• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. KARAKTERISTIK SOSIAL DAN EKONOMI PENGRAJIN TEMPE

6.2 Karakteristik Ekonomi Pengrajin Tempe Desa Citeureup

Karakteristik ekonomi pengrajin tempe diidentifikasi berdasarkan luas tempat usaha, skala usaha, proses produksi, kapasitas produksi, tingkat pendapatan, jumlah tenaga kerja, saluran pemasaran dan jarak ke sungai. Berikut beberapa karakteristik ekonomi pengrajin tempe di Desa Citeureup yaitu :

6.2.1 Luas Tempat Usaha

Luas tempat usaha yang digunakan untuk melakukan produksi umumnya relatif kecil. Berdasarkan luas tempat usaha, jumlah pengrajin terbesar memiliki luas tempat usaha 0-100 m2 yaitu sebesar 23 orang (74,19 persen). Pengrajin umumnya luas tempat usahanya tidak luas karena kemampuan produksi mereka yang relatif kecil yaitu mayoritas kurang dari 100 kilogram kedelai sekali produksi sehingga tidak memerlukan tempat yang luas. Luas tempat usaha yang relatif kecil akan mempengaruhi kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah. Hal ini lebih terlihat jelas pada Tabel 11.

Tabel 11. Luas Tempat Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 Luas Tempat Usaha

(m2) Pengrajin tempe (orang) Persentase (persen) 0-50,00 2 6,45 50,01-100,00 21 67,74 100,01-150,00 7 22,58 >150,00 1 3,23 Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah). 6.2.2 Skala Usaha

Skala usaha yang dilakukan oleh pengrajin tempe beragam yaitu mulai dari kurang dari 100 kilogram kedelai sampai lebih dari 300 kilogram kedelai. Jika dilihat dari skalanya, usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup tergolong skala usaha kecil karena jumlah pengrajin yang skala usahanya kurang dari 100 kilogram berjumlah 25 orang (80,65 persen). Pengrajin yang skala usahanya antara 100,01-200,00 kilogram berjumlah 3 orang (9,68 persen), pengrajin yang skala usahanya berkisar 200,01-300,00 kilogram berjumlah 2 orang (6,45 persen) dan hanya 1 orang yang skala usahanya lebih besar daripada 300 kilogram kedelai setiap kali produksi. Skala usaha tersebut menyebabkan pula kapasitas produksi yang dihasilkan rendah. Lebih rinci mengenai skala usaha pengrajin tempe dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Skala Usaha Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 Skala usaha (kg kedelai/sekali produksi) Pengrajin Tempe (orang) Persentase (persen) ≤ 100 25 80,65 100,01-200,00 3 9,68 200,01-300,00 2 6,45 >300 1 3,23 Total 31 100,00

6.2.3 Proses Produksi

Usaha pengolahan tempe di Desa Citeureup dilakukan setiap hari. Kegiatan produksi tidak pernah berhenti karena pengrajin tempe umumnya menjual tempe setiap hari. Pengrajin membuat tempe dengan menggunakan beberapa peralatan dan bahan baku seperti penggilingan, drum untuk merebus dan merendam, tungku, rak(kerai) dari bambu, saringan, pisau, tusukan, kedelai, ragi, pewarna, daun, plastik, dan serbuk kayu/kayu bakar. Dilihat dari peralatan yang digunakan teknologi pembuatan tempe masih tergolong sederhana. Kedelai yang digunakan sebagai bahan baku merupakan kedelai impor dengan kisaran harga Rp 6.850-Rp 7.500 per kilogram kedelai. Semua pengrajin tempe menggunakan kedelai impor karena harganya yang lebih murah daripada kedelai lokal dan kualitas dari kedelai impor yang dinilai lebih baik. Kedelai impor didapatkan dari KOPTI atau pedagang pengecer.

Bahan baku lain yang digunakan untuk membuat tempe adalah ragi. Rata- rata untuk 109 kilogram kedelai diperlukan ragi 0,52 kilogram (5,2 ons) dengan harga rata-rata per kilogram Rp 11.629. Selain itu, untuk kegiatan produksi tempe digunakan pewarna sebanyak empat bungkus dengan harga Rp 500 per bungkus. Untuk bahan bakar, pengrajin tempe ada yang menggunakan serbuk kayu sisa

furniture atau kayu bakar yang berasal dari toko furniture. Rata-rata volume serbuk kayu atau kayu bakar yang digunakan untuk satu kali produksi adalah satu karung dengan harga rata-rata Rp 9.161 per karung.

Pengrajin menggunakan bahan pemgemas dari daun dan plastik. Daun yang digunakan rata-rata Rp 13.855 setiap kali produksi. Plastik yang digunakan untuk 109 kilogram kedelai adalah satu kilogram dengan harga rata-rata per

kilogram Rp 20.597. Skala usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup sangat beragam dan terdiri dari pengrajin yang skala usahanya 0-50 kilogram kedelai per hari, 50-100 kilogram kedelai per hari dan diatas 100 kilogram per hari. Skala usaha yang berada pada kisaran 0-100 kilogram kedelai per hari tergolong kecil sedangkan skala usaha yang berada pada kisaran lebih dari 100 kilogram per hari tergolong usaha yang berskala besar.

Proses pembuatan tempe di Desa Citeureup terdiri dari beberapa tahapan. Hal yang pertama kali dilakukan adalah proses perebusan kedelai selama kurang lebih dua jam. Perebusan ini bertujuan untuk melunakkan kedelai sehingga mempermudah proses fermentasi. Selanjutnya kedelai rebus direndam dalam air dingin kurang lebih 12 jam dimana selama perendaman telah berlangsung proses pengasaman. Keesokan harinya kedelai dicuci dan dibilas kemudian digiling agar terpisah dari kulitnya. Kemudian kedelai tersebut disaring agar benar-benar bersih dari kulitnya. Setelah bersih kedelai diberi ragi lalu dibungkus dan dibentuk kemudian diperam sampai matang. Proses pemeraman ini biasanya memerlukan waktu kurang lebih 36 jam.

Tempe yang telah matang dapat dipasarkan ke konsumen. Pembuatan tempe dari awal hingga dapat dipasarkan memerlukan waktu sekitar tiga hari. Tempe dipasarkan oleh pengrajin tempe itu sendiri biasanya pengrajin berdagang di pasar, selain itu tempe juga dipasarkan oleh pedagang pengecer yang membeli tempe dari pengrajin. Ada juga pengrajin yang memasarkan tempenya kepada rumah makan (katering).

6.2.4 Kapasitas Produksi

Kapasitas produksi tempe merupakan jumlah tempe yang dihasilkan dalam setiap kali produksi. Jumlah tempe yang dihasilkan cukup beragam mulai dari 48 kilogram setiap kali produksi sampai dengan 720 kilogram tempe sekali produksi. Kapasitas produksi tergantung dari skala usaha yang dijalankan oleh pengrajin tempe. Jumlah pengrajin terbesar berada pada kapasitas produksi dibawah 200 kilogram sekali produksi yaitu 22 orang (70,97 persen). Kapasitas produksi yang cukup rendah menyebabkan tingkat pendapatan juga rendah. Sisa hasil produksi yang berupa ampas kedelai dijual oleh pengrajin untuk makanan ternak dengan harga satu karung ampas dijual Rp 5.000. Lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Kapasitas Produksi Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 Kapasitas Produksi (kg tempe/sekali produksi) Pengrajin Tempe (orang) Persentase (persen) ≤ 100,00 7 22,58 100,01-200,00 15 48,39 200,01-300,00 4 12,90 300,01-400,00 2 6,45 400,01-500,00 2 6,45 > 500,00 1 3,23 Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah). 6.2.5 Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan pengrajin tempe di Desa Citeureup sangat beragam. Hal ini disebabkan oleh perbedaan skala usahanya. Umumnya pengrajin memiliki pendapatan kurang dari Rp 150.000 sekali produksi yaitu 24 orang (77,42 persen). Sebagian besar pengrajin memiliki pendapatan yang rendah yaitu kurang dari Rp 150.000 sekali produksi, hal ini disebabkan skala usaha yang relatif kecil (kurang dari 100 kilogram kedelai) sehingga pendapatan yang diterima juga rendah.

Pengrajin yang skala usahanya relatif besar (lebih besar dari 100 kilogram kedelai) memiliki pendapatan yang cukup besar dibandingkan dengan pengrajin yang skala usahanya kecil. Lebih rinci mengenai pendapatan pengrajin tempe Desa Citeureup dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Tingkat Pendapatan Pengrajin Tempe Desa Citeureup Tahun 2008 Tingkat Pendapatan (Rp/sekali produksi) Tingkat Pendapatan (Rp/tahun) Pengrajin Tempe (orang) Persentase (persen) 0-150.000 0-48.900.000 24 77,42 150.001-300.000 48.900.001-97.800.000 1 3,23 300.001-450.000 97.800.001-146.700.000 2 6,45 450.001-600.000 146.700.001-195.600.000 3 9,68 600.001-750.000 195.600.001-244.500.000 0 0,00 750.001-900.000 244.500.001-293.400.000 1 3,23 Total 31 100,00

Sumber : Data primer (diolah). 6.2.6 Tenaga Kerja

Berdasarkan hal tersebut, jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk produksi tidaklah banyak hal ini dikarenakan pengrajin umumnya memiliki anggota keluarga yang dapat menjadi tenaga kerja dalam keluarga. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dilakukan untuk menekan biaya produksi. Tenaga kerja dari luar keluarga yang digunakan untuk setiap rumah tangga pengrajin adalah 1-4 orang. Rata-rata upah yang diberikan kepada tenaga kerja berkisar antara Rp 25.000 sampai Rp 50.000. Jam kerja umumnya 8 jam sehari dengan kisaran waktu yaitu 5-10 jam per hari.

Sebagian besar pengrajin menggunakan tenaga kerja dalam keluarga yang hubungannya sangat erat dengan pengrajin yaitu istri atau anak. Umumnya

pengrajin menggunakan seorang anggota keluarganya yaitu istri. Tenaga kerja dalam keluarga umumnya tidak diberi upah.

6.2.7 Saluran Pemasaran

Ada tiga saluran pemasaran yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu : a. Pengrajin Æ Konsumen

Pengrajin yang langsung menjual ke konsumen umumnya menjualnya langsung ke pasar dengan jumlah 20 orang (64,52 persen). Pengrajin bertindak langsung sebagai pedagang yang menjual tempe. Biasanya pengrajin berjualan di pasar-pasar terdekat seperti pasar Citeureup, Cileungsi, Cibinong, Jonggol dan Wanaherang. Konsumen yang dihadapi oleh penjual adalah konsumen akhir yang berasal dari rumah tangga. Pengrajin umumnya langsung menjual ke pasar terdekat dengan alasan dapat memberikan keuntungan yang lebih besar daripada menjual ke perantara. Hal ini dikarenakan jika pengrajin menjual ke perantara dengan harga yang lebih murah maka keuntungan yang diterima semakin kecil.

b. Pengrajin Æ Pedagang di Pasar Æ Konsumen

Saluran pemasaran yang lain adalah pengrajin menjual tempe kepada pedagang di pasar. Dari pedagang di pasar, konsumen dapat membeli tempe yang dibuat oleh pengrajin. Sehingga pengrajin tidak langsung menjual tempe kepada konsumen. Jumlah pengrajin yang menjual tempe kepada pedagang di pasar ada 6 orang (19,35 persen).

c. Pengrajin Æ Rumah Makan (katering) Æ Konsumen

Saluran pemasaran tempe yang terakhir yaitu tempe dijual kepada rumah makan (katering) lalu dibeli oleh konsumen setelah diberi proses pengolahan yang lain dari rumah makan seperti dicampur dengan makanan lain,

digoreng, dibakar dan sebagainya. Jumlah pengrajin yang menjual tempe kepada rumah makan berjumlah 5 orang (16,13 persen). Di samping itu, apabila ada permintaan dari rumah makan (katering) maka pengrajin akan berproduksi melebihi kapasitas biasa per hari untuk memenuhi permintaan tersebut. Hal ini dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 15.

Tabel 15. Saluran Pemasaran Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeureup Saluran Pemasaran Jumlah

Pengrajin (orang)

Persentase (persen)

a. Pengrajin Æ Konsumen 20 64,52

b. Pengrajin Æ Pedagang di Pasar Æ Konsumen 6 19,35 c. PengrajinÆRumahMakan (katering)ÆKonsumen 5 16,13

Total 31 100,00

Sumber : data primer (diolah)

Berdasarkan Tabel 16, dapat disimpulkan bahwa saluran pemasaran yang paling menguntungkan untuk pengrajin tempe adalah saluran pemasaran dari pengrajin langsung dijual kepada konsumen. Hal ini karena pengrajin tempe dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar apabila langsung menjual ke pasar daripada menjualnya kepada pedagang perantara terlebih dahulu.

6.2.8 Jarak Rumah Ke Sungai

Jarak antara rumah pengrajin ke sungai sangat beragam, mulai dari 10 m2 sampai dengan 500 m2. Dominan pengrajin memiliki rumah yang berjarak kurang dari 50,00 m2 ke sungai berjumlah 22 orang (70,97 persen). Sebagian besar pengrajin memiliki jarak yang dekat ke sungai sehingga memudahkan pengrajin untuk membuang langsung ke sungai dan menyebabkan pencemaran sungai. Jarak antara rumah ke sungai yang dekat akan mempengaruhi kesediaan pengrajin untuk melakukan pengolahan limbah. Lebih rinci mengenai jarak rumah pengrajin ke sungai dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16.Jarak Rumah ke Sungai Jarak (m2) Pengrajin Tempe (orang) Persentase (persen) 0-50,00 22 70,97 50,01-100,00 2 6,45 100,01-200,00 3 9,68 200,01-300,00 2 6,45 300,01-500,00 2 6,45 Total 31 100,00