• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolat Protein Kacang Kedela

4.2 Karakteristik Isolat Protein Kacang Kedela

a. Derajat Glikasi

Alergenisitas protein kedelai dapat diturunkan dengan melakukan beberapa proses untuk mengubah struktur alergen dan membuat alergen lebih tidak dikenali antibodi. Perlakuan panas, fermentasi, hidrolisis enzimatik, modifikasi genetik, ekstrusi dan konjugasi gula telah dipelajari sebagai strategi untuk menurunkan alergenitas protein kedelai (Wilson et al. 2005).

Reaksi glikasi atau Maillard dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu awal, menengah dan tahap akhir. Pada tahap awal, gula pereduksi seperti glukosa, berkonjugasi dengan senyawa tertentu yang memiliki kelompok amino bebas (asam amino atau protein terutama kelompok ε-amino lisin, tetapi juga kelompok α-amino dari asam amino terminal) untuk membentuk Basa Schiff dengan melepaskan air (Liu et al. 2012). Diharapkan pada tahap ini

gula yang berikatan dengan asam amino dapat merubah struktur epitop dari protein alergen sehingga dapat menurunkan sisi pengenalan IgE. Penurunan inilah yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan sifat alergen protein kacang kedelai.

Gambar 6 Derajat glikasi isolat protein kedelai GMO dan non-GMO setelah ditambahkan FOS. aAngka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda

menunjukkan perbedaan nyata pada (p<0.05) pada jenis kedelai yang sama.

Reaksi glikasi yang terjadi dengan FOS dapat dilihat pada Gambar 7. Lisin digunakan karena lisin merupakan asam amino pembatas dan memiliki dua amino grup selain histidin dan arginin sehingga dapat beraksi lebih cepat serta banyak terdapat pada kacang-kacangan. Pada Gambar 6 dapat dilihat hasil pengukuran besaran glikasi yang terjadi. Pada perlakuan terendah yaitu rasio 1:4 derajat glikasi yang dihasilkan adalah 56.82% pada IPK non-GMO dan 51.42% pada IPK GMO. Pada perlakuan tertinggi dengan rasio 1:74 didapat nilai 75.03% dan 73.50% masing-masing untuk IPK GMO dan non-GMO. Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa penambahan rasio FOS berbanding lurus dengan derajat glikasi yang diperoleh, karena jumlah gula pereduksi yang dapat digunakan semakin banyak. Apabila telah mencapai titik tertentu maka peningkatan tersebut akan berhenti (Van de Lagemaat et al. 2007).

Bu et al. (2010) melakukan glikasi pada konjugasi β-lactoglobulin dan

glukosa dengan mengukur perubahan warna pada panjang gelombang 420 nm. Peningkatan warna coklat dapat dilihat dengan bertambahnya suhu, lama reaksi dan banyaknya glukosa yang ditambahkan. Peningkatan warna coklat menunjukkan bahwa reaksi glikasi yang terjadi semakin tinggi.

Pengikatan atau konjugasi protein dengan gula pereduksi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat alergenisitas suatu produk pangan. Bielikowicz et al. (2010) melaporkan bahwa glikasi pada protein

gandum dapat menurunkan tingkat reaktivitas terhadap IgE dan IgG. Terjadinya glikasi akan merubah struktur epitop pada protein alergen kacang kedelai sehingga dapat menurunkan alergenisitasnya.

d 56,82 c 61,80 b 69,85 a 72,31 a 73,50 d 51,42 c 56,84 b 67,80 a 73,34 a 75,03 0 10 20 30 40 50 60 70 80 1:04 1:14 1:30 1:52 1:74 D e ra ja t gl ik a si (% )

Perbandingan isolat kedelai dan FOS

Pengaruh glikasi isolat protein kedelai dengan penambahan FOS sebagai gula pereduksi memiliki pengaruh dalam meningkatkan kelarutan, kemampuan emusi dan dari segi fisikokimia dapat meningkatkan kemampuan sifat antioksidan dengan cara mengikat radikal dan mencegah oksidasi LDL. Selain itu, pengaruh penambahan FOS yang memiliki kemampuan sebagai prebiotik dapat menurunkan daya cerna protein dari isolat protein kedelai, namun tidak secara signifikan yakni hanya sekitar 4% dari isolat kacang kedelai (Mesa et al. 2008).

Gambar 7 Skema representasi kondensasi protein dan FOS melalui reaksi Maillard (A) dan konjugat yang dihasilkan (B) (Munialo et al. 2014)

b. Grup Amino Bebas

Analisis protein umumnya bertujuan untuk mengukur kadar protein dalam bahan pangan. Analisis protein dapat dilakukan antara lain dengan metode Kjeldahl, Lowry, Biuret, Bradford, dan turbidimetri. Metode Kjeldahl mengukur seluruh kadar nitrogen pada sampel dengan cara destruksi, destilasi dan titrasi sehingga dapat mengukur nitrogen yang bukan berasal dari protein. Metode Lowry, Biuret, Bradford dan turbidimetri merupakan metode kolorimetrik. Metode Biuret mengukur interaksi antara reagen dan ikatan peptida, metode turbidimetri berdasarkan tingkat kekeruhan setelah pemberian trikloroasetat. Metode Lowry dan Bradford merupakan metode kolorimetri yang lebih sensitif yang dapat mengukur sampel pada konsentrasi yang lebih rendah. Metode Lowry mengombinasikan pereaksi biuret dengan pereaksi lain (Folin-Ciocalteau phenol) yang dapat mengukur pembentukan kompleks antara Biuret dengan ikatan peptida dan Folin-Ciocalteu. Namun, dapat terjadi kesalahan pengukuran dengan keberadaan polifenol yang juga dapat bereaksi dengan reagen Folin-Ciocalteu sehingga dapat berkontribusi pada pengukuran (Redmile-Gordon et al. 2013).

Analisis kadar protein menggunakan Bradford menjadi pengujian kolorimetri yang banyak dipilih dikarenakan memiliki sensitivitas yang tinggi, spesifik serta analisis yang cepat. Pengujian Bradford tergantung pada interaksi antara residu asam amino dasar (terutama arginin, lisin dan histidin) dengan

Coomassie brilliant blue G-250 (CBB) pada matriks asam. Ikatan CBB dengan

protein akan menghasilkan warna biru (Redmile-Gordon et al. 2013). Dari

grup amino bebas pada sampel yang telah diberi perlakuan FOS. Hal ini disebabkan FOS telah berikatan dengan residu asam amino misalnya lisin, sehingga terjadi penurunan lisin bebas yang dapat di ikat oleh CBB saat pengujian. Dengan berkurangnya residu lisin bebas tersebut maka konsentrasi grup amino bebas pada sampel akan berkurang. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian derajat glikasi sampel, bahwa semakin meningkatnya derajat glikasi maka akan menurunkan konsentrasi protein sampel.

Gambar 8 Grup asam amino bebas isolat protein kedelai GMO dan non-GMO setelah ditambahkan FOS. aAngka-angka yang diikuti oleh huruf yang

berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada (p<0.05) pada jenis kedelai yang sama.

Sampel kedelai GMO memiliki konsentrasi asam amino bebas lebih tinggi dibandingkan kedelai non-GMO, meskipun pada pengujian analisis proksimat kedelai non-GMO memiliki kadar protein yang lebih tinggi (Lampiran 2). Hal ini disebabkan pengujian Bradford hanya terbatas pada asam amino tertentu seperti arginin, lisin, dan histidin.

Jiang et al. (2013) yang melakukan konjugasi tripeptida dengan ribosa

melaporkan hasil jumlah asam amino bebas terus menurun selama waktu pemanasan. Penurunan keseluruhan sebesar 84.3% gugus amino bebas setelah 8 jam perlakuan pemanasan. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok α-amino dari tripeptida semakin terikat pada gugus karbonil.

c. Profil Berat Molekul Protein berdasarkan Elektroforesis SDS-PAGE Elektroforesis merupakan analisis untuk memeriksa pergerakan molekul bermuatan dalam medan listrik. Elektroforesis mampu menganalisis dan memurnikan berbagai jenis biomolekul terutama protein. Dalam teknik ini, gel terpolimerisasi seperti matriks yang dapat digunakan sebagai media pendukung. Migrasi molekul dipengaruhi oleh beberapa parameter, yaitu arus listrik, ukuran

a 568,14 b 448,86 c 418,86 d 394,57 d 387,07 e 334,21 a 674,21 b 414,57 c 386,36 cd 372,79 364,57d e 321,71 0 100 200 300 400 500 600 700 800 Kontrol 1:04 1:14 1:30 1:52 1:74 Ko n se n tr a si Gr u p Am in o B e b a s (p p m )

Perbandingan isolat kedelai dan FOS

matriks gel, bentuk, muatan dan komposisi kimia dari molekul agar dapat terpisah (Roy et al. 2012).

Hasil elektroforesis SDS-PAGE kacang kedelai GMO menunjukkan adanya 11 pita protein (Gambar 9) yang memiliki berat molekul antara 4.80 kDa-145.8 kDa dengan beberapa pita protein yang cukup tebal yaitu 103.3 kDa, 51.1 kDa dan 19.1 kDa. Kacang kedelai non-GMO memiliki 9 pita protein (Gambar 10) yang memiliki berat molekul antara 4.8 kDa-103.3 kDa. Ketebalan pita protein menunjukkan bahwa pada pita tersebut terkandung konsentrasi protein yang tinggi, namun belum tentu menunjukkan bahwa pita tersebut merupakan protein alergen. Sitorus (2014) melaporkan hasil elektroforesis SDS-PAGE isolat kacang kedelai memiliki 8 pita protein dengan berat molekul antara 9.6 kDa-114.7 kDa. Sedangkan Astuti (2012) mendapatkan 7 protein pada kacang kedelai dengan berat molekul antara 20 kDa-83.7 kDa. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan sampel kacang kedelai yang digunakan seperti varietas hingga tempat tumbuh.

Kedelai GMO kontrol

GMO 1:4 GMO 1:14 GMO 1:30 GMO 1:52 GMO 1:74

Gambar 9 Profil berat molekul protein kacang kedelai GMO sebelum dan sesudah glikasi

Proses glikasi dengan FOS merubah profil berat molekul protein kedelai baik GMO maupun non-GMO yang dapat dilihat pada Gambar 9 – 10. Pada kedelai GMO dan non-GMO yang telah terglikasi terdapat beberapa protein yang tidak ditemui seperti pada kedelai kontrol. Dari hasil elektroforesis dapat dilihat bahwa jumlah FOS yang ditambahkan tidak berpengaruh terhadap pita protein, hal ini dapat dilihat bahwa pada konsentrasi yang paling kecil telah dapat merubah pita protein kedelai.

Glikasi dapat meningkatkan berat molekul protein namun dapat juga menghilangkan beberapa pita protein. Van de Lagemaat (2007) mengonjugasikan isolat protein kedelai dengan FOS. Dari hasil tersebut dilaporkan bahwa pada protein yang terglikasi hanya terdapat dua pita protein dengan berat molekul sekitar 45 dan 66 KDa. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar protein kedelai bereaksi dengan FOS, selain itu proses panas pada saat konjugasi akan mendenaturasi protein sehingga tidak terdeteksi pada SDS-PAGE. Hal serupa juga disampaikan oleh Usui et al. (2004) bahwa konjugasi isolat protein kedelai

dengan galaktomanan dan kitosan menghasilkan pola elektroforesis yang lemah pada protein yang terglikasi.

Pada gambar 9 juga dapat dilihat protein alergen yang masih terdeteksi setelah glikasi yaitu Gly m BD 68K (69.7 kDa), alergen dari fraksi whey protein (19.1 kDa) dan alergen methionine rich protein (12.4 kDa). Pada protein kacang

kedelai GMO terdapat 5 pita protein yang hilang akibat glikasi yaitu dengan berat molekul 10.3 kDa; 58.3 kDa; 82.8 kDa; 126.1 kDa dan 145.8 kDa. Protein pada 10.3 kDa merupakan protein alergen dengan kandungan metionin yang tinggi (Amnuaycheewa dan Elvira 2010) dengan berat molekul antara 8-12 kDa. Glikasi juga dapat menghilangkan salah satu protein alergen mayor yaitu pada 58.3 kDa yang merupakan subunit αdari β-conglycinin yaitu Gly m BD 60K. β-conglycinin dikenal sebagai protein cadangan utama yang mencakup tiga subunit yaitu α (~67 kDa ), α' (~71 kDa ) dan β (~50 kDa) (Ogawa et al. 2000). Alergen mayor adalah

alergen yang dapat berikatan dengan IgE dari lebih 90% penderita alergi pangan spesifik (Mills et al. 2003). Sedangkan protein dengan berat molekul 82.8 kDa;

126.1 kDa dan 145.8 kDa dapat merupakan gabungan dari beberapa subunit protein alergen kedelai sehingga memiliki berat molekul yang cenderung lebih tinggi. Berat molekul protein yang terdeteksi pada kedelai GMO disajikan pada Tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5 Berat molekul protein kedelai GMO sebelum dan sesudah glikasi BM sebelum glikasi BM sesudah glikasi Alergen

145.8 - - 126.1 - - 103.3 103.3 - 82.8 - - 69.7 69.7 Gly m BD 68K 58.3 - Gly m BD 60K 51,1 - 7S-Globulin 19.1 19.1 Fraksi whey

12.4 12.4 Methionine rich protein

10.3 - Methionine rich protein

4.8 4.8 -

Protein kacang kedelai non-GMO yang hilang selama glikasi adalah 4 protein pada berat molekul 10.3 kDa; 55.9 kDa; 64.7 kDa dan 95.1 kDa. Pada kacang kedelai GMO protein kacang kedelai yang hilang adalah protein dengan berat molekul 10.3 kDa. Protein dengan berat molekul 55.9 kDa merupakan alergen mayor jenis glisinin-globulin yang memiliki berat molekul sekitar 52-55 kDa (Amnuaycheewa dan Elvira 2010). Glisinin merupakan protein utama pada kedelai yaitu sekitar 35-40% dari keseluruhan protein kedelai. Glisinin secara keseluruhan memiliki berat molekul antara 320-360 kDa yang terdiri dari 6 subunit (Cordle 2004). Selain Glisinin, alergen mayor yang hilang akibat glikasi pada protein kedelai non-GMO adalah protein pada 64.7 kDa yang merupakan

alergen Gly m Bd 60K yang juga merupakan subunit dari β – conglycinin Ogawa

et al. (2000). β – conglycinin memiliki berat molekul antara 140-180 kDa yang

terdiri dari 3 subunit (Cordle 2004).

Kedelai non- GMO kontrol non-GMO 1:4 non-GMO 1:14 non-GMO 1:30 non-GMO 1:52 non-GMO 1:74

Gambar 10 Profil berat molekul protein kacang kedelai non-GMO sebelum dan sesudah glikasi

Tabel 6 Berat molekul protein kedelai non-GMO sebelum dan sesudah glikasi BM sebelum glikasi BM sesudah glikasi Alergen

103.3 103.3 - 95.1 - - 69.7 69.7 Gly m BD 68K 64.4 - Gly m Bd 60K 55.9 - 7S-Globulin 51.1 51.1 7S-Globulin 19.1 19.1 Fraksi whey

10.3 - Methionine rich protein

4.8 4.8 -

Proses glikasi dengan penambahan FOS yang dipanaskan pada suhu 95 °C selama 60 menit mengakibatkan pengurangan pita protein (Tabel 5 dan Tabel 6). Pengurangan pita protein selain disebabkan oleh konjugasi dengan FOS juga disebabkan oleh denaturasi protein selama proses konjugasi. Sitorus (2014) melaporkan bahwa proses pemanasan kedelai dengan perebusan, pengukusan, penyangraian dan pengovenan selama 60 menit menyebabkan profil berat molekul protein berkurang. Proses pemanasan menyebabkan terdenaturasinya protein sehingga tidak dapat terdeteksi pada pengujian SDS-PAGE. Kacang kedelai yang tidak dipanaskan memiliki 8 pita protein dengan berat molekul 9.6-114.7 kDa,

sedangkan kacang kedelai yang diberi perlakuan pemanasan hanya memiliki 2 sampai 6 pita protein.

Menurut Bielikowicz et al. (2010) glikasi yang dilakukan dengan

penambahan gula pereduksi dapat mengurangi jumlah dan ketebalan pita protein pada pola elektroforesis jika dibandingkan perlakuan yang hanya dengan pemanasan saja. Reaksi glikasi isolat protein kedelai dengan gum akasia membentuk konjugat protein-polisakarida yang memberikan pola elektroforesis dengan pita yang lebar dan tebal diantara stacking gel dan separating gel. Hal ini diduga disebabkan oleh konjugat dengan berat molekul tinggi tidak bisa masuk ke dalam stacking gel (Mu et al. 2011). Konjugat yang memiliki berat molekul tinggi

ini kurang dapat berpenetrasi ke dalam separating gel, untuk itu perlu dilakukan verifikasi. Verifikasi profil elektroforesis dapat dilakukan dengan menggunakan protein standar dengan berat molekul tinggi yaitu pada kisaran 30-460 kDa. Dengan demikian maka perubahan profil eketroforesis yang ditunjukkan dengan jumlah dan berat molekul pita protein pada penelitian ini disebabkan oleh faktor pengolahan dan proses glikasi.

Dokumen terkait