• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolat Protein Kacang Kedela

4.3 Sifat Alergenisitas

a. Respon Antigenik Isolat Protein Terglikasi

Immunoblotting merupakan teknik pengujian alergenisitas secara kualitatif yang dapat melihat pita protein yang dapat menyebabkan alergi. Teknik immunoblotting dilakukan dengan menransfer hasil elektroforesis yang belum diwarnai pada membran nitroselulosa serta menggunakan serum penderita alergi yang kemudian akan mengenali pita protein yang mengandung alergen. Pita berwarna coklat menunjukkan bahwa protein alergen berikatan dengan IgE serum penderita alergi.

Dari hasil immunoblotting kacang kedelai GMO (Gambar 11) dapat dilihat terdapat 9 protein alergen. Pada hasil elektroforesis terdapat 11 pita protein (Gambar 9), dengan demikian 2 protein tidak terdeteksi sebagai protein alergen yaitu pada berat molekul 145.8 dan 4.8 KDa. Sedangkan pada kacang kedelai non- GMO (Gambar 12) terdapat 8 protein alergen dari 9 protein pada hasil elektroforesis. Protein yang tidak terdeteksi sebagai protein alergen pada kedelai non-GMO sama seperti protein kedelai GMO yaitu dengan berat molekul 4.8 KDa.

Proses pengolahan pangan yang melibatkan reaksi glikasi dapat menurunkan tingkat alergenisitas suatu bahan pangan. Hal ini terbukti dari hasil penelitian ini yang dapat dilihat pada Gambar 9 untuk kedelai GMO dan Gambar 10 untuk kedelai non-GMO. Proses glikasi dapat mengurangi protein alergen pada kedelai GMO dan non-GMO. Dari Gambar 12 dan Gambar 13 dapat dilihat bahwa perlakuan terkecil yaitu 1:4 sudah dapat menurunkan alergenisitas kacang kedelai, karena dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan hasil dari berat molekul pita yang mengandung alergen. Hasil pengujian immunoblotting ini juga menunjukkan hal yang sama dengan pita yang terdapat pada elektroforesis yaitu tidak ada perbedaan antara perlakuan terkecil hingga terbesar. Bielikowicz et al. (2010)

melaporkan bahwa pada hasil immunobloting dengan serum penderita alergi didapatkan 9 fraksi mayor dan 5 fraksi minor pada sampel mentah dan kontrol

tanpa gula pereduksi namun terjadi penurunan reaktivitas pada sampel yang terglikasi dengan penambahan gula pereduksi.

Kedelai GMO kontrol

GMO 1:4 GMO 1:30 GMO 1:74

Gambar 11 Profil protein alergen kacang kedelai GMO sebelum dan sesudah glikasi

Setelah glikasi pada kedua protein kedelai ditemukan 2 pita protein alergen dengan berat molekul berbeda. Pada kedelai GMO protein yang masih dapat berikatan dengan serum adalah protein dengan berat molekul 19.1 kDa dan 126.1 kDa. Alergen 19.1 kDa (Amnuaycheewa dan Elvira et al. 2010) merupakan fraksi

whey pada protein kedelai sedangkan protein dengan 126.1 kDa merupakan protein yang memiliki berat molekul >70 kDa namun memiliki sisi protein yang dapat dikenali oleh antibodi. Protein ini sama seperti protein alergen yang masih terdeteksi pada protein kedelai non-GMO yang telah terglikasi yaitu 103.3 kDa. Protein lainnya yang juga terdeteksi pada protein kedelai non-GMO yang telah terglikasi adalah dengan berat molekul 10.3 kDa yang merupakan protein alergen dengan kandungan metionin yang tinggi (Amnuaycheewa dan Elvira 2010).

Glikasi dengan perlakuan pengolahan panas seperti perebusan, pengukusan, pemanggangan dan penyangraian yang dilakukan Sitorus (2014) menunjukkan bahwa perlakuan yang dilakukan dapat menghilangkan seluruh protein alergen yang terdapat pada kacang kedelai. Hal ini terbukti dengan tidak terdeteksi satupun pita protein alergen pada pengujian immunoblotting untuk semua perlakuan. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian terhadap perubahan struktur epitop pada protein kedelai yang terjadi selama glikasi, untuk itu masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar dapat dilihat perubahan yang terjadi pada struktur epitop akibat glikasi.

Kedelai non-GMO kontrol non-GMO 1:4 non-GMO 1:30 non-GMO 1:74

Gambar 12 Profil protein alergen kacang kedelai non-GMO sebelum dan sesudah glikasi

Protein yang masih terdeteksi setelah dikonjugasi dengan FOS menunjukkan bahwa protein ini merupakan jenis protein yang stabil terhadap pengolahan sehingga protein tersebut masih dapat menimbulkan reaksi alergi. Wilson et al.

(2005) menyebutkan bahwa denaturasi, hidrolisis atau konjugasi dapat menurunkan alergenisitas kedelai secara keseluruhan terutama alergen P34 pada kedelai. Namun, tidak ada satupun perlakuan tunggal yang benar-benar dapat menghilangkan alergenisitas P34, tetapi kombinasi perlakuan mungkin dapat menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada hanya satu perlakuan. Diduga bahwa gabungan perlakuan dapat memberikan hasil yang lebih baik dari pada perlakuan tunggal.

Salah satu contoh pengolahan yang dapat dikombinasikan dengan glikasi adalah high hydrostatic pressure (HHP). HHP merupakan teknik pengolahan

pangan yang dapat menginaktivasi mikroorganisme dengan tetap menjaga karakteristik bahan pangan. Li et al. (2012) menggunakan teknik pengolahan HHP

dalam pembuatan susu formula berbasis isolat protein kedelai. Susu formula berbasis isolat protein kedelai ini diproduksi bagi konsumen yang menderita alergi susu sapi, namun 17-47% penderita alergi susu sapi juga memiliki alergi terhadap kacang kedelai (El-Agamy 2007). Untuk itu perlu dilakukan pengolahan yang dapat menurunkan alergenisitas kacang kedelai. Pada penelitian ini diketahui bahwa penggunaan HHP pada 300 MPa selama 15 menit dapat mengurangi alergenisitas susu formula berbasis isolat protein kedelai sebanyak 48.6%.

b. Reaktivitas Imunologi Kacang Kedelai berdasarkan Uji ELISA

Pada penelitian ini dapat dilihat perbedaan reaksi IgE terhadap kedelai GMO dan non-GMO (Gambar 13) karena adanya perbedaan OD (optical Density) antara

keduanya. Kedelai GMO memiliki OD yang lebih tinggi dibandingkan kedelai non-GMO. Hal ini menunjukkan kedelai GMO memiliki pengikatan IgE spesifik terhadap alergen yang lebih tinggi. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa produk GMO dapat meningkatkan alergenisitas. Kacang polong GMO

dikembangkan dengan memasukkan gen dari kacang merah menciptakan protein yang bertindak sebagai pestisida yang bersifat alergen pada tikus. Pengamatan ini menunjukkan bahwa reaksi alergi yang sama mungkin terjadi pada orang yang mengkonsumsi produk GMO ini (Mahgoub 2015). Perbedaan ini belum dapat membuktikan bahwa kedelai GMO memiliki alergenisitas yang lebih tinggi daripada kedelai non-GMO karena sampel yang digunakan pada penelitian bukan merupakan kedelai yang memiliki varietas yang sama, sehingga perbedaan ini juga dapat disebabkan oleh perbedaan varietas dari sampel yang digunakan. Pada penelitian dilakukan pendekatan dengan menggunakan sampel kedelai yang banyak beredar di pasaran dikarenakan sulit mendapatkan sampel kedelai GMO dan non-GMO dengan varietas yang sama.

Dari hasil pengujian Elisa juga dapat dilihat bahwa perlakuan FOS dapat menurunkan tingkat alergenisitas kedua sampel protein kedelai namun tidak dapat menghilangkannya secara keseluruhan. Hal ini karena OD sampel yang terglikasi lebih tinggi dibandingkan OD serum kontrol negatif atau serum bukan penderita alergi. Pada Gambar 13 dapat dilihat juga bahwa peningkatan FOS yang diberikan tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0.05) baik untuk protein kedelai GMO maupun non-GMO, hasil ini sesuai dengan pengujian immunoblotting yang menunjukkan pita alergi yang sama pada semua perlakuan.

Bielikowicz et al. (2010) melakukan konjugasi protein gandum dan glukosa

dengan penyimpanan selama tiga hari pada suhu 60 °C menunjukkan imunoreaktivitas yang lebih rendah dibandingkan perlakuan kontrol yaitu dengan perlakuan penyimpanan yang sama namun tanpa glukosa. Faktor pemanasan saja (kontrol) pada penelitian tersebut justru menaikkan imunoreaktivitas dari protein gandum mentah. Hal ini disebabkan sebagian besar protein alergen yang ada memiliki epitop linear yang justru akan terekspos akibat proses pemanasan.

Pengujian alergi produk GMO merupakan kunci dalam pengujian keamanan untuk produk GMO (Fernandez et al. 2013). Telah banyak penelitian baik secara in vivo maupun in vitro yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan

alergenisitas antara produk GMO dan non-GMO. Brake dan Evenson (2004) melakukan pengujian secara in vivo menggunakan tikus terhadap efek glikofosfat

toleran pada kedelai menunjukkan bahwa tidak ada dampak kedelai GMO terhadap tikus. Pengujian in vitro dilakukan oleh Kim et al. (2006) pada kedelai

GMO yang memiliki transgen EPSPS (5-enolpyruvylshikimate-3-phosphate synthase) yaitu kedelai yang resisten terhadap herbisida menunjukkan bahwa ekspresi gen penyandi EPSPS tersebut tidak memengaruhi alergenisitas dari kedelai.

Gambar 13 Reaktivitas imunologi kacang kedelai GMO dan non-GMO. aAngka- angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada (p<0.05) pada jenis kedelai yang sama.

Pada Tabel 7 dapat dilihat persen penurunan alergenisitas dari kacang kedelai GMO dan non-GMO setelah glikasi. Pada kedelai GMO penurunan terbesar dapat dilihat pada perlakuan 1:4 yaitu sebesar 91.69 %, sedangkan pada kedelai non-GMO pada perlakuan 1:14 sebesar 87.07. Jika hasil ini dibandingkan dengan hasil immunoblotting dapat dikatakan bahwa pada perlakuan 1:4 sudah dapat menurunkan reaktivitas kacang kedelai baik itu GMO maupun non-GMO. Tabel 7 Persen penurunan reaktivitas (OD) serum penderita alergi terhadap isolat

kacang kedelai GMO dan non-GMO setelah proses glikasi

Perlakuan GMO Non-GMO

IPK:FOS (1:4) 92.15±3.52 82.02±2.68

IPK:FOS (1:14) 90.61±1.35 86.94±7.24

IPK:FOS (1:30) 89.96±1.19 81.88±5.03

IPK:FOS (1:52) 85.06±3.25 75.11±3.36

IPK:FOS (1:74) 81.79±4.63 74.35±7.24

Mekanisme penurunan alergenisitas akibat glikasi telah banyak dikemukakan, Yoshida et al. (2005) menyampaikan bahwa konjugasi β-

Lactoglobulin dan oligosakarida dapat mengurangi imunogenisitas dengan melindungi epitop sel B. APC memproses antigen setelah dimasukkan endosom dan kemudian dipresentasikan. Oleh karena itu, ketahanan antigen terhadap protease endosomal akan sangat penting untuk menentukan imunogenisitas antigen. Proses glikasi dapat menurunkan ketahanan antigen terhadap protease endosomal, yaitu apabila semakin rendah ketahanannya maka memiliki alergenisitas yang rendah. Selanjutnya Yoshida et al. (2005) juga

menambahkan bahwa kemungkinan mekanisme lainnya dapat menurunkan alergenisitas pada antigen dengan keberadaan konjugat. APC biasanya memakan antigen pada fagositosis. Sakarida pada konjugasi protein diduga mengganggu proses fagositosis sehingga menyebabkan berkurangnya alergenisitas. Hal serupa juga disampaikan oleh Bielikowicz et al. (2010) yang melakukan konjugasi

protein gandum dan glukosa pada kondisi kering bahwa konjugasi gula dengan 0.004 a 0,147 bc 0,027 c 0,019 bc 0,027 b 0,037 b 0,038 a 0,319 b 0,026 b 0,031 b 0,033 b 0,049 b 0,060 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45 Kontrol 1:04 1:14 1:30 1:52 1:74 Opt ic al de ns it y

Perbandingan isolat kedelai dan FOS

gugus protein dapat menutupi (masking) beberapa epitop sehingga mengurangi

imunoreaktivitas sampel yang terglikasi, meskipun pengenalan epitop baru tidak dapat diabaikan. Bielikowicz et al. (2012) melaporkan bahwa globulin 7S pada

kacang polong yang terglikasi mengakibatkan penurunan afinitas terhadap antibodi yang menyebabkan keterbatasan sifat-sifat alergenisitasnya. Di sisi lain, globulin 7S yang terglikasi dapat menstimulasi pematangan sel Th0 ke Th2 yang juga dapat berpartisipasi dalam proses peningkatan alergi pangan. Penurunan sitotoksisitas dan transportasi melalui Caco-2 monolayer dari globulin 7S kacang polong terglikasi dapat menurunkan alergenisitas yang disebabkan oleh keterbatasan transportasi ke sel sistem kekebalan tubuh atau sel imun.

Gambar 14 Pengaruh pengolahan pada integritas epitop protein (Nowak-Wegrzyn dan Fiocchi 2009)

Secara umum antibodi IgE dapat mengenali epitop sekuen (epitop linear) dan epitop konformasi (Gambar 14). Epitop sekuen merupakan epitop yang dapat dikenali oleh antibodi berdasarkan urutan asam amino. Sedangkan epitop konformasi merupakan epitop struktur tiga dimensi yang terdiri dari asam-asam amino dalam lipatan protein. Sebagian besar antibodi mengenali epitop konformasi yang memiliki bentuk tiga dimensi yang spesifik. Proses pemanasan, perlakuan enzimatis dan pengasaman (pH rendah) dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada struktur protein epitop konformasi namun tidak pada struktur epitop sekuen, sehingga dapat mengurangi sifat alergenisitasnya (Nowak- Wegrzyn dan Fiocchi 2009).

Gambar 15 Diagram pita dari struktur Gly m BD 28K. Warna biru dan ungu mewakili dua wilayah protein dan hijau menunjukkan epitop imunodominan (Xiang et al. 2004)

Contoh epitop protein alergen kacang kedelai dapat dilihat pada Gambar 15 yang merupakan gambaran dari struktur salah satu protein alergen pada kacang kedelai yaitu Gly m BD 28K. Gly m BD 28K merupakan protein alergen mayor yang terdapat pada kacang kedelai dengan berat molekul 28 KDa. Warna hijau pada gambar merupakan sisi epitop dari Gly m BD 28K, sisi ini berikatan dengan IgE spesifik. Glikasi yang dilakukan menggunakan FOS, diduga menyebabkan bagian epitop akan berubah strukturnya sehingga tidak dapat berikatan dengan IgE dan dapat menurunkan alergenisitas dari protein alergen.

5

SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait