• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Produktivitas Durian (Durio zibethinus Murray) Pada Agroforest Karet (Hevea brasiliensis Muell) di Sekitar Hutan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Produktivitas Durian (Durio zibethinus Murray) Pada Agroforest Karet (Hevea brasiliensis Muell) di Sekitar Hutan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PRODUKTIVITAS DURIAN (Durio zibethinus Murray)

PADA AGROFOREST KARET (Hevea brasiliensis Muell)

DI SEKITAR HUTAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

(DAS) BATANG TORU

JONAS PURBA

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KAJIAN PRODUKTIVITAS DURIAN (Durio zibethinus Murray)

PADA AGROFOREST KARET (Hevea brasiliensis Muell)

DI SEKITAR HUTAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

(DAS) BATANG TORU

SKRIPSI

Oleh :

JONAS PURBA

031202010/Budidaya Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KAJIAN PRODUKTIVITAS DURIAN (Durio zibethinus Murray)

PADA AGROFOREST KARET (Hevea brasiliensis Muell)

DI SEKITAR HUTAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

(DAS) BATANG TORU

SKRIPSI

Oleh :

JONAS PURBA

031202010/Budidaya Hutan

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(4)

Judul Skripsi : Kajian Produktivitas Durian (Durio zibethinus Murray) Pada Agroforest Karet (Hevea brasiliensis Muell) di Sekitar Hutan Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru.

Nama : Jonas Purba NIM : 031202010 Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS Oding Affandi, S.Hut, MP NIP : 132 287 853 NIP : 132 259 566

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian

(5)

ABSTRAK

JONAS PURBA. Kajian Produktivitas Durian (Durio zibethinus Murray) pada Agroforest Karet (Hevea brasiliensis Muell) di Hutan Sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru.

Dewasa ini, hutan di daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru mengahadapi permasalahan bentuk pola pemanfaatan lahan dan tekanan dari penduduk di sekitar daerah tersebut. Lokasi dari kawasan ini terdiri dari berbagai ploa pemanfaatan lahan seperti pertanian dan agroforest. Selain itu DAS Batang toru merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Tujuan dari penelitian adalah untuk mempelajari produktivitas agroforest karet dan hubungannya dengan pengetahuan lokal petani setempat. Pencapaian tujuan tersebut, dilaksanakan pengukuran produktivitas durian dengan menggunakan parameter ukuran batang, Crown position dan Crown form dan wawancara dengan petani lokal di Desa Sibulan-bulan dan Huta Gur-Gur, dengan total 32 kebun agroforest karet.

Model produksi yang didapat dari kebun agroforest karet di hutan sekitar DAS Batang Toru adalah Y = 0.972 X1 – 0.361 X1X2 + 0,994 X1X3. Bentuk tajuk lebih berpengaruh kuat terhadap produktivitas durian dibanding dengan posisi tajuk pohon. Hal ini terjadi, karena pohon dengan posisi tajuk yang tinggi adalah pohon tua yang tidak memiliki cukup dahan untuk tempat buah berkembang. Kondisi ini bertambah buruk dengan hentaman angin yang keras pada pohon dengan posisi tajuk yang tinggi. Praktek pengetahuan lokal di daerah ini adalah teknik penanaman sisipan untuk meremajakan pohon yang sudah tua dan mati.

(6)

ABSTRACT

JONAS PURBA. The Search of Durian (Durio zibethinus Murray) Productivity at Rubber (Hevea brasiliensis Muell) Agroforest in Surrounded Jungle Batang Toru Water Catchments Area (WCA).

Up to now, forest in Batang Toru Watershed Area (WCA) continues to face problem in the pattern of land using and the pressures of community inside the area. Location of the area are compose by various land uses, especially agricultural area and agroforest. Also Batang Toru Watershed is a high biodiversity area. The objective of the research is to study the productivity of rubber agroforest and it’s relationship with the local ecological knowledge of the local farmers. For achieving that objective, the measurements of productivity durian by using diameter size, crown position and crown form predictors and conversation with the local farmers was conducted in Sibulan-bulan and Huta Gur-Gur village with the total agroforest farms are 32 farms.

The results shows that produce models of rubber agroforest in surrounded jungle Batang Toru WCA is Y = 0.972 X1 – 0.361 X1X2 + 0,994 X1X3. Crown Form is more significance influence to the productivity durian trees in this area rather than Crown Position it’s self. It happened because the top crown position is old trees which’s not have addible branches as the place of the fruits to develop. In addition with the wind’ scrushing to the top crown position. The local ecological knowledge practicing in this area is partial planting technique is using to enrichment the old plant and dead.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pancur Batu pada tanggal 08 Mei 1985 dari ayah

Jemat Purba dan Ibu Masa Perangin-angin. Penulis merupakan putra kelima dari

lima bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Pancur Batu dan pada tahun

2003 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Sistem

Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program Studi Budidaya

Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah

Pengantar Inventarisasi Hutan dan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan

(P3H), mengikuti kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva (Himas) dan

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) pada tahun 2004.

Penulis melaksanakan praktek kerja lapang (PKL) di Perum Perhutani

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

berkat dan kasih-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih

dalam penelitian ini adalah Agroforestry dengan judul Kajian Produktivitas

Durian (Durio zibethinus Murray) pada Agroforest Karet (Hevea brasiliensis

Muell) di Hutan Sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar,

MS dan Oding Affandi S.Hut, MP selaku pembimbing, serta International Center

Research of Agroforestry (ICRAF) selaku pihak yang mendanai penelitian ini. Di

samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Endri Martini, S. Hut,

Bapak Degi Harja Asmara dan Bapak Jusupta Tarigan S.Hut yang telah banyak

membantu penulis selama melaksanakan penelitian. Ungkapan terima kasih juga

disampaikan kepada ayah, ibu, serta keluarga atas segala doa dan perhatiannya.

Serta yang tidak kalah penting kepada teman-teman satu kelompok PKL

Asri”toem”, Magda”karjok”, Eva dan Richie, juga teman-teman satu angkatan

2003 terkhusus budidaya hutan (BDH) dan masyarakat daerah aliran batang toru

(DAS) Batang Toru.

(9)

ABSTRAK

JONAS PURBA. Kajian Produktivitas Durian (Durio zibethinus Murray) pada Agroforest Karet (Hevea brasiliensis Muell) di Hutan Sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru.

Dewasa ini, hutan di daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru mengahadapi permasalahan bentuk pola pemanfaatan lahan dan tekanan dari penduduk di sekitar daerah tersebut. Lokasi dari kawasan ini terdiri dari berbagai ploa pemanfaatan lahan seperti pertanian dan agroforest. Selain itu DAS Batang toru merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Tujuan dari penelitian adalah untuk mempelajari produktivitas agroforest karet dan hubungannya dengan pengetahuan lokal petani setempat. Pencapaian tujuan tersebut, dilaksanakan pengukuran produktivitas durian dengan menggunakan parameter ukuran batang, Crown position dan Crown form dan wawancara dengan petani lokal di Desa Sibulan-bulan dan Huta Gur-Gur, dengan total 32 kebun agroforest karet.

Model produksi yang didapat dari kebun agroforest karet di hutan sekitar DAS Batang Toru adalah Y = 0.972 X1 – 0.361 X1X2 + 0,994 X1X3. Bentuk tajuk lebih berpengaruh kuat terhadap produktivitas durian dibanding dengan posisi tajuk pohon. Hal ini terjadi, karena pohon dengan posisi tajuk yang tinggi adalah pohon tua yang tidak memiliki cukup dahan untuk tempat buah berkembang. Kondisi ini bertambah buruk dengan hentaman angin yang keras pada pohon dengan posisi tajuk yang tinggi. Praktek pengetahuan lokal di daerah ini adalah teknik penanaman sisipan untuk meremajakan pohon yang sudah tua dan mati.

(10)

ABSTRACT

JONAS PURBA. The Search of Durian (Durio zibethinus Murray) Productivity at Rubber (Hevea brasiliensis Muell) Agroforest in Surrounded Jungle Batang Toru Water Catchments Area (WCA).

Up to now, forest in Batang Toru Watershed Area (WCA) continues to face problem in the pattern of land using and the pressures of community inside the area. Location of the area are compose by various land uses, especially agricultural area and agroforest. Also Batang Toru Watershed is a high biodiversity area. The objective of the research is to study the productivity of rubber agroforest and it’s relationship with the local ecological knowledge of the local farmers. For achieving that objective, the measurements of productivity durian by using diameter size, crown position and crown form predictors and conversation with the local farmers was conducted in Sibulan-bulan and Huta Gur-Gur village with the total agroforest farms are 32 farms.

The results shows that produce models of rubber agroforest in surrounded jungle Batang Toru WCA is Y = 0.972 X1 – 0.361 X1X2 + 0,994 X1X3. Crown Form is more significance influence to the productivity durian trees in this area rather than Crown Position it’s self. It happened because the top crown position is old trees which’s not have addible branches as the place of the fruits to develop. In addition with the wind’ scrushing to the top crown position. The local ecological knowledge practicing in this area is partial planting technique is using to enrichment the old plant and dead.

(11)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika terjadi konflik antara kepentingan konservasi kehidupan alami dan

permintaan kebutuhan ekonomi, diperkenalkanlah pohon buah-buahan dalam

manajemen konservasi yang dapat menjadi sebuah pilihan. Walaupun agroforest

bukan sebuah strategi untuk para konservasionis, tetapi ada peluang untuk

mencapai pemenuhan dua kepentingan tersebut melalui sebuah pengaturan yang

lebih bijaksana. Agroforest dengan pohon-pohon campur dipercaya bermanfaat

sebagai penyangga keberadaan hutan alam. Pengkajian dari produktivitas

agroforest karet di daerah Batang Toru dilakukan untuk melihat efektivitas

dari tipe agroforest untuk penyangga kebutuhan ekonomi masyarakat dan

juga kemungkinannya untuk mendukung konservasi kehidupan alam

(Martini dan Harja, 2006).

Perubahan lingkungan daerah tropika berkaitan dengan pembukaan hutan

alam yang menimbulkan erosi, kepunahan flora dan fauna, dan perluasan lahan

kritis. Dalam hal ini, sistem agroforest yang secara alami dibentuk oleh petani

setempat telah mendorong munculnya teknik pertanian baru. Agroforestri

menggabungkan ilmu kehutanan dan agronomi, serta memadukan usaha

kehutanan dan pembangunan pedesaan untuk menciptakan keselarasan antara

intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan (Foresta dkk, 2000).

Agroforestri memiliki banyak bentuk perwujudan yang telah dikenal

secara luas. Bentuk-bentuk tersebut dapat berupa kebun campuran, tegalan pohon,

(12)

istilah Repong Damar, Kebun Campuran di Jambi dan Sumatera Selatan,

Tembawang di Kalimantan Barat, Pelak di Kerinci (Jambi), Kebun Durian

Campuran di Gunung Palung (Kalimantan Barat), Parak di Maninjau (Sumatera

Barat) serta Kebun Pepohonan Campuran di sekitar Kota Bogor (Jawa Barat).

Agroforest disamping penting untuk penghidupan masyarakat yang dilihat

dari nilai produksi agroforest, sistem ini juga memegang peranan penting untuk

konservasi air, tanah dan keanekaragaman hayati. Petani yang menerapkan sistem

agroforest, telah memainkan peranan penting untuk konservasi air, tanah dan

keanekaragaman hayati. Para petani agroforest umumnya masih menggunakan

manajemen pemungutan hasil yang belum berorientasi pasar. Mereka masih

menggunakan jaringan pasar lokal dan sedikit pengetahuan/keterampilan dalam

menangani hasil pasca panen dan informasi mengenai jaringan pasar. Hal ini

berakibat pada rendahnya produktivitas dari sistem (kuantitas dan kualitas)

produknya masih rendah (Manurung, 2006).

Bentangan lahan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Batang Toru yang

meliputi tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan

Tapanuli Selatan yang merupakan areal perbukitan Bukit Barisan yang didominasi

oleh hutan alam dan sistem pertanian berbasis pohon dengan ketinggian tempat

yang bervariasi (0 sampai 1500 mdpl) dan derajat kelerengan 30º hingga 60º.

Sistem pertanian berbasis pepohonan yang ditemukan di DAS

Batang Toru diantaranya adalah: (1) Sistem Agroforest Karet (Hutan Karet) (2)

Sistem Agroforest Durian (3) Sistem Kebun Pekarangan Berbasis Kakao (4)

Sistem Karet Monokultur (5) Sistem Agroforest Pinang-Kakao (6) Sistem

(13)

Kakao (8) Sistem Agroforest Pisang-Kakao (9) Sistem Agroforest Gula Aren serta

(10) Sistem Kopi Monokultur, yang kesemuanya merupakan daerah penyangga

untuk hutan alam yang juga merupakan habitat orang utan sumatera (Pongo

abelii) (Manurung, 2006).

Penelitian mengenai produktivitas Tengkawang (Shorea stenoptera) di

Kalimantan Barat menunjukkan bahwa diameter pohon, kompetisi tajuk dan

cahaya merupakan variabel yang signifikan sebagai indikator produksi. Dari hasil

penelitian ini, dapat ditentukan bagaimana karakteristik pohon yang

produktivitasnya paling baik. Karateristik yang baik dapat dihasilkan dengan

penentuan jarak tanam yang tepat yang sehingga dapat dihindari persaingan

berlebihan dari tanaman, baik itu persaingan ke atas (cahaya matahari) maupun ke

bawah (air dan unsur hara).

Agroforest Karet (Sistem Kebun Karet Campuran) dengan tanaman durian

sebagai salah satu hasil musiman, merupakan salah satu bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari kehidupan masyarakat di DAS Batang Toru. Dalam

perkembangannya buah durian telah menjadi salah satu alternatif pendapatan

masyarakat selain tanaman karet yang menjadi komoditas utamanya. Menyadari

hal tersebut, maka diperlukan suatu penelitian yang dapat memberi informasi

(14)

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini, ialah :

1. Untuk menguraikan hubungan/interaksi antara diameter batang (D), bentuk

tajuk (CF) serta posisi tajuk (CP) terhadap produktivitas buah durian

(Durio zibethinus Murray) pada Agroforest Karet (Sistem Kebun Karet

Campuran) di sekitar hutan DAS Batang Toru.

2. Untuk menguraikan pengetahuan lokal yang diterapkan dalam pengelolaan

Agroforest Karet di sekitar hutan DAS Batang Toru.

C. Hipotesa Penelitian

Terjadi hubungan/interaksi antara diameter batang, bentuk tajuk serta

posisi tajuk terhadap produktivitas buah durian pada Agroforest Karet di sekitar

hutan DAS Batang Toru.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu menyumbangkan informasi penting

mengenai produksi buah serta karateristik pohon durian pada sistem Agroforest

Karet, yang bersumber dari pengukuran langsung di lapangan dan wawancara,

serta diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pihak yang terkait,

seperti Lembaga Pemerintahan, Lembaga Pendidikan, Lembaga Swadaya

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Agroforestri

Agroforestri adalah nama kolektif untuk sistem dan teknologi pemanfaatan

lahan dimana tumbuhan berkayu/perennial (pohon, semak belukar, palma, bambu

dan sebagainya) secara sengaja digunakan pada unit pengelolaan yang sama

dengan tanaman pertanian dan/atau hewan-hewan, dalam beberapa bentuk

susunan ruang dan urutan waktu. Dalam sistem agroforestri terdapat

interaksi ekologis dan ekonomi antara komponen-komponen yang berbeda

(Lundgren dan Raintree dalam Lahjie, 2000).

Sistem agroforestri merupakan kombinasi berbagai jenis pohon dengan

tanaman semusim. Sistem agroforestri telah dilaksanakan sejak dahulu kala oleh

petani di berbagai daerah, dengan berbagai macam iklim, jenis tanah dan sistem

pengelolaannya. Jenis tanaman yang diusahakan sangat bervariasi, misalnya

buah-buahan, kayu bangunan, kayu bakar, pakan, getah, umbi dan biji-bijian.

Pengelolaan sistem agroforestri berbeda-beda antar petani. Tindakan pemupukan,

pengolahan tanah, penyiangan, pemangkasan dan pemberantasan hama serta

penyakit sangat bergantung kepada ketersediaan modal, tenaga kerja

dan budaya. Adanya perbedaan pengelolaan tersebut mengakibatkan

perbedaan kuantitas dan kualitas produksi agroforestri, walaupun

sistem agroforestri yang diusahakan mungkin mempunyai komponen yang sama

(Noordwijk dan Lusiana dalam Hairiah dkk, 2002).

Salah satu bentuk perwujudan agroforestri, agroforest karet

(16)

Keuntungannya tidak hanya dari segi modal dan biaya, tetapi juga dari segi

konservasi lingkungan dan keragaman hayati serta mempunyai nilai positif

terhadap perbaikan kondisi hidrologi pada daerah aliran sungai. Kelemahan dari

kebun karet adalah produktivitasnya rendah sehingga menjadi hambatan untuk

pengembangan di masa depan, karena petani akan lebih memilih jenis tanaman

atau usaha yang lebih menguntungkan (Joshi dkk, 2001).

B. Jenis Agroforestri

Pola agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama, yakni

sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Kedua tipe ini

berasal dari dua konsepsi yang berbeda dan membutuhkan pendekatan yang

berbeda pula (Foresta dkk, 2000).

B. 1 Sistem Agroforestri Sederhana

Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana

pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih tanaman

semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan

tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya

berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar (Hairiah dkk, 2002).

Foresta dkk (2000), menyatakan bahwa sistem agroforestri sederhana

adalah perpaduan-perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur,

menggambarkan apa yang kini dikenal dengan sebagai skema agroforestri klasik.

Dari sudut penelitian dan persepsi berbagai lembaga yang menangani agroforestri,

(17)

yang memiliki peran penting (seperti kelapa, karet, cengkeh, jati dan lain-lain)

atau memiliki peran ekologi (seperti dadap dan petai cina) dan sebuah unsur

tanaman musiman (misalnya padi, jagung, sayur mayur, rerumputan), dan atau

jenis tanaman lain seperti pisang, kopi, kakao dan sebagainya yang juga memiliki

nilai ekonomi.

B. 2 Sistem Agroforestri Kompleks

Sistem agroforestri kompleks atau singkatnya agroforest, adalah

sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman

musiman, dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip

dengan ekosistem hutan alam primer atau sekunder. Sistem agroforestri kompleks

bukanlah hutan-hutan yang ditata lambat laun melalui transformasi ekosistem

secara alami, melainkan merupakan kebun-kebun yang ditanam melalui proses

perladangan. Kebun-kebun agroforest dibangun pada lahan-lahan yang

sebelumnya dibabati kemudian ditanami dan diperkaya. Dalam kondisi

terbatasnya lahan karena ledakan jumlah penduduk dan perluasan konsesi

penebangan hutan dan transmigrasi serta hutan tanaman industri, lahan yang

masih tersisa kebanyakan sudah berupa agroforest (Foresta dkk, 2000).

B. 2. 1 Agroforest Karet (Kebun Karet Campuran)

Kebun karet campuran secara ekologi bisa dianggap sebagai hutan

sekunder berbasis karet. Kebun karet campuran umumnya bertahan hingga 40

tahun atau lebih, sebelum dibuka dan ditanam kembali. Sedang pertumbuhan

(18)

non-pionir asal hutan primer untuk berkembang. Di lahan-lahan agroforest karet

tua yang ditinggalkan dan tidak ditanami kembali terjadi perkembangan struktur

ke arah hutan tua, jumlah pohon karet semakin lama semakin berkurang.

(Foresta dkk, 2000).

Wanatani karet dicirikan dengan beragamnya struktur umur dan

kelimpahan spesies tanaman yang tumbuh bersamaan dengan pohon karet

(Beukema, 2001 dalam Joshi dkk, 2001). Struktur umur yang beragam tersebut

disebabkan bukan hanya oleh alami, namun juga oleh penanaman anakan karet

secara aktif dengan sisipan. Pada tingkat plot, kekayaan spesies tanaman

mencapai sekitar setengah dari hutan alam, besarnya nilai kekayaan spesies dalam

tingkatan yang sama telah dilaporkan pula untuk jenis burung dan mamalia

(Joshi dkk, 2001).

Agroforest dapat menjadi contoh sistem pertanian dimana

keanekaragaman hayati memberikan manfaat ekonomi secara langsung. Dalam

kasus Agroforest Karet, sejak lama keanekaragaman hayati memberikan dua

fungsi ekonomi yaitu menambah penghasilan petani dalam bentuk uang tunai atau

pangan untuk konsumsi sendiri, sehingga petani mampu mengurangi

ketergantungan terhadap karet dan manfaat yang kedua memungkinkan petani

memperluas lahan yang ditanami dengan modal dan tenaga kerja minimal

(Foresta dkk, 2000).

Selain menghasilkan karet, agroforest karet juga menghasilkan

buah-buahan, sayuran, tanaman obat, kayu pertukangan (yang semakin sulit diperoleh

di daerah yang hutannya telah musnah) dan kayu bakar. Rumah tangga pedesaan

(19)

konteks ini, agroforest yang menjadi sumber pasokan kayu bakar yang berlimpah

dan tetap, bagi petani dapat lebih bermanfaat dibanding perkebunan monokultur

(Foresta dkk, 2000).

Jika dibandingkan dengan perkebunan monokultur, dan sistem tata guna

lahan lainnya, wanatani berbasis karet, seperti kebun karet rakyat, adalah kurang

produktif dan saat ini kurang menguntungkan serta sedang menghadapi tantangan

dari berbagai pilihan usaha tani. Karena tidak tersedianya insentif, petani bahkan

sering memilih sistem usaha yang memberikan jasa lingkungan yang rendah yang

berdampak negatif bagi pemangku kepentingan (stakeholders) luar yang sering

atau bahkan jauh dari batas desa, kabupaten, propinsi dan nasional

(Joshi dkk, 2001).

C. Aneka Praktek Agroforest di Indonesia

Di dataran tinggi Minangkabau (Sumatera Barat), hutan primer terdesak ke

lereng-lereng puncak gunung. Areal khusus ini dilindungi dengan ketat oleh

masyarakat setempat. Sejak lama orang Minang sudah mengenal cara bersawah,

sementara cara peladangan berputar dapat dikatakan tidak ada lagi. Di daerah

Maninjau kebun campuran meliputi dari 50 sampai dengan 80 persen tanah

garapan, dan menjadi sebuah sabuk penyangga yang tak terputus antara desa dan

persawahan dengan hutan alam yang masih dilindungi di bagian atas lereng.

Berbagai tanaman, seperti kulit manis, pala, kopi, durian dan buah-buahan yang

lain serta pohon kayu bermanfaat, mendominasi agroforest di sini. Seperti di

Pesisir Krui, tanaman utama dipadukan dengan berbagai tanaman lain, baik liar

(20)

Kebun campuran di sini memberikan penghasilan yang besar yang berasal dari

penjualan rempah-rempah, kopi dan durian. Sebagaimana halnya di Pesisir Krui,

agroforest di Maninjau juga memasok bahan pangan pelengkap serta berbagai

bahan lain, terutama produksi kayu untuk pertukangan. Agroforest ’parak’ di

Maninjau mewujudkan sintesis fungsional antara pertanian dan kehutanan

(Foresta dkk, 2000).

Kebun pekarangan di Jawa memadukan tanaman bermanfaat asal hutan

dengan tanaman khas pertanian. Semakin banyak campur tangan manusia

membuat kebun itu menjadi semakin artifisial (sistem buatan yang tidak alami).

Kekhasan vegetasi hutan seringkali masih bisa ditemukan, misalnya dapat

dijumpai berbagai jenis tumbuhan bawah seperti berbagai macam pakis (fern),

atau epiphyte (misalnya anggrek liar). Kekayaaan jenisnya bervariasi, beberapa

pekarangan yang tidak terlalu banyak campur tangan pemiliknya memiliki

keanekaragaman yang cukup tinggi, yang dapat mencapai lebih dari 50 jenis

tanaman pada lahan seluas 400 m². Bila diperhatikan dari struktur kanopi

tajuknya, kebun-kebun itu memiliki lapisan/strata tajuk bertingkat (multi strata)

mirip dengan yang dijumpai di hutan. Kemiripan dengan kanopi hutan ini

menyebabkan estimasi luasan hutan berdasarkan foto udara menjadi kurang dapat

dipercaya (Hairiah dkk, 2002).

Kebun-kebun agroforest juga ditemukan di daerah-daerah lain di

Indonesia. Di wilayah Batak, Sumatera Utara terdapat agroforest berbasis

kemenyan. Hampir dimana-mana baik di Sumatera maupun di Kalimantan

terdapat agroforest yang didominasi durian, seperti di wilayah Dayak, Kalimantan

(21)

dan di dataran rendah bagian timur Sumatera terdapat agroforest berbasis karet

yang dipadukan dengan berbagai ratusan pohon lain yang mencakup luas sekitar

dua juta hektar. Di Kalimantan Barat, agroforest terbentang di antara ladang dan

hutan alam, yakni sistem ’tembawang’ yang memadukan pohon tengkawang

(Shorea spp) dengan pohon-pohon buah dan kayu. Di Kalimantan Timur, ada juga

sistem ’lembo’ yakni agroforest buah-buahan, serta hamparan luas agroforest

berbasis rotan yang tengah terancam oleh kehadiran proyek-proyek perkebunan

kelapa sawit dan HTI. Di Pulau Lombok dan Sulawesi Utara ditemukan agroforest

yang didominasi oleh pohon aren yang menghasilkan gula merah. Di Pulau Seram

dan Maluku terdapat agroforest yang memadukan pohon kenari dan buah-buahan

lain dengan pala dan cengkeh (Foresta dkk, 2000).

D. Interaksi Pohon-Tanah-Tanaman Semusim

Menanam pohon secara tumpang sari dengan tanaman semusim, pada satu

tempat dan waktu yang bersamaan maupun bergiliran (sistem bera), merupakan

pola dasar sistem agroforestri. Pada sistem agroforestri terjadi interaksi yaitu

adanya proses yang saling mempengaruhi dari komponen-komponen penyusun

agroforestri. Interaksi tersebut bisa positif (komplimentasi) atau negatif

(kompetisi). Oleh karena itu, dalam memilih jenis pohon yang menjadi

komponen agroforestri harus didasarkan pada sifat dan bentuk pohon yang

berpengaruh terhadap tanaman semusim, apakah merugikan atau menguntungkan

(22)

D. 1 Proses Terjadinya Interaksi

Dalam sistem pertanian campuran, kompetisi antar tanaman yang ditanam

berdampingan pada satu lahan yang sama sering terjadi, bila ketersediaan sumber

kehidupan tanaman berada dalam jumlah terbatas. Kompetisi ini biasanya

diwujudkan dalam bentuk hambatan pertumbuhan tanaman lain. Hambatan dapat

terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hambatan secara langsung

misalnya melalui efek allelopathy, tetapi hambatan secara langsung ini jarang

terjadi di lapangan. Hambatan tidak langsung dapat melalui berkurangnya

intensistas cahaya karena naungan pohon, atau menepisnya ketersediaan hara dan

air karena dekatnya perakaran dua jenis tanaman yang berdampingan. Tanaman

kadang-kadang mempengaruhi tanaman lain melalui ’partai ketiga’ yaitu bila

tanaman tersebut dapat menjadi inang bagi hama atau penyakit bagi tanaman

lainnya. Walaupun pada kenyataannya di lapangan banyak juga tanaman yang

ditanam secara terpisah pertumbuhannya justru kurang bagus bila dibandingkan

dengan ditanam bersama dalam satu petak yang sama (misalnya penanaman

pohon dadap pada kebun kopi, dadap disini selain berfungsi sebagai penambat N

juga sebagai penaung) (Hairiah dkk, 2002).

D. 2 Faktor Penyebab Interaksi

Secara umum interaksi yang bersifat negatif menurut Hairiah dkk (2002),

dapat terjadi karena :

1. Populasi Maksimum

Konsep daya dukung akan merupakan konsep yang juga penting untuk

(23)

maksimum dari suatu spesies di suatu area, baik sebagai sistem monokultur, atau

campuran. Suatu spesies mungkin saja dapat tumbuh melimpah pada suatu lahan.

Apabila dua spesies tumbuh bersama pada lahan tersebut, maka salah satu spesies

lebih kompetitif daripada yang lain. Hal ini kemungkinan mengakibatkan spesies

kedua akan mengalami kepunahan. Di dalam usaha pertanian, terutama tanaman

pokok yang diharapkan tumbuh lebih baik.

2. Keterbatasan Faktor Pertumbuhan

Salah satu syarat terjadinya kompetisi adalah keterbatasan faktor

pertumbuhan (air, unsur hara dan cahaya). Pertumbuhan tanaman mengalami

kemunduran jika terjadi penurunan ketersediaan satu atau lebih faktor.

Kekurangan hara di suatu lahan mungkin saja terjadi karena kesuburan alami

memang rendah, atau karena besarnya proses kehilangan unsur hara pada lahan

tersebut, misalnya karena penguapan dan pencucian. Kekurangan air dapat terjadi

karena daya menyimpan air rendah, distribusi curah hujan tidak merata, atau

proses kehilangan air (aliran permukaan) yang cukup besar. Pengetahuan akan

ketersediaan faktor pertumbuhan (air, cahaya dan unsur hara) dan pengetahuan

(24)

D. 3 Jenis Interaksi Pohon-Tanah-Tanaman Semusim

Menurur Hairiah dkk (2002), pada prinsipnya ada tiga macam interaksi di

dalam sistem agroforestri, yaitu :

a. Interaksi positif (complimentarity = saling menguntungkan) : bila

peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh peningkatan produksi

lainnya.

b. Interaksi netral : bila kedua tanaman tidak saling mempengaruhi,

peningkatan produksi produksi tanaman semusim tidak mempengaruhi

produksi pohon atau peningkatan produksi pohon tidak mempengaruhi

produksi tanaman semusim.

c. Interaksi negatif (kompetisi/persaingan = saling mempengaruhi) : bila

peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh penurunan produksi

tanaman lainnya, ada kemungkinan pula terjadi penurunan produksi

keduanya.

D. 4 Kondisi Tajuk (Crown Form) dan Kompetisi Cahaya (Ruang Tajuk/Crown Position)

Secara fisiologis cahaya mempunyai pengaruh baik langsung maupun

tidak langsung. Pengaruh cahaya pada metabolisme secara langsung melalui

fotosintesis, serta secara tidak langsung melalui pertumbuhan dan perkembangan

tanaman. Proses perkembangan yang dikendalikan oleh cahaya ditemui pada

semua tahap pertumbuhan dan perkecambahan biji sampai pertumbuhan plumula

hingga respon tropik dari batang dan orientasi daun, dan akhirnya pada induksi

(25)

Selain terjadi ketergantungan, di dalam hutan akan terjadi pula persaingan

antar anggota-anggota yang hidup saling berdekatan, misalnya persaingan dalam

perebutan unsur-unsur hara, air, sinar matahari ataupun tempat tumbuh.

Persaingan ini tidak hanya terjadi pada tumbuhan saja, tetapi juga pada binatang.

Hutan merupakan suatu ekosistem natural yang telah mencapai keseimbangan

klimaks dan merupakan komunitas tetumbuhan paling besar yang mampu pulih

kembali dari perubahan-perubahan yang dideritanya, sejauh tidak melampaui

batas-batas yang dapat ditoleransi (Arief, 2001).

Pada umumnya masyarakat hutan mengadakan suatu persaingan antar

beberapa jenis pohon, dimana pohon yang kuat pertumbuhannya

akan mendominasi kehidupan di hutan tersebut. Pada umumnya,

pohon-pohon besar dan tinggilah yang akan memenangkan persaingan

tersebut. Misalnya di hutan hujan (rain forest) akan berkembang jenis-

jenis Shorea (meranti) yang menghasilkan dari jenis tumbuhan hutan

(Soerianegara dkk, 1967 dalam Lahjie, 2000).

Pohon-pohon pada tajuk atas terbuka terhadap cahaya matahari yang kuat

suhu yang tinggi, dan angin cukup besar. Lebih banyak jenis yang menyesuaikan

diri untuk hidup di dalam tajuk utama daripada mencapai lapisan yang menjulang

tinggi (Whitmore, 1984 dalam Mackinnon, 2000).

Klasifikasi pohon atau tajuk di Amerika Serikat mempunyai lima kelas

meskipun definisi antar kelas kurang tajam sehingga cenderung menimbulkan

kelas-kelas lain pada zona transisi (kodominan rendah atau intermediate tinggi)

untuk beberapa maksud. Klasifikasi pohon dan tajuk menurut Kraft dalam Daniel,

(26)

1. Pohon dominan (D). Tajuk pohon dominan tumbuh meninggi agak di atas

tingkat kanopi yang umum sehingga terbuka terhadap cahaya penuh dari atas

dan sedikit banyak dari samping. Kadang-kadang pada tegakan seumur tetapi

jauh lebih sering pada tegakan yang tidak seumur atau tegakan tipe cadangan

pohon dominan yang paling besar, karena tidak ada persaingan dari samping

dengan kodominan, tumbuh menjadi kasar, bercabang besar dan banyak, dan

tajuk meluas sehingga disebut pohon serigala dan merupakan anggota tegakan

yang tidak diinginkan.

2. Pohon kodominan (C). Pohon ini tidak setinggi pohon dominan. Tajuknya

menerima cahaya dari atas, tetapi pohon ini terkepung dari samping oleh

pohon dominan sampai tingkat tertentu. Pohon-pohon itu seperti pohon

dominan dan bersama-sama pohon dominan menyusun kanopi utama tegakan.

3. Pohon intermediate (I). Tajuknya menempati posisi yang lebih rendah dan

mengalami kompetisi dari samping yang tajam dari kedua kelas tajuk

terdahulu, walaupun pohon ini menerima sedikit cahaya langsung dari atas

melalui lubang-lubang kanopi.

4. Pohon tertekan (S). Pohon-pohon ini merupakan anggota komunitas hutan yang

tertekan yang tidak menerima cahaya dari atas. Eksistensinya diperoleh dari

sifat baik cahaya yang yang diterima melalui kanopi atau cahaya yang

diterima melalui beberapa lubang yang kebetulan terbuka. Pohon-pohon ini

biasanya lemah dan tumbuh lambat.

(27)

Gambar 1. Stratifikasi Tajuk Pohon (Sumber : USDA, 2006)

Metode persaingan tajuk dikembangkan untuk memberikan data jumlah

ruang tumbuh maksimal yang dapat digunakan oleh pohon dan data keperluan

pohon minimal untuk mempertahankan tempatnya dalam tegakan. Pohon yang

tumbuh terbuka (Open Grown) harus digunakan untuk mengumpulkan data

proyeksi luas tajuk vertikal dengan diameter pohon. Hal ini demikian karena

hanya dengan pohon yang tumbuh terbuka hubungan luas tajuk dengan setiap

diameter setinggi dada tidak dipengaruhi oleh persaingan. Luas tajuk ditemukan

berhubungan erat dengan diameter setinggi dada, dan hubungan itu hampir

konstan pada suatu jenis tanpa memandang tempat tumbuh dan umur. Terdapat

perbedaan yang sangat nyata dalam hubungan diameter tajuk dengan diameter

setinggi dada antara Picea dan jenis daun lebar, perbedaan nyata antara Carya dan

Quercus rubra tetapi tidak ada perbedaan nyata antara Quercus. Dengan demikian

suatu pohon dengan ruang tak terbatas tidak dapat menempati lebih daripada

luas maksimal tertentu yang sebanding dengan diameter setinggi dadanya

(28)

E. Syarat Tumbuh Botani Karet (Hevea brasiliensis Muell)

Dalam kerajaan tanaman atau sistem klasifikasi, kedudukan tanaman karet

menurut Setiawan dan Andoko (2005), sebagai berikut :

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Dycotyledonae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Hevea

Spesies : Hevea brasiliensis Muell

Tanaman karet (H. brasiliensis Muell) merupakan pohon yang tumbuh

tinggi dan berbatang cukup besar. Pohon dewasa dapat mencapai tinggi antara

15-30 m. Perakarannya cukup kuat. Akar tunggangnya dalam, dengan akar cabang

yang kokoh. Pohonnya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di

atas. Batangnya mengeluarkan getah yang sering di sebut lateks. Lateks inilah

yang nantinya menjadi bahan baku karet. Daun karet berwarna hijau. Daun ini

ditopang oleh tangkai daun utama antara 3-20 cm, sedangkan tangkai anak

daunnya antar 3-10 cm. Pada setiap helai daun karet biasanya terdapat tiga helai

daun. Pada ujung anak daun terdapat kelenjar. Pada musim kemarau daun karet

rontok yang didahului dengan perubahan warna daun menjadi kuning atau merah

(Setiawan, 2000).

Karet termasuk tanaman dataran rendah, yatu bisa tumbuh baik di dataran

(29)

tersebut tidak cocok untuk budidaya karet. Suhu yang lebih dari 30º C juga

mengakibatkan karet tidak bisa tumbuh dengan baik. Meskipun membutuhkan

tempat yang hangat, karet juga memerlukan kelembaban yang cukup. Karenanya,

wilayah dengan curah hujan yang tinggi (2.000-2.500 mm/tahun) sangat disukai

tanaman ini. Lebih bagus lagi jika curah hujan tersebut merata sepanjang tahun.

Sebagai tanaman tropis, karet juga membutuhkan sinar matahari sepanjang hari,

minimum 5-7 jam/hari (Setiawan dan Andoko, 2005).

F. Syarat Tumbuh Botani Durian (Durio zibethinus Murray)

Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman durian menurut

Rukmana (1996), diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Malvales

Famili : Bombaceae

Genus : Durio

Spesies : Durio zibethinus Murray

Deskripsi pohon durian berukuran besar dan berakar papan, tumbuhnya

bersesuian dengan model arsitektur Roux, tingginya mencapai 40 m, kulit kayunya

berwarna coklat merah tua, mengelupas secara acak, kayu terasnya merah tua.

Daun-daunnya berseling, berbentuk jorong sampai lanset, berukuran {10-15(-17}

cm x {3-4,5(-12,5)} cm, menjangat, berpangkal lancip atau tumpul, berujung

(30)

permukaan bagian bawah tertutup rapat oleh sisik yang berwarna perak tua

keemasan, dengan lapisan bulu bintang dibawahnya. Perbungaannya berada di

cabang tua, tersusun atas 3-10 kuntum bunga, dalam bentuk tukal atau malai rata,

panjangnya mencapai 15 cm; tangkai perbungaan 5-7 cm panjangnya, kuncup

bunganya berbentuk bulat sampai bulat telur, berdiameter 2 cm, kelopak

tambahan (epicalyx) terpecah menjadi 2-3 cuping yang berbentuk bulat sampai

bulat telur berwarna keputih-putihan atau putih kehijau-hijauan, daun kelopaknya

berbentuk tabung, panjangnya 3 cm, dengan 5-6 buah gigi bersegi tiga; daun

mahkotanya 5 helai, berbentuk sudip; panjangnya kira-kira 2 x panjang daun

kelopak, di pangkalnya menyempit menjadi cakar yang kurang tegas bentuknya;

benang sarinya banyak, bersatu menjadi 5 berkas yang terpisah; tangkai putiknya

berbulu, kepala putiknya membentuk bongkol. Buahnya berbentuk kapsul yang

bulat, bulat telur atau lonjong, berukuran panjang mencapai 25 cm, diameternya

20 cm, berwarna hijau sampai kecoklatan, tertutup oleh duri-duri yang berbentuk

piramid lebar, tajam, panjangnya sampai 1 cm; belahan umumnya 5, tebal dan

berserat. Bijinya berukuran panjang sampai 4 cm, terbungkus sama sekali oleh

arilus yang putih atau kekuning-kuningan, lembut dan sangat manis rasanya

(Prosea, 1997).

Durian sangat baik ditanam di daerah yang berketinggian antara 400-600

mdpl. Meskipun demikian, patokan ini tidak terlalu ketat. Di dataran rendah dan

daerah yang berketinggian 1.000 mdpl durian masih bisa berbuah dengan baik

walaupun buahnya tidak selebat tanaman pada ketinggian yang tepat. Tanah yang

paling cocok untuk penanaman durian yaitu tanah yang subur, gembur dan tidak

(31)

kemasaman tanah sebaiknya berada pada kisaran 6-7. Tanaman durian lebih

menyukai daerah yang lembap dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Curah

hujan rata-ratanya minimum 100 mm/bulan dengan bulan basah minimum

sembilan bulan. Musim kemarau yang melebihi tiga bulan dapat berakibat jelek

terhadap pertumbuhan bunga atau buahnya. Bahkan, dalam keadaan parah bunga

atau buahnya bisa berguguran (Setiawan, 2000).

G. Pengetahuan Lokal

Menurut Sunaryo dan Joshi (2003), pengetahuan merupakan kapasitas

manusia untuk memahami dan menginterpretasikan, baik hasil pengamatan

maupun pengalaman, sehingga bisa digunakan untuk meramalkan ataupun sebagai

dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Pengetahuan merupakan

keluaran dari proses pembelajaran, penjelasan berdasarkan persepsi, sebagai

pelaku utama pengelola sumberdaya lokal yang didalamnya tercakup pula

pemahaman dan interpretasi yang masuk akal, namun pengetahuan bukanlah

kebenaran yang bersifat mutlak.

Selanjutnya masih menurut Sunaryo dan Joshi (2003), mendefinisikan

pengetahuan lokal merupakan pengetahuan yang dimiliki petani oleh

sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu dalam jangka waktu yang

lama, tanpa memandang masyarakat petani tersebut penduduk asli atau tidak.

Jenis pengetahuan petani tentang cara bertani berdasarkan prinsip ekologi

dinamakan Pengetahuan Ekologi Lokal (Local Ecological Knowledge).

(32)

selaras baik dengan budaya asli maupun lingkungan dan praktek budaya dimana

pengetahuan itu terbentuk.

Johnson (1992) dalam Sunaryo dan Joshi (2003), mendefinisikan

pengetahuan lokal merupakan sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh

sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras

dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal,

menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.

Banyak pengetahuan lokal yang diterapkan oleh petani yang berasal dari

pengalaman bertani mereka maupun para pendahulunya. Melalui aktivitas

penelitian dan pengembangan secara informal, para petani manghasilkan

pengetahuan baru yang pada gilirannya bisa digunakan untuk menghasilkan

teknologi-teknologi baru. Praktek agroforestri sudah dilaksanakan petani

berabad-abad lamanya, namun agroforestri sebagai ilmu pengetahuan masih

relatif baru. Karenanya pemahaman ilmiah tentang agroekosistem kompleks

seperti praktek agroforestri tradisional ini masih lemah. Akan tetapi sudah

disadari bahwa petani dan masyarakat lokal yang mengelola berbagai macam

agroekosistem telah banyak belajar dan menghasilkan pengetahuan yang

kompleks, canggih dan tepat guna untuk kondisi pertanian setempat

(33)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1) Produktivitas buah durian pada Agroforest Karet DAS Batang Toru

lebih kuat dipengaruhi oleh diameter, nilai indeks bentuk tajuk

dibanding posisi pohon. Diameter pohon memiliki hubungan yang

linear positif dan hampir konstan terhadap luas tajuk pohon. Bentuk

tajuk mengindikasikan banyak dan lebarnya cabang-cabang pohon

sebagai tempat peletakan buah durian sedangkan posisi pohon

merupakan kedudukan pohon untuk mendapatkan sinar matahari

dalam stratifikasi tajuk.

2) Karateristik pohon durian Agroforest Karet DAS Batang Toru dengan

produktivitas durian buah durian yang tinggi adalah pohon dengan

bentuk tajuk yang lebar, berbentuk hampir lingkaran utuh dan simetris

serta dengan posisi hanya sebagian tajuk pohon yang mendapatkan

cahaya penuh dari atas

3) Pengetahuan lokal petani dalam pengeloloaan Agroforest Karet di

DAS Batang Toru adalah penanaman dan proses peremajaan dengan

menggunakan teknik sisipan dan proses pemanenan yang dilakukan

tetap memberikan sebagian buah durian terhadap kerabat.

B. Saran

Penerapan jarak tanam yang tepat antara suatu tanaman dengan

tanaman lain pada praktek pola agroforest perlu dilakukan, guna

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 1994. Hutan ; Hakikat dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

________ 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta

Arikunto, S. 1996. Prosedur Penelitian ; Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi. Rineka Cipta. Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2003. Tapanuli Utara Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik. Medan

__________________ 2003. Tapanuli Tengah Dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik. Medan

Daniel, T. W. J. A, Helms dan F, Baker. 1986. Prinsip-Prinsip Silvikultur. UGM Press. Yogyakarta

Departemen Pertanahan. 2007.

<http://www.deptan.go.id/sipoa/sumut/tapteng/index>. [14 Mei 2007]

Dwidjoseputro, D. 1994.Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta

Fitter, A. H dan R. K. H, May. 1991. Fisologi Lingkungan Tanaman. UGM Press. Yogyakarta.

Foresta, H de. A, Kusworo. G, Michon. Dan W.A, Djatmiko. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan Masyarakat. ICRAF. Bogor

ICRAF, 2005. <http:// www.worldagroforestry.org/.../index.htm>. [24 Maret 2007]

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta

Hairiah, K. Widianto. S. R, Utami dan B, Lusiana. 2002. Wanulcas Model Simulasi untuk Sistem Agroforestri. ICRAF. Bogor

Hairiah, K dan M. Van Noordwijk. 2007.

< http://www.worldagroforestry.org/sea/Publication/Files/book//BK0028-04/BK0028-04-4pdf >. [24 Maret 2007]

(35)

Joshi, L. M Van Noordwijk dan F. L, Sinclair. 2001. Bringing local knowledge

into prespective a case of suistainable technology develepmont in jungla rubber agroforest in Jambi. ICRAF. Bogor

Joshi , L. G, Wibawa. G, Vincent. D, Boutin. R, Akiefnawawti. G, Manurung dan M van Noordwijk. 2001. Wanatani Kompleks Berbasis Karet; Tantangan untuk Pengembangan. ICRAF. Bogor

Lahjie, A.B. 2000. Teknik Agroforestri. UPN Press. Jakarta

Rukmana, R. 1996. Durian ; Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta

Mackinnon, K. G. Hatta. H, Halim dan A, Mangalik. 2000. Ekologi Kalimantan. Prenhallindo. Jakarta

Martini, E dan D, Harja. 2006. Proposal for Studentship at ICRAF in Batang

Toru Project ; Estimating Durian Productiviy in the Rubber Agroforest in Batang Toru area by Using Tree Diameter Size, Crown Position and Crown Form. ICRAF. Bogor. Tidak Diterbitkan

Manurung, G. 2006. Narrative Story for the Trip Report Batang Toru Watershed

Area ; Farming Systems-Livelihoods Condition and Development Options Based on observation and discussion with farmers and local goverment. ICRAF. Bogor. In press

Narbuko, C dan A, Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Bumi Aksara. Jakarta

Perbatakusuma, E. A. J, Supriatna. R. S. E, Siregar, Wurjanto, Didy, L. Sihombing dan D. Sitaparasti. 2006. Mengarusutamakan Kebijakan Konservasi Biodiversitas dan Sistem Penyangga Kehidupan di Kawasan Hutan Alam Sungai Batang Toru Provinsi Sumatera Utara ; Laporan Teknik Program Konservasi Orangutan Batang Toru. Conservation International Indonesia – Departemen Kehutanan. Pandan

Prosea. 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2 ; Buah-buahan yang Dapat Dimakan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Setiadi, 1996. Bertanam Durian. Penabar Swadaya. Jakarta

Setiawan, A. I. 2000. Penghijauan dengan Tanaman Potensial. Penebar Swadaya . Jakarta

Setiawan, D. H dan A, Andoko. 2005. Petunjuk Budidaya Karet. Agro Media Pustaka. Jakarta

(36)

Sunarjono, H. 1999. Aneka Permasalahan Durian dan Pemecahannya. Penebar Swadaya. Jakarta

Sunaryo dan L, Joshi. 2003. Peranan Pengetahuan Ekologi Lokal dalam Sistem Agroforestri : Bahan Ajaran Agroforestri 7. ICRAF. Bogor

Untung, O. 1996. Durian untuk Kebun Komersial dan Hobi. Penebar Swadaya. Jakarta

USDA. 2006. <http:

Vincent,G. H, De Foresta dan R. Mulia. 2002. Predictors of tree growth in a

Dipterocarp-based agroforest: a critical assessment. Forest Ecology and Management. ICRAF. Bogor

(37)

Lampiran 1. Kuisioner Identitas Responden Pada Sistem Agroforest Karet Tanggal Wawancara :

Nama Petani : Umur :

Dusun : Luas Kebun : Ha

Pertanyaan Jawaban

1. Berapa banyak pohon durian Bapak yang berproduksi

2. Diameter pohon pada awal produksi (cm)

3. Umur pohon awal produksi (tahun) 4. Produksi buah total per tahun 5. Produksi berdasarkan kelas umur

(buah) : a. awal b. muda c. (c) tua 6. Frekuensi Panen

7. Berapa banyak pohon durian yang bapak miliki (per Ha) per luas kebun?

8. Berapa jumlah pohon karet yang

Bapak miliki di kebun yang sama? 9. Apa alasan Bapak memilih menanam

durian pada Bapak, berdampingan dengan tanaman karet?

10. Rangkingkanlah faktor berikut ini mana yang paling berpengaruh terhadap produksi buah durian (#1 yang paling berpengaruh)

a. Diameter Batang b. Posisi Tajuk c. Bentuk tajuk

11. Berapa harga termahal dan harga termurah dari durian yang Bapak jual?

12. Menurut Bapak jenis pohon apa yang cocok ditanam dengan durian? 13. Faktor dalam apakah (bentuk tajuk,

umur pohon, posisi pohon, diameter pohon dan sejarah pemangkasan) dan fktor luar (air, cahaya , musim kemarau) yang paling mempengaruhi produktifitas durian?

(38)
(39)
(40)

Lampiran 10. Analisa Data

Hasil Systat yang lengkap:

Data for the following results were selected according to:

(Case <> 33) AND (Case <> 75) AND (Case <> 78) AND (Case <> 148) Model contains no constant

Eigenvalues of unit scaled X'X

1 2 3

Adjusted squared multiple R: 0.836 Standard error of estimate: 83.867

E Coefficient Std Error Std Tolerance P(2 Tail)

D 0.972 0.523 0 0.018 0.064

DBH*CP_ -0.361 0.110 -0 0.019 0.001

DBH*CF_ 0.994 0.084 1 0.049 0.000

(41)

Lampiran 11. Photo Selama Di Lapangan

Gambar 1. Keadaan Umum DAS Batang Toru

Gambar 2.Kebun Agroforest

(42)

Gambar 4. Wawancara dengan Pemilik Kebun Agroforest Karet

Gambar 5. Bentuk Tajuk Durian di DAS Batang Toru

Gambar

Gambar 1. Stratifikasi Tajuk Pohon (Sumber : USDA, 2006)
Gambar 1. Keadaan Umum DAS Batang Toru
Gambar 4. Wawancara dengan Pemilik Kebun Agroforest Karet

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penclitian yang dilakukan Wahyuni (2004) tentang kemampuan adesi Streptococcus agalactiae dari susu sapi perah mastitis subklinis pada sel epitel ambing,

[r]

The cash low statement is one of the primary statements in inancial reporting (along with the statement of comprehensive income, the balance sheet and the statement of changes in

Pada pengolahan nilai raport, diinput 11 nilai mata pelajaran yang didapat oleh siswa yaitu Matematika, Ekonomi, Fisika, Kimia, Biologi, Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia,

Puji Syukur saya haturkan kepada Tuhan YME karena atas berkat dan karunia- Nya, skripsi saya yang berjudul “ Strategi Militer Jepang Dan Cina Dalam Mempertahankan

- Memahami dan menyusun teks eksemplum sesuai dengan karakteristik teks yang akan dibuat, baik secara lisan maupun tulisan Menelaah dan merevisi teks eksemplum sesuai dengan

This operation has allowed the definition of a topographic net that, during the data processing phase, allowed the georeferencing of all the scans obtained with

After the early calibration validation phase, which confirmed the temperature accuracy of observed data, CIRC data has been available to the public January 2015 onward..