BATANG TORU Pendahuluan
8 PEMBAHASAN UMUM: PERENCANAAN RESTORASI LANSKAP HUTAN TERDEGRADAS
Lanskap hutan DAS Batang Toru merupakan salah satu ekosistem hutan hujan tropis tersisa di pulau Sumatera. Ekosistem lanskap hutan Batang Toru merupakan habitat berbagai flora dan fauna endemi di Sumatera. Selain itu fungsi hidroorologis lanskap hutan DAS Batang Toru sangat penting karena merupakan sumber air bagi pertanian dan pembangkit listrik tenaga air dan mikrohidro. Namun demikian kondisinya saat ini mengalami ancaman degradasi akibat penebangan dan perambahan.
Degradasi hutan ditunjukkan oleh karakteristik vegetasi komunitas hutan. Kerapatan pohon, luas bidang dasar, keanekaragaman jenis serta law frekuensi dapat menunjukkan kondisi komunitas hutan. Stuktur horisontal dan struktur vertikal tegakan memberikan gambaran perkembangan suatu komunitas hutan. Struktur vertikal vegetasi lanskap hutan DAS Batang Toru didominasi oleh strata C. Struktur horisontal vegetasi lanskap hutan menunjukkan komunitas hutan masih mengalami proses suksesi. Berdasarkan tingkat kerapatan pohonnya, maka secara umum hutan di DAS Batang Toru memiliki kerapatan vegetasi rendah. Lanskap hutan DAS Batang Toru merupakan komunitas hutan yang terganggu. Hutan yang berada di DAS Batang Toru masih mengalami suksesi untuk menuju ke hutan alam klimaks. Untuk mempertahankan dan mempercepat proses suksesi maka pada tepian hutan yang berbatasan dengan area berhutan dan area dengan tingkat degradasi hutan tinggi perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi hutan. Secara spasial, tingkat degradasi hutan dinyatakan dengan indeks degradasi hutan. Berdasarkan indeks degradasi hutan ini dapat diketahui tapak-tapak yang seharusnya mendapatkan prioritas penanganan dan perbaikan.
Indeks degradasi hutan yang dibangun berdasarkan nilai NDVI dan MSAVI dapat menunjukkan secara spasial areal dengan tingkat degradasi hutan tertentu. Peta indeks degradasi hutan yang dibuat berdasarkan persamaan indeks degradasi hutan menunjukkan bahwa sebagian besar lanskap hutan di DAS Puli merupakan area dengan indeks degradasi hutan tinggi dan sangat tinggi. Indeks degradasi hutan tinggi dan sangat tinggi terluas berada di sub Puli. Sub DAS Puli memiliki luas indeks degradasi hutan tinggi dan sangat tinggi lebih luas karena lokasi sub DAS Puli merupakan area dengan sebagian besar wilayahnya topografi datar (77,3 %). Banyak aktifitas manusia di sub DAS Puli ini, karena penduduk di sub DAS ini relatif lebih padat.
Lanskap Hutan DAS Batang Toru
Pola sebaran dan struktur lanskap hutan sangat penting dalam perencanaan restorasi lanskap hutan. Pola sebaran lanskap hutan menunjukkan kecenderungan distribusi patch hutan dalam sebuah lanskap hutan. Pola sebaran diperlukan untuk menentukan hotspot-hospot keanekaragaman hayati yang masih ada. Informasi ini sangat penting sebagai dasar penyelamatan jenis-jenis yang terancam akibat degradasi hutan.
Analisis metrik lanskap menghasilkan indeks clumpiness sebagai indikator penyebaran spasial patch hutan. Patch hutan cenderung menyebar mengelompok pada ketiga wilayah sub DAS yang diteliti. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan hutan terkonsentrasi pada beberapa titik saja sehingga patch hutan yang
tersisa mengelompok pada area dengan topografi sulit dan aksesibilitas rendah. Namun demikian, tingkat pengelompokan patch hutan cenderung menurun dari tahun 1989 hingga tahun 2013. Kondisi ini menunjukkan bahwa hutan yang tersisa juga mengalami konsentrasi gangguan.
Gangguan terhadap hutan yang terjadi antara lain penebangan, dan perambahan. Penebangan dan perambahan memunculkan patch hutan berukuran relatif kecil. Hal ini ditunjukkan oleh struktur lanskap hutan tahun 2013 DAS Batang Toru yang didominasi oleh patch hutan berukuran kecil yaitu kurang dari 50 ha yang hampir mencapai 80 % dari total patch hutan yang ada. Kondisi ini menunjukkan peningkatan fragmentasi lanskap hutan di DAS Batang Toru. Data dan informasi ini sangat penting untuk menentukan dimana lokasi pusat-pusat keanekaragaman hayati yang tersisa serta lokasi prioritas perbaikan lanskap hutan. Fragmentasi lanskap hutan memicu terjadinya degradasi hutan. Fragmentasi lanskap hutan menurunkan konektivitas lanskap hutan sebagai habitat hidupan liar. Tingkat fragmentasi lanskap hutan dipengaruhi oleh jarak terhadap jalan dan jarak terhadap sungai. Adanya aksesibilitas ke hutan memicu terjadinya fragmentasi. Fragmentasi di DAS Batang Toru meningkat pada periode 1989 sampai dengan 2013. Hal ini menurunkan konektivitas lanskap hutan DAS Batang Toru. Hasil penelitian menunjukkan konektivitas lanskap hutan terendah ditemukan di sub DAS Batang Toru Hilir, sedangkan konektivitas lanskap hutan tertinggi ditemukan di sub DAS Sarula. Tingkat konektivitas memiliki korelasi dengan faktor biofisik dan antropogenik . Tingkat konektitas lebih tinggi berada daerah dengan topografi curam dan berbukit. Sedangkan konektivitas rendah umumnya ditemukan di area dengan tingkat aksesibiltas tinggi karena adanya aktivitas manusia lebih banyak di area tersebut.
Fragmentasi menyebabkan degradasi hutan yang menyebabkan munculnya lahan-lahan terdegradasi. Degradasi lahan yang terjadi di DAS Batang Toru yang ditunjukkan oleh erosi tanah dan longsor. Selain itu, kerusakan sifat fisik dan kimia tanah mengindikasikan adanya degradasi lahan. Hasil penelitian menunjukkan tipe penutupan lahan hutan merupakan areal dengan indeks degradasi lahan paling rendah, sedangkan tipe tutupan lahan pertanian lahan kering campur semak memiliki indeks degradasi lahan paling tinggi. Tutupan hutan menghasilkan serasah yang memperlambat run off dan meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah.
Pengurangan dan pencegahan degradasi lanskap hutan DAS Batang Toru untuk mengembalikan fungsi lanskap hutan dalam melindungi hidupan liar di dalamnya dan fungsi ekosistem lainnya perlu dilakukan. Luas DAS Batang Toru yang cukup besar dan sumberdaya yang terbatas memerlukan pemilihan prioritas tapak dimulainya proyek restorasi. Prioritas restorasi dinyatakan dengan indeks restorasi lanskap hutan. Model indeks restorasi lanskap hutan disusun oleh indeks fragmentasi hutan dan indeks degradasi lahan yang merupakan indeks faktor yang penting dalam menentukan indeks restorasi. Berdasarkan nilai indeks restorasinya diketahui bahwa lanskap hutan sub DAS Puli memiliki area dengan indeks restorasi tinggi paling luas dibandingkan dengan dua sub DAS lainnya. Area yang memiliki indeks retorasi tinggi ini menjadi prioritas restorasi.
Pengelolaan restorasi lanskap hutan yang terdegradasi meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Perencanaan
restorasi merupakan tahap awal kegiatan restorasi. Perencanaan restorasi diperlukan untuk memberikan arahan kegiatan restorasi sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Perencanaan restorasi sangat penting dalam menentukan strategi pelaksanaan, mengingat luasnya kerusakan ekosistem. Salah satu tahap perencanaan restorasi adalah penentuan tapak restorasi. Faktor-faktor biofisik mempengaruhi pilihan rencana restorasi. Tingkat deforestasi dan degradasi hutan sepanjang lanskap hutan sangat bervariasi akibat peristiwa alam maupun gangguan manusia. Oleh karenanya terdapat area –area yang harus menjadi prioritas restorasi misalnya karena pertimbangan kondisi lingkungan yang rusak parah, area yang secara ekologi sangat penting menjadi lokasi prioritas utama, sedangkan lokasi yang sulit aksesnya menjadi prioritas berikutnya. Identifikasi indikator-indikator lanskap hutan terdegradasi sangat penting dalam perencanaan rehabilitasi lahan. Indikator-indikator tersebut dianalisis secara komposit (diintegrasikan) dalam bentuk indeks restorasi lanskap. Indeks restorasi lanskap dibangun menggunakan indeks fragmentasi, konektivitas dan indeks degradasi lahan. Indeks restorasi lanskap membagi wilayah DAS Batang Toru menjadi indeks restorasi rendah, sedang dan tinggi. Restorasi lanskap hutan dapat dimulai dari area dengan indeks restorasi tinggi.
Implementasi Indeks Restorasi
Pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan didasarkan pada data dan informasi yang akurat. Penyediaan data dan informasi yang bersifat keruangan sangat diperlukan untuk menentukan keputusan manajemen hutan. Perencanaan restorasi didasarkan pada data dan informasi yang berkaitan dengan biofisik lapangan dan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Berbagai faktor dan indikator harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan pengelolaan hutan. Penyederhanaan indikator akan memudahkan pengambilan keputusan manajemen.
Dalam pengambilan keputusan pengelolaan lanskap hutan yang terdegradasi dapat menggunakan model indeks restorasi yang menyederhanakan berbagai indikator menjadi satu nilai indeks yang lebih mudah dipahami dan diimplementasikan. Indeks restorasi dapat digunakan untuk membantu pengambilan keputusan perbaikan lanskap hutan yang terdegradasi. Model yang disusun bersifat lokal sehingga hanya dapat diterapkan di lokasi penelitian.
Implikasi dari disusunnya model indeks restorasi ini adalah kemungkinan perubahan penentuan prioritas lahan kritis yang harus direhabilitas. Disarankan untuk memasukkan indeks fragmentasi dan konektivitas dalam penentuan prioritas restorasi ekosistem maupun lanskap hutan. Indeks restorasi menggunakan unit lanskap sebagai sebuah ekosistem sehingga daerah aliran sungai menjadi cocok sebagai unit analisis dalam perencanaan. Dalam implementasi indeks restorasi pengetahuan terhadap fungsi kawasan dan sejarah lanskap hutan menjadi kebutuhan karena akan menentukan tujuan dan strategi pelaksanaan restorasi.
Restorasi selain berupaya mengembalikan hutan menyerupai kondisi sebelumnya juga bertujuan untuk mengembalikan bentuk lanskap mendekati bentuk lanskap sebelumnya. Pencapaian kondisi vegetasi yang mendekati kondisi semula sudah harus direncanakan saat menentukan dan memilih jenis-jenis yang bersifat katalitik spesies. Jenis ini merupakan jenis tanaman yang jika ditanam akan menciptakan kondisi yang positif yang memungkinkan masuknya jenis-jenis
• Perladangan • Kebakaran • Tambang • Bencana alam • Ilegal logging Lahan terdegrada lain secara alami sehi meningkat.
Restorasi lans hutan yang akan dires hutan yang akan diha hutan lindung, maka lindung berfungsi di mencegah erosi, dan m
Gambar 46 Proses re Di lokasi pe memiliki indeks degr pengetahuan dan pem sangat penting dalam restorasi sedang dan kawasan HSA dan H lindung bagi keunika Berdasarkan tingkat de rendah, sedang dan tin degradasi lahan renda kritis dilaksanakan de sangat jarang dan pe Jenis-jenis lokal (nati dan jenis-jenis yang bahwa lahan akan ke kemampuan menyeba memproduksi bibit da Jenis-jenis yang di masyarakat di area masyarakat sebagai t adasi • Stratifikasi • Siklus hara • Biodiversity Restorasi • Hutan • Hutan • Hutan • Hutan • Area p ehingga terbentuk beberapa strata dan keaneka
nskap hutan (RLH) harus disesuaikan dengan restorasi. Penetapan tujuan restorasi disesuaika dihasilkan (Gambar 42). Misalnya akan mela ka harus memahami apa fungsi hutan lindung t diantaranya sebagai pengatur dan mengaw n memelihara tanah dari kerusakan dan longsor
restorasi lahan terdegradasi dan fungsi kawasa penelitian terdapat beberapa fungsi kawasa degradasi sedang sampai dengan tinggi. O pemahaman tentang fungsi hutan yang ditujukan
lam perencanaan restorasi. Area berhutan n tinggi di wilayah penelitian berada di HSA n HL ini restorasi lanskap bertujuan untuk menda unikan alam dan fungsi lindung bagi kawasan
t degradasi hutannya terdapat area dengan ti n tinggi, sedangkan berdasarkan tingkat degradas
ndah, sedang dan tinggi. Restorasi lanskap pa n dengan pengayaan (enrichment planting) pada a penanaman (replanting) pada area yang terbuka native species) dan yang tidak perlu naungan (t
g dapat membantu penyebaran benih. Penelit n kembali ke semula karena adanya native spe
ebar setelah penebangan dan tegakan sisa dan lingkungan bagi pertumbuhan biji (Grisc ditanam harus menyesuaikan dengan ke a restorasi seperti jenis-jenis yang sering di i tanaman pagar atau tanaman sumber penghi
an lindung an produksi an konservasi an produksi konversi penggunaan lain Fungsi hutan nekaragaman hayati an fungsi kawasan ikan dengan fungsi elakukan restorasi ndung tersebut. Hutan ngawetkan tata air,
or.
san
asan hutan yang Oleh karenanya kan restorasi hutan n dengan indeks A dan HL. Pada endapatkan fungsi san di bawahnya. n tingkat degradasi
dasi lahan terdapat pada lahan-lahan da area bervegetasi rbuka (bare land).
toleran species), litian menyatakan species memiliki isa yang mampu iscon et al. 2011).
kebiasaan umum g digunakan oleh ghidupan (Ashton
2001, Garen et al. 2009). Penanaman jenis-jenis lokal dapat mengintrodusir biodiversitas dan nilai ekonomi.
Restorasi lanskap hutan dilaksanakan berdasarkan karakteristik tapak restorasi. Restorasi pasif menjadi pilihan pada hutan-hutan dengan kelembaban tinggi, pada area dengan tingkat kerusakan rendah dan masih terdapat vegetasi tersisa (Aide 2000). Restorasi lanskap hutan DAS Batang Toru pada area dengan tingkat kerusakan hutan rendah, dan tingkat degradasi lahan rendah dapat menggunakan metode restorasi pasif. Lanskap hutan tersebut memiliki sedikit penutupan vegetasi sehingga regenerasi alami masih bisa terjadi. Lanskap hutan Batang Toru merupakan hutan tropika basah dengan kelembaban cukup tinggi sehingga memungkinan regenerasi lebih cepat dibandingkan dengan hutan-hutan tropis kering, arid dan daerah kelembaban rendah lainnya.
Pada lanskap hutan dengan tingkat degradasi tinggi maka native species pioner yang intoleran, cepat tumbuh, dan mudah disebarkan oleh agen penyebar dipilih sebagai tanaman awal. Area indeks degradasi lahan dan degradasi hutan tinggi harus menggunakan penanaman dengan native species yang memiliki kemampuan menjadi pemicu terjadinya suksesi. Pengayaan dengan native species memfasilitasi suksesi jika regenerasi alami tidak memungkinkan karena lanskap miskin keanekaragaman jenis, kekurangan jenis fungsional dan ekonomis (Aide 2000, Guariguata dan Ostertag 2001). Bahkan jenis eksotis dapat digunakan jika dan hanya jika native species tidak mampu tumbuh karena kondisi lingkungan rusak berat seperti kerusakan struktur dan fungsional tanah yang sangat tinggi misalnya lapisan atas tanah (top soil) hilang ataupun bekas lahan tambang (Jones et al. 2004).
Simpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1. Struktur vegetasi lanskap hutan DAS Batang Toru merupakan struktur vegetasi hutan yang sedang mengalami suksesi menuju hutan klimaks. Struktur vertikal hutan didominasi oleh strata C yang memiliki ketinggian 20 -30 m. Secara ekologis, komunitas hutan mengalami gangguan ekosistem tingkat sedang sampai berat.
2. Pola lanskap hutan DAS Batang Toru cenderung mengelompok. Struktur lanskap hutan didominasi oleh patch berukuran kurang dari 50 ha. Nilai indeks clumpiness cenderung menurun pada periode tahun 1989 sampai dengan 2013.
3. Tingkat fragmentasi lanskap hutan DAS Batang Toru mengalami kenaikan pada periode tahun 1989 sampai dengan tahun 2013. Tingkat fragmentasi dan luas fragmentasi memiliki berkorelasi dengan jarak terhadap jalan dan jarak terhadap sungai. Semakin besar jarak terhadap jalan dan sungai, semakin rendah indeks fragmentasinya.
4. Tingkat konektivitas lanskap hutan DAS Batang Toru mengalami penurunan pada periode tahun 1989 sampai dengan tahun 2013. Penurunan konektivitas lanskap hutan berkorelasi dengan faktor biofisik dan antropogenik. Ketersediaan aksesibilitas ke hutan meningkatkan gangguan hutan sehingga dapat menurunkan indeks konektivitas.
5. Tingkat degradasi lahan terendah ditemukan pada tipe tutupan lahan hutan, sedangkan tingkat degradasi lahan tertinggi ditemukan pada tipe tutupan lahan pertanian lahan kering campur semak.
6. Indeks restorasi lanskap hutan dibangun oleh indeks fragmentasi dan indeks degradasi lahan. Indeks fragmentasi dan indeks konektivtas merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap indeks restorasi lanskap hutan. Berdasarkan indeks restorasinya, DAS Batang Toru terdiri atas indeks restorasi rendah, sedang dan tinggi.
Saran
1. Pelaksanaan kegiatan restorasi lanskap hutan memerlukan strategi dan teknik pemilihan lokasi prioritas restorasi lanskap. Penentuan lokasi prioritas restorasi lanskap memerlukan data dan informasi yang akurat, sederhana dan dapat diperoleh dengan cepat. Data dan informasi yang diperlukan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan prioritas restorasi lanskap disederhanakan dalam sebuah indeks yaitu indeks restorasi. Pendekatan ekologi lanskap digunakan untuk menentukan indeks restorasi.
2. Indeks restorasi merupakan salah satu alternatif indeks yang dapat digunakan untuk merencanakan kegiatan restorasi lanskap hutan terdegradasi.
3. Perencanaan restorasi lanskap hutan seharusnya mempertimbangkan aspek fungsionalitas ekosistem. Sehingga penentuan indeks restorasi menjadi salah satu tahapan dalam perencanaan restorasi lanskap hutan.
4. Perencanaan rehabilitasi hutan yang selama ini digunakan belum mempertimbangkan aspek fungsionalitas ekosistem. Indeks fragmentasi, indeks konektivitas dan indeks degradasi lahan dapat digunakan sebagai kriteria untuk menentukan prioritas restorasi lanskap hutan. Indeks fragmentasi, dan degradasi lahan maupun indeks konektivitas dan degradasi lahan digunakan untuk membangun indeks komposit yaitu indeks restorasi.
PUSTAKA
Adams CR, Eswaran H. 2000. Global land resources in the context of food and environmental security. Di dalam: Gawande SP, Editor. Advances in Land Resources Management for the 20th Century. 655 pp. New Delhi (IN): Soil Conservation Society of India
Aide TM. 2000. Forest regeneration in a chronesequece of tropical abandaned pasture: implication for restorating ecology. Restoration Ecology. 8 (4): 328-338.
Amminudin I. 2012. Perkembangan tegakan hutan alam produksi dalam sistem silvikultur tebang pilih tanam indonesia intensif (TPTI) [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB
Arima EY, Walker RT, Perz SG, Caldas M. 2005. Looger and forest fragmentation behaviour model of road building in the Amazon Basin. Annals of the Association of American Geography. 95(3):525–541. doi.org/10.1111/j.1467-8306.2005.00473.x.
Aronson J, Alexander S. 2013. Ecological restoration is now a global priority:time to roll up our sleeves. Restoration Ecology. 21 (3):293– 296.doi.org/10.1111/rec.12011
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Ed ke-2. Bogor (ID): IPB Pr.
Ashton M S, Gamage CVS, Singhakumara B MP, Gunatilleke LAUN. 2001. Restoring pathway for rainforest in southern Sri Lanka: a review of concept and model. Forest Ecology and Management. 154 (3):409-430
Bai ZG, Dent DL, Olsson L, Schaepman ME. 2008. Global assessment of land degradation and improvement 1. Identification by remote sensing. Report 2008/01, ISRIC, Wageningen.
BPPT] Balai Penelitian dan Pengembangan Tanah. 2005. Petunjuk analisis tanah. air. pupuk dan tanaman. Bogor (ID): Balai Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Batistella M, Eduardo S, Brondizio F, Emilio and Moran, 2000. Comparative analysis of landscape fragmentation in Rondônia, Brazilian Amazon. International Archives of Photogrammetry and Remote Sensing. 33:148- 155.
Bennett A. 2003. Linkages in the landscape: the role of corridors and connectivity in wildlife conservation. 2nd ed. Gland, Switzerland and Cambridge (GB): IUCN.
Bertol IB, Mello EL, Guadagnin JC, Zaparolli ALV, Carrafa MR. 2003. Nutrient losses by water erosion. Scientia Agricola. 60(3):581- 586.doi.org/10.1590/S0103-90162003000300025
Bierregaard Jr RO, Lovejoy TE, Kapos V. 1992. The biological dynamics of tropical rain-forest fragments. Bioscience. 42(11):859–866.
Bischoff W. Newberry DM, Lingenferder M, Schnaeckel R, Petol GH, Madani L. Risdale CE. 2005. Secondary Succesion and dipterocarpaceae recruitment in Borneo Rain forest after logging. Forest Ecology Management. 218(2005):174-192.doi.org/10.1016/j.foreco.2005.07.009
BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2010. Data dan Informasi Bencana. [Internet]. [Diunduh 10 Oktober 2010]. Tersedia pada:www.dibi.bnpb.go.id/DesInventar/simple_data.jsp
Boer R, Faqih A. 2004. Current and future rainfall variability in Indonesia. Paper submitted to Assessments of Impacts and Adaptations to Climate Change (AIACC) [Internet]. [diunduh 12 May 2012] Tersedia pada:http://www.enfor.com.ph/publications.html [May 2012].
BPS] Biro Pusat Statistik. 2011. Potensi Desa – Statistika Indonesia. Jakarta (ID):Biro Pusat Statitsik.
Bradshaw, Richard HW, Halme, Panu, Allen, Katherine, Auniņš, Ainārs., Brūmelis, Guntis, Zin, Ewa. 2013. Challenges of ecological restoration: Lessons from forests in northern Europe. Biological Conservation. 167(2013):248-256.doi: 10.1016/j.biocon.2013.08.029
Brancalion PH, Viani RAG, Strassburg BBN, Rodrigues RR. 2012. Finding the money for tropical forest restoration. Unasylva. 63:25–34.
Bright, Christ, Mattom, Ashley. 2001. The restoration of a hotspot begins. Nord watch; Nov/Des 2001;14;ProQuest
Cabral DC, Freitas SR, Fiszon JT. 2007.Combining sensors in landscape ecology: imagery based and farm level analysis in study human driven forest fragmentation. Sociedade & Natureza 19(2):69 – 87.doi:org/10.1590/s1982- 45132007000200005.
Cayuela L, Rey Benayas JM, Echeverría C. 2006. Clearance and fragmentation of tropical montane forests in the Highlands of Chiapas, Mexico (1975-2000). Forest Ecology and Management. 226(2006): 208-218
CBD] Convention on Biological Diversity. 2005. Handbook of the Convention on Biological Diversity Including its Cartagena Protocol on Biosafety. (3th eds). Montreal (CA): Secretariat of the Convention on Biological Diversity.
CBD] Convention on Biological Diversity. 2011. Contribution of ecosystem restoration to the objectives of the CBD and a healthy planet for all people. Montreal (CA): Secretariat of the Convention on Biological Diversity.
Clergeau P, Burel F. 1997.The role of spatio-temporal patch connectivity at the landscape level: an example in a bird distribution. Landscape Urban Plan. 38(1–2):37–43.
Collinge SK. 2000. Effects of grassland fragmentation on insect species loss, colonization, and movement patterns. Ecology. 81(8):2211–2226.
Cox GW. 1985. Laboratory Manual of General Ecology. 5th ed. Dubuque (US):Brown.
Crist MR, Wilmer B, Aplet GH. 2005. Assessing the value of road less areas in a conservation reserve strategy: biodiversity and landscape connectivity in the northern Rockies. Journal Application Ecology. 42(1): 181–191.doi: 10.1111/j.1365-2664.2005.00996.x
Crooks KR, Sanjayan M. 2006. Connectivity Conservation. New York (USA): Cambridge University Press.
Datukrahmat RS, Monde A, Paloloang AK. 2013. Degradasi beberapa sifat fisik tanah akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan perkebunan kakao (Theobroma Cacao L.) di desa Sejahtera. Palolo. e-J. Agrotekbis. 1(4): 346- 352.
David NM, Douglas BM. 2004. Forest fragmentation and the distribution, abundance and conservation of the Tana river red colobus (Procolobus
rufomitratus) Biological Conservation. 118(1):67–77.doi: 10.1016/j.biocon.2003.07.009
Dougill AJ, Thomas DSG, Heathwaite AL. 1999. Environmental change in the Kalahari: Integrated land degradation studies for non-equilibrium dryland environments. Annals of the Association of American Geographers. 89(3): 420–442. 10.1111/0004-5608.00156
Echeverría C, Newton AC, Lara A, Benayas JMR, Coomes DA. 2007. Impacts of forest fragmentation on species composition and forest structure in the temperate landscape of southern Chile. Global Ecol. Biogeogr. 16(2007):1-14.doi:10.1111/j.1466-8238.2007.00311.x
Emerson WW. 1991. Structural decline of soils, assesment and prevention. Aust Jurnal Soil Res. 29(1991):905-921
Fahrig L, Merriam G. 1985. “Habitat patch connectivity and population survival” Ecology. 66(6):1762-1768.doi:10.2307/2937372
Fahrig L. 2003. Effect of habitat fragmentation on biodiversity. Annual review of Ecology, Evolution, and Systematics. 34(1):487-515.doi: 10.1146/annurev.ecolsys.34.011802.132419
FAO] Food and Agriculture Organization 2002. Proceedings: Second Expert Meeting on Harmonizing Forest-related Definitions for Use by Various Stakeholders, Rome 11-13 September 2002, WMO/IPCC/CIFOR/FAO/IUFRO/UNEP. [Internet]. [diunduh 2 Desember 2011]. Tersedia pada:http://www.fao.org/docrep/005/y4171e/y4171e00.htm. FAO] Food and Agriculture Organization. 2008. State of World’s Forest 2008.
Rome (IT): Food and Agriculture Organization of the United Nations.