• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

C. Kinerja Deterjen Cair 1 Daya Pembusaan

Daya pembusaan adalah kemampuan deterjen menghasilkan busa dengan konsentrasi deterjen 0,1 persen pada suhu ruang dengan menggunakan air suling (aquades) dan dalam waktu 0,5 menit. Busa pada penelitian ini diukur dengan satuan volume (MPOB, 2001). Data hasil analisis daya pembusaan berkisar antara 200-310 ml-0,5 menit dengan blanko 160 ml-0,5 menit. Berdasarkan hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor perlakuan konsentrasi gelatin berpengaruh (α = 0,05) nyata terhadap tingkat daya pembusaan deterjen cair yang dihasilkan, sedangkan konsentrasi MES dan interaksi antara konsentrasi MES dan konsentrasi gelatin tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan adanya dua kelompok rata-rata nilai daya pembusaan. Nilai daya pembusaan tertinggi terdapat pada konsentrasi gelatin 1 %. Konsentrasi gelatin 0 %, konsentrasi gelatin 2 % dan konsentrasi gelatin 1,5 % tidak berbeda nyata karena ketiga konsentrasi tersebut terdapat dalam satu kelompok. 1 1.02 1.04 1.06 1.08 1.1 1.12 1.14 0 1 1.5 2 B o b o t Je n is Konsentrasi Gelatin (%) Blanko MES 9 % MES 11 % MES 13 % 0 20 40 60 80 100 0 1 1.5 2 St ab il ita s E m u lsi ( % ) Konsentrasi Gelatin (%) Blanko MES 9 % MES 11 % MES 13 %

Gambar 5. Grafik hubungan konsentrasi gelatin dengan konsentrasi MES dengan daya pembusaan

Grafik diatas menunjukkan perbedaan yang signifikan antara daya pembusaan deterjen kontrol (blanko) dengan daya pembusaan deterjen produk. Analisis keragaman nilai daya pembusaan deterjen produk pada konsentrasi gelatin dengan deterjen kontrol (blanko) juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Penambahan gelatin diduga dapat meningkatkan daya pembusaan deterjen cair. Hal ini sesuai dengan fungsi gelatin sebagai fooming agent. Menurut Boeck et al. (1991), gelatin dapat digunakan sebagai pembangkit busa sehingga dihasilkan busa yang melimpah dan lembut.

2. Stabilitas Busa

Stabilitas busa adalah kemampuan busa deterjen untuk tetap ada pada larutan deterjen. Pengukuran terhadap stabilitas busa dilakukan dengan membadingkan nilai daya pembusaan pada selang waktu 5,5 menit dengan nilai pembusaan awal (0,5 menit). Hasil pengukuran terhadap stabilitas busa deterjen dinyatakan dalam satuan ml-5,5 menit/0,5 menit. Hasil analisis stabilitas busa berkisar antara 0,6428-0,9643 dengan rata-rata blanko sebesar 0,9063. Hasil analisis keragaman tingkat stabilitas busa menunjukkan bahwa konsentrasi MES, konsentrasi gelatin, serta interaksi konsentrasi MES dan konsentrasi gelatin tidak berpengaruh (α = 0,05) nyata terhadap deterjen cair yang dihasilkan.

Gambar 6. Grafik hubungan konsentrasi gelatin dengan konsentrasi MES dengan stabilitas busa

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa nilai stabilitas busa tiap sampel hampir sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa penambahan konsentrasi MES dan konsentrasi gelatin tidak memberikan pengaruh terhadap stabilitas busa deterjen cair yang dihasilkan. Hasil analisis keragaman nilai stabilitas busa produk terhadap nilai stabilitas busa kontrol (blanko) juga tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dengan kata lain, stabilitas busa produk deterjen tidak berbeda nyata terhadap nilai stabilitas busa kontrol (µ = µo).

3. Daya Deterjensi

Daya deterjensi merupakan parameter yang paling penting bagi deterjen. Daya deterjensi merupakan kemampuan deterjen untuk menghilangkan kotoran. Hasil analisis daya deterjensi berkisar antara 35 FTU-53 FTU dengan rata-rata blanko 31,5 FTU. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor perlakuan konsentrasi gelatin, konsentrasi MES dan interaksi antara kedua faktor perlakuan tersebut berpengaruh nyata terhadap daya deterjensi deterjen cair yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa konsentrasi MES 9, 11 dan 13 % saling berbeda nyata. Semakin banyak konsentrasi MES semakin tinggi daya deterjensinya. Konsentrasi gelatin 2 % tidak berbeda nyata dengan konsentrasi gelatin 1,5 %. Konsentrasi gelatin 1,5 dan 2 % berbeda nyata dengan konsentrasi 0 dan 1%. Hasil uji lanjut Duncan untuk interaksi konsentrasi MES dan konsentrasi gelatin memperlihatkan adanya empat kelompok rata-rata, dengan nilai tertinggi terdapat pada sampel P4S3 (konsentrasi gelatin 2 % dan konsentrasi MES 13 %).

Gambar 7. Grafik hubungan konsentrasi gelatin dan konsentrasi MES dengan daya deterjensi

Hasil analisis keragaman terhadap kontrol (blanko) menunjukkan adanya perbedaan nyata antara nilai daya deterjensi produk dan kontrol. Penambahan gelatin dan MES inilah yang membuat daya deterjensi deterjen produk menjadi meningkat apabila dibandingkan dengan kontrol. Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa penambahan konsentrasi MES meningkatkan nilai daya deterjensi deterjen cair yang dihasilkan. Kenaikan nilai daya deterjensi yang signifikan dengan konsentrasi MES diatas 11 % dapat disebabakan karena proses emulsifikasi diatas konsentrasi tersebut telah berjalan cukup sempurna (Idris, 2004). Proses deterjensi terjadi melalui pembentukan misel-misel oleh surfaktan yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses deterjensi terjadi melalui penurunan tegangan antar muka dan dibantu dengan adanya interaksi elektrostatik antar muatan (Lynn, 1996). Penambahan gelatin dapat meningkatkan daya deterjensi karena gelatin juga berfungsi sebagai surfaktan. Selain itu, gelatin juga meningkatkan daya pembusaan. Busa akan membantu mempertahankan kotoran agar tidak kembali ke substrat karena pengotor terjerat dalam busa. Jadi dengan kemampuannya mengangkat kotoran dan mempertahankannya agar tidak kembali lagi, gelatin dapat meningkatkan daya deterjensi.

0 100 200 300 400 0 1 1.5 2 D ay a Pe m b u saan ( m l) Konsentrasi Gelatin (%) Blanko MES 9 % MES 11 % MES 13 % 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 0 1 1.5 2 S ta b il it a s b u sa konsentrasi gelatin Blanko MES 9 % MES 11 % MES 13 % 0 20 40 60 0 1 1.5 2 D aya D e te rje ns i Konsentrasi Gelatin (%) Blanko MES 9 % MES 11 % MES 13 %

D. Penentuan Konsentrasi Deterjen Terbaik

Pengambilan keputusan sampel terbaik dilakukan dengan menggunakan program Criterium Decision Plus (CDP). Pembobotan dilakukan berdasarkan uji lanjut Duncan. Kriteria dirangking sesuai dengan tingkat kebutuhan deterjen yang ingin dihasilkan. Kriteria yang mempunyai rangking kecil diberikan bobot yang paling besar. Jadi, semakin kecil rangkingnya semakin besar bobotnya.

Daya deterjensi diberi rangking tertinggi karena daya deterjensi merupakan parameter utama kualitas deterjen. Hal tersebut karena daya deterjensi menunjukkan daya kerja deterjen dalam membersihkan pakaian. Semakin tinggi nilai daya deterjensi suatu deterjen maka dalam sistem pengambilan keputusan ini, produk tersebut akan diberi nilai bobot yang lebih tinggi.

Tabel 1. Pembobotan karakteristik deterjen Kriteria Rangking Bobot Daya deterjensi 1 0,286 Viskositas 2 0,238 pH 3 0,190 Bobot jenis 4 0,143 Stabilitas emulsi 5 0,095 Daya pembusaan 6 0,048 Stabilitas busa 7 0,000

E. Karakteristik Deterjen Cair Komersial Pembanding

Standar SNI tidak cukup untuk mengkategorikan sebuah produk deterjen cair sebagai produk dengan kualitas baik. Untuk itu, deterjen cair yang dihasilkan dalam penelitian ini dibandingkan dengan dengan deterjen cair yang ada di pasaran, yaitu YB dan YM. Deterjen cair komersial yang telah beredar di pasar dapat dikatakan telah memenuhi standar SNI. Namun beberapa karakteristik seperti stabilitas emulsi, viskositas, daya pembusaan, stabilitas busa, dan daya deterjensi bervariasi nilainya menurut kualitas (Idris, 2004). Deterjen cair komersial yang digunakan sebagai pembanding juga diukur karakteristiknya seperti deterjen cair yang dihasilkan ditambah analisis fosfat. Kemudian hasil pengukuran karakteristik deterjen komersial tersebut dibandingkan dengan deterjen cair terbaik yang dihasilkan.

Dari grafik perbandingan nilai stabilitas emulsi deterjen cair yang dihasilkan dibandingkan dengan deterjen cair komersial terlihat bahwa nilai stabilitas emulsi deterjen cair yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan dua jenis deterjen cair komersial pembanding. Hal ini mungkin dikarenakan penambahan gelatin dalam formulasi. Gelatin merupakan salah satu hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai gelifying agent, bahan pengental (thickening agent), atau bahan penstabil (stabilizer) (Imeson, 1992). Fungsi gelatin

sebagai stabilizer inilah yang mungkin membuat stabilitas deterjen cair yang dihasilkan menjadi lebih baik dibandingkan deterjen cair komersial pembanding.

Gambar 8. Grafik perbandingan nilai stabilitas emulsi deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial

Terkait fungsi gelatin sebagai pengental diharapkan kekentalan deterjen meningkat dengan penambahan gelatin dalam formulasi deterjen cair. Ternyata nilai kekentalan deterjen cair yang dihasilkan masih sangat jauh jika dibandingkan dengan deterjen cair komersial. Kekentalan deterjen cair yang dihasilkan hanya 135,63 cp, tetapi nilai ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai viskositas deterjen cair pencuci piring yang dihasilkan pada penelitian Idris (2004) pada konsentrasi MES 11% dan gelatin 1 %, yaitu 76,25 cp. Modifikasi kekentalan dapat dilakukan dengan penambahan konsentrasi gelatin atau pengental lainnya (Idris, 2004).

Gambar 9. Grafik perbandingan nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial pembanding

Nilai daya deterjensi deterjen yang dihasilkan jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan deterjen cair komersial pembanding. Hal ini mungkin dikarenakan penambahan MES dalam formulasi meningkatkan daya deterjensi. MES menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap kondisi air sadah, sehingga nilai daya deterjensinya lebih tingi dibandingkan beberapa jenis surfaktan sejenis seperti linier alkil sulfat (LAS) (MPOB, 2001).

Nilai daya pembusaan deterjen yang dihasilkan jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan deterjen komersial pembanding. Nilai daya pembusaan yang tinggi ini dikarenakan dua jenis deterjen komersial yang digunakan sudah ditambahkan defoamer (bahan untuk mengurangi jumlah busa). Penambahan defoamer ini berkaitan dengan aplikasi deterjen komersial tersebut, yaitu laundry menggunakan mesin cuci. Stabilitas busa dari deterjen cair yang dihasilkan juga cukup baik,

0 20 40 60 80 100 YB YM Gelatin 1,5 %, MES 11% S ta bi li ta s E mu lsi (% ) 0 2000 4000 6000 8000 YB YM Gelatin 1,5 %, MES 11% V is ko si tas (cp)

namun masih kalah bila dibandingkan dengan deterjen cair komersial pembanding. Deterjen komersial biasanya ditambahkan penstabil busa, sehingga busanya menjadi stabil.

Gambar 10. Grafik perbandingan nilai daya deterjensi deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial pembanding

Gambar 11. Grafik perbandingan daya pembusaan deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial pembanding

Gambar 12. Grafik perbandingan nilai stabilitas busa deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial pembanding

Total fosfat merupakan jumlah total fosfor yang terkandung dalam produk deterjen cair. Pengukuran total fosfat ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran deterjen terhadap perairan. Pada pengukuan total fosfat ini hanya dilakukan pada alternatif deterjen yang terbaik, yaitu deterjen dengan konsentrasi MES 11% dan konsentrasi gelatin 1,5%. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dengan dua kali ulangan, didapatkan nilai rata-rata total fosfat deterjen cair adalah 1380,375 mg/l. Untuk menentukan kualitas produk deterjen cair yang dihasilkan maka dibandingkan dengan produk pembanding yaitu YM dan YB. Kadar fosfat yang dihasilkan masih dalam selang kadar fosfat dalam deterjen cair komersial yang besarnya berturut- turut adalah YM mengandung 1314,65 mg/l dan YB 1766,85 mg/l. Berdasarkan syarat mutu SNI 19- 7188.2.1-2006 tentang kriteria ekolabel untuk kategori

produk serbuk deterjen pencuci sintetik untuk rumah tangga. Total kandungan fosfat dalam deterjen (diukur sebagai STTP) < 18 gr per 100 gr produk deterjen (18 % berat produk). Maka produk deterjen cair yang dihasilkan telah memenuhi syarat. Hal tersebut karena penambahan STPP pada formulasi deterjen cair hanya 10% berat produk.

Gambar 13. Grafik perbandingan nilai kadar fosfat deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial pembanding

III. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Penambahan Metil Ester sulfonat (MES) dengan konsentrasi 9, 11 dan 13% dalam formulasi deterjen memberikan pengaruh yang signifikan terhadap parameter pH, viskositas, stabilitas emulsi, daya deterjensi dan daya pembusaan. Sedangkan penambahan gelatin dengan konsentrasi 0, 1, 1,5 dan 2% memberikan pengaruh yang signifikan terhadap parameter viskositas dan daya deterjensi. Interaksi antara gelatin dan MES juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai stabilitas emulsi dan daya deterjensi. Sampel dengan penambahan MES 11 % dan gelatin 1,5 % merupakan sampel terbaik. Nilai karakteristik fisikokimia dan kinerja dari perlakuan terbaik yang terukur telah memenuhi standar SNI, untuk nilai pH sebesar 7,45; viskositas sebesar 135,625 cp; bobot jenis 1,0928 g/ml; stabilitas emulsi 78,75; daya deterjensi 50 FTU Turbidity; daya pembusaan 265 ml dan stabilitas busanya 0,8864 Analisis terhadap deterjen cair komersial menunjukkan keunggulan deterjen cair dengan konsentrasi MES 11 % dan gelatin 1,5 % adalah pada nilai stabilitas emulsi, daya pembusaan dan daya deterjensi. Deterjen yang dihasilkan lebih cocok digunakan sebagai deterjen untuk keperluan laundry. Hal ini mempertimbangkan dari nilai daya deterjensi dan nilai daya pembusaan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan deterjen cair komersial. Dengan demikian diharapkan deterjen cair yang dihasilkan mampu untuk diaplikasikan sebagai deterjen cair untuk laundry yang mempunyai daya cuci yang lebih baik jika dibandingkan dengan deterjen cair komersial yang telah ada dipasaran selama ini.

B. SARAN

1. Perlu pengkajian mengenai pengaruh suhu, lama waktu pencampuran, dan kecepatan putar pengadukan terhadap sifat fisiko kimia deterjen cair dengan pengental gelatin yang dihasilkan.

0 50 100 150 200 250 300 YB YM Gelatin 1,5 %, MES 11% D aya pe m bus aan (m l) 0.8 0.85 0.9 0.95 1 1.05 YB YM Gelatin 1,5 %, MES 11% S tabi li tas B us a 0 500 1000 1500 2000 YB YM Gelatin 1,5 %, MES 11% K adar F os fa t (m g /l ) 0 20 40 60 80 YB YM Gelatin 1,5 %, MES 11% D aya D e te rje ns i (F TU Turbi di ty )

2. Sebaiknya mengurangi atau mengganti penggunaan builders yang berbahan fosfat agar pencemaran fosfat di perairan bisa berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

Austin, G.T. 1987. Shreve’s Chemical Process Industries. Mc Graw Hill, Inc, USA.

Boeck, A. dan B. Stnechnak. 1991. Cosmetics and Toiletries Development, Production and Use. 1st Edition. Prentice Hall, New York.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2002. Statistik Impor Indonesia. BPS, Jakarta.

Gervasio, G.C. 1996. Deterjency. Di dalam Baileys’ Industrial Oils and Fats Product, Wiley Interscience Publisher, New York

Hidayati, Sri, Ilim dan P. Permadi. 2008. Optimasi Proses Sulfonasi untuk Memproduksi Metil Ester Sulfonat dari Minyak Sawit Kasar. Jurnal. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008, 17-18 November 2008. Universitas Lampung

Idris, I. 2004. Aplikasi Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) untuk Deterjen Cair. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB, Bogor

Imeson, A. 1992. Thickening and Gelling Agents for Food. Academic Press, England.

Mattjik, A.A. dan I M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor : IPB Press.

Ningrum, V. P. 2002. Aplikasi Gelatin sebagai Pengental pada Shower Gel. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian. IPB-Bogor. Pore, J. 1993. Oils and Fats Manual. Intercept Ltd.,

Andover – UK.

Shaw, D.J. 1980. Introduction to Colloid and Surface Chemistry. Butterworth. Oxford. England Sheats, W. B. dan MacArthur. 2002. Methyl Ester

Sulfonate Products. Jurnal. The chemithon corp.

Standar Nasional Indonesia. 2006. SNI 19-7188.2.1-2006 : Kriteria Ekolabel-Kategori Produk Deterjen. Badan Standarisasi Nasional.

Suryani, A., I. Sailah, E. Hambali. 2000. Teknologi Emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, IPB-Bogor.

Waistra, P. 1996. Encyclopedia of Emulsion Technology. Tire Dekkel Inc., New York.

Woollat, E. 1985. The Manufacture Soap, other Detergent and Glycerine. Ellis Horwood Ltd. West Sussex-England

ix

Dokumen terkait