• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK INDIVIDU, KARAKTERISTIK USAHA, DAN INTERVENSI PIHAK LUAR

Karakteristik Individu

Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang melekat pada individu responden penelitian yaitu merupakan masyarakat RT 17 RW 06 Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Jumlah responden yang diambil adalah 40 orang. Adapun karakteristik responden yang diidentifikasi meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman sebagai nelayan, waktu kerja nelayan, tingkat pendapatan responden, dan tingkat pengetahuan responden.

Umur

Umur adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga ulang tahun terakhir. Persentase umur responden berdasarkan survei dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Persentase responden berdasarkan umur di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

Hasil survei menunjukkan umur responden bervariasi dari 18 tahun hingga lebih dari 50 tahun. Umur responden dibagi menjadi tiga kategori menurut teori Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006), yaitu awal dewasa (18−30 tahun), usia pertengahan (31−50 tahun) dan tua (>50 tahun). Jumlah responden umur awal dewasa sebanyak 12 orang atau 30 persen responden, usia pertengahan sebanyak 24 orang atau 60 persen responden dan tergolong tua sebanyak 4 orang atau 10 persen dari keseluruhan responden yang berjumlah 40 orang.

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan pendidikan formal terakhir yang telah ditempuh responden sampai penelitian ini dilakukan. Persentase tingkat pendidikan responden berdasarkan survei dapat dilihat pada Gambar 10.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan sebanyak 2 orang nelayan atau 5 persen responden tergolong pada pendidikan rendah, yaitu tidak pernah sekolah. Responden yang berpendidikan sedang yaitu tidak tamat Sekolah Dasar dalam penelitian ini berjumlah 31 orang atau 77.5 persen seluruh responden . Nelayan

yang berpendidikan tinggi yaitu yang tamat Sekolah Dasar, terdapat 7 orang nelayan atau 17.5 persen dari total responden.

Hasil tersebut memperlihatkan bahwa nelayan pada lokasi penelitian di dominasi dengan nelayan yang pendidikan tertinggi pada tingkat Sekolah Dasar, namun mayoritas tidak menyelesaikan sekolahnya. Hal ini dikarenakan kurangnya dukungan orang tua, keluarga dan lingkungan yang menganggap pendidikan tidak terlalu penting membuat responden tidak bersemangat untuk bersekolah. Selain itu, biaya pendidikan yang masih dianggap mahal menjadi kendala untuk melanjutkan pendidikan.

“ … saya ndak sekolah dari kelas 2 SD karena bapak ibu tidak punya uang untuk bayarin saya sekolah mbak…” (Rtm, 21thn, 9 April 2013)

“… saya gak sekolah karna teman-teman yang lain dah gak

sekolah, dah pada kerja…”(Tr, 20thn, 11 April 2013)

“… saya sih maunya anak sekolah, tapi terserah anak aja,kalo

ada uang ya sekolah, kalo gak yauda kerja…” (Car, 50thn, 8 April 2013)

Gambar 10 Persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

Pengalaman sebagai Nelayan

Pengalaman nelayan melaut adalah lama responden menjadi nelayan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun), sejak pertama kali menjadi nelayan sampai dengan penelitian ini dilakukan. Semakin lama seorang bekerja sebagai nelayan diduga memiliki pengetahuan yang baik tentang kualitas rajungan yang sesuai dengan keinginan industri. Survei yang dilakukan menghasilkan 12 orang atau 30 persen responden bekerja sebagai nelayan kurang atau sama dengan 17 tahun. Sebanyak 14 orang atau 35 persen responden bekerja sebagai nelayan antara 18- 27 tahun. Responden yang bekerja sebagai nelayan lebih atau sama dengan 28 tahun berjumlah 14 orang atau 35 persen responden responden. Persentase responden berdasarkan pengalaman sebagai nelayan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Persentase responden berdasarkan pengalaman sebagai nelayan di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

Waktu Kerja Nelayan

Waktu kerja merupakan waktu yang dicurahkan nelayan untuk menangkap rajungan per trip dalam waktu satu bulan terakhir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 13 orang nelayan atau 32 persen responden tergolong berwaktu kerja rendah kurang dari 10 jam, terdapat 19 orang atau 48 persen responden tergolong berwaktu kerja tergolong sedang yaitu antara 11 jam hingga 12 jam dan terdapat 8 orang atau 20 persen responden tergolong tinggi waktu kerjanya yaitu lebih dari 13 jam. Persentase perbandingan waktu kerja nelayan responden dapat dilihat pada Gambar 12.

“… disini banyaknya nelayan harian yang pake jaring. Tapi ada juga nelayan rajungan yang 34 hari melautnya atau disebutnya babang3. Kalo babang, pakenya bukan jaring tapi bubu, perginya 3-4 hari melaut, bawa kompor buat ngerebus rajungan di atas perahu dan bawa es juga. Tapi biasanya bakul gak mau tuh kalo lama-lama kaya gitu, aroma rajungannya ilang katanya…” (Sua, 50thn, 8 April 2013)

Nelayan menggunakan armada tangkap (perahu dan mesin) yang masih sederhana dengan kapasitas yang minim. Daya tangkap tersebut menjadi salah satu kendala nelayan dalam melaksanakan kegiatan usahanya terutama ketika ombak besar datang dan cuaca yang buruk, nelayan harus menunda waktu melaut Mereka akan melaut kembali apabila kondisi memungkinkan. Nelayan kecil beradaptasi dengan lingkungannya dengan cara mengurangi frekuensi melaut, terutama pada waktu angin kencang. Pengurangan frekuensi melaut ini tentu saja berimplikasi pada hasil tangkapan dan pendapatan nelayan (Hidayati et al. 2011).

Nelayan menyesuaikan waktu melaut mereka dengan perubahan musim dan degradasi sumber daya pesisir dan laut di sekitarnya. Mereka sudah tidak menggunakan kalender musim tangkap yang dulu biasa mereka praktekkan (Hidayati et al. 2011). Informasi kondisi rajungan sangat diperlukan oleh nelayan. Informasi tersebut didapatkan nelayan dari obrolan santai nelayan dengan nelayan lain sekitar pukul 15.00 hingga 18.00 WIB.

3Babang

adalah nelayan yang menginap di tengah laut atau yang pergi merantau ke daerah lain sehingga harus pergi meninggalkan keluarga.

Gambar 12 Persentase responden berdasarkan waktu kerja nelayan di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

Tingkat Pendapatan Responden

Tingkat pendapatan responden adalah jumlah penghasilan responden dari menangkap rajungan yang diperoleh dalam satu bulan terakhir. Persentase tingkat pendapatan responden berdasarkan survei dapat dilihat pada Gambar 13. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 17 orang nelayan atau 42 persen responden tergolong pada tingkat pendapat pendapatan yang rendah yaitu kurang dari Rp2 029 539. Responden yang tergolong sedang pada tingkat pendapatannya yaitu antara Rp2 029 539 hingga Rp3 117 560 berjumlah 13 orang atau 33 persen. Responden yang tingkat pendapatannya tergolong tinggi yaitu lebih dari Rp3 117 561 berjumlah 10 orang atau 25 persen responden.

“… pendapatan nelayan mah gak sesuai mbak, tergantung musim dan ombak, gak nentu deh pokonya. Kadang kalo lagi bulan 12 ampe bulan 3 itu bisa dapet ampe 10 kilogram per orang seharinya, tapi kalo lagi paceklik kaya di bulan 6 ampe bulan 7 biasanya 2 atau 3 kilogram seharinya. Kadang juga cuma dapetnya 5 ekor rajungan, jadi gak bisa dijual paling dilauk

aja…” (Rsk, 40thn, 10 April 2013)

Gambar 13 Persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan responden di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan responden adalah pengetahuan yang dimiliki reponden tentang mutu dan kelestarian rajungan. Menurut FAO (2002) dalam Widodo dan Suadi (2008), sumber ketidakpastian dalam perikanan muncul karena adanya 1) keterbatasan; 2) ketidaktersediaan; 3) rendahnya kualitas data yang tersedia (seperti data hasil tangkapan, ekonomi dan komunitas); serta 4) keterbatasan ilmu pengetahuan tentang sumberdaya ikan. Kondisi ini kemudian mendorong berbagai upaya pengelolaan sumberdaya ikan ke arah yang tidak berkelanjutan (unsustainable). Pengetahuan yang didapatkan nelayan tentang kualitas rajungan yang baik, bukan dari pemerintah ataupun perusahaan, namun dari pihak mini plant dan bakul. Pengetahuan tersebut tidak diberikan secara khusus. Nelayan belajar memahami rajungan dalam bentuk brangkas yang diinginkan atau diterima oleh pihak bakul. Istri nelayan memiliki andil yang cukup besar dalam pengetahuan nelayan tentang rajungan, terutama rajungan yang sudah dalam bentuk daging, karena mereka mayoritas bekerja sebagai perebus dan pengupas rajungan di bakul maupun mini plant.

“… gak ada yang ngajarin dan ngasih tau rajungan yang bagus yang mana. Kalo buat daging rajungan yang bagus apa gak, itu istri yang tau karena dia-kan kerja ngupas di bakul. Kalo nelayan-nya tau pas bentuk brangkas aja…” (Sk, 55thn, 9 April 2013)

Hasil penelitian menunjukkan 12 orang atau 30 persen responden memiliki pengetahuan tergolong rendah. Terdapat 26 orang atau 65 persen responden tergolong berpengetahuan sedang. Responden yang berpengetahuan tinggi berjumlah 2 orang atau 5 persen responden. Persentase tingkat pengetahuan responden dapat dilihat pada Gambar 14.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa nelayan sebenarnya mengetahui tentang mutu dan kelestarian rajungan, namun kurang dipraktekan dalam kegiatan sehari-hari yang sebenarnya dapat meningkatkan pendapatan mereka. Seperti halnya nelayan mengetahui penggunaan garok dapat merusak bibit-bibit rajungan yang menyebabkan rajungan tidak dapat berkembang. Namun, masih saja terdapat nelayan yang menggunakan garok. Nelayan mengetahui tentang mutu dan pelestarian rajungan berdasarkan pengalaman yang diajarkan oleh orang tua atau kerabat lainnya yang berprofesi sebagai nelayan rajungan.

“… saya pake garok buat nangkep rajungan. Saya tau sebenarnya ngerusak bibit rajungan dan rumah rajungan di dalam lumpur. Abis gimana ya mbak, kalo saya gak pake garok, pendapatannya kecil, paling dapetnya 2-3 kilogram, tapi kalo pake garok saya bisa dapet 7 kilogram, walau rajungannya kecil-kecil ya lumayan buat berat-beratin timbangan…”(Jd, 44thn, 12 April 2013)

Gambar 14 Persentase responden berdasarkan tingkat pengetahuan responden di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

Karakteristik Usaha Ukuran Mesin Perahu

Pada umumnya para nelayan masih mengalami keterbatasan teknologi penangkapan sehingga wilayah operasi pun menjadi terbatas, hanya di sekitar perairan pantai (Mulyadi 2007). Salah satu teknologi penangkapan yang dimiliki nelayan adalah mesin perahu. Mesin perahu memiliki perbedaan ukuran sesuai dengan besar-kecilnya perahu. Ukuran perahu yang kecil membatasi nelayan untuk dapat melaut ke wilayah tangkap yang lebih jauh dan juga memiliki keterbatasan dalam menghadapi cuaca di musim barat.

Perahu dengan kekuatan yang lebih besar memungkinkan untuk dapat tetap berlayar walaupun pada musim ombak. Perahu yang berukuran besar disamping dapat berlayar pada berbagai jenis cuaca juga dapat memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak (Hidayati et al. 2011). Ukuran mesin perahu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah besarnya ukuran mesin perahu dalam satuan PK yang digunakan oleh nelayan untuk melaut. Ukuran mesin perahu memiliki kaitan penting dengan usaha nelayan, yang biasanya terkait langsung dengan ukuran perahu yang digunakan, sehingga dapat mengetahui seberapa jauh nelayan dapat melaut, seberapa lama melaut, alat tangkap apa yang digunakan dan besar kecilnya pengeluaran sekali melaut. Persentase responden berdasarkan ukuran mesin perahu dapat dilihat dalam Gambar 15.

Gambar 15 Persentase responden berdasarkan ukuran mesin perahu di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

Survei lapang yang dilakukan terhadap 40 responden yang berprofesi sebagai nelayan penangkap rajungan menghasilkan 18 orang atau 45 persen responden tergolong rendah dalam pengadaan armada penangkapan yaitu tidak memiliki armada atau mesin perahu berukuran di bawah 15 PK. Terdapat 17 orang atau 42 persen responden tergolong sedang dalam pengadaan armada penangkapan yaitu memiliki mesin perahu berukuran antara 16 hingga sama dengan 20 PK. Pengadaan armada penangkapan yang tergolong tinggi adalah nelayan yang memiliki mesin perahu lebih besar dari 21 PK, berjumlah 5 orang atau 13 persen responden tergolong tinggi dalam.

Nelayan tradisional seperti di Desa Gebang Mekar memiliki kendala dalam pengadaan armada penangkapan rajungan karena memerlukan modal yang cukup besar antara 15 hingga 30 juta rupiah tergantung pada besar kecilnya perahu dan kualitas mesin yang akan digunakan. Nelayan yang memiliki modal untuk membuat perahu biasanya meminjam uang ke bank atau ke bakul.

Jenis Alat Tangkap

Dagun (1992) menyatakan bahwa terjadi dilema kegiatan produksi dengan ekologi sosial. Pada satu pihak kegiatan produksi menggunakan sumber daya alam sementara, di lain pihak persediaan sumber daya alam terbatas. Dalam era industri, kemajuan teknologi yang tinggi akan semakin meningkatkan metabolisme antara manusia dengan alam. Dengan menggunakan alat-alat dan teknik yang semakin modern, manusia mampu menemukan sumberdaya alam ke dalam kegiatan produksi.

Hal lain yang dihadapi nelayan adalah tidak semua nelayan memiliki alat tangkap. Bagi nelayan yang demikian, tidak ada alternatif lain kecuali harus bekerja pada orang lain yang membutuhkan tenaganya yaitu menjadi buruh nelayan. Kemampuan untuk meningkatkan peralatan itu sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi seseorang nelayan. Sesuai kondisi ekonominya, peralatan yang mampu dibeli adalah peralatan yang sederhana, atau bahkan mungkin tidak mampu membeli peralatan tangkap sama sekali sehingga menempatkan kedudukannya tetap sebagai buruh nelayan. Oleh karena itu, untuk mengembangkan variasi alat tangkap yang dimiliki bukan hal yang mudah dilakukan. Akibatnya, kemampuan untuk melakukan atau meningkatkan hasil tangkapan menjadi sangat terbatas (Mulyadi 2007).

Jenis alat tangkap adalah alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap rajungan. Pada lokasi penelitian, terdapat beberapa jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan rajungan, seperti jaring landung, jaring kejer, bubu dan garok. Rendah tingginya jenis alat tangkap berdasarkan daya dukung mutu dan pelestarian rajungan, sehingga penggunaan garok dianggap rendah karena tidak ramah lingkungan dan merusak ekosistem laut. Hal ini didukung oleh Mulyadi (2007) bahwa pukat harimau (trawl) atau dalam bahasa lokal disebut

garok yang tanpa kecuali dianggap oleh seluruh nelayan sebagai merugikan dan sangat mengurangi pendapatan masyarakat nelayan setempat.

“… rajungan yang ukurannya besar susah didapat, karena semakin banyak nelayan pake garok, sedangkan nelayan di sini lebih banyak yang pake jaring kejer atau landung dan hasilnya tidak seberapa. Garok mengeluarkan rajungan baik yang besar maupun yang masih kecil di dalam pasir dan lumpur sehingga rajungan lebih

“… garok itu ngerusak banget mbak. Selain ngambilin rajungan kecil, kita ma orang-orang garok suka berebut omongan pas di laut, karena jaring kita kesangkut ma garok dan akhirnya rusak. Ya kita minta ganti rugi lah, itupun yang ketauan. Ada orang garok yang maen pergi aja, jadi pulang-pulang kita gak dapet rajungan malah harus beli jaring lagi…” (Cw,35thn, 12 April 2013)

Jenis alat tangkap yang tergolong sedang adalah bubu, karena rajungan yang ditangkap dengan bubu harus direbus di atas perahu dan ditaruh ke dalam es agar mencegah pembusukan daging rajungan. Namun, aroma daging rajungan yang ditangkap menggunakan bubu tidak sebaik daging rajungan yang ditangkap dengan jaring, karena daging rajungan lebih segar dan menimbulkan aroma yang khas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 orang atau 2.5 persen responden tergolong rendah dalam penggunaan alat tangkap. Terdapat 1 orang atau 2.5 persen responden tergolong sedang. Responden yang penggunaan alat tangkapnya tinggi terdapat 38 orang atau 95 persen. Persentase responden berdasarkan ukuran mesin perahu dapat dilihat dalam Gambar 16.

Gambar 16 Persentase responden berdasarkan ukuran mesin perahu di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

Sumber: auxis.tripod.com

Sumber: lamongankab.go.id

Gambar 18 Penangkapan Menggunakan Bubu

Sumber: Kapi.kkp.go.id

Gambar 19 Penangkapan Menggunakan Garok

Modal Melaut

Modal melaut merupakan jumlah biaya yang harus dikeluarkan nelayan untuk menjalankan usaha melaut dalam pada sebulan terakhir. Umumnya biaya yang dikeluarkan meliputi pembelian solar, perbekalan, dan biaya kebutuhan lainnya. Mulyadi (2007) menilai modal usaha nelayan dapat dilakukan menurut tiga cara, namun pada penelitian ini untuk melakukan penilaian modal usaha khususnya dalam pengadaan alat tangkap yang digunakan dengan menjumlahkan harga pembelian atau pembuatan alat dan bahan yang digunakan. Selain alat tangkap, biaya yang diperlukan untuk produksi dalam usaha nelayan adalah 1) bahan bakar dan oli; 2) bahan pengawet (es dan garam); 3) pengeluaran untuk makanan; serta, 4) pengeluaran untuk reparasi. Namun, dari biaya produksi usaha nelayan yang telah disebutkan sebelumnya, tidak semua nelayan mengeluarkannya, tergantung pada besar-kecilnya usaha perikanan yang dimiliki nelayan. Adapun persentase responden berdasarkan modal melaut dapat dilihat dalam Gambar 20.

Survei lapang yang dilakukan terhadap 40 orang nelayan rajungan Desa gebang Mekar mengetahui terdapat 8 orang atau 20 persen responden tergolong rendah dalam mengeluarkan modal melaut. Terdapat 8 orang atau 20 persen responden tergolong sedang dalam mengeluarkan modal untuk melaut. Modal melaut yang dikeluarkan tergolong tinggi oleh 24 orang atau 60 persen responden.

Gambar 20 Persentase responden berdasarkan modal melaut di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

Besarnya modal yang dikeluarkan untuk melaut tergantung besarnya mesin yang digunakan sehingga memerlukan jumlah solar yang berbeda, lamanya waktu melaut, jarak tempuh ke lokasi penangkapan dan pembelian perbekalan. Ketika nelayan merasa lokasi penangkapan sudah tidak banyak menghasilkan rajungan, mereka memilih wilayah penangkapan lain yang sedang musim rajungan. Perpindahan lokasi penangkapan membutuhkan modal melaut yang lebih besar karena jarak lokasi penangkapan yang lebih jauh dan lamanya melaut.

Kuantitas Hasil Tangkapan

Kuantitas hasil tangkapan adalah jumlah rajungan dengan pengukuran satuan kilogram (kg) yang berhasil ditangkap dalam sekali melaut. Mulyadi (2007) mengungkapkan bahwa ketergantungan terhadap musim sangat tinggi dan tidak setiap saat nelayan bisa melaut. Akibatnya, tidak ada hasil tangkapan yang bisa diperoleh nelayan. Selain itu, adanya fluktuasi karena perubahan keseimbangan ekologi yang terjadi secara alamiah dan menimbulkan keraguan terhadap validitas hasil tangkapan lestari dan memperumit perhitungan laju eksploitasi optimal (Widodo dan Suadi 2008). Saat ini, rajungan masih didapatkan dari alam, hasil tangkapan laut. Aktivitas usaha penangkapan tersebut secara otomatis memberikan tekanan terhadap populasinya di alam. Untuk mengantisipasi penurunan populasi rajungan di alam, budi daya merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan baik melalui usaha budi daya/pembesaran ataupun

restocking benih ke laut (Supriatna 2003).

Survei lapang yang dilakukan terhadap 40 orang nelayan rajungan Desa Gebang Mekar menunjukkan bahwa 16 orang atau 40 persen responden tergolong kuantitas hasil tangkapannya rendah. Terdapat 16 orang atau 40 persen responden tergolong kuantitas hasil tangkapannya sedang. Responden yang tergolong tinggi kuantitas hasil tangkapannya berjumlah 8 orang atau 20 persen responden. Persentase responden berdasarkan kuantitas hasil tangkapan dapat dilihat dalam Gambar 21. Faktor-faktor yang memengaruhi kuantitas hasil tangkapan adalah alat tangkap yang digunakan, lamanya melaut, dan besar kecilnya ombak didaerah penangkapan. Selain itu, dasar laut yang berlumpur lebih banyak menghasilkan rajungan dibandingkan dengan dasar laut yang berpasir.

Gambar 21 Persentase responden berdasarkan kuantitas hasil tangkapan di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

Kualitas Hasil Tangkapan

Kualitas hasil tangkapan adalah jumlah rajungan hasil tangkapan yang dapat dijual ke bakul dengan pengukuran satuan kilogram (kg). Persentase responden berdasarkan kualitas hasil tangkapan dapat dilihat dalam Gambar 22. Survei lapangan yang dilakukan terhadap 40 orang nelayan rajungan Desa Gebang Mekar melihatkan bahwa terdapat 16 orang atau 40 persen responden tergolong kualitas hasil tangkapannya rendah. Terdapat 17 orang atau 42 persen responden kualitas tangkapannya sedang. Kualitas hasil tangkapan nelayan yang tergolong tinggi berjumlah 7 orang atau 18 persen. Faktor yang memengaruhi kualitas hasil tangkapan yang berbeda-beda adalah jumlah rajungan yang ditangkap belum tentu dapat dijual ke bakul. Hal ini disebabkan karena rajungan yang ditangkap tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh bakul, seperti rajungan yang terlalu kecil sehingga dianggap tidak memiliki daging dan rajungan yang telah membusuk sehingga menimbulkan bau tak sedap.

Gambar 22 Persentase responden berdasarkan kualitas hasil tangkapan di Desa Gebang Mekar, Kecamatan Gebang, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

Intervensi Pihak Luar Bantuan Modal

Bantuan modal adalah bantuan yang diberikan oleh pihak luar untuk mendukung usaha nelayan dalam setahun terakhir. Bantuan modal yang diterima dapat berupa uang tunai, pengadaan armada penangkapan dan alat tangkap. Bantuan dilihat dari total rupiah yang diterima. Bantuan modal yang didapatkan oleh nelayan adalah hasil dari hubungan patronase dengan bakul atau juragan yang didasarkan karena adanya pola pendapatan nelayan yang tidak pasti. Hubungan patronase dianggap tetap lebih baik bagi nelayan. Meskipun berada dalam ketergantungan, namun hidupnya tetap “terjamin” bila sedang menghadapi masa paceklik atau kebutuhan ekonomi yang mendesak (Mulyadi 2007).

Soesilo dan Budiman (2002) mengutarakan bahwa wajar saja bila nelayan menjual ikannya langsung kepada bakul, sebab para bakul ini membayar tunai bahkan bisa lebih awal sebelum ikan ditangkap. Selain syarat-syaratnya yang banyak, pihak perbankan juga dipandang tidak mempunyai niat untuk membantu para nelayan. Akibatnya, sejak dahulu hingga sekarang penampilan nelayan tetap saja tak berdaya, ekonomi lemah, bahkan keluarga nelayan pun terlihat kurang gizi, padahal hasil tangkapan mereka merupakan salah satu sumber gizi untuk tubuh.

Jika diperhatikan patronase ini merugikan pihak nelayan, namun nelayan masih tetap lebih memilih meminjam uang ke bakul daripada ke bank atau koperasi. Hal ini didukung oleh pendapat (Mulyadi 2007), untuk mengatasi permasalahan permodalan, nelayan berusaha melakukan terobosan untuk meningkatkan pendapatan, dengan cara mengandalkan bakul untuk meminjam uang. Akan tetapi, ternyata upaya yang dilakukan oleh nelayan untuk meningkatkan kesejahteraannya telah menjebak mereka dalam ketergantungan dengan pihak lain. Kenyataan ini, tampaknya perlu dibentuk suatu lembaga ekonomi formal yang berfungsi untuk: 1) menutup utang nelayan kepada bakul

dan mengalihkan pinjaman itu sebagai pinjaman kepada lembaga; 2) memberikan kredit kepada nelayan, baik dalam bentuk uang maupun barang (peralatan tangkap, bahan bakar, dan kebutuhan sehari-hari lainnya); serta, 3) membeli hasil tangkapan atau membantu pemasaran agar memperoleh harga yang pantas.

“… sebenarnya sih mending pinjam ke bank, karena tenggat waktu pelunasannya jelas. Tapi kalo ke bank kan gak semua nelayan bisa