• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Spasial Indeks Restorasi Lanskap Hutan Tropis Terdegradasi Daerah Aliran Sungai Batang Toru, Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Spasial Indeks Restorasi Lanskap Hutan Tropis Terdegradasi Daerah Aliran Sungai Batang Toru, Sumatera Utara"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

LANSKAP HUTAN TROPIS TERDEGRADASI

DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU SUMATERA UTARA

S A M S U R I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Spasial

Indeks Restorasi Lanskap Hutan Tropis Terdegradasi Daerah Aliran Sungai

Batang Toru Sumatera Utara adalah benar-benar merupakan karya saya sendiri

dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Samsuri

(3)

Daerah Aliran Sungai Batang Toru, Sumatera Utara. Dibimbing oleh I NENGAH SURATI JAYA, CECEP KUSMANA, dan KUKUH MURTILAKSONO

Restorasi lanskap hutan adalah kegiatan untuk mengembalikan lanskap hutan mendekati bentuk lanskap hutan seperti sebelumnya. Untuk menentukan lanskap hutan terdegradasi yang harus direstorasi perlu disusun kriteria dan indikator penentunya. Degradasi lanskap hutan secara ekologis diindikasikan oleh keberlangsungan aliran materi dalam ekosistem hutan. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelancaran aliran materi dalam ekosistem hutan adalah tingkat fragmentasi dan tingkat konektivitas hutan. Restorasi lanskap hutan juga harus mendapat dukungan dari masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Tingkat kemungkinan partisipasi masyarakat menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan restorasi lanskap hutan.

Penelitian ini bertujuan untuk membangun indeks degradasi hutan, indeks fragmentasi hutan, indeks konektivitas hutan, indeks degradasi lahan, dan indeks restorasi lanskap hutan yang terdegradasi di DAS Batang Toru. Analisis spasial menggunakan ArcGIS 9.3 dilakukan untuk mendapatkan model indeks degradasi hutan, indeks fragmentasi hutan, indeks konektivitas hutan, dan indeks restorasi lanskap hutan yang terdegradasi. ERDAS Imagine versi 9.1 digunakan untuk menentukan tipe penutupan lahan berdasarkan citra satelit landsat tahun liputan 1989, 2000 dan 2013. Tipe tutupan lahan hasil interpretasi citra satelit dianalisis dengan FRAGSTAT versi 3.3 untuk mendapatkan metrik lanskap.

Indeks restorasi lanskap hutan menyatakan tingkat prioritas restorasi di suatu lanskap hutan. Indeks restorasi dinyatakan dalam rentang angka 0 – 1, yang berarti semakin mendekati nilai 1 prioritas akan semakin tinggi dan sebaliknya semakin mendekati nilai 0 prioritas restorasi semakin menurun. Indeks restorasi dibangun menggunakan 4 faktor yaitu indeks kerusakan hutan, indeks fragmentasi hutan, indeks konektivitas hutan dan indeks degradasi lahan.

Faktor kondisi ekologis lanskap hutan diindikasikan oleh kondisi tegakan hutan yaitu nilai indeks keanekaragaman jenis, luas bidang dasar dan kerapatan tegakan. Kerapatan tegakan diduga menggunakan nilai NDVI dan MSAVI yang diperoleh dengan pengolahan citra landsat. Kerapatan tegakan selanjutnya digunakan untuk menentukan indeks degradasi hutan. Faktor fragmentasi lanskap hutan ditentukan menggunakan nilai metrik lanskap yaitu nilai indeks proximity, path density, area dan indeks contiguity. Faktor konektivitas lanskap hutan dibangun menggunakan nilai matrik lanskap yaitu metrik connectan, dan radius of gyration. Indeks degradasi lahan dibangun dengan menggunakan faktor karakteristik fisik tanah, kimia tanah dan dampak kerusakan (erosi).

(4)

93,58 %. Penelitian menunjukkan tingkat fragmentasi meningkat dari periode 1989-2013. Indeks fragmentasi lanskap hutan tinggi sebagian besar ditemukan di bagian hilir DAS Batang Toru. Fragmentasi menyebabkan turunnya konektivitas habitat hidupan liar. Oleh karena itu, kegiatan restorasi direkomendasikan untuk dimulai dari lanskap hutan dengan tingkat fragmentasi lebih tinggi, karena lanskap hutan dengan indeks fragmentasi tinggi umumnya mendapatkan gangguan lebih tinggi sehingga harus mendapatkan prioritas dalam restorasi lanskap hutan.

Indeks konektivitas ditentukan menggunakan persamaan y3 = -0,009 + 0,286 x6 + 3,059 10-5 x7; dimana x6 adalah radius of gyration dan x7 adalah connectan, dengan nilai koefisien determinasi model sebesar 90,00 %. Indeks konektivitas lanskap hutan Batang Toru cenderung menurun dalam kurun waktu 1989-2013. Berdasarkan nilai indeks konektivitas, sub DAS Batang Toru Hilir memiliki indeks konektivitas lebih rendah dibandingkan dengan sub DAS Puli dan Sarula. Sebagai habitat hidupan liar, indeks konektivitas lanskap hutan Batang Toru harus dipelihara dan dikembalikan melalui restorasi dan atau rehabilitasi hutan yang terdegradasi. Lanskap hutan terdegradasi dengan indeks konektivitas yang rendah harus mendapatkan prioritas restorasi.

Indeks degradasi lahan ditentukan oleh sub faktor bobot isi, tekstur tanah, C organik dan tipe erosi. Peta indeks degradasi lahan menunjukkan bahwa persentase luas indeks degradasi lahan di landscape DAS Batang Toru terdiri atas tingkat degradasi lahan sangat rendah (29,21 %), tingkat degradasi lahan rendah (21,35 %) tingkat degradasi lahan sedang (30,17 %), tingkat degradasi lahan tinggi (16,49 %) dan tingkat degradasi lahan sangat tinggi (2,78 %). Lahan dengan tipe tutupan lahan hutan dan kebun campuran lebih rendah tingkat degradasi lahannya. Lahan dengan tutupan lahan pertanian lahan memiliki luas tingkat degradasi lahan tinggi dan sangat tinggi paling luas. Indeks degradasi lahan tinggi dan sangat tinggi terluas berada di sub DAS Batang Toru Hilir. Tingginya aktifitas manusia di bagian hilir DAS Batang Toru memicu terjadinya degradasi lahan.

Empat indeks faktor digunakan untuk membangun model indeks prioritas restorasi lanskap hutan. Analisis PCA menghasilkan 6 model yaitu (1) model dengan menggunakan 3 faktor indeks (2) model menggunakan 2 faktor indeks, dan (3) model menggunakan 1 faktor indeks. Uji validasi yang dilakukan menunjukkan keenam model valid berdasarkan uji Zmean. Uji akurasi menghasilkan 2 model yang memiliki akurasi relatif tinggi dibandingkan dengan yang lainnya yaitu model yang menggunakan dua variabel yaitu (1) Z3= 0,547 y2 + 0,453 y4, dan (2) z4= 0,491 y3 + 0,509 y4. Uji lanjutan yaitu akurasi Kappa menunjukkan model 4 lebih baik dibanding dengan model 3, sehingga model 3 digunakan untuk membuat peta indeks restorasi.

Model spasial indeks restorasi tersebut digunakan untuk membuat peta prioritas restorasi lanskap hutan yang terdegradasi di DAS Batang Toru. Peta indeks restorasi menunjukkan sub DAS Puli memiliki indeks restorasi kelas sedang dan tinggi relatif lebih luas dibandingkan dengan sub DAS lainnya. Sub DAS Puli seharusnya menjadi tapak prioritas dibandingkan dengan ketiga sub DAS lainnya jika kegiatan restorasi lanskap DAS Batang Toru dilaksanakan.

(5)

Batang Toru Watershed, North Sumatera. Supervised by I NENGAH SURATI JAYA, CECEP KUSMANA, and KUKUH MURTILAKSONO

Forest landscape restoration is an activity that aims in restoring the forest landscape until it close to the original forest landscape. In order to determine which degraded forest landscape requiring a restoration, a criteria and indicator must first be established. Socio-economic and ecological criteria are used to determine restoration priorities. The forest landscape degradation was ecologically determined by the material flow continuity within the forest ecosystem. One of the factors that influenced the smooth flow of material within the forest ecosystem is the degree of forest connectivity and fragmentation. The forest landscape restoration should also be supported by the community inside and adjacent to the forest. The probability degree of community participation is one of the important factors in determining the success of forest landscape restoration.

The objective of this study is to formulate a forest degradation index, forest fragmentation index, forest connectivity index, forest degradation index, and degraded forest landscape restoration index in Batang Toru watershed. A spatial analysis using ArcGIS 9.3 was performed to develop model of forest degradation index, forest fragmentation index, and degraded forest landscape restoration index. ERDAS Imagine versi 9.1 was used to determine land cover type based on Landsat satellite imagery in 1989, 2000 and 2013. Land cover type resulted from the satellite imagery was analyzed by FRAGSTAT version 3.3 to obtain landscape metrics.

The forest landscape restoration index expressed the restoration priority level in certain forest landscape. The restoration index is expressed in number ranging from 0 to 1, which means that the closer the number is to 1, the priority will be higher and vice versa the closer the number is to 0 the restoration priority will be lower. The restoration index was formulated using 4 factors, namely forest degradation index, forest fragmentation index, forest connectivity index and land degradation index.

The ecological condition of forest landscape was indicated by the forest stand condition that were diversity index value, the basal area, and stand density. Stand density was predicted using NDVI and MSAVI values obtained from processing the Landsat imagery. Stand density was further used to determine forest degradation index. Forest landscape connectivity factor was formulated using landscape metric values, namely connectan metrics and the radius of gyration. Forest landscape fragmentation factor was determined using landscape metric values, namely proximity index value, patch density, area and contiguity index. Land degradation index was formulated using soil physical characteristics, soil chemical characteristics, and degradation (erosion) impact in the field.

(6)

93,58 %. The study indicated that the fragmentation degree has increased during the period 1989-2013. High fragmentation index of forest landscape was mostly found in the downstream part of Batang Toru watershed. Fragmentation has caused the decline in the wildlife habitat connectivity. Hence, it is recommended to start the restoration activity from forest landscape with high fragmentation level, because forest landscape with high fragmentation index is generally more disturbed so that it should be prioritized for forest landscape restoration.

The model of forest landscape connectivity index is y3 = -0,009 + 0,286 x6 + 0,00003059 x7; where x6 is the radius of gyration and x7 is connectan, with a coefficient of determination model of 90,00 %. The forest landscape connectivity index of Batang Toru tends to decline during the period 1989-2013. Based on the connectivity index, Batang Toru Hilir sub-watershed has lower connectivity index than Puli and Sarula sub-watersheds. As a wildlife habitat, the forest landscape connectivity index of Batang Toru must be conserved and restored through restoration and or rehabilitation of the degraded forest. Degraded forest landscape with low connectivity index must be prioritized for restoration.

Land degradation index was determined by soil bulk density, soil texture, C organic and erosion type. The land degradation index map indicated that the percentage of land degradation level in Batang Toru watershed landscape is comprising of very low land degradation level (29,21 %), low land degradation level (21,35 %), medium land degradation level (30,17 %), high land degradation level (16,49 %) and very high land degradation level (2,78 %). Land with forest and mixed garden cover type has lower land degradation level. Dryland agriculture type in the relatively steep to steep slope has been experiencing erosion and landslide. The highest extent of high and very high land degradation level is located in Batang Toru Hilir sub-watershed. High human activity in the downstream part of Batang Toru watershed has triggered land degradation.

Four factor indices above were used to develop a model of forest landscape restoration priority index. PCA analysis produced 6 models, namely (1) model that used 3 index factors (2) model that used 2 index factors, and (3) model that used 1 index factor. A validation test indicated that the six models are valid based on Zmean test. Accuracy test produced 2 models with relatively high accuracy than the other models, that is model that used two variables, namely (1) Z3= 0,547 y2 + 0,453 y4, and (2) z4= 0,491 y3 + 0,509 y4. Further test, namely Kappa accuracy test, indicated that model 4 is better than model 3, thus model 3 was used to create a restoration index map.

A spatial model of restoration index was used to create a restoration priority map of degraded forest landscape in Batang Toru watershed. The restoration index map indicated that Puli sub-watershed has a relatively higher extent of medium and high restoration index than the other sub-watersheds. Puli sub-watershed should be given a priority over the other three sub-watersheds in the landscape restoration of Batang Toru watershed.

(7)

© Hak cipta milik IPBTahun 2014

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau/seluruh karya tulis tanpa menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

LANSKAP HUTAN TROPIS TERDEGRADASI

DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU SUMATERA UTARA

S A M S U R I

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Irdika Mansur M.For.Sc

(Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB) Dr. Nining Puspaningsih

(Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB)

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Bedjo Santosa, MS (Staf Ahli Menteri Kehutanan)

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Agr

(10)
(11)

karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul “Model Spasial Indeks Restorasi Lanskap Hutan Tropis Terdegradasi Daerah Aliran Sungai Batang Toru Sumatera Utara” dapat diselesaikan. Disertasi ini diajukan sebagai salah syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Doktor Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian dan disertasi dibiayai ini oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional melalui program Ph D Grant SEAMEO BIOTROP dan beasiswa BPPS, serta bantuan penelitian Rektor Universitas Sumatera Utara. Bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada Jurnal Agriculture, Forestry and Fisheries dengan judul Connectivity and ecological indicators analysis of tropical forest landscape in Batang Toru watershed – Indonesia Volume 3(3): 147-154 tahun 2014, diterbitkan di Journal of Tropical Forest Management dengan judul Fragmentation analysis of forest landscape in Batang Toru watershed, North Sumatera Volume 20(2):77-85 tahun 2014, dan Jurnal Hutan Tanaman dengan judul “Indeks degradasi lahan lanskap hutan Daerah Aliran Sungai Batang Toru Sumatera Utara”.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M.Agr selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan, motivasi dan pembelajaran yang diberikan kepada penulis secara langsung maupun tidak langsung selama menempuh pendidikan

2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS yang dengan kerelaan dan kesabarannya menjadi mitra diskusi untuk membuka cakrawala berpikir lebih komprehensif dalam ilmu pengelolaan hutan.

3. Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS yang memberikan jalan mudah bagi penulis memahami ilmu tanah dan pengelolaan sumberdaya lahan.

4. Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc, selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup atas komentar dan saran untuk perbaikan yang semakin memperkaya disertasi ini dan membuat penulis lebih memahami konsep restorasi.

5. Dr. Nining Puspaningsih, selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup atas koreksi, komentar dan sarannya untuk perbaikan disertasi menjadi lebih baik. 6. Dr. Ir. Bedjo Santosa, MS selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka yang

meluangkan waktu di tengah kesibukan yang luar biasa untuk memberikan saran dan kritik sehingga desertasi ini menjadi lebih berbobot

7. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Agr. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka yang memberikan pencerahan luar biasa dalam memahami ekologi lanskap dan analisis spasial lanskap

8. Seluruh penyelenggara dan pelaksana Sekolah Pascasarjana IPB , terutama pengelola Mayor Ilmu Pengelolaan Hutan yang memberikan pelayanan terbaiknya selama penyelesaian studi

9. SEAMEO BIOTROP yang memberikan hibah penelitian sehingga seluruh rangkaian penelitian untuk penyusunan disertasi ini dapat diselesaikan

(12)

12. Teman-teman IPH atas persahabatan dan kerjasamanya selama masa studi dan setelahnya

13. Semua pihak yang telah memberikan dukungan sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan

Mudah-mudah tulisan ini dapat bermanfaat bagi diri penulis maupun yang membaca tulisan ini.

Bogor, Agustus 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Perumusan Masalah 2

Kerangka Pendekatan 5

Novelty Penelitian 7

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 9

2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 10

Tempat dan Waktu Penelitian 10

Iklim 11

Tipologi Fisik 11

Tipologi Sosial Ekonomi 13

Fungsi Kawasan 13

3 KARAKTERISTIK EKOLOGIS DAN DEGRADASI LANSKAP HUTAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU

16

. Pendahuluan 16

Metode 17

Hasil dan Pembahasan 21

Simpulan 34

4 FRAGMENTASI LANSKAP HUTAN TROPIS DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU

37

Pendahuluan 37

Metode 39

Hasil dan Pembahasan 43

Simpulan 55

5 KONEKTIVITAS LANSKAP HUTAN TROPIS DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU

56

Pendahuluan 56

Metode 57

Hasil dan Pembahasan 59

Simpulan 68

6 DEGRADASI LAHAN LANSKAP HUTAN TROPIS DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU

69

Pendahuluan 69

Metode 71

(14)

xii DAFTAR ISI (lanjutan)

Simpulan 84

7 INDEKS RESTORASI LANSKAP HUTAN TROPIS TERDEGRADASI DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU

8 PEMBAHASAN UMUM: PERENCANAAN RESTORASI LANSKAP HUTAN TERDEGRADASI

106

Lanskap Hutan DAS Batang Toru 106

Implementasi Indeks Restorasi 108

1 Tipe Iklim Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS Batang Toru 11 2 Curah hujan dan suhu rata-rata wilayah penelitian di DAS Batang Toru 11 3 Distribusi kelas lereng wilayah penelitian di DAS Batang Toru 12 4 Distribusi kelas ketinggian wilayah penelitian di DAS Batang Toru 12 5 Tingkat kekritisan lahan wilayah penelitian di DAS Batang Toru tahun 2013 13 6 Jumlah dan perkembangan penduduk wilayah penelitian di DAS Batang

Toru

14

7 Fungsi kawasan hutan wilayah penelitian di DAS Batang Toru 14

8 Skor sub faktor NDVI dan MSAVI 21

9 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang pada hutan di sub DAS Batang Toru Hilir

23

10 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai pada hutan di sub DAS Batang Toru Hilir

23

11 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang pada hutan di sub DAS Puli

24

12 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai pada hutan di sub DAS Puli

25

13 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang pada hutan di sub DAS Sarula

24

14 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai pada hutan di sub DAS Sarula

26

15 Nilai indeks keanekaragaman jenis hutan sub DAS Batang Toru Hilir 26

16 Nilai indeks keanekaragaman jenis hutan sub DAS Sarula 27

(15)

DAFTAR TABEL (lanjutan)

18 Nilai frekuensi Raunkaier masing-masing DAS Batang Toru 28

19 Regresi linear antara kerapatan pohon dengan NDVI (x1) dan MSAVI (x2) 32

20 Sebaran luas kelas indeks degradasi hutan pada lanskap DAS Batang Toru 33

21 Skor masing-masing kelas sub faktor indeks fragmentasi 42

22 Distribusi tipe tutupan lahan berdasarkan interpretasi citra landsat tahun 1989, 2001, 2013

43

23 Perubahan tipe tutupan lahan lainnya di DAS Batang Toru periode 1989-2013 44 24 Korelasi Pearson antara indeks fragmentasi dengan jarak terhadap jalan, jarak

terhadap sungai, kelerengan dan elevasi

48

25 Metriks lanskap yang digunakan dalam analisis spasial konektivitas lanskap hutan

57

26 Distribusi luas tingkat konektivitas hutan di setiap sub DAS Batang Toru tahun 2013

61

27 Korelasi Pearson antara indeks konektivitas dengan jarak indeks keanekaragaman jenis, jarak terhadap jalan, jarak terhadap sungai, eleveasi dan kelerengan

65

28 Skor dan indikator sifat fisik dan kimia tanah dalam degradasi lahan 73

29 Tipe unit lahan wilayah penelitian di DAS Batang Toru 74

30 Kisaran nilai indeks degradasi lahan dan tingkat degradasi lahan 74 31 Nilai bobot isi (bulk density) C organic tanah pada setiap tipe tutupan lahan

pada sub DAS Batang Toru Hilir

74

32 Nilai bobot isi (bulk density) C organic tanah pada setiap tipe tutupan lahan pada sub DAS Puli

75

33 Nilai bobot isi (bulk density) dan C organic tanah pada setiap tipe tutupan lahan di sub DAS Sarula

76

34 Sebaran luas tingkat degradasi lahan berdasarkan wilayah sub daerah aliran sungai

78

35 Luas penutupan lahan di sub DAS Batang Toru Hilir, Puli dan Sarula 80 36 Nilai bobot isi dan C organik berdasarkan tipe tutupan lahan di DAS Batang

38 Sebaran jumlah contoh tanah berdasarkan tekstur tanah dan tingkat degradasi lahan

84

39 Kelas kerapatan vegetasi sebagai data uji akurasi 88

40 Variabel dan indikator kemungkinan tingkat partisipasi masyarakat dalam restorasi

89

41 Hasil uji beda nilai tengah persamaan indeks restorasi 93

42 Akurasi persamaan indeks restorasi yang dikelompokkan ke dalam 5 kelas dan 3 kelas

93

43 Sebaran luas indeks restorasi lanskap hutan pada setiap sub DAS di DAS Batang Toru berdasarkan persamaan eq. 3.

94

44 Sebaran tingkat fragmentasi berdasarkan fungsi kawasan 98

45 Distribusi tingkat konektivitas hutan berdasarkan fungsi kawasan hutan Sumatera Utara

(16)

xiv DAFTAR TABEL (lanjutan)

46 Distribusi tingkat degradasi lahan berdasarkan fungsi kawasan hutan Sumatera Utara

99

47 Luas kelas indeks restorasi berdasarkan fungsi kawasan 99

48 Luas kelas indeks restorasi tutupan lahan hutan berdasarkan fungsi kawasan 99 49 Sebaran persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan restorasi berdasarkan lama

tinggal

102

50 Persepsi restorasi berdasarkan kelas umur 103

51 Sebaran persepsi masyarakat terhadap rencana restorasi lanskap di DAS Batang Toru

103

DAFTAR GAMBAR

1 Pengaruh fragmentasi hutan dan pentingnya dilakukan restorasi 3

2 Kerangka pemikiran penelitian 8

3 Lokasi penelitan di wilayah DAS Batang Toru, Sumatera Utara 10 4 Fungsi kawasan wilayah penelitian di DAS Batang Toru Sumatera Utara 15

5 Bentuk plot contoh lapangan 17

6 Sebaran plot lapangan di DAS Batang Toru 18

7 Kebun campuran yang sudah mendekati kondisi hutan alam di sub DAS Puli 22 8 Kondisi penutupan hutan lebat (a) sedang (b) dan jarang (c) di sub DAS Sarula 22 9 Penyebaran jenis-jenis pohon di lanskap hutan hujan tropika di DAS Batang

Toru

28

10 Struktur horisontal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Batang Toru Hilir

29

11 Struktur horisontal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Sarula 30 12 Struktur horisontal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Puli 30 13 Struktur vertikal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas dsub DAS Batang Toru

Hilir

30

14 Struktur vertikal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Sarula 31 15 Struktur vertikal tegakan hutan diameter 10 cm ke atas di sub DAS Puli 31

16 Peta indeks degradasi hutan lanskap hutan DAS Batang Toru 35

17 Kecenderungan pola lanskap hutan (a) dan struktur lanskap hutan DAS Batang Toru (b)

45

18 Patch density hutan (a), contiguity index (b), dan proximity index (c) masing-masing sub DAS di Batang Toru Hilir

46

19 Peta indeks fragmentasi lanskap hutan tahun 2013 49

20 Korelasi antara indeks fragmentasi lanskap hutan dan jarak terhadap jalan utama di sub DAS Batang Toru Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)

50

21 Korelasi antara indeks fragmentasi lanskap hutan dan jarak terhadap sungai di sub DAS Batang Toru Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)

51

22 Hubungan antara indeks fragmentasi lanskap hutan dan kelerengan di sub DAS Batang Toru Hilir (a), Puli (b) dan Sarula (c)

52

23 Hubungan antara indeks fragmentasi lanskap hutan dan elevasi di sub DAS Batang Toru Hilir (a), Puli (b) dan Sarula (c)

(17)

DAFTAR GAMBAR (lanjutan)

24 Hubungan antara luas area indeks FLH tinggi dan sedang dengan jarak terhadap jalan utama

54

25 Hubungan antara luas area indeks FLH tinggi dan sedang dengan jarak terhadap sungai

54

26 Nilai metrik lanskap radius of gyration (a) dan connectan (b) dari tahun 1989 – 2013

60

27 Peta indeks konektivitas lanskap hutan DAS Batang Toru tahun 1989 62 28 Peta indeks konektivitas lanskap hutan DAS Batang Toru tahun 2013 63 29 Korelasi antara konektivitas hutan dan indeks keanekaragaman jenis vegetasi di

DAS Batang Toru

64

30 Indeks konektivitas dan jarak terhadap jalan utama di sub DAS Batang Toru Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)

66

31 Diagram pencar indeks konektivitas dan jarak terhadap sungai besar di sub DAS Batang Toru Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)

67

32 Diagram pencar indeks konektivitas dan elevasi di sub DAS Batang Toru Hilir (a), Sarula (b) dan Puli (c)

67

33 Diagram pencar indeks konektivitas dan kelas lereng (masing-masing kelas memiliki rentang 5 %) di sub DAS Batang Toru Hilir (a), Puli (b), dan Sarula (c) DAS

68

34 Peta indeks degradasi lahan di sub DAS Batang Toru Hilir, Sarula dan Puli, Sumatera Utara

77

35 Peta tutupan lahan tahun 2013 di sub DAS Batang Toru Hilir, Sarula dan Puli, Sumatera Utara

79

36 Tipe erosi yang terjadi di lokasi penelitian (a) erosi lembar, (b) erosi alur, c) erosi parit, dan longsor

81

37 Peta indeks restorasi persamaan 3 dikelompokan menjadi 5 kelas 95 38 Peta indeks restorasi persamaan 3 dikelompokan menjadi 3 kelas 96

39 Peta indeks restorasi dan peta fragmentasi lanskap hutan 97

40 Kondisi lapangan pada area kelas indeks restorasi rendah 100

41 Kondisi lapangan pada area kelas indeks restorasi sedang 100

42 Kondisi lapangan pada area kelas indeks restorasi tinggi 100

43 Sebaran responden menurut jenis kelamin dan tingkat pendidikan 101 44 Korelasi antara persepsi restorasi dan pengetahuan masyarakat terhadap adanya

kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan

103

45 Korelasi antara persepsi restorasi dan pengetahuan masyarakat lokasi kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan

103

46 Proses restorasi lahan terdegradasi dan fungsi kawasan 109

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan pada kegiatan inventarisasi vegetasi 124

2 Hasil uji Z 129

(18)

Indonesia merupakan negara kepulauan beriklim tropis yang memiliki hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati hutan hujan tropis Indonesia mengandung kekayaan flora dan fauna yang sangat besar. Bagian terbesar kekayaan hutan yang telah dikelola dan dimanfaatkan adalah hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu. Namun demikian, pengelolaan hutan yang telah dilakukan menimbulkan banyak permasalahan diantaranya kerusakan hutan dan terfragmentasinya hutan. Kerusakan dan fragmentasi hutan menurunkan mutu dan produktivitas ekosistem hutan.

Perkembangan jumlah penduduk yang tinggi menuntut pemenuhan kebutuhan akan pangan dan lahan. Kondisi ini memicu terjadinya pembukaan lahan hutan, baik untuk dikonversi menjadi tanaman pangan maupun untuk pemukiman serta budidaya lainnya. Deforestasi di wilayah hutan hujan tropis berakibat pada terjadinya kekritisan sumberdaya hayati global. Kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat signifikan juga berdampak pada terjadinya kemiskinan di kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar hutan terdegradasi (Lamb et al. 2005). Ketergantungan manusia akan fungsi hutan seperti fungsi lingkungan, pengatur tata air dan fungsi perlindungan hutan lainnya sangat besar. Keberlangsungan dan keberlanjutan fungsi ekosistem juga harus tetap terjaga untuk mendukung kehidupan manusia.

Kerusakan ekosistem berakibat pada menurunnya kualitas dan kuantitas fungsi-fungsi ekosistem. Rusaknya ekosistem hutan mengurangi kemampuan hutan dalam menyerap gas utama penyebab efek rumah kaca. Indonesia telah berkomitmen untuk berperan aktif dalam penurunan emisi karbon melalui mekanisme penurunan Emisi dari Deforestasi dan Pengrusakan Hutan atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang selanjutnya berkembang menjadi REDD++. Pengurangan emisi melalui pencegahan perusakan hutan, dan penanaman kembali hutan-hutan yang telah rusak. Pencegahan kerusakan hutan dan perbaikan hutan juga mampu mengembalikan fungsi hutan sebagai ekosistem.

Perbaikan hutan bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekosistem hutan mendekati seperti sebelum mengalami kerusakan. Pendekatan restorasi dapat digunakan untuk mengembalikan fungsi ekosistem hutan. Restorasi merupakan kegiatan untuk mengembalikan kondisi ekosistem menyerupai keadaan alaminya baik komposisi dan bentang lahannya (lanskap). Restorasi maupun reforestasi telah dilakukan untuk mendapatkan fungsi konservasi keanekaragaman hayati dan stabilitas ekosistem. Namun demikian, kegiatan ini belum menunjukkan hasil yang maksimal, karena salah satunya disebabkan oleh perencanaan yang belum sempurna.

(19)

memiliki peluang terbesar untuk segera terjadi konektivitas antar beberapa patch (bagian yang terpisah) dapat diprioritaskan sebagai tapak restorasi.

Perumusan Masalah

Degradasi hutan dan deforestasi menyebabkan fragmentasi dan menurunkan keanekaragaman hayati. Degradasi hutan dan deforestasi telah meningkat di beberapa lanskap hutan tropis dan hanya menyisakan 42% tutupan hutan. Sebesar 18% diantaranya adalah hutan alam asli. Hutan yang tersisa merupakan hutan terpisah dan menjadi blok-blok yang rusak. Kondisi ini menyebabkan perubahan lanskap hutan (ITTO/IUCN 2005). Lanskap hutan yang terdegradasi dan terfragmentasi di Indonesia cukup luas. Degradasi hutan dan perubahan tutupan hutan skala besar dimulai sejak awal tahun 1970-an, yaitu ketika perusahaan pengusahaan hutan mulai beroperasi. Pada periode tahun 1970 hingga 1990-an, laju kerusakan hutan diperkirakan antara 0,6 sampai 1,2 juta ha per tahun, laju kerusakan hutan selama periode 1986 – 1997 sekitar 1,7 juta ha per tahun dan mengalami peningkatan tajam sampai lebih dari 2 juta ha/tahun (FWI/GFW 2001). Kementerian Kehutanan tahun 2005 memprediksi kerusakan hutan seluas 2,83 juta ha per tahun dalam kurun waktu 1997-2000. Bahkan Indonesia berada di urutan ke-8 tingkat kerusakan hutannya dari sepuluh negara dengan luas hutan alam terbesar dunia di tahun 2007 (FAO 2011).

Deforestasi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya fragmentasi hutan dan kerusakan hutan. Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1, fragmentasi dan kerusakan hutan tersebut telah mengurangi luas hutan, menimbulkan edge forest dan meningkatkan isolasi hutan. Hal ini berdampak pada penurunan produktivitas hutan dalam menghasilkan jasa ekosistem serta menyebabkan perubahan proses-proses dalam ekosistem hutan, yang memicu penurunan populasi dan produktivitas ekosistem itu sendiri.

(20)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian pentingnya dilakukan restorasi (dimodifikasi dari Franklin et al. 2006)

Deforestasi merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya degradasi lahan. FAO (2008) menyatakan luas degradasi lahan di Indonesia sebesar 16% dari total luas lahan atau sebesar 31.370.634 ha. Angka ini lebih kecil dibanding dengan persentase luas lahan terdegradasi Asia Pasifik sebesar 22,26 % dari luas lahan. Sedangkan menurut Kementerian Kehutanan (2010) luas lahan kritis Indonesia tahun 2010 adalah 81.664.295 ha lebih luas dibanding lahan kritis tahun 2006 sebesar 77.806.881 ha. Dari luasan tersebut, pada tahun 2006 sebesar 5.218.629 ha lahan kritis berada di Sumatera Utara, lebih besar dibanding tahun 2010 yang hanya seluas 2.753.597 ha.

Degradasi lahan menjadi pemicu terjadinya bencana alam banjir, dan tanah longsor. Kerugian yang ditimbulkan bencana sangat besar, baik pada saat terjadinya banjir maupun setelah kejadian banjir untuk kegiatan pemulihan. Data yang dirilis BNPB (2010) menyatakan pada tahun 2006, 2007 dan 2010 telah terjadi banjir dan tanah longsor di Sumatera yang menyebabkan ribuan penduduk mengungsi dan puluhan korban jiwa. Hal ini akibat berkurangnya luas tutupan hutan di Sumatera Utara. Sumatera Utara yang memiliki luas wilayah sebesar

Fragmentasi hutan

Kerusakan hutan dan lahan

Menimbulkan tepian hutan (forest edge)

Meningkatkan isolasi hutan

Penurunan populasi dan

produktivitas Perubahan proses-proses dalam ekosistem

Kehilangan keanekaragaman hayati

Pemulihan (RESTORASI) Pengurangan luas

(21)

7.168.000 hektar setengahnya atau sekitar 3.675.918 hektar merupakan kawasan hutan. Namun luas wilayah hutan ini tidak dijaga kelestariannya dan sekitar 890.506 hektar sedang dalam kondisi rusak.

Pulau Sumatera masih memiliki kawasan hutan tersisa yang potensial untuk menyimpan dan melindungi biodiversitas. Namun keberadaannya terancam oleh kondisi hutan yang terpisah dan tidak kompak. Salah satu lokasi sisa hutan Sumatera yang masih menyimpan warisan kekayaan keanekaragaman hayati tinggi adalah hutan Batang Toru. Lokasi ini mendapatkan sorotan dunia internasional karena merupakan habitat hidup satwa langka orang utan, tapir, harimau dan berbagai jenis kayu komersial. Kawasan ini juga mendapatkan tekanan berupa adanya pemanfaatan sumberdaya alam kayu dan tambang mineral. Keterbukaan akses yang tidak diimbangi dengan pengawasan yang efektif memicu kecenderungan alih fungsi lahan, sehingga memisahkan kawasan hutan yang ada menjadi areal areal kecil yang tidak kompak.

Kawasan hutan Batang Toru ini merupakan habitat bagi setidak-tidaknya 67 jenis mamalia, 287 jenis burung, 110 jenis herpetofauna dan 688 jenis tumbuhan. Hutan Batang Toru termasuk ke dalam kawasan DAS Batang Toru yang memiliki 10 sub DAS berfungsi penting sebagai penyangga dan pengatur tata air di 3 kabupaten yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Selain itu DAS ini sebagai sumber energi bagi PLTA Sipansihaporas dan 2 Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Aek Raisan. Akibat deforestasi kawasan hutan Batang Toru, terjadi peningkatan luas lahan kritis yaitu seluas 13.000 hektar pada tahun 2005 dan 17.000 hektar pada tahun 2009 (Kaprawi dan Perbatakesuma 2011). Deforestasi hutan Sumatera juga telah memecah hutan Batang Toru menjadi 2 (dua) blok utama hutan alam, yaitu Blok Hutan Batang Toru Barat – Blok Hutan Adian Ginjang dan Blok Hutan Batang Toru Timur

(22)

Untuk pembangunan model harus diawali dengan beberapa pertanyaan penting dalam penelitian yaitu :

a. Mengapa hutan di lanskap DAS Batang Toru mengalami kerusakan dan fragmentasi ?

b. Mengapa terjadi perubahan tingkat fragmentasi hutan di lanskap hutan Batang Toru dalam periode 20 tahun terakhir?

c. Mengapa terjadi perubahan tingkat konektivitas hutan di lanskap hutan Batang Toru dalam periode 20 tahun terakhir?

d. Mengapa sebaran spasial tingkat fragmentasi dan konektivitas hutan di kawasan hutan DAS Batang Toru berbeda?

e. Mengapa terjadi degradasi lahan di lanskap DAS Batang Toru yang terdeforestasi?

f. Mengapa lokasi dimulainya sebuah kegiatan restorasi lanskap hutan Batang Toru harus ditentukan ?

Kerangka Pendekatan

Kegiatan manusia dalam pengembangan budidaya pertanian, penebangan hutan alam dan konversi lahan telah mengarah ke terjadinya fragmentasi hutan alam, memperkecil kekompakan luas hutan alam dan meningkatkan keterpisahan beberapa patch hutan terhadap kelompok hutannya. Kondisi ini menghasilkan perubahan lanskap, dan mengancam komunitas di dalamnya yang sensitif terhadap semakin mengecilnya habitat yang kompak (Nikolaki 2004). Kondisi hutan alam yang tersisa mengalami kerusakan dan terfragmentasi dalam luasan yang kecil sehingga tidak akan mampu lagi menghasilkan fungsi yang optimal. Fungsi hutan dapat dikembalikan melalui kegiatan restorasi pada tapak-tapak hutan yang mengalami kerusakan. Upaya pengembalian fungsi hutan telah dilakukan untuk mengkonservasi dan mengelola kembali hutan yang telah terdegradasi.

Hutan yang ada tidak kompak tetapi sebagian besar terpisah dalam luasan yang relatif kecil atau yang disebut juga dengan patches. Kondisi yang demikian berdampak pada tidak berfungsinya hutan tersebut secara optimal. Fungsi ekosistem tersebut dapat kembali maksimal, jika antar patch hutan terhubung dengan luasan hutan yang lebih besar (core) dan kondisinya masih baik atau yang disebut dengan konektivitas atau tingkat keterhubungan (connectivity) tinggi. Kehilangan konektivitas alami dari sebuah ekosistem merupakan ancaman terbesar dalam penyebaran hidupan liar dan kemampuan hidup serta konservasi keanekaragaman hayati pada umumnya. Hal ini memerlukan perhatian lebih serius terutama pada peningkatan konektivitas dalam perencanaan lanskap dan konservasi habitat (Saura dan Poscual-Horta 2006). Pemeliharaan dan restorasi konektivitas lanskap menjadi isu sentral dalam ekologi dan konservasi keanekaragaman hayati (Saura dan Torne 2009), karena konektivitas lanskap memfasilitasi pergerakan organisme, pertukaran genetik dan aliran material ekologi yang lain (Crook dan Sanjayan 2006).

(23)

hamparan hutan menjadi terpisah lokasinya, kecuali jika ada penghubung antara patchnya atau memiliki konektivitas. Konektivitas lanskap (landscape connectivity) didefinisikan sebagai tingkat suatu bentang lahan dalam memfasilitasi atau merintangi pergerakan diantara sumberdaya dalam patch hutan (Taylor et al. 1993). Hal ini merupakan kunci utama dalam konservasi keanekaragaman hayati dan stabilitas serta integritas ekosistem alami (Taylor et al. 1993; Clergeau dan Burel 1997; Collinge 1998; Raison et al. 2001; Crist et al. 2005). Oleh karena itu sangat penting mempertimbangkan konektivitas sebagai dasar dalam perencanaan konservasi dan analisis perubahan lanskap.

Upaya perbaikan hutan diharapkan dapat mengembalikan fungsi ekosistem hutan, ketahanan ekologi dan ekonomi serta penghidupan masyarakat. Usaha-usaha tersebut telah banyak dilakukan pada tapak tertentu, meskipun secara ekologi restorasi tapak belum dapat mengoptimalkan fungsi ekologisnya. Oleh karenanya perlu didesain merestorasi hutan pada skala lanskap yang dapat digunakan untuk melengkapi jaringan perlindungan yang ada, dan pada tingkatan lanskap, restorasi keanekaragaman hayati dan produksi (penurunan kemiskinan) dapat lebih mudah dicapai (Lamb et al. 2005).

Hutan yang terfragmentasi secara bersama-sama dengan penggunaan lahan lainnya membentuk satu mosaik lanskap (Nikolaki 2004). Dalam kondisi ini, restorasi hutan biasanya dikerjakan dengan berkonsentrasi pada tapak-tapak utama yang dianggap penting. Keefektifan dalam mengkonservasi keanekaragaman hayati dan merestorasi fungsi kunci ekologi yang bekerja pada skala lanskap bergantung pada keterpisahan tapak yang direstorasi dan saling melengkapi satu sama lainnya dalam sebuah mosaik lanskap (Lamb et al. 2005).

Restorasi bertujuan untuk mengembalikan fungsi hutan menyerupai atau mendekati fungsi hutan sebelum terdegradasi. Restorasi selain berupaya mengembalikan hutan menyerupai kondisi sebelumnya juga bertujuan untuk mengembalikan bentuk lanskap mendekati bentuk lanskap sebelumnya atau yang dikenal juga dengan sebutan Forest Lanskap Restoration (FLR). Dalam melakukan kegiatan restorasi suatu lanskap hutan harus mempertimbangkan karakteristik ekologi lanskapnya. Namun, restorasi hutan yang dilakukan terkendala oleh keterbatasan biaya dan sumberdaya pendukung lainnya. Di sisi lain luas area hutan yang terdegradasi sangat besar dan ketergantungan masyarakat akan hutan juga sangat tinggi

Pencegahan dan penurunan degradasi hutan harus dilakukan untuk mempertahankan fungsi ekosistem hutan. Berfungsinya kembali fungsi hutan dapat dicirikan oleh dua aspek penting yakni (1) aspek biofisik lapangan (2) aspek sosial ekonomi kemasyarakatan. Faktor-faktor biofisik secara struktural dan fungsional menentukan keberlangsungan fungsi suatu ekosistem antara lain (1) tingkat degradasi atau kerusakan hutan, (2) tingkat fragmentasi hutan, (3) tingkat degradasi lahan, (4) tingkat konektivitas hutan serta (5) pola dan struktur lanskap. Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi fungsi ekosistem adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.

(24)

menentukan kekritisan lahan secara ekologi dan memilih patch hutan yang potensial untuk meningkatkan konektivitas ekosistem hutan. Prinsip yang harus dipertimbangkan untuk memilih perangkat tersebut adalah sederhana dan mudah dalam menentukan hubungan (konektivitas) antar elemen dalam sebuah lanskap. Hal ini dikarenakan konektivitas sangat penting dalam pengelolaan berbagai tipe lanskap yang berbeda dan kepentingan konservasi.

Berkaitan dengan fungsi hutan sebagai ekosistem, maka batasan daerah aliran sungai ataupun lanskap dianggap lebih mewakili unit penilaian kerusakan. Tingkat lanskap atau daerah aliran sungai diasosiasikan dengan fungsi ekosistem (keanekaragaman hayati, penyediaan air dan fungsi lain) sehingga proses perencanaan dan implementasinya diletakkan pada tingkat wilayah daerah aliran sungai.

Novelty Penelitian

Beberapa penelitian perencanaan restorasi menunjukkan penentuan tapak restorasi ekosistem secara umum masih berdasarkan pada kondisi tapak per tapak, belum mempertimbangan keterkaitan dan fungsionalitas ekosistem. Improvisasi penelitian perencanaan restorasi menghasilkan kebaharuan penelitian yaitu menentukan indeks restorasi lanskap hutan sebagai standar dalam perencanaan kegiatan pengembalian fungsi hutan (restorasi). Penelitian yang dilakukan ini memiliki kebaharuan pada (1) fokus (focus), penelitian yang dilakukan berfokus pada kajian tentang indeks restorasi lanskap hutan yang terdegradasi (2) terdepan di bidang ilmu (advance), penelitian didasari oleh teori ekologi lanskap dan analisis spasial untuk menentukan prioritas restorasi lanskap hutan yang terdegradasi (3) ilmiah (scholar), penelitian menggunakan pendekatan analisis spasial kuantitatif untuk menghasilkan model terbaik. Model dibangun secara empiris, terukur dan dievaluasi secara kuantitatif.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam rumusan masalah. Tujuan utama penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model indeks restorasi lanskap hutan tropis yang terdegradasi. Untuk mendapatkan model indeks restorasi lanskap tersebut, maka ada beberapa tujuan khusus yang harus dicapai yaitu :

1. Membangun indeks kerusakan hutan lanskap hutan DAS Batang Toru 2. Membangun indeks fragmentasi lanskap hutan DAS Batang Toru 3. Membangun indeks konektivitas lanskap hutan DAS Batang Toru 4. Membangun indeks degradasi lahan lanskap hutan DAS Batang Toru 5. Membangun model spasial indeks restorasi lanskap hutan yang

(25)
(26)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian penentuan indeks restorasi diharapkan dapat menjadi alat dan dasar pertimbangan yang diperlukan dalam kegiatan-kegiatan menuju pencegahan dan pengurangan deforestasi di hutan tropis :

a. Bahan pertimbangan dalam kebijakan penentuan tapak restorasi b. Perencanaan tapak restorasi

c. Informasi yang dapat dijadikan sebagai salah satu kriteria dalam penentuan tingkat kekritisan lahan.

(27)

2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lanskap hutan yang merupakan hutan tropis terdegradasi yang terletak di lanskap daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru Propinsi Sumatera Utara (Gambar 3). Lokasi penelitian terletak di antara 1o 10’ 36,6” – 1o 10’ 36,47” Lintang Utara dan 98o 23’ 48,22” - 98o 49’ 15” Bujur Timur. Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan pada bulan Juli tahun 2013 sampai dengan Januari tahun 2014.

Gambar 3 Lokasi penelitian di wilayah DAS Batang Toru, Sumatera Utara

(28)

Iklim

Berdasarkan tipe iklim Oldeman, wilayah DAS Batang Toru bervariasi dimana masing-masing kabupaten mempunyai tipe iklim yang berbeda-beda. Tipe iklim masing-masing kabupaten tertera dalam Tabel 1. Curah hujan rata-rata per bulan di DAS Batang Toru berkisar antara 148,8 sampai dengan 397,1 mm. Suhu berkisar antara 19,66 sampai dengan 31,65 o C (Tabel 2).

Tabel 1 Tipe iklim Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS Batang Toru Kabupaten Tipe iklim*) Bulan basah Bulan kering

Tapanuli Utara A 10 – 12 bulan 0 – 1 bulan

Tapanuli Selatan, P Sidimpuan

D1 3 – 4 bulan 0 – 1 bulan

Tapanuli Tengah A 10 – 12 bulan 0 – 1 bulan

Sumber : Peta iklim SWP DAS Asahan Barumun tahun 2007, *) Oldeman

Tabel 2 Curah hujan dan suhu rata-rata wilayah penelitian di DAS Batang Toru

Kabupaten Kecamatan Curah hujan (mm/bulan)

Suhu (oC) Minimal Maksimal

Tapanuli Utara

Adiankoting 340,70 22,03 31,65

Pahae Jae 301,40 22,03 31,65

Pahae Julu 189,80 22,03 31,65

Pangaribuan 229,90 22,03 31,65

Tarutung 148,80 22,03 31,65

Tapanuli Selatan

Batang Toru 183,50 19,66 24,97

Muara Batang Gadis 167,50 19,66 24,97

Saipar Dolok Hole 297,50 19,66 24,97

Sipirok 214,50 19,66 24,97

Kodya Pd Sidimpuan Padang Sidempuan

Batunadia 192,60 19,66 24,97

Padang Sidempuan

Tenggara 200,40 19,66 24,97

Tapanuli Tengah

Lumut 397,10 21,51 31,50

Sumber: Statistik Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Padang Sidimpuan Tahun 2013

Tipologi Fisik

(29)

berbutir kasar seluas 22.831 (11,23 %), aluvium, gunung api muda, tefra berbutir halus seluas 34.401 (16.91 %), dan jenis lainnya.

Bentuk lahan (geomorfologi) SWP DAS Batang Toru lebih didominasi punggung-punggung gunung tak teratur di atas batuan vulkanik berbasalt seluas 34.251 ha (16,84 %), punggung-punggung gunung yang sangat curam atas gunung berapi berbasalt seluas 34.229 ha (16,83), dataran-dataran tufa vulkanik asam yang berbukit seluas 26.485 ha (13,02 %), punggung gunung dengan aliran sejajar di atas tufa vulkanik asam seluas 21.309 ha (10,47 %), dan sisanya formasi lainnya.

Kondisi topografi dan kemiringan lereng di wilayah penelitian didominasi oleh landai seluas 78.798 ha (38,73 %) dan datar seluas 75.127 (36,93 Persentase topografi/kemiringan masing-masing kelas lereng diuraikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Distribusi kelas lereng wilayah penelitian di DAS Batang Toru

Lereng (%)

Luas (ha)

Batang Toru Hilir Puli Sarula Jumlah Persen

0-8 22.227 28.387 12.206 78.795 38,73

8-15 25.138 29.455 20.535 75.127 36,93

15-25 14.744 12.786 9.902 37.432 18,40

25-45 4.107 3.711 3.026 10.845 5,33

>45 608 492 139 1.239 0,61

Jumlah 66.825 74.830 45.808 203.444 100,00

Sumber : Analisis peta kontur skala 1 : 50.000

Wilayah penelitian terletak pada ketinggian antara 0 sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut (mdpl) (Tabel 4). Sebagian besar wilayah penelitian berada pada ketinggian 800 – 1000 mdpl yaitu seluas 56.268 ha (27,66 %). Elevasi tertinggi wilayah penelitian seluas 178 ha (0,09 %) yaitu 155 ha sub DAS Puli dan 25 ha sub DAS Batang Toru Hilir.

Tabel 4 Distribusi kelas ketinggian wilayah penelitian di DAS Batang Toru

Elevasi (mdpl) Luas (ha)

Batang Toru Hilir Puli Sarula Jumlah %

0-25 15.965 - - 15.965 7,85

25-200 30.445 - - 30.445 14,97

200-400 12.678 - 34 12.712 6,25

400-600 7.870 655 9.946 18.470 9,08

600-800 5.638 8.785 9.345 23.768 11,68

800-1000 4.296 38.675 13.297 56.268 27,66

1000-1200 2.827 14.576 6.941 24.345 11,97

1200-1400 1.606 7.369 4.901 13.877 6,82

1400-1600 1.061 3.144 1.326 5.531 2,72

1600-1800 391 1.472 16 1.879 0,92

1800-2000 23 155 - 178 0,09

Jumlah 82.674 74.830 45.808 203.444 100,00

(30)

Tingkat kekritisan lahan wilayah penelitian diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelas, yaitu potensial kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis (Tabel 5). Berdasarkan peta lahan kritis tahun 2005, wilayah penelitian didominasi oleh lahan yang agak kritis dan potensial kritis dengan persentase sebesar 73,38%. Lahan sangat kritis terluas berada di sub DAS Batang Toru Hilir (3.355 ha), diikuti sub DAS Puli (769 ha).

Tabel 5 Tingkat kekritisan lahan wilayah penelitian di DAS Batang Toru Tahun 2013

Kekritisan Luas (ha)

Batang Toru Hilir Puli Sarulla Jumlah % Potensial Kritis 16.684 1.613 6.591 24.888 12,24 Agak Kritis 37.830 57.598 28.880 124.309 61,14

Kritis 24.805 14.850 10.306 49.961 24,57

Sangat Kritis 3.355 769 30 4.155 2,04

Jumlah 82.674 74.830 45.808 203.444 100,00

Sumber : Peta Lahan Kritis Pulau Sumatera (diunduh 12 Desember 2013:http://webgis.kemenhut.go.id)

Tipologi Sosial Ekonomi

Penduduk di wilayah penelitian berjumlah sekitar 251.793 jiwa, konsentrasi yang tinggi berada di Kabupaten Tapanuli Utara sebanyak 104.556 jiwa atau (41,53%), dan sisanya sebanyak (58,47%) tersebar di kabupaten lainnya. Berdasarkan wilayah sub DAS, jumlah populasi terbesar berada di sub DAS Batang Toru Hilir (Tabel 6). Kecamatan Sipirok memiliki jumlah terbesar penduduk di sub DAS Puli, kecamatan Tarutung memiliki jumlah penduduk terbanyak di sub DAS Sarula, dan Padang Sidimpuan Tenggara memiliki jumlah penduduk terbanyak di sub DAS Batang Toru Hilir (BPS 2014).

Fungsi Kawasan

(31)

Tabel 6 Jumlah dan perkembangan penduduk wilayah penelitian di DAS Batang Toru

Kecamatan Jumlah penduduk (jiwa)

Batang Toru Hilir Puli Sarula Jumlah Tapanuli Utara

Adiankoting - - 14.166 14.166

Pahae Jae - 5.019 5.773 10.792

Pahae Julu - 11.987 11.987

Pangaribuan - 27.299 - 27.299

Tarutung - - 40.322 40.322

Tapanuli Selatan

Batang Toru 29.157 - - 29.157

Muara Batang Gadis 11.771 - - 11.771 Saipar Dolok Hole - 12.802 - 12.802

Sipirok 4.285 24.140 2.349 30.775

Kodya Pd Sidimpuan

Padang Sidempuan Batunadia 19.660 - - 19.660 Padang Sidempuan Tenggara 24.974 6.542 - 31.516 Tapanuli Tengah

Lumut 10.690 - 856 11.546

Jumlah 100.520 75.809 75.464 251.793

Sumber : Statistik Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Padang Sidimpuan dan Tapanuli Tengah tahun 2014

Tabel 7. Fungsi kawasan hutan wilayah penelitian di DAS Batang Toru

Fungsi kawasan Luas (ha)

Batang Toru Hilir Puli Sarula Jumlah %

Hutan konservasi 123 - - 123 0,06

Hutan lindung - 5.970 - 5.970 2,93

Hutan produksi 24.656 30.415 24.482 79.553 39,10 Hutan produksi terbatas 12.138 6.729 6.671 25.538 20,21

Hutan suaka alam 5.046 7.368 341 12.755 6,27

Bukan kawasan hutan 40.842 24.348 14.314 79.504 39,08

Jumlah 82.806 74.830 45.808 203.443 100,00

(32)
(33)

3 KARAKTERISTIK EKOLOGIS DAN DEGRADASI LANSKAP HUTAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG TORU

Pendahuluan

Ekosistem hutan Batang Toru merupakan salah satu ekosistem hutan hujan tropis yang tersisa di Pulau Sumatera. Berbagai macam hidupan liar tumbuh dan berkembang dalam ekosistem hutan Batang Toru. Deforestasi telah menyebabkan kerusakan hutan sehingga mengurangi habitat hidupan liar. Deforestasi juga memunculkan hutan-hutan yang terfragmentasi.

Degradasi hutan merupakan perubahan di dalam hutan yang berefek negatif pada tegakan atau tapak (Lund 2009), menurunkan komposisi spesies, keanekaragaman hayati, dan produktivitas hutan (FAO 2006); terjadi perusakan tutupan lahan menjadi kurang dari 10 % yaitu hutan rapat menjadi hutan terbuka. Kerusakan hutan diindikasikan oleh adanya pengurangan tutupan kanopi atau pengurangan kualitas hutan karena penebangan, kebakaran, penggembalaan dan pengumpulan kayu bakar. Pembedaan kelas kerusakan hutan dalam nilai derajat kerusakan (misalnya ringan, sedang, sangat rusak) sangat penting, karena diperlukan untuk evaluasi perubahan selama proses pengrusakan, dan identifikasi area prioritas untuk pencegahan kerusakan. Kerusakan hutan dapat diduga dengan interpretasi citra satelit dari berbagai waktu perekaman yang berbeda. Meskipun sebenarnya sulit untuk menentukan indikator yang secara jelas bisa menilai degradasi hutan. Namun ada beberapa penciri yang dapat dijadikan sebagai indikator penilaian kerusakan hutan, yaitu kerapatan tegakan, penutupan hutan/kanopi, kehilangan biodiversitas (spesies), okupasi atau dominasi spesies invasif, erosi, habitat hidupan liar, dan nilai kayu maupun bukan kayunya. Komposisi dan struktur vegetasi merupakan indikator penentuan degradasi hutan

Populasi vegetasi dan perilakunya merupakan proses individu vegetasi yang membentuk karakteristik ekologi komunitas hutan (Krebs 2006). Pengelolaan ekosistem hutan harus mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dan fungsi ekologisnya (Whitmore 1990). Perbedaan kondisi tegakan memberikan informasi karakteristik ekologi tegakan yang berbeda seperti keanekaragaman hayati (Ng et al. 2009) dan kekayaan jenis (Bishoff et al. 2005). Parameter yang digunakan untuk menentukan kondisi ekosistem hutan adalah struktur dan komposisi vegetasi. Parameter tersebut antara lain indeks nilai penting, indeks keanekaragaman dan frekuensi Raunkiaer. Analisis vegetasi hutan bertujuan ntuk mengetahui komposisi jenis dan struktur suatu hutan (Misra 1980; Cox 1985; Kusmana 1997). Data dan informasi tersebut untuk menentukan kondisi kesimbangan komunitas hutan (Meyer 1952), menjelaskan interaksi di dalam dan antar jenis (Ludwig dan Reynolds 1988), dan memprediksi kecenderungan komposisi tegakan di masa mendatang (Whittaker 1974).

(34)

Metode Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta tutupan lahan, citra Landsat tahun 2013, peta sistem lahan, peta kontur, dan data vegetasi. Adapun alat yang digunakan adalah (1) alat survey lapangan, dan (2) alat analisis data. Alat survey lapangan terdiri atas meteran, haga, phi band, kompas, GPS dan kamera. Sedangkan alat analisis data yang digunakan adalah ERDAS Imagine, EXCEL dan SPSS.

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data vegetasi diperoleh dari pengukuran di petak contoh lapangan. Petak contoh lapangan diletakkan berdasarkan kerapatan hutan, tipe unit lahan, elevasi dan sub daerah aliran sungai. Pengambilan data vegetasi dilakukan di petak ukur (PU) dengan ukuran 50 m x 50 m. Pada setiap PU, semua permudaan pohon diidentifikasi, diukur diameter setinggi dada (diameter at breast height; DBH) dan tingginya. Petak ukur dibagi menjadi 4 kuadran yaitu kuadran I, II, II dan IV (Gambar 5). Vegetasi tingkat pohon yang memiliki diameter ≥ 20 cm diukur pada setiap kuadran, sedangkan tingkat semai, pancang dan tiang hanya diukur di satu kuadran saja. Jumlah petak ukur yang diinventarisasi sebanyak 35 buah. Adapun sebaran plot pengamatan lapangan diilustrasikan pada Gambar 6.

Gambar 5 Bentuk plot contoh lapangan 5 m x 5 m

Plot pengukuran pohon (diameter > 20 cm)

Plot pengukuran tiang (diameter 10 – 20 cm) (10 x 10 m)

Plot pengukuran pancang (diameter 5 – 10 cm) ukuran 5 m x 5 m

Plot pengukuran semai dan tumbuhan bawah (2 m x 2 m)

50 m

50

m

25 m x 25 m

10 m x 10 m

5 m x 5 m

2 m x 2 m

II

III IV

II

(35)

Gambar 6 Sebaran plot contoh lapangan di DAS Batang Toru

Analisis data

a. Komposisi vegetasi

Vegetasi dikelompokkan berdasarkan tingkat pertumbuhan (growth stage), yaitu (a) semai, yakni permudaan mulai benih berkecambah sampai tingginya < 1,5 m, (b) pancang, yakni permudaan yang memiliki tinggi ≥ 1,5 m dan diameter < 10 cm, (c) tiang, yaitu permudaan yang memiliki diameter mulai 10 cm sampai kurang dari 20 cm, dan (d) pohon, yaitu pohon yang telah memiliki diamater 20 cm atau lebih. Untuk mengetahui jenis dominan di setiap tingkat pertumbuhan digunakan besaran indeks nilai penting (INP) (Cox 1985; Kreb 1989; Kusmana 1997), dimana INP terdiri atas kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif yang dihitung berdasarkan persamaan berikut:

(36)

contoh

b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR)

%

d. Frekuensi relatif suatu jenis (FR)

%

f. Dominansi relatif suatu jenis (DR)

%

Hukum Frekuensi Raunkaier 1934 (Misra 1980) digunakan untuk melihat penyebaran jenis dalam komunitas, yang terdiri atas 5 klas frekuensi, yaitu:

- Klas A : jumlah jenis dengan frekuensi 1 – 20% - Klas B : jumlah jenis dengan frekuensi 21 – 40% - Klas C : jumlah jenis dengan frekuensi 41 – 60% - Klas D : jumlah jenis dengan frekuensi 61 – 80% - Klas E : jumlah jenis dengan frekuensi 81 – 100% Komunitas hutan alam terdistribusi secara normal apabila :

Indeks keanekaragaman jenis dihitung menggunakan persamaan Shannon dan Wiener (1949) dalam Ludwig dan Reynold (1988) dan Maguran (1988). Nilai indeks digunakan untuk menentukan tingkat gangguan terhadap ekosistem. Nilai indeks Shannon-Wiener dikelompokkan menjadi 3 kelas yaitu :

1. Nilai kurang 1,0: ekosistem mengalami gangguan berat A > B > C > D < E; atau

(37)

2. Nilai 1,0 – 3,332: ekosistem mengalami gangguan sedang 3. Nilai lebih 3,332: ekosistem mengalami gangguan rendah

Indeks keanekaragaman hayati dirumuskan sebagai berikut:

dimana :

H’ = indeks keanekaragaman jenis

N = adalah total jumlah individu semua jenis yang ditemukan, i

n

= adalah jumlah individu spesies ke-i, dan s = adalah total jumlah spesies ditemukan.

d. Struktur horisontal dan vertikal vegetasi

Untuk mengetahui struktur vertikal hujan hujan tropika dataran rendah, maka setiap individu pohon yang ditemukan di dalam PU dikelompokkan berdasarkan klas tinggi strata tegakan yaitu strata A (>30 m), B (20-30 m), C (8-20 m), D (4-8 m) dan E (0-4 m). Kemudian dihitung kerapatan individu pada setiap klas tinggi. Adapun untuk mengetahui penyebaran diameter pohon di hujan hujan tropika dataran rendah, maka setiap individu yang dijumpai di PU dikelompokkan berdasarkan kelas diameter dengan interval 10 cm.

e. Indeks degradasi hutan

Indeks degradasi hutan merupakan suatu nilai yang menyatakan tingkat degradasi hutan. Indeks degradasi hutan berkisar antara 0 – 1 dimana indeks 0 menunjukkan kerusakan hutan rendah sedangkan indeks 1 menunjukkan tingkat kerusakan hutan sangat tinggi. Tingkat kerusakan hutan tinggi diindikasikan oleh kandungan biomassa rendah. Biomassa dapat diduga menggunakan NDVI dan MSAVI. Oleh karenanya degradasi hutan didekati menggunakan NDVI dan MSAVI. Biomassa hutan tinggi dimiliki oleh vegetasi hutan yang rapat. Dengan demikian kerapatan vegetasi dapat diduga menggunakan persamaan regresi disusun dengan peubah bebas NDVI sebagaimana dirumuskan pada persamaan [1] dan MSAVI menggunakan persamaan [2]; dengan menggunakan peubah tak bebas regresi kerapatan pohon (Wen et al. 2010, Nasution 2007). Skor total indeks degradasi hutan dihitung menggunakan persamaan [3]. Skor masing-masing kelas sub faktor NDVI dan MSAVI tertera pada Tabel 7. Adapun bobot masing-masing sub faktor ditentukan berdasarkan nilai koefisien regresi hubungan antara kerapatan vegetasi dan peubah bebas NDVI dan MSAVI. Skor total selanjutnya di-rescaling menggunakan persamaan [4].

NDVI = (NIR- red)/(NIR+ red) [1]

dimana :

(38)

dimana :

MSAVI2 = modified soil adjusted vegetation index NIR = band infra merah dekat (near infra red) Red = band merah (red)

Ind_DH = nilai indeks degradasi hutan Skortotal = skor total sebagai input Skortot- min = total skor minimum Skortot-maks = total skor maksimum Ind_faktor maks = indeks faktor maksimum Ind_faktor min = indeks faktor minimum

Berdasarkan nilai hasil rescaling yang merupakan indeks degradasi hutan dan sub faktor degradasi hutan dilakukan analisis regresi. Persamaan indeks degradasi hutan diduga menggunakan model regresi seperti pada persamaan [5].

y = a + bi xi [5]

dimana :

y = indeks degradasi hutan a = intercept;

bi = koefisien regresi;

xi = nilai sub faktor degradasi hutan

Tabel 8 Skor sub faktor NDVI dan MSAVI

(39)

semai. Jumlah jenis tumbuhan yang diidentifikasi di lapangan pada seluruh tingkat pertumbuhan adalah 111 jenis vegetasi (Lampiran 1). Data vegetasi diperoleh dari pengukuran di tipe tutupan lahan hutan dan kebun campuran. Kondisi kebun campuran secara umum mendekati kondisi hutan terutama kebun campuran yang memiliki berbagai jenis vegetasi (Gambar 5). Hutan di daerah penelitian secara visual dapat dibedakan ke dalam hutan jarang, sedang dan rapat sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Kebun campuran yang sudah mendekati kondisi hutan alam di sub DAS Puli

(a) (b) (c)

Gambar 8 Kondisi penutupan hutan lebat (a), sedang (b), dan jarang (c) di sub DAS Sarula

a.1. Komposisi jenis tumbuhan sub DAS Batang Toru Hilir

Hasil analisis vegetasi pada plot penelitian, menunjukkan jenis tumbuhan yang mendominasi pada tingkat pohon adalah hoteng barangan (Castanopsis inermis Jack.) dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 63,50 % dan yang paling rendah adalah jenis karet (Hevea brasiliensis) dengan INP = 14,86 %. Hasil analisis vegetasi lima jenis tumbuhan dominan pada tingkat pohon disajikan pada Tabel 9.

(40)

Tabel 9 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang di hutan sub DAS Batang Toru Hilir

Nama lokal Nama latin KR (%) FR (%) DR (%) INP(%) a. Pohon

Hoteng

barangan Castanopsis inermis Jack. 10,00 11,11 42,39 63,50 Jengkol Archidendron pauciflocium 7,82 12,93 16,65 37,40 Mangga Mangifera indica 7,88 14,96 12,12 34,96

Attumbus

Campnospermae auriculata

Hook.f. 10,00 11,11 8,81 29,92

Durian Durio zibethinus 6,60 9,51 12,55 28,65 b.Tiang

Hoteng Quercus gemelliflora Blume 6,67 12,50 10,86 30,02 Darodong Kneme conferta Warb 6,67 12,50 7,17 26,33 Durian Durio zibethinus 6,67 12,50 6,72 25,89 Inggolam - 6,67 12,50 6,11 25,27 Mayang Palaquium hexandrum 6,67 12,50 5,13 24,30

Pada tingkat pertumbuhan pancang, jenis yang dominan adalah jenis karet (Hevea braziliensis) dengan nilai indeks INP sebesar 30,78 % disusul oleh jenis coklat (Theobrama cacao) dengan INP sebesar 26,23 %. Jenis asam hing (Dracontomelon dao) memiliki INP terendah pada tingkat pancang yaitu sebesar 11,95 % (Tabel 10). Jenis dominan pada tingkat semai berbeda dengan tingkat pancang, tiang dan pohon yaitu jenis karet dengan INP mencapai 140 %, sedangkan jenis paling tidak dominan adalah oleh jenis jengkol (Archidendron pauciflocium) dengan nilai INP terendah sebesar 19,17 % (Tabel 10).

Tabel 10 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai di hutan sub DAS Batang Toru Hilir

Nama lokal Nama latin KR (%) FR (%) INP (%) a. Pancang

Karet Hevea braziliensis 17,14 13,64 30,78

Coklat Theobrama cacao 17,14 9,09 26,23

Hau dolok Syzygium sp. 8,57 9,09 17,66

Mayang Palaquium hexandrum 8,57 9,09 17,66 Jilok Pternandra cordata 5,71 9,09 14,81 b. Semai

Karet Hevea braziliensis 12,5 50,00 140,00 Attumbus Campnospermae auriculata Hook.f. 22,5 16,67 21,67 Cempedak Arthocarpus integer Merr 12,5 16,67 19,17 Jengkol Archidendron pauciflorum 12,5 16,67 19,17

a.2. Komposisi jenis di sub DAS Puli

(41)

pada tingkat pohon disajikan pada Tabel 11. Jenis dominan pada tingkat tiang yang ditemukan adalah jenis karet (Hevea braziliensis) dengan INP sebesar 34,13 % dan diikuti jenis darodong (Kneme conferta Warb) dengan INP sebesar 26,33 %. Jenis vegetasi yang memiliki INP terendah adalah jenis dori dori (Tarrieta sp.) yaitu sebesar 3,5 %.

Tabel 11 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon dan tiang di hutan sub DAS Puli

Medang jantan Litsea sp. 20,00 25,00 30,39 75,39 Kapas-kapas Kokoona littoralis Laws 20,00 25,00 25,40 70,40 Simartolu Schima wallichii 20,14 20,92 18,18 59,24 Atturmangan Casuarina sumatrana Jungh 12,50 12,50 35,01 42,50 Jabi-jabi Ficus benjamina 9,52 20,00 9,12 38,64 b.Tiang

Karet Hevea brasiliensi 17,92 3,85 12,36 34,13 Hoteng Quercus gemelliflora (Blume) 9,14 9,62 9,98 28,74 Randuk

kambing Alstonia macrophylla Wall 7,17 7,69 7,42 22,28 Hau dolok Syzygium sp. 7,35 9,62 4,34 21,30

Pada tingkat pertumbuhan pancang, jenis yang dominan adalah jenis sitarak (Macaranga lowii King ex Hook) dengan nilai indeks INP sebesar 19,26 % disusul oleh jenis hau dolok (Syzygium sp.) dengan INP sebesar 18,50 % (Tabel 12). Nilai INP terendah tingkat pancang ditemukan pada jenis hoteng barangan (Quercus sp.) memiliki INP terendah pada tingkat pancang yaitu sebesar 2,17 %. Namun pada tingkat semai jenis yang mendominasi berbeda dengan tingkat pancang yaitu jenis karet dengan INP mencapai 140 % (Tabel 12), sedangkan INP terendah dimiliki oleh jenis mayang durian (Palaquium obovatum Engl Var.) yaitu sebesar 2,27 % .

Tabel 12 Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pancang dan semai di hutan sub DAS Puli

Nama lokal Nama latin KR (%) FR (%) INP (%)

Gambar

Tabel 6   Jumlah dan perkembangan  penduduk  wilayah penelitian di DAS Batang Toru
Gambar 4   Fungsi kawasan  wilayah  penelitian di DAS Batang Toru, Sumatera Utara
Gambar 5  Bentuk plot contoh lapangan
Gambar 6   Sebaran plot contoh lapangan di DAS Batang Toru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang studi kantung semar ( Nepenthes spp) di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara telah dilaksanakan pada

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Jenis dan Karakteristik Habitat Kelelawar di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat (HBTBB), Sumatera Utara adalah

Hasil penelitian menunjukkan daerah dengan tingkat kerawanan konversi lahan hutan tinggi mempunyai luasan 662,13 Ha atau 11,42 % yang menyebar pada semua kecamatan di DAS Deli,

Hoting ( Lithocarpus spp. ) merupakan jenis pohon yang memenuhi karakter pohon sarang tersebut, sehingga penggunaan jenis ini oleh Orangutan di Hutan Batang Toru

POLA PEMANFAATAN RUANG VERTIKAL DAN JELAJAH HARIAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI BLOK BARAT HUTAN BATANG TORU,..

SUCI ARISA PURBA: Pemodelan Spasial Tingkat Kerawanan Konversi Lahan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Sumatera Utara.. Dibimbing oleh NURDIN SULISTIYONO dan

Hasil penelitian mengenai inventarisasi jenis-jenis Zingiberaceae di kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara diperoleh

Dalam publikasi terbaru disebutkan bahwa orangutan betina di Kawasan Hutan Batang Toru memiliki keunikan secara genetik, yaitu lebih dekat kekerabatannya dengan