• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK EKOLOGIS DAN DEGRADASI LANSKAP HUTAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU

Pendahuluan

Ekosistem hutan Batang Toru merupakan salah satu ekosistem hutan hujan tropis yang tersisa di Pulau Sumatera. Berbagai macam hidupan liar tumbuh dan berkembang dalam ekosistem hutan Batang Toru. Deforestasi telah menyebabkan kerusakan hutan sehingga mengurangi habitat hidupan liar. Deforestasi juga memunculkan hutan-hutan yang terfragmentasi.

Degradasi hutan merupakan perubahan di dalam hutan yang berefek negatif pada tegakan atau tapak (Lund 2009), menurunkan komposisi spesies, keanekaragaman hayati, dan produktivitas hutan (FAO 2006); terjadi perusakan tutupan lahan menjadi kurang dari 10 % yaitu hutan rapat menjadi hutan terbuka. Kerusakan hutan diindikasikan oleh adanya pengurangan tutupan kanopi atau pengurangan kualitas hutan karena penebangan, kebakaran, penggembalaan dan pengumpulan kayu bakar. Pembedaan kelas kerusakan hutan dalam nilai derajat kerusakan (misalnya ringan, sedang, sangat rusak) sangat penting, karena diperlukan untuk evaluasi perubahan selama proses pengrusakan, dan identifikasi area prioritas untuk pencegahan kerusakan. Kerusakan hutan dapat diduga dengan interpretasi citra satelit dari berbagai waktu perekaman yang berbeda. Meskipun sebenarnya sulit untuk menentukan indikator yang secara jelas bisa menilai degradasi hutan. Namun ada beberapa penciri yang dapat dijadikan sebagai indikator penilaian kerusakan hutan, yaitu kerapatan tegakan, penutupan hutan/kanopi, kehilangan biodiversitas (spesies), okupasi atau dominasi spesies invasif, erosi, habitat hidupan liar, dan nilai kayu maupun bukan kayunya. Komposisi dan struktur vegetasi merupakan indikator penentuan degradasi hutan

Populasi vegetasi dan perilakunya merupakan proses individu vegetasi yang membentuk karakteristik ekologi komunitas hutan (Krebs 2006). Pengelolaan ekosistem hutan harus mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dan fungsi ekologisnya (Whitmore 1990). Perbedaan kondisi tegakan memberikan informasi karakteristik ekologi tegakan yang berbeda seperti keanekaragaman hayati (Ng et al. 2009) dan kekayaan jenis (Bishoff et al. 2005). Parameter yang digunakan untuk menentukan kondisi ekosistem hutan adalah struktur dan komposisi vegetasi. Parameter tersebut antara lain indeks nilai penting, indeks keanekaragaman dan frekuensi Raunkiaer. Analisis vegetasi hutan bertujuan ntuk mengetahui komposisi jenis dan struktur suatu hutan (Misra 1980; Cox 1985; Kusmana 1997). Data dan informasi tersebut untuk menentukan kondisi kesimbangan komunitas hutan (Meyer 1952), menjelaskan interaksi di dalam dan antar jenis (Ludwig dan Reynolds 1988), dan memprediksi kecenderungan komposisi tegakan di masa mendatang (Whittaker 1974).

Restorasi dan rehabilitasi hutan memerlukan informasi kondisi komunitas hutan untuk menentukan strategi pelaksanaan restorasi. Melalui penelitian ini informasi dasar untuk merencanakan kegiatan restorasi dapat diperoleh. Penelitian bertujuan untuk (1) mengetahui karakteristik ekologi lanskap hutan yang terdegradasi, dan (2) membangun indeks degradasi hutan di DAS Batang Toru.

Metode Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta tutupan lahan, citra Landsat tahun 2013, peta sistem lahan, peta kontur, dan data vegetasi. Adapun alat yang digunakan adalah (1) alat survey lapangan, dan (2) alat analisis data. Alat survey lapangan terdiri atas meteran, haga, phi band, kompas, GPS dan kamera. Sedangkan alat analisis data yang digunakan adalah ERDAS Imagine, EXCEL dan SPSS.

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data vegetasi diperoleh dari pengukuran di petak contoh lapangan. Petak contoh lapangan diletakkan berdasarkan kerapatan hutan, tipe unit lahan, elevasi dan sub daerah aliran sungai. Pengambilan data vegetasi dilakukan di petak ukur (PU) dengan ukuran 50 m x 50 m. Pada setiap PU, semua permudaan pohon diidentifikasi, diukur diameter setinggi dada (diameter at breast height; DBH) dan tingginya. Petak ukur dibagi menjadi 4 kuadran yaitu kuadran I, II, II dan IV (Gambar 5). Vegetasi tingkat pohon yang memiliki diameter ≥ 20 cm diukur pada setiap kuadran, sedangkan tingkat semai, pancang dan tiang hanya diukur di satu kuadran saja. Jumlah petak ukur yang diinventarisasi sebanyak 35 buah. Adapun sebaran plot pengamatan lapangan diilustrasikan pada Gambar 6.

Gambar 5 Bentuk plot contoh lapangan 5 m x 5 m

Plot pengukuran pohon (diameter > 20 cm)

Plot pengukuran tiang (diameter 10 – 20 cm) (10 x 10 m)

Plot pengukuran pancang (diameter 5 – 10 cm) ukuran 5 m x 5 m

Plot pengukuran semai dan tumbuhan bawah (2 m x 2 m) 50 m 50 m 25 m x 25 m 10 m x 10 m 5 m x 5 m 2 m x 2 m II III IV II I

Gambar 6 Sebaran plot contoh lapangan di DAS Batang Toru Analisis data

a. Komposisi vegetasi

Vegetasi dikelompokkan berdasarkan tingkat pertumbuhan (growth stage), yaitu (a) semai, yakni permudaan mulai benih berkecambah sampai tingginya < 1,5 m, (b) pancang, yakni permudaan yang memiliki tinggi ≥ 1,5 m dan diameter < 10 cm, (c) tiang, yaitu permudaan yang memiliki diameter mulai 10 cm sampai kurang dari 20 cm, dan (d) pohon, yaitu pohon yang telah memiliki diamater 20 cm atau lebih. Untuk mengetahui jenis dominan di setiap tingkat pertumbuhan digunakan besaran indeks nilai penting (INP) (Cox 1985; Kreb 1989; Kusmana 1997), dimana INP terdiri atas kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif yang dihitung berdasarkan persamaan berikut:

contoh petak Luas jenis suatu individu K=

b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR)

% 100 x jenis seluruh K jenis suatu K KR=

c. Frekuensi suatu jenis (F)

− − = contoh petak sub Seluruh jenis suatu ditemukan petak Sub F

d. Frekuensi relatif suatu jenis (FR)

% 100 x jenis seluruh F jenis suatu F FR =

e. Dominansi suatu jenis (D)

contoh petak Luas jenis suatu dasar bidang Luas D=

f. Dominansi relatif suatu jenis (DR)

% 100 x jenis seluruh D jenis suatu D DR =

g. Indeks Nilai Penting (INP) DR FR KR

INP= + +

b. Frekuensi Raunkaier

Hukum Frekuensi Raunkaier 1934 (Misra 1980) digunakan untuk melihat penyebaran jenis dalam komunitas, yang terdiri atas 5 klas frekuensi, yaitu:

- Klas A : jumlah jenis dengan frekuensi 1 – 20% - Klas B : jumlah jenis dengan frekuensi 21 – 40% - Klas C : jumlah jenis dengan frekuensi 41 – 60% - Klas D : jumlah jenis dengan frekuensi 61 – 80% - Klas E : jumlah jenis dengan frekuensi 81 – 100% Komunitas hutan alam terdistribusi secara normal apabila :

Jika : a) E > D : Komunitas homogen

b) E < D : Komunitas terganggu c) A, E tinggi : Komunitas buatan d) B, C, D tinggi : Komunitas heterogen c. Keanekaragaman jenis

Indeks keanekaragaman jenis dihitung menggunakan persamaan Shannon dan Wiener (1949) dalam Ludwig dan Reynold (1988) dan Maguran (1988). Nilai indeks digunakan untuk menentukan tingkat gangguan terhadap ekosistem. Nilai indeks Shannon-Wiener dikelompokkan menjadi 3 kelas yaitu :

1. Nilai kurang 1,0: ekosistem mengalami gangguan berat A > B > C > D < E; atau

A > B > C = D < E; atau A > B > C < D < E

2. Nilai 1,0 – 3,332: ekosistem mengalami gangguan sedang 3. Nilai lebih 3,332: ekosistem mengalami gangguan rendah Indeks keanekaragaman hayati dirumuskan sebagai berikut:

dimana :

H’ = indeks keanekaragaman jenis

N = adalah total jumlah individu semua jenis yang ditemukan, i

n

= adalah jumlah individu spesies ke-i, dan s = adalah total jumlah spesies ditemukan. d. Struktur horisontal dan vertikal vegetasi

Untuk mengetahui struktur vertikal hujan hujan tropika dataran rendah, maka setiap individu pohon yang ditemukan di dalam PU dikelompokkan berdasarkan klas tinggi strata tegakan yaitu strata A (>30 m), B (20-30 m), C (8- 20 m), D (4-8 m) dan E (0-4 m). Kemudian dihitung kerapatan individu pada setiap klas tinggi. Adapun untuk mengetahui penyebaran diameter pohon di hujan hujan tropika dataran rendah, maka setiap individu yang dijumpai di PU dikelompokkan berdasarkan kelas diameter dengan interval 10 cm.

e. Indeks degradasi hutan

Indeks degradasi hutan merupakan suatu nilai yang menyatakan tingkat degradasi hutan. Indeks degradasi hutan berkisar antara 0 – 1 dimana indeks 0 menunjukkan kerusakan hutan rendah sedangkan indeks 1 menunjukkan tingkat kerusakan hutan sangat tinggi. Tingkat kerusakan hutan tinggi diindikasikan oleh kandungan biomassa rendah. Biomassa dapat diduga menggunakan NDVI dan MSAVI. Oleh karenanya degradasi hutan didekati menggunakan NDVI dan MSAVI. Biomassa hutan tinggi dimiliki oleh vegetasi hutan yang rapat. Dengan demikian kerapatan vegetasi dapat diduga menggunakan persamaan regresi disusun dengan peubah bebas NDVI sebagaimana dirumuskan pada persamaan [1] dan MSAVI menggunakan persamaan [2]; dengan menggunakan peubah tak bebas regresi kerapatan pohon (Wen et al. 2010, Nasution 2007). Skor total indeks degradasi hutan dihitung menggunakan persamaan [3]. Skor masing- masing kelas sub faktor NDVI dan MSAVI tertera pada Tabel 7. Adapun bobot masing-masing sub faktor ditentukan berdasarkan nilai koefisien regresi hubungan antara kerapatan vegetasi dan peubah bebas NDVI dan MSAVI. Skor total selanjutnya di-rescaling menggunakan persamaan [4].

NDVI = (NIR- red)/(NIR+ red) [1]

dimana :

NDVI = normalized difference vegetation index NIR = band near infra red

Red = band red

MSAVI2= 0.5 (2x NIR+1)- (2x NIR+1)2 – 8(NIR+ red) [2]

( )

1 1 ' ln ; S i i i i i s i i i n n H p p p N n = = = −

= =

dimana :

MSAVI2 = modified soil adjusted vegetation index NIR = band infra merah dekat (near infra red) Red = band merah (red)

= = n i i i f w W 1 . ; [3] dimana :

W = skor total faktor ,

fi = bobot sub faktor ke i, dan wi = skor sub faktor ke i

Ind = x ind_faktor$% − ind_faktor$'() [4]

dimana :

Ind_DH = nilai indeks degradasi hutan Skortotal = skor total sebagai input Skortot- min = total skor minimum Skortot-maks = total skor maksimum Ind_faktor maks = indeks faktor maksimum Ind_faktor min = indeks faktor minimum

Berdasarkan nilai hasil rescaling yang merupakan indeks degradasi hutan dan sub faktor degradasi hutan dilakukan analisis regresi. Persamaan indeks degradasi hutan diduga menggunakan model regresi seperti pada persamaan [5].

y = a + bi xi [5]

dimana :

y = indeks degradasi hutan a = intercept;

bi = koefisien regresi;

xi = nilai sub faktor degradasi hutan Tabel 8 Skor sub faktor NDVI dan MSAVI

Sub faktor Kelas Skor Sub faktor Kelas Skor

NDVI < 0 5 MSAVI < 0 5

0 – 0,25 4 0 – 0,25 4

0,25 – 0,50 3 0,25 – 0,50 3

0,50 – 0,75 2 0,50 – 0,75 2

> 0,75 1 > 0,75 1

Hasil dan pembahasan Hasil

a. Komposisi jenis

Inventarisasi hutan di sub DAS Batang Toru Hilir, Puli dan Sarula berhasil mengidentifikasi sebanyak 79 jenis tumbuhan tingkat pohon, 44 jenis tumbuhan tingkat tiang, 55 jenis tumbuhan tingkat pancang, dan 44 jenis tumbuhan tingkat

semai. Jumlah jenis tumbuhan yang diidentifikasi di lapangan pada seluruh tingkat pertumbuhan adalah 111 jenis vegetasi (Lampiran 1). Data vegetasi diperoleh dari pengukuran di tipe tutupan lahan hutan dan kebun campuran. Kondisi kebun campuran secara umum mendekati kondisi hutan terutama kebun campuran yang memiliki berbagai jenis vegetasi (Gambar 5). Hutan di daerah penelitian secara visual dapat dibedakan ke dalam hutan jarang, sedang dan rapat sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Kebun campuran yang sudah mendekati kondisi hutan alam di sub DAS Puli

(a) (b) (c)

Gambar 8 Kondisi penutupan hutan lebat (a), sedang (b), dan jarang (c) di sub DAS Sarula

a.1. Komposisi jenis tumbuhan sub DAS Batang Toru Hilir

Hasil analisis vegetasi pada plot penelitian, menunjukkan jenis tumbuhan yang mendominasi pada tingkat pohon adalah hoteng barangan (Castanopsis inermis Jack.) dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 63,50 % dan yang paling rendah adalah jenis karet (Hevea brasiliensis) dengan INP = 14,86 %. Hasil analisis vegetasi lima jenis tumbuhan dominan pada tingkat pohon disajikan pada Tabel 9.

Terdapat perbedaan dominansi jenis pada tingkat tiang yaitu INP tertinggi ditemukan pada jenis hoteng (Quercus gemelliflora Blume) sebesar 30,02 % dan darodong (Kneme conferta Warb) sebesar 26,33 % sedangkan jenis yang memiliki INP terendah adalah jenis mayang (Palaquium hexandrum) 25,29 %.

Tabel 9 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang di hutan sub DAS Batang Toru Hilir

Nama lokal Nama latin KR (%) FR (%) DR (%) INP(%) a. Pohon

Hoteng

barangan Castanopsis inermis Jack. 10,00 11,11 42,39 63,50 Jengkol Archidendron pauciflocium 7,82 12,93 16,65 37,40 Mangga Mangifera indica 7,88 14,96 12,12 34,96

Attumbus

Campnospermae auriculata

Hook.f. 10,00 11,11 8,81 29,92

Durian Durio zibethinus 6,60 9,51 12,55 28,65 b.Tiang

Hoteng Quercus gemelliflora Blume 6,67 12,50 10,86 30,02 Darodong Kneme conferta Warb 6,67 12,50 7,17 26,33 Durian Durio zibethinus 6,67 12,50 6,72 25,89 Inggolam - 6,67 12,50 6,11 25,27 Mayang Palaquium hexandrum 6,67 12,50 5,13 24,30

Pada tingkat pertumbuhan pancang, jenis yang dominan adalah jenis karet (Hevea braziliensis) dengan nilai indeks INP sebesar 30,78 % disusul oleh jenis coklat (Theobrama cacao) dengan INP sebesar 26,23 %. Jenis asam hing (Dracontomelon dao) memiliki INP terendah pada tingkat pancang yaitu sebesar 11,95 % (Tabel 10). Jenis dominan pada tingkat semai berbeda dengan tingkat pancang, tiang dan pohon yaitu jenis karet dengan INP mencapai 140 %, sedangkan jenis paling tidak dominan adalah oleh jenis jengkol (Archidendron pauciflocium) dengan nilai INP terendah sebesar 19,17 % (Tabel 10).

Tabel 10 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai di hutan sub DAS Batang Toru Hilir

Nama lokal Nama latin KR (%) FR (%) INP (%) a. Pancang

Karet Hevea braziliensis 17,14 13,64 30,78

Coklat Theobrama cacao 17,14 9,09 26,23

Hau dolok Syzygium sp. 8,57 9,09 17,66

Mayang Palaquium hexandrum 8,57 9,09 17,66 Jilok Pternandra cordata 5,71 9,09 14,81 b. Semai

Karet Hevea braziliensis 12,5 50,00 140,00 Attumbus Campnospermae auriculata Hook.f. 22,5 16,67 21,67 Cempedak Arthocarpus integer Merr 12,5 16,67 19,17 Jengkol Archidendron pauciflorum 12,5 16,67 19,17

a.2. Komposisi jenis di sub DAS Puli

Vegetasi pohon di sub DAS Puli didominasi oleh jenis medang jantan (Litsea sp.) dengan INP sebesar 75,39 % dan yang paling rendah jenis medang pokat (Litsea sp.) dengan INP = 5,98 %. Adapun lima jenis tumbuhan dominan

pada tingkat pohon disajikan pada Tabel 11. Jenis dominan pada tingkat tiang yang ditemukan adalah jenis karet (Hevea braziliensis) dengan INP sebesar 34,13 % dan diikuti jenis darodong (Kneme conferta Warb) dengan INP sebesar 26,33 %. Jenis vegetasi yang memiliki INP terendah adalah jenis dori dori (Tarrieta sp.) yaitu sebesar 3,5 %.

Tabel 11 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang di hutan sub DAS Puli

Nama lokal Nama latin KR

(%) FR (%) DR (%) INP (%) a.Pohon

Medang jantan Litsea sp. 20,00 25,00 30,39 75,39 Kapas-kapas Kokoona littoralis Laws 20,00 25,00 25,40 70,40 Simartolu Schima wallichii 20,14 20,92 18,18 59,24 Atturmangan Casuarina sumatrana Jungh 12,50 12,50 35,01 42,50 Jabi-jabi Ficus benjamina 9,52 20,00 9,12 38,64 b.Tiang

Karet Hevea brasiliensi 17,92 3,85 12,36 34,13 Hoteng Quercus gemelliflora (Blume) 9,14 9,62 9,98 28,74 Randuk

kambing Alstonia macrophylla Wall 7,17 7,69 7,42 22,28 Hau dolok Syzygium sp. 7,35 9,62 4,34 21,30

Pada tingkat pertumbuhan pancang, jenis yang dominan adalah jenis sitarak (Macaranga lowii King ex Hook) dengan nilai indeks INP sebesar 19,26 % disusul oleh jenis hau dolok (Syzygium sp.) dengan INP sebesar 18,50 % (Tabel 12). Nilai INP terendah tingkat pancang ditemukan pada jenis hoteng barangan (Quercus sp.) memiliki INP terendah pada tingkat pancang yaitu sebesar 2,17 %. Namun pada tingkat semai jenis yang mendominasi berbeda dengan tingkat pancang yaitu jenis karet dengan INP mencapai 140 % (Tabel 12), sedangkan INP terendah dimiliki oleh jenis mayang durian (Palaquium obovatum Engl Var.) yaitu sebesar 2,27 % .

Tabel 12 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai di hutan sub DAS Puli

Nama lokal Nama latin KR (%) FR (%) INP (%) a.Pancang

Sitarak Macaranga lowii King ex Hook.f 12,50 6,76 19,26 Hau dolok Syzygium sp. 7,69 10,81 18,50 Rukam 7,69 4,05 11,75 Randuk kambing Alstonia macrophylla Wall 5,77 5,41 11,17 Simartulan Macaranga hosei King ex Hook.f. 6,73 1,35 8,08 b. Semai

Hoteng Quercus gemelliflora Blume 10,08 8,70 18,77 Lando-lando Urophyllum arboretum Korth 9,30 5,80 15,10 Hau dolok Syzygium sp. 6,98 7,25 14,22 Sihondung Melletia atropurpurea B.et. H. 6,20 5,80 12,00 Medang Litsea brachystachys Boerl. 4,65 5,80 10,45

a.3. Komposisi jenis di sub DAS Sarula

Hasil analisis vegetasi lokasi penelitian, menunjukkan jenis tumbuhan yang mendominasi pada tingkat pohon adalah kemenyan (Styrax paralleloneur us Perk.) dengan INP sebesar 118,00 % dan yang paling rendah jenis medang (Litsea brachytachys Boerl.) dengan INP sebesar 44,45 %. INP lima jenis tumbuhan dominan pada tingkat pohon disajikan pada Tabel 13.

INP tertinggi tingkat tiang juga dimiliki oleh jenis kemenyan (Styrax paralleloneur us Perk.) sebesar sebesar 49,74 % dan karet (Hevea brasiliensis) sebesar 36,26 % sedangkan INP terendah adalah jenis nangka (Artocarpus heterophyllus) sebesar 10,45 %. Tabel 13 menunjukkan lima jenis dominan pada tingkat pertumbuhan pohon dan tiang di sub DAS Sarula.

Tabel 13 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang di hutan sub DAS Sarula

Nama lokal Nama latin KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) a.Pohon

Kemenyan Styrax paralleloneur us Perk. 46,52 31,48 40,00 118,00 Hau Dolok Syzigium sp. 12,54 12,53 38,92 102,96 Medang

Hunik Sapium sp. 28,57 22,22 27,28 78,07 Dapdap Fagara rhetsa Roxb. 1,00 0,05 18,24 58,24 Sitarak Macaranga lawii King ex.

Hook.f. 1,00 0,03 13,96 53,96

b. Tiang

Kemenyan Styrax paralleloneur us Perk. 8,70 15,00 26,05 49,74 Karet Hevea brasiliensis 23,91 10,00 2,35 36,26 Hasona Pterocarpus indicus 21,74 5,00 4,36 31,10 Horeng

Bunga Quercus pseudomoluc ca Bl. 4,35 10,00 15,40 29,75 Hau Dolok Syzigium sp. 6,52 15,00 6,90 28,43

Tingkat pertumbuhan pancang sub DAS Sarula didominasi oleh jenis kakao (Theobrama cacao) dengan nilai indeks INP sebesar 96,90 %; berikutnya jenis karet (Hevea brasiliensis) dengan INP sebesar 15,23 % (Tabel 14). Nilai INP terendah tingkat pancang ditemukan pada jenis tinggiran (Syzigium sp.) sebesar 6,44 %. Sedangkan pada tingkat semai jenis yang mendominasi adalah hau dolok (Syzigium sp.) dengan INP mencapai 46,03 (Tabel 14) dan INP terendah dimiliki oleh jenis jengkol (Archidendron pauciflocium) yaitu sebesar 20,63 %.

b. Indeks keragamanan jenis

b.1. Keanekaragaman jenis vegetasi di sub DAS Batang Toru Hilir

Analisis indeks keragamanan jenis menunjukkan bahwa vegetasi hutan di sub DAS Batang Toru Hilir memiliki indeks Shannon Wiener berkisar antara 0,77 – 2,43 (Tabel 15). Hal ini menunjukkan produktifitas ekosistem hutan sub DAS Batang Toru Hilir termasuk ke dalam kategori cukup. Kerapatan tegakan berkisar antara 40 – 88 individu per ha.

Tabel 14 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai di hutan sub DAS Sarula

Nama lokal Nama latin KR (%) FR (%) INP (%) a.Pancang

Kakao Theobrama cacao 70,59 26,32 96,90

Karet Hevea brasiliensis 4,71 10,53 15,23

Petai Parkia speciosa 3,53 10,53 14,06

Hau Dolok Syzigium sp. 3,53 5,26 8,79

Jengkol Archidendron pauciflocium 1,18 5,26 6,44 b.Semai

Hau Dolok Syzigium sp. 23,81 22,22 46,03

Tinggiran Syzigium sp. 19,05 22,22 41,27

Sapot Macaranga igantean Muell. Arg. 19,05 11,11 30,16 Andulpak Phyllantus indicus Muell. Arg. 9,52 11,11 20,63 Hoteng Quercus gemelliflora Blume. 9,52 11,11 20,63

Tabel 15 Nilai indeks keanekaragaman jenis komunitas hutan sub DAS Batang Toru Hilir

Kode plot Indeks keragaman Kerapatan (ind/ha) LBDS (m2)

TORU1 1,83 40,00 3,43 TORU2 2,43 60,00 4,33 TORU3 0,95 52,00 3,43 TORU4 1,64 44,00 3,06 TORU5 0,54 52,00 1,32 TORU6 0,27 88,00 0,95

b.2. Keanekaragaman jenis vegetasi di sub DAS Sarula

Berdasarkan analisis indeks keragaman, hutan sub DAS Sarula (Tabel 16) memiliki nilai indeks Shannon Wiener hanya sebesar 0,86 – 1,86 yang berarti hutan tersebut memiliki tingkat keanekaragaman jenis yang rendah, dan produktivitas rendah. Hal ini menunjukkan hutan sedang mengalami gangguan ekologis yang berat. Gangguan ekologis yang berat akan menyebabkan ekosistem tidak stabil. Secara umum hutan di sub DAS Sarula mempunyai kerapatan pohon berkisar antara 20 - 73 individu per hektar.

b.3. Keanekaragaman jenis vegetasi di sub DAS Puli

Berdasarkan nilai indeks Shannon Wiener (Tabel 17), hutan di sub DAS Puli mengalami tekanan ekosistem yang sedang. Nilai indeks Shannon Wiener vegetasi pohon berkisar antara 1,0 – 2,4. Hutan-hutan di kawasan sub DAS Puli umumnya berada pada ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut, dan berada pada kelerengan-kelerengan yang curam.

Tabel 16 Nilai indeks keanekaragaman jenis komunitas hutan sub DAS Sarula Kode plot H’ Kerapatan (ind/ha) LBDS (m2/ha)

SRL1 0,87 24,00 4,839 SRL2 1,50 73,33 3,479 SRL3 1,89 36,00 4,479 SRL4 1,28 28,00 1,384 SRL5 1,16 28,00 1,384 SRL6 1,24 52,00 3,539 SRL7 1,09 72,00 9,611 SRL8 1,33 20,00 1,654 SRL9 1,24 24,00 1,610 SRL10 0,90 32,00 3,240

b.3. Keanekaragaman jenis vegetasi di sub DAS Puli

Berdasarkan nilai indeks Shannon Wiener (Tabel 17), hutan di sub DAS Puli mengalami tekanan ekosistem yang sedang. Nilai indeks Shannon Wiener vegetasi pohon berkisar antara 1,0 – 2,4. Hutan-hutan di kawasan sub DAS Puli umumnya berada pada ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan laut, dan berada pada kelerengan-kelerengan yang curam.

Tabel 17 Nilai indeks keanekaragaman jenis komunitas hutan sub DAS Puli

Kode plot H’ Kerapatan (ind/ha) LBDS (m2/ha)

PULI1 1,10 12,00 0,98 PULI2 1,33 20,00 1,27 PULI3 0,96 28,00 1,04 PULI4 1,91 32,00 2,26 PULI5 1,42 44,00 3,33 PULI6 2,15 44,00 2,95 PULI7 1,91 48,00 4,74 PULI8 1,67 56,00 4,68 PULI9 2,06 64,00 4,86 PULI10 2,27 72,00 3,54 PULI11 2,40 84,00 5,43 PULI12 2,20 92,00 7,72

Tegakan hutan di sub DAS Toru Hilir mempunyai luas bidang dasar (LBDS) tegakan pohon berdiameter lebih dari 10 cm berkisar antara 0,95 – 4,33 m2 per ha, di sub DAS Puli sebesar 0,98 – 7,72 m2 /ha dan di sub DAS Sarula sebesar 1,38 – 9,61 m2/ha dengan kerapatan yang rendah yaitu masing-masing berkisar antara 40 - 88 ind/ha, 12- 92 individu per ha dan 20 – 73 ind/ha. Nilai luas bidang dasar tersebut lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam sekitar Sungai Ranun Sumatera yang mencapai 23 – 42 m2 per ha (MacKinnon 1986). Pada kawasan hutan ini, keanekaragaman jenis tumbuhan tingkat semai

0 5 10 15 20 25 30 35 40 A B C D E Ju m la h j en is

Batang Toru Hilir Sarula Puli

berkategori tinggi (H’ > 3,332), tingkat pancang berkategori rendah (H’ < 1,0), tingkat tiang dan tingkat pohon berkategori rendah (H’ < 1,0) di semua sub DAS. c. Frekuensi Raunkiaer

Frekuensi Raunkiaer menyatakan kestabilan sebuah ekosistem. Hasil analisis menunjukkan bahwa komunitas hutan sub DAS Puli dan Sarula mengalami gangguan, sedangkan komunitas hutan di sub DAS Batang Toru Hilir adalah homogen. Tabel 18 menunjukkan jumlah jenis klas E < D, maka komunitas hutan tropis di sub DAS Puli dan Sarula merupakan komunitas terganggu Berdasarkan hukum frekuensi Raunkiaer (Gambar 9) diketahui bahwa jenis-jenis pohon lanskap hutan hujan tropika Batang Toru terdistribusi secara tidak normal. Dengan demikian, komunitas hutan di ketiga sub DAS merupakan komunitas hutan yang tidak normal. Hutan-hutan sub DAS Puli dan Sarula merupakan bekas tebangan dan bekas kebun-kebun masyarakat yang telah lama ditinggalkan. Sebagian lagi merupakan hutan yang mendapatkan gangguan penebangan. Hal ini juga sesuai dengan hasil analisis struktur horisontal tegakan hutan di ketiga sub DAS tidak menyerupai struktur tegakan normal hutan alam.

.

Gambar 9 Penyebaran jenis-jenis pohon di lanskap hutan hujan tropika di DAS Batang Toru

Tabel 18 Nilai frekuensi Raunkaier di masing-masing sub DAS

Sub DAS Frekuensi Raunkaier Kondisi komunitas Batang Toru Hilir A<B>C>D<E Komunitas homogen Puli A<B>C<D>E Komunitas terganggu Sarula A<B<C>D>E Komunitas terganggu d. Struktur tegakan

d.1. Struktur horisontal tegakan hutan

Struktur horisontal vegetasi sub DAS Batang Toru Hilir

Gambar 10 menunjukkan struktur horisontal tegakan hutan di sub DAS Batang Toru Hilir yang belum menyerupai struktur horisontal tegakan hutan alam normal. Tegakan hutan di sub DAS Batang Toru Hilir belum mencapai kondisi hutan alam normal. Hal ini berarti tegakan hutan sub DAS Batang Toru Hilir mengalami gangguan dan sedang menuju ke arah pembentukan hutan normal.

y = 145,6e-0,06x R² = 0,701 0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 20 40 60 Ju m la h p o h o n (i n d / h a)

Nilai tengah kelas diameter (cm)

y = 26,24 e-0,02x R² = 0,724 0 5 10 15 20 25 30 35 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Ju m la h p o h o n (i n d /h a)

Nilai tengah kelas diameter (cm)

Persamaan eksponensial yang dibuat untuk menggambarkan kecenderungan hubungan antara kelas diameter dan jumlah pohon dengan koefisien determinasi sebesar 72,42 %.

Gambar 10 Struktur horisontal tegakan hutan di sub DAS Batang Toru Hilir Struktur horisontal vegetasi sub DAS Sarula

Grafik pada Gambar 11 menunjukkan bahwa struktur horisontal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas belum menggambarkan bentuk kurva ‘J’ terbalik sebagaimana dimiliki oleh sebuah hutan alam normal. Jumlah pohon terbanyak berada pada kelas diameter 25 - 30 cm, sementara pada kelas diameter terkecil memiliki jumlah pohon lebih rendah. Hutan di sub DAS Sarula mengalami tekanan dari luar sehingga strukturnya tidak normal. Persamaan eksponensial menggambarkan kecenderungan hubungan antara jumlah pohon dan kelas diameter, dengan nilai koefisien determinasi sebesar 70,1 %.

Gambar 11 Struktur horisontal tegakan dengan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Sarula

Struktur horisontal vegetasi sub DAS Puli

Berdasarkan analisis kecenderungan hubungan antara jumlah pohon dan kelas diameter di sub DAS Puli, struktur tegakan horisontalnya belum menyerupai atau membentuk huruf “J” terbalik (berupa kurva eksponensial negatif) dengan sebaran kelas diameter batangnya mulai dari 10-24 cm hingga 60 – 64 seperti

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

Strata D Strata C Strata B Strata A

Ju m la h p o h o n (i n d /h a) Strata tegakan y = 92,02 e-0,08x R² = 0,74 0 5 10 15 20 25 30 35 0 20 40 60 80 Ju m la h p o h o n (i n d /h a)

Nilai tengah kelas diameter (cm)

tampak pada Gambar 12. Namun demikian ada kecenderungan jumlah individu pohon berkurang dengan semakin besarnya ukuran diameter batang pohon tersebut. Dengan demikian struktur tegakan horizontalnya belum merupakan struktur tegakan yang mendekati hutan alam (natural uneven-age balanced