blanko. Pada analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa pH produk mengalami penurunan yang berbeda nyata dengan kontrol (blanko). Hal tersebut dikarenakan nilai rata-rata populasi produk lebih kecil dari nilai rata-rata kontrol (µ<µo).

MES yang ditambahkan pada formulasi deterjen cair belum mengalami tahap netralisasi sehingga memiliki pH yang asam yaitu dengan nilai sebesar 4,2. Menurut Idris (2004), dengan nilai pH yang asam, penambahan MES dalam formulasi mengakibatkan peningkatan konsentrasi ion hidronium (H+). Proton (H+) yang bebas akan ditangkap oleh ion-ion hidroksida (OH-/penyebab kebasaan) membentuk molekul yang lebih netral yaitu air. Hal itu yang menyebabkan nilai pH deterjen cair menjadi turun.

(23)

23 lingkungannya. Pada larutan yang bersifat asam, protein cenderung untuk mengurangi tingkat kebasaan lingkungan dengan melepaskan ion hydrogen (H+) yang terdapat pada gugus amino untuk berikatan dengan ion hidroksil (OH-) lingkungan membentuk air (Parker, 1982). Besar kecilnya nilai pH deterjen yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh pH dari bahan-bahan penyusun deterjen pada formulasi yang digunakan.

Menurut Ismayanti (2002), perlakuan penambahan gelatin berhubungan dengan pH isoelektrik yang mana pH larutan sampel semakin turun ketika mendekati pH isoelektriknya (4,5-5,5) yaitu dengan bertambahnya konsentrasi gelatin. Hal ini terlihat pada penambahan konsentrasi gelatin paling banyak, yaitu konsentrasi 2%. Rata-rata pH pada konsentrasi tersebut mempunyai nilai pH terendah bila dibandingkan dengan konsentrasi gelatin 0, 1 dan 1,5%.

2. Analisis Viskositas

Viskositas merupakan salah satu parameter penting pada produk deterjen cair komersial. Hal ini berhubungan dengan persepsi konsumen yang pada umumnya mengasosiasikan kekentalan dengan konsentrasi (Woolat, 1985). Selain itu, menurut Waistra (1996), kekentalan dapat meningkatkan stabilitas emulsi karena dapat menghambat proses coalescence (bersatunya misel-misel). Hasil analisis viskositas deterjen cair yang dihasilkan berkisar antara 19,125 cp - 356,250 cp, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Hasil analisis keragaman terhadap nilai viskositas pada tingkat

kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi gelatin dan konsentrasi MES berpengaruh nyata terhadap nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan, tetapi interaksi antara konsentrasi MES dan konsentrasi gelatin tidak berpengaruh nyata. Semakin banyak MES dan gelatin yang ditambahkan nilai viskositasnya akan semakin tinggi. Hasil analisis keragaman dapat dilihat pada Lampiran7a.

(24)

24 penambahan gelatin dengan konsentrasi 1,5 % dan 2 % mempunyai rata-rata nilai viskositas tertinggi. Konsentrasi gelatin 1,5 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi gelatin 1 % dan konsentrasi 2 %, tetapi konsentrasi gelatin 1 % dan konsentrasi gelatin 2 % berbeda nyata. Hasil uji Duncan untuk faktor perlakuan konsentrasi MES memperlihatkan adanya dua kelompok nilai rata-rata viskositas. Konsentrasi MES 9 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 11 %. Hasil analisis uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 7d dan 7e.

Gambar 8. Grafik hubungan konsentrasi MES dan konsentrasi gelatin terhadap viskositas

Grafik diatas menunjukkan bahwa kekentalan deterjen meningkat sesuai dengan bertambahnya konsentrasi gelatin dan MES yang ditambahkan dalam formulasi. Berdasarkan analisis keragaman rata-rata nilai pH terhadap kontrol (blanko) menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan. Menurut Idris (2004), hal ini dapat diindikasikan dari dua sisi yaitu keberadaan impurities MES dan karakter alamiah surfaktan MES itu sendiri. Diduga keberadaan bahan pengotor nonpolar teradsorpsi ke dalam misel yang dibentuk oleh surfaktan SLES (Idris, 2004). Adsorpsi ini mengakibatkan penggelembungan misel SLES dan mengurangi rigiditasnya. Nilai rigiditas misel, diameter dan distribusi ukuran misel berpengaruh terhadap nilai viskositas yang didapat (Suryani et al., 2000). Surfaktan berbasis asam lemak laurat (sodium lauril eter sulfat/SLES)

(25)

25 lebih mampu menaikkan nilai viskositas dibandingkan surfaktan turunan asam lemak oleat (MES) (Suryani et al., 2000).

Penambahan MES pada konsentrasi 11 dan 13% mengakibatkan kenaikan nilai viskositas produk. Menurut Idris (2004), hal ini dapat disebabkan oleh proses emulsifikasi yang terjadi. Namun peningkatan konsentrasi MES berarti peningkatan pengotor. Dengan kata lain, kualitas produk yang dihasilkan, dibentuk oleh peningkatan jumlah misel MES namun juga dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pengotor. Sehingga ada persaingan pengaruh yang kontradiktif antara molekul MES dan bahan pengotornya terhadap kualitas emulsi.

Peningkatan viskositas larutan juga disebabkan penambahan konsentrasi gelatin dalam formulasi deterjen cair. Menurut Willcox (1998), untuk meningkatkan viskositas dapat dilakukan dengan cara meningkatkan konsentrasi bahan aktif sabun (surfaktan), meningkatkan kandungan elektrolit atau dengan penambahan konsentrasi bahan pengental. Pada penelitian ini yang dibedakan perlakuannya adalah konsentrasi bahan pengental, yaitu gelatin, sedangkan konsentrasi bahan aktif dan bahan-bahan lain yang terlarut tetap serta tanpa adanya penambahan-bahan elektrolit sehingga pengaruh konsentrasi bahan aktif dapat dianggap sama.

Menurut Kragh dan Langston (1959), berdasarkan berbagai penelitian yang telah ada menyatakan bahwa plot viskositas terhadap konsentrasi gelatin selalu berbentuk kurva dan memiliki hubungan eksponensial, dimana semakin tinggi konsentrasi bahan pengental yang digunakan maka semakin tinggi nilai viskositasnya. Nilai viskositas deterjen pada penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan eksponensial, semakin tinggi konsentrasi gelatin yang ditambahkan semakin tinggi pula viskositas deterjen tersebut.

3. Analisis Bobot Jenis

(26)

26 kecuali pada sampel P4S1 ulangan 1 (konsentrasi gelatin 2% dan konsentrasi MES 9%). Hasil analisis bobot jenis berkisar antara 0,9795 g/ml – 1,1288 g/ml. Data hasil analisis bobot jenis ada pada lampiran 8. Hasil analisis keragaman terhadap bobot jenis deterjen cair yang dihasilkan menunjukkan bahwa konsentrasi MES maupun konsentrasi gelatin tidak memberikan pengaruh nyata. Hasil analisis keragaman nilai bobot jenis dapat dilihat pada Lampiran 9a.

Gambar 9. Grafik hubungan konsentrasi gelatin dan konsentrasi MES dengan bobot jenis

Grafik diatas menujukkan bahwa berat jenis deterjen tanpa penambahan gelatin terus menurun sesuai dengan peningkatan konsentrasi MES. Secara umum peningkatan konsentrasi MES di dalam formulasi deterjen cair mengakibatkan penurunan nilai bobot jenis. Penurunan ini dapat diakibatkan oleh nilai bobot jenis MES yang dibawah satu (Idris, 2004). Bobot jenis MES yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,87 g/ml.

Umumnya perbedaan nilai bobot jenis relatif disebabkan oleh jenis dan konsentrasi bahan dalam larutan (Ismayanti, 2002). Jenis gelatin yang ditambahkan ke dalam formulasi juga menentukan bobot jenis produk yang dihasilkan, semakin tinggi nilai berat molekul gelatin yang ditambahkan maka semakin tinggi bobot jenis produk yang dihasilkan. Pada penelitian Ismayanti (2002) tentang aplikasi gelatin pada shampoo,

(27)

27 peningkatan konsentrasi gelatin akan meningkatkan bobot jenis shampoo tersebut. Namun, peningkatan bobot jenis deterjen pada penelitian ini tidak selalu meningkat dengan semakin meningkatnya konsentrasi gelatin. Diduga karena impurities MES menyebabkan bobot jenis deterjen yang dihasilkan menjadi tidak teratur tergantung pengotor yang ada dalam MES. Pengotor yang terdapat dalam MES dapat berupa asam lemak, asam lemak yang tersulfonasi dan metil ester yang tidak tersulfonasi. Gaman dan Sherrington (1990) menyatakan bahwa jika suatu bahan dilarutkan dalam air dan membentuk larutan maka densitasnya akan mengalami perubahan dan kebanyakan bahan-bahan seperti gula dan garam dapat menyebabkan peningkatan densitas tetapi kadang-kadang densitas dapat turun jika terdapat lemak atau etanol dalam larutan.

4. Analisis Stabilitas Emulsi

Menurut Ningrum (2002), suatu sistem emulsi pada dasarnya merupakan suatu sistem yang tidak stabil karena masing-masing partikel mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan partikel lainnya. Stabilitas atau kestabilan suatu emulsi merupakan salah satu karakter terpenting dan mempunyai pengaruh besar terhadap mutu produk emulsi ketika dipasarkan. Hasil analisis stabilitas emulsi deterjen cair yang dihasilkan berkisar antara 63,61% - 81,70%. Data hasil analisis stabilitas emulsi dapat dilihat pada Lampiran 10.

Analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor perlakuan

konsentrasi gelatin berpengaruh (α = 0,05) nyata terhadap tingkat stabilitas emulsi deterjen cair. Interaksi antara konsentrasi gelatin dan konsentrasi

MES juga berpengaruh (α = 0,05) nyata terhadap stabilitas emulsi deterjen

cair yang dihasilkan, sedangkan konsentrasi MES yang ditambahkan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hasil analisis keragaman dapat dilihat pada Lampiran 11a.

(28)

28 dan konsentrasi MES memperlihatkan adanya lima kelompok rata-rata nilai stabilitas emulsi. Nilai stabilitas emulsi tertinggi terdapat pada konsentrasi P3S1 (konsentrasi gelatin 1,5 % dan konsentrasi MES 11 %. Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 11d dan 11e.

Gambar 10. Grafik hubungan konsentrasi gelatin dan konsentrasi MES dengan stabilitas emulsi

Analisis keragaman nilai rata-rata stabilitas emulsi terhadap kontrol menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara stabilitas emulsi produk dengan stabilitas emulsi kontrol. Grafik diatas menunjukkan bahwa stabilitas emulsi produk lebih tinggi bila diandingkan dengan kontrol (blanko). Penambahan gelatin dalam formulasi dapat meningkatkan nilai stabilitas emulsi. Hasil pengukuran stabilitas emulsi menunjukkan bahwa penambahan gelatin secara umum meningkatkan stabilitas emulsi. Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah keseimbangan antara gaya tarik-menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam sistem emulsi dapat dipertahankan agar tidak bergabung (Ningrum, 2002). Keseimbangan tersebut diduga terjadi pada konsentrasi gelatin 1,5%. Nilai stabilitas emulsi produk pada konsentrasi 1,5% merupakan nilai stabilitas emulsi tertinggi kemudian mengalami penurunan pada konsentrasi 2%.

(29)

29 Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu faktor yang dapat dikontrol dan faktor yang tidak dapat dikontrol. Faktor yang dapat dikontrol antara lain ukuran partikel terdispersi, viskositas, penyebaran ukuran globula dalam fasa terdispersi dan tegangan permukaan. Sedangkan yang tidak dapat dikontrol diantaranya adalah perbedaan densitas antara kedua fasa, kohesi dan fasa terdispersi, bagian padatan pada emulsi dan perbedaan temperatur udara (Ningrum, 2002).

Ketidakstabilan emulsi dapat disebabkan karena beberapa hal antara lain komposisi bahan yang tidak tepat, ketidakcocokan bahan, kecepatan dan waktu pencampuran yang tidak tepat, ketidaksesuaian rasio antara fasa terdispersi dan fasa pendispersi, pemanasan dan penguapan yang berlebihan, jumlah dan pemilihan emulsifier yang tidak tepat, pembekuan, guncangan mekanik atau getaran, ketidakseimbangan densitas, ketidakmurnian emulsi, reaksi antara dua atau lebih komponen dalam sistem emulsi dan penambahan asam atau elektrolit (Suryani et al., 2000).

Penurunan kestabilan emulsi pada konsentrasi 2% selain dikarenakan faktor yang tidak dapat dikontrol, diduga dikarenakan penambahan MES dalam formulasi deterjen cair. Penambahan MES ini membuat emulsi tidak murni karena adanya pengotor (impurities) dan membuat larutan menjadi semakin asam. Selain itu kestabilan emulsi produk juga dipengauhi oleh kecepatan dan waktu yang pencampuran yang tidak tepat.

(30)

30 emulsi akan semakin baik karena globula diselimuti dengan baik oleh stabilizer (Mardhiah, 2002).

C. Kinerja Deterjen Cair

Selain memiliki karakteristik fisikokimia yang baik dan memenuhi standar standar yang ditetapkan dalam regulasi, pengkajian aspek kinerja deterjen cair perlu dilakukan agar diketahui kapasitas daya guna yang dimiliki (Idris, 2004). Oleh karena itu, deterjen cair yang dihasilkan pada penelitian ini juga diuji kinerjanya, meliputi : daya pembusaan, stabilitas busa, daya deterjensi, dan analisis sisa fosfat.

1. Daya Pembusaan

Daya pembusaan adalah kemampuan deterjen menghasilkan busa dengan konsentrasi deterjen 0,1 persen pada suhu ruang dengan menggunakan air suling (aquades) dan dalam waktu 0,5 menit. Busa pada penelitian ini diukur dengan satuan volume (MPOB, 2001). Data hasil analisis daya pembusaan berkisar antara 200-310 ml-0,5 menit dengan blanko 160 ml-0,5 menit. Data hasil analisis pembusaan dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor perlakuan konsentrasi gelatin berpengaruh (α = 0,05) nyata terhadap tingkat daya pembusaan deterjen cair yang dihasilkan, sedangkan konsentrasi MES dan interaksi antara konsentrasi MES dan konsentrasi gelatin tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hasil analisis keragaman dapat dilihat pada Lampiran 13a.

(31)

31 Gambar 11. Grafik hubungan konsentrasi gelatin dengan konsentrasi

MES dengan daya pembusaan

Grafik diatas menunjukkan perbedaan yang signifikan antara daya pembusaan deterjen kontrol (blanko) dengan daya pembusaan deterjen produk. Analisis keragaman nilai daya pembusaan deterjen produk pada konsentrasi gelatin dengan deterjen kontrol (blanko) juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penambahan gelatin diduga dapat meningkatkan daya pembusaan deterjen cair. Hal ini sesuai dengan fungsi gelatin sebagai fooming agent. Menurut Boeck et al. (1991), gelatin dapat digunakan sebagai pembangkit busa sehingga dihasilkan busa yang melimpah dan lembut.

2. Stabilitas Busa

Stabilitas busa adalah kemampuan busa deterjen untuk tetap ada pada larutan deterjen. Pengukuran terhadap stabilitas busa dilakukan dengan membadingkan nilai daya pembusaan pada selang waktu 5,5 menit dengan nilai pembusaan awal (0,5 menit). Hasil pengukuran terhadap stabilitas busa deterjen dinyatakan dalam satuan ml-5,5 menit/0,5 menit. Hasil analisis stabilitas busa berkisar antara 0,6428-0,9643 dengan rata-rata blanko sebesar 0,9063. Data hasil pengujian stabilitas busa dapat dilihat pada Lampiran 14. Hasil analisis keragaman tingkat stabilitas busa

(32)

32 menunjukkan bahwa konsentrasi MES, konsentrasi gelatin, serta interaksi

konsentrasi MES dan konsentrasi gelatin tidak berpengaruh (α = 0,05) nyata terhadap deterjen cair yang dihasilkan. Hasil analisis keragaman dapat dilihat pada Lampiran 15a.

Gambar 12. Grafik hubungan konsentrasi gelatin dengan konsentrasi MES dengan stabilitas busa

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa nilai stabilitas busa tiap sampel hampir sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan konsentrasi MES dan konsentrasi gelatin tidak memberikan pengaruh terhadap stabilitas busa deterjen cair yang dihasilkan. Hasil analisis keragaman nilai stabilitas busa produk terhadap nilai stabilitas busa kontrol (blanko) juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dengan kata lain, stabilitas busa produk deterjen tidak berbeda nyata terhadap nilai stabilitas busa kontrol (µ = µo).

3. Daya Deterjensi

Daya deterjensi merupakan parameter yang paling penting bagi deterjen. Daya deterjensi merupakan kemampuan deterjen untuk menghilangkan kotoran. Hasil analisis daya deterjensi berkisar antara 35 FTU-53 FTU dengan rata-rata blanko 31,5 FTU. Data hasil analisis daya deterjensi dapat dilihat pada Lampiran 16. Hasil analisis keragaman

(33)

33 menunjukkan bahwa faktor perlakuan konsentrasi gelatin, konsentrasi MES dan interaksi antara kedua faktor perlakuan tersebut berpengaruh nyata terhadap daya deterjensi deterjen cair yang dihasilkan. Hasil analisis keragaman dapat dilihat pada Lampiran 17a.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa konsentrasi MES 9, 11 dan 13 % saling berbeda nyata. Semakin banyak konsentrasi MES semakin tinggi daya deterjensinya. Konsentrasi gelatin 2 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi gelatin 1,5 %. Konsentrasi gelatin 1,5 dan 2 % berbeda nyata dengan konsentrasi 0 dan 1%. Hasil uji lanjut Duncan untuk interaksi konsentrasi MES dan konsentrasi gelatin memperlihatkan adanya empat kelompok rata-rata, dengan nilai tertinggi terdapat pada sampel P4S3 (konsentrasi gelatin 2 % dan konsentrasi MES 13 %). Hasil uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 17e, 17f dan 17g.

Gambar 13. Grafik hubungan konsentrasi gelatin dan konsentrasi MES dengan daya deterjensi

Hasil analisis keragaman terhadap kontrol (blanko) menunjukkan adanya perbedaan nyata antara nilai daya deterjensi produk dan kontrol. Penambahan gelatin dan MES inilah yang membuat daya deterjensi deterjen produk menjadi meningkat apabila dibandingkan dengan kontrol. Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa penambahan konsentrasi MES meningkatkan nilai daya deterjensi deterjen cair yang dihasilkan. Kenaikan

(34)

34 nilai daya deterjensi yang signifikan dengan konsentrasi MES diatas 11 % dapat disebabakan karena proses emulsifikasi diatas konsentrasi tersebut telah berjalan cukup sempurna (Idris, 2004). Proses deterjensi terjadi melalui pembentukan misel-misel oleh surfaktan yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses deterjensi terjadi melalui penurunan tegangan antar muka dan dibantu dengan adanya interaksi elektrostatik antar muatan (Lynn, 1996).

Penambahan gelatin dapat meningkatkan daya deterjensi karena gelatin juga berfungsi sebagai surfaktan. Selain itu, gelatin juga meningkatkan daya pembusaan. Busa akan membantu mempertahankan kotoran agar tidak kembali ke substrat karena pengotor terjerat dalam busa. Jadi dengan kemampuannya mengangkat kotoran dan mempertahankannya agar tidak kembali lagi, gelatin dapat meningkatkan daya deterjensi.

D. Penentuan Konsentrasi Deterjen Terbaik

Pengambilan keputusan sampel terbaik dilakukan dengan menggunakan program Criterium Decision Plus (CDP). Hierarki pengambilan keputusan menggunakan CDP dapat dilihat pada Lampiran 20. Pembobotan dilakukan berdasarkan uji lanjut Duncan. Kriteria dirangking sesuai dengan tingkat kebutuhan deterjen yang ingin dihasilkan. Pembobotan kriteria dapat dilihat pada Tabel 5. Kriteria yang mempunyai rangking kecil diberikan bobot yang paling besar. Jadi, semakin kecil rangkingnya semakin besar bobotnya.

(35)

35 Tabel 5. Pembobotan karakteristik deterjen

Kriteria Rangking Bobot Daya deterjensi 1 0,286 Viskositas 2 0,238

pH 3 0,190

Bobot jenis 4 0,143 Stabilitas emulsi 5 0,095 Daya pembusaan 6 0,048 Stabilitas busa 7 0,000

Deterjen dalam penelitian ini bertujuan untuk keperluan komersial. Adanya persepsi konsumen bahwa deterjen cair yang lebih kental maka kualitasnya lebih baik membuat parameter viskositas diberi rangking 2 atau merupakan parameter penting kedua setelah daya deterjensi. Selain itu, nilai viskositas dari deterjen cair merupakan tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk mendapatkan tingkat kekentalan yang baik. Produk yang akan diberi nilai bobot lebih tinggi adalah yang mempunyai nilai viskositas lebih tinggi.

Rangking ketiga ditempati oleh parameter pH diberi. Hal ini dikarenakan dalam proses pencucian manual, deterjen akan mengalami kontak langsung dengan kulit, sehingga deterjen yang dihasilkan harus dapat mencegah terjadinya iritasi kulit. Deterjen cair yang mempunyai nilai pH yang mendekati 7 akan diberi nilai bobot yang lebih tinggi.

Bobot jenis diberi rangking 4. Nilai ini diberikan karena dalam suatu emulsi cair, bobot jenis menentukan tingkat kelarutan deterjen tersebut terhadap air. Apabila suatu emulsi mempunyai bobot jenis dibawah bobot jenis air, yaitu 1 g/ ml, maka emulsi tersebut akan susah larut dalam air.

Stabilitas emulsi menentukan kualitas suatu emulsi dan mempengaruhi daya umur simpan deterjen. Hal tersebut karena deterjen akan dapat bekerja dengan baik jika stabilitas emulsinya masih baik. Oleh karena itu, stabilitas emulsi diberikan rangking 5.

(36)

36 konsumen bahwa semakin banyak busa semakin baik daya cuci deterjen tersebut, merupakan pernyataan yang tidak benar. Oleh karena itu daya pembusaan diberikan nilai skor rendah dalam parameter mutu deterjen ini. Sedangkan nilai stabilitas busa diberi nilai skor paling rendah. Hal tersebut karena pada umumnya konsumen tidak memperhatikan stabilitas busa dari deterjen cair. Pembobotan sampel dapat dilihat pada Lampiran 19.

Apabila semua parameter mutu sudah diberikan rangking, maka hal yang harus dilakukan selanjutnya adalah pemberian nilai bobot mutu pada masing–masing alternatif. Pemberian bobot pada setiap alternatif bergantung pada hasil analisa keragaman data uji tersebut dengan selang kepercayaan

95% (α= 0,05). Jika pada uji keragaman menunjukkan pengaruh yang tidak

signifikan maka setiap alternative produk diberi nilai bobot yang sama. Sedangkan jika hasil uji menunjukkan pengaruh yang signifikan maka pemberian nilai bobot didasarkan tingkat nilai kelompok rata-rata pada uji Duncan.

Berdasarkan hasil analisa dengan sistem pengambilan keputusan maka diputuskan bahwa sampel P3S2 (konsentrasi gelatin 1,5% dan konsentrasi MES 11%) merupakan sampel terbaik. Sampel ini mempunyai nilai pembobotan yang paling tinggi. Hasil pengambilan keputusan dan gambar deterjen terbaik dapat dilihat pada Lampiran 21a dan 21b.

E. Karakteristik Deterjen Cair Komersial Pembanding

Standar SNI tidak cukup untuk mengkategorikan sebuah produk deterjen cair sebagai produk dengan kualitas baik. Untuk itu, deterjen cair yang dihasilkan dalam penelitian ini dibandingkan dengan dengan deterjen cair yang ada di pasaran, yaitu YB dan YM. Deterjen cair komersial yang telah beredar di pasar dapat dikatakan telah memenuhi standar SNI. Namun beberapa karakteristik seperti stabilitas emulsi, viskositas, daya pembusaan, stabilitas busa, dan daya deterjensi bervariasi nilainya menurut kualitas (Idris, 2004).

(37)

37 fosfat. Kemudian hasil pengukuran karakteristik deterjen komersial tersebut dibandingkan dengan deterjen cair terbaik yang dihasilkan.

Dari grafik perbandingan nilai stabilitas emulsi deterjen cair yang dihasilkan dibandingkan dengan deterjen cair komersial terlihat bahwa nilai stabilitas emulsi deterjen cair yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan dua jenis deterjen cair komersial pembanding. Hal ini mungkin dikarenakan penambahan gelatin dalam formulasi. Gelatin merupakan salah satu hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai gelifying agent, bahan pengental (thickening agent), atau bahan penstabil (stabilizer) (Imeson, 1992). Fungsi gelatin sebagai stabilizer inilah yang mungkin membuat stabilitas deterjen cair yang dihasilkan menjadi lebih baik dibandingkan deterjen cair komersial pembanding.

Gambar 14. Grafik perbandingan nilai stabilitas emulsi deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial

(38)

38 76,25 cp. Modifikasi kekentalan dapat dilakukan dengan penambahan konsentrasi gelatin atau pengental lainnya (Idris, 2004).

Gambar 15. Grafik perbandingan nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial pembanding

Nilai daya deterjensi deterjen yang dihasilkan jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan deterjen cair komersial pembanding. Hal ini mungkin dikarenakan penambahan MES dalam formulasi meningkatkan daya deterjensi. MES menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap kondisi air sadah, sehingga nilai daya deterjensinya lebih tingi dibandingkan beberapa jenis surfaktan sejenis seperti linier alkil sulfat (LAS) (MPOB, 2001).

Nilai daya pembusaan deterjen yang dihasilkan jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan deterjen komersial pembanding. Nilai daya pembusaan yang tinggi ini dikarenakan dua jenis deterjen komersial yang digunakan sudah ditambahkan defoamer (bahan untuk mengurangi jumlah busa). Penambahan defoamer ini berkaitan dengan aplikasi deterjen komersial tersebut, yaitu laundry menggunakan mesin cuci. Stabilitas busa dari deterjen cair yang dihasilkan juga cukup baik, namun masih kalah bila dibandingkan dengan deterjen cair komersial pembanding. Deterjen komersial biasanya ditambahkan penstabil busa, sehingga busanya menjadi stabil.

(39)

39 Gambar 16. Grafik perbandingan nilai daya deterjensi deterjen cair yang

dihasilkan dengan deterjen cair komersial pembanding

Gambar 17. Grafik perbandingan daya pembusaan deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial pembanding

Gambar 18. Grafik perbandingan nilai stabilitas busa deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial pembanding

(40)

40 Total fosfat merupakan jumlah total fosfor yang terkandung dalam produk deterjen cair. Pengukuran total fosfat ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran deterjen terhadap perairan. Pada pengukuan total fosfat ini hanya dilakukan pada alternatif deterjen yang terbaik, yaitu deterjen dengan konsentrasi MES 11% dan konsentrasi gelatin 1,5%. Hasil analisis fosfat dapat dilihat pada Lampiran 18.

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dengan dua kali ulangan, didapatkan nilai rata-rata total fosfat deterjen cair adalah 1380,375 mg/l. Untuk menentukan kualitas produk deterjen cair yang dihasilkan maka dibandingkan dengan produk pembanding yaitu YM dan YB. Kadar fosfat yang dihasilkan masih dalam selang kadar fosfat dalam deterjen cair komersial yang besarnya berturut-turut adalah YM mengandung 1314,65 mg/l dan YB 1766,85 mg/l.

Berdasarkan syarat mutu SNI 19-7188.2.1-2006 tentang kriteria ekolabel untuk kategori produk serbuk deterjen pencuci sintetik untuk rumah tangga. Total kandungan fosfat dalam deterjen (diukur sebagai STTP) < 18 gr per 100 gr produk deterjen (18 % berat produk). Maka produk deterjen cair yang dihasilkan telah memenuhi syarat. Hal tersebut karena penambahan STPP pada formulasi deterjen cair hanya 10% berat produk.

Gambar 19. Grafik perbandingan nilai kadar fosfat deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial pembanding

(41)

41 Tabel 6. Rekapitulasi data karakteristik deterjen cair MES 11 % dan gelatin 1,5 %

dibandingkan dengan deterjen komersial.

Analisis Deterjen cair MES 11 %, gelatin

1,5 %

YB YM

pH1 7,45 6,01 9,32

Bobot Jenis2 1,0928 1,032 1,165

Stabilitas Emulsi 78,75 63,22 54,23

Viskositas 135,625 7587,5 4000

Daya Pembusaan 265 90 80

Stabilitas Busa 0,8864 1 1

Daya Deterjensi 50 37 36

1

standar SNI 6-8 2

(42)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Penambahan Metil Ester sulfonat (MES) dengan konsentrasi 9, 11 dan 13% dalam formulasi deterjen memberikan pengaruh yang signifikan terhadap parameter pH, viskositas, stabilitas emulsi, daya deterjensi dan daya pembusaan. Sedangkan penambahan gelatin dengan konsentrasi 0, 1, 1,5 dan 2% memberikan pengaruh yang signifikan terhadap parameter viskositas dan daya deterjensi. Interaksi antara gelatin dan MES juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai stabilitas emulsi dan daya deterjensi.

Sampel dengan penambahan MES 11 % dan gelatin 1,5 % merupakan sampel terbaik. Nilai karakteristik fisikokimia dan kinerja dari perlakuan terbaik yang terukur telah memenuhi standar SNI, untuk nilai pH sebesar 7,45; viskositas sebesar 135,625 cp; bobot jenis 1,0928 g/ml; stabilitas emulsi 78,75; daya deterjensi 50 FTU Turbidity; daya pembusaan 265 ml dan stabilitas busanya 0,8864

Analisis terhadap deterjen cair komersial menunjukkan keunggulan

deterjen cair dengan konsentrasi MES 11 % dan gelatin 1,5 % adalah pada nilai

stabilitas emulsi, daya pembusaan dan daya deterjensi. Deterjen yang dihasilkan

(43)

43 B. SARAN

1. Perlu pengkajian mengenai pengaruh suhu, lama waktu pencampuran, dan kecepatan putar pengadukan terhadap sifat fisiko kimia deterjen cair dengan pengental gelatin yang dihasilkan.

(44)

PENGARUH KONSENTRASI GELATIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DALAM FORMULASI DETERJEN CAIR

Oleh

BETTY CAHYA TIMURTI F34052998

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS). 2002. Statistik Impor Indonesia. BPS, Jakarta.

Boeck, A. dan B. Stnechnak. 1991. Cosmetics and Toiletries Development, Production and Use. 1st Edition. Prentice Hall, New York.

Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA. 359 p

Charley, H. 1982. Food Science. Second Edition. John Wiley and Sons Inc, New York.

Cognis: Products Data Sheet Ceti01® HE; Revision 4-07/2003

Dugan, P.R. 1972. Biochemical Ecology of Water Pollution. New York : Plenum Press. 159 p

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta : Kanisius

Gaman, P. M. dan K. B. Sherrington. 1990. The Science of Food, 3rd ed. Pergamon Press, Oxford.

Gervasio, G.C. 1996. Deterjency. Di dalam Baileys’ Industrial Oils and Fats

Product, Wiley Interscience Publisher, New York

Glicksman, M. 1969. Gum Technology in The Food Industry. Academic Press, New York

Hargreaves, T. 2003. Chemichal Formulation: An Overview Surfactant-based Preparations Used Everyday Life. Cambridge University Press, Cambridge, UK.

Hidayati, Sri, Ilim dan P. Permadi. 2008. Optimasi Proses Sulfonasi untuk Memproduksi Metil Ester Sulfonat dari Minyak Sawit Kasar. Jurnal. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008, 17-18 November 2008. Universitas Lampung

Hipschman, R. 1995. Dishwashing Soap. www.cleaning101.com. Terhubung berkala. [diakses 27 November 2009].

(46)

45 Imeson, A. 1992. Thickening and Gelling Agents for Food. Academic Press,

England.

Ismayanti. 2002. Aplikasi Gelatin Tipe B sebagai Bahan Pengental (Thickening Agents) pada Shampoo. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Johns, P. 1977. Relation Between Collagen and Gelatin. Di dalam The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New York.

King, W. 1969. Gelatin. Di dalam Gum Technology in The Food Industry. Academic Press, New York.

Kodeks Kosmetika RI, Volume 11. 1983. Depkes RI

Kragh, A. M dan W. B. Langston. 1959. Research Report C17, bagian 3, Gelatin and Glue Research Association, London

Mardhiah. I. 2002. Aplikasi Gelatin Tipe A dari Kulit Sapi pada Produk Hand and Body. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian,IPB, Bogor.

Mark, E. M. dan G. F. Steward. 1957. Advance in Food Research. Vol 7. Academic Press, New York.

Matheson. K.L. 1996. Surfactant Raw Materials. Classification, Synthesis, uses. Di dalam Soap and Deterjent, A Theoritical and Practical Review. AOCS Press, Champaign-Illinois.

Mattjik, A.A. dan I M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor : IPB Press.

Meyer, L. H. 1982. Food Chemistry. AVI Publishing Co. Inc. Wetsport, Connecticut

Mildwisky, B. H. dan Gabriel. 1982. Detergent Analysis, A Hand Book For Cost effective Quality Control House, Essex-England.

Ningrum, V. P. 2002. Aplikasi Gelatin sebagai Pengental pada Shower Gel. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian. IPB-Bogor.

Parker, A. L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth Publisher Inc., Sparkas Maryland.

Pore, J. 1993. Oils and Fats Manual. Intercept Ltd., Andover – UK.

Schueler, R dan P. Romanowsky. 1998. Cosmetic and Toiletries Magazine : Understanding Emulsions. Allured Publishing Corp., Illinois-USA. Soap and Detergent Association (SDA). 2003. Understanding Cleaning

Chemicals.

Shaw, D.J. 1980. Introduction to Colloid and Surface Chemistry. Butterworth. Oxford. England

Sheats, W. B. dan MacArthur. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. Jurnal. The chemithon corp.

(47)

46 Standar Nasional Indonesia. 2006. SNI 19-7188.2.1-2006 : Kriteria

Ekolabel-Kategori Produk Deterjen. Badan Standarisasi Nasional.

Suryani, A., I. Sailah, E. Hambali. 2000. Teknologi Emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, IPB-Bogor.

Tourtelotte, P. 1980. Gelatin. Encyclopedia of Food Science and Technology. Mc Graw Hill Book Co., New York

Waistra, P. 1996. Encyclopedia of Emulsion Technology. Tire Dekkel Inc., New York.

Ward, A. G dan A. Courts. 1997. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, London.

Watkins, C. 2001. Surfactants and Deterjent : All Eyes are on Texas. Inform 12 : 1152-1159.

(48)

PENGARUH KONSENTRASI GELATIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DALAM FORMULASI DETERJEN CAIR

Oleh

BETTY CAHYA TIMURTI F34052998

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(49)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH KONSENTRASI GELATIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DALAM FORMULASI DETERJEN CAIR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

BETTY CAHYA TIMURTI F34052998

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(50)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH KONSENTRASI GELATIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DALAM FORMULASI DETERJEN CAIR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

BETTY CAHYA TIMURTI F34052998

Dilahirkan pada tanggal 8 Februari 1987 Di Bantul

Tanggal lulus : 3 Desember 2009

Menyetujui Bogor, Desember 2009

Dr. Ir. Mulyorini R, M. Si Ir. Sugiarto, M. Si

(51)

RIWAYAT HIDUP

Betty Cahya Timurti dilahirkan di Bantul, Yogyakarta pada tanggal 8 Februari 1987. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan suami istri Sujalani dan Suratmi. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan SMA, di SMAN 1 Rembang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif pada organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BEM-KM IPB) sebagai staff Departemen Budaya, Olahraga dan Seni (BOS) pada tahun akademik 2006/2007 dan sebagai Wakil Bendahara Kabinet BEM-KM IPB pada tahun akademik 2007/2008. Pada tahun akademik 2006/2007 penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Penerapan Komputer. Selain itu, penulis pernah melakukan kegiatan praktek lapang di PT. Garudafood Putra Putri Jaya Coated Peanuts Division, Pati Jawa Tengah dan menulis laporan praktek lapang yang berjudul “Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi dan Pengemasan di PT. GarudaFood Putra Putri Jaya Coated Peanuts Division, Pati.

(52)

Betty Cahya Timurti. F34052998. Pengaruh Konsentrasi Gelatin dan Metil Ester Sulfonat (MES) dalam Formulasi Deterjen Cair. Di bawah bimbingan Mulyorini Rahayuningsih dan Sugiarto. 2009

RINGKASAN

Deterjen merupakan salah satu produk pembersih yang banyak dimanfaatkan pada kegiatan pembersihan untuk laundry, alat-alat rumah tangga, transportasi, kegiatan komersial dan industri metal. Penggunaaan deterjen memiliki kaitan erat dengan keadaan ekosistem perairan. Permasalahan lingkungan terutama pada ekosistem perairan akibat penggunaan deterjen diharapkan dapat teratasi dengan pembuatan deterjen menggunakan komponen penyusun yang mudah didegradasi oleh alam.

Daya kerja yang baik belum cukup bagi deterjen cair yang ditujukan untuk keperluan komersil. Penampilan fisik juga perlu diperhatikan untuk meningkatkan daya jual. Deterjen dengan viskositas tinggi lebih disukai konsumen karena mereka beranggapan bahwa semakin tinggi viskositas semakin baik daya bersihnya. Oleh karena itu, selain menambahkan MES dalam formulasi deterjen, penelitian ini juga menambahkan gelatin yang bertujuan untuk meningkatkan viskositas deterjen yang dihasilkan.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi Metil Ester Sulfonat (MES) dan gelatin terbaik dalam formulasi deterjen cair dan mengetahui karakteristik fisikokimia serta kinerja deterjen cair yang dihasilkan. Konsentrasi terbaik ditentukan berdasarkan sifat fisikokimia dan kinerja deterjen cair yang dihasilkan serta berdasarkan perbandingan dengan produk-produk komersial. Pengukuran sifat fisikokimia meliputi pH, viskositas, bobot jenis dan stabilitas emulsi. Sedangkan pengukuran kinerja dari deterjen cair yang dihasilkan meliputi daya pembusaan, stabilitas busa dan daya deterjensi.

Penelitian ini diawali dengan pembuatan surfaktan MES, dengan mereaksikan metil ester dengan NaHSO3 pada suhu 100 oC dan waktu reaksi 4,5 jam. Selanjutnya dilakukan pembuatan deterjen cair dengan menambahkan konsentrasi MES 9%,11% dan 13% (b/b) dan gelatin dengan konsentrasi 0%,1%,1,5% dan 2% (b/b). Blanko dibuat tanpa menambahkan konsentrasi MES dan gelatin dalam formulasi. Pengambilan keputusan sampel terbaik dilakukan menggunakan program criterium decision plus (CDP). Pada tahap akhir dilakukan pengukuran karakteristik fisikokimia dan kinerja deterjen cair komersial sebagai pembanding.

Berdasarkan hasil pengukuran sifat fisikokimia, didapatkan nilai pH pada kisaran 4,11 – 7,46; bobot jenis 0,9795–1,1288 g/ml; viskositas 19,125- 356,250 cp; dan stabilitas emulsi 63,61-81,70%. Sedangkan pengukuran kinerja deterjen menghasilkan daya pembusaan pada kisaran 200-310 ml; stabilitas busa 0,6428-0,9643; dan daya deterjensi 35-53 FTU.

(53)

Gambar

Gambar 11. Grafik hubungan konsentrasi gelatin dengan konsentrasi MES dengan daya pembusaan
Gambar 12. Grafik hubungan konsentrasi gelatin dengan konsentrasi MES dengan stabilitas busa
Gambar 13. Grafik hubungan konsentrasi gelatin dan konsentrasi MES
Gambar 15. Grafik perbandingan nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial pembanding
+7

Referensi

Dokumen terkait

Conclusion The results of the study are: (1) The application of the approach in learning science process skills on “How to Plant Breeding” can improve student learning outcomes

Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera yang berada di Desa Jatimulyo Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan memberikan dampak perubahan pemanfaatan lahan

Tata urut baku dalam hal melaksanakan ziarah di makam Raden Ayu Siti Khotijah tidak bersifat baku, namun setidaknya dapatlah digambarkan urutan ziarah yang pada

Hal ini kemudian menciptakan sebuah pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat Yogyakarta menafsirkan makna Sabdaraja sebagai struktur kekuasaan yang dilanggengkan

The results showed that the ownership structure of firms in JII is dominated by the institutional ownership, which affects corporate dividend decision in a positive and significant,

Dengan mengamati denah rumah dan teks bacaan, siswa dapat menyebutkan isi teks berkaitan dengan lingkungan geografis di rumah dengan percaya diri.. Dengan

Jika siswa sudah bisa melakukan gerakan melempar dan memukul bola, maka guru dapat memberikan penugasan dalam melakukan gerakan kombinasi melempar atau memukul bola

Semua usaha yang dilakukan baik intensifikasi maupun ekstensifikasi usaha penangkapan ikan bertujuan untuk meningkatkan hasil tangkapan kapal pole and line , maka