• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Keluarga

Dari hasil penelitian diketahui bahwa karakteristik keluarga responden bervariasi menurut jumlah anggota keluarga, pendidikan ayah, pendidikan Ibu, serta status ekonomi keluarga. Hanya saja pada tabel pekerjaan orang tua mayoritas pekerjaan adalah wiraswasta. Sebanyak 69 responden (98,6%) sedangkan PNS hanya 1 responden (1,4%). Jumlah anggota keluarga responden paling banyak adalah 4 orang yaitu sebesar 30 %. Artinya keluarga tersebut adalah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu dan 2 anak. Peneliti berasumsi bahwa jumlah anggota keluarga yang sedikit menyebabkan efektifnya komunikasi yang dibangun di dalam keluarga sehingga tidak menjadi masalah dalam hal penyampaian informasi mengenai rokok.

Dari tabel 4.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar sebanyak 37 (52,8%) pendidikan ayah responden adalah SMA/SMK/STM sedangkan dari tabel 4.3 dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu responden memiliki tingkat pendidikan SMP sebanyak 26 responden (37,1%)

Hal ini didukung oleh Notoatmodjo (2003), yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi tidak sama pemahamannya dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi dan pada akhirnya semakin banyak

pengetahuan yang mereka miliki. Secara umum, pengetahuan yang baik akan memunculkan sikap yang baik dan mengaplikasikannya dalam tindakan. Semakin tinggi pengetahuan seseorang terhadap kesehatan, semakin tinggi kesadaran orang tersebut dalam menjaga kesehatannya. Demikian juga halnya dengan pendidikan orang tua yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan terhadap pentingnya menjaga kesehatan. Pengetahuan dan kesadaran ini nantinya akan menjadi nilai- nilai yang diajarkan kepada anggota keluarga yang lainnya. Dalam hal ini peneliti berasumsi bahwa orang tua responden mengetahui bahaya rokok namun belum mencapai taraf menanggapi atau sadar akan bahaya merokok. Hal ini didukung oleh pendapat Newcomb, yang dikutip Notoatmodjo (1993) salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesedian untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.

Hasil Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Ana Khoirurah (2010) yang menyatakan anak anak dari ayah yang mengenyam pendidikan lebih tinggi lebih kecil kemungkinannya untuk merokok dibanding anak-anak dari ayah yang hanya mengenyam pendidikan dasar. Ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ayah, semakin jarang anak mereka yang menjadi perokok. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa status sosial ekonomi, khususnya tingkat pendidikan sang ayah lebih berpengaruh terhadap perilaku remaja dibanding tingkat pendidikan sang ibu. Kondisi ini terjadi pada sebagian dari subyek yang mengikuti penelitian ini

Peneliti berasumsi bahwa kurangnya kesadaran orangtua mengenai bahaya merokok menyebabkan nilai nilai mengenai bahaya merokok kurang di perhatikan dan disampaikan. Hal ini di dukung pula dengan pengetahuan dan kesadaran ibu yang rendah.

Dari tabel 4.5 distribusi penghasilan orangtua responden memiliki penghasilan dibawah Rp 1.201.000,- sebanyak 39 responden (55,7%). Ini menunjukkan bahwa penghasilan orangtua responden belum memenuhi standart UMK yang telah ditetapkan oleh pemerintah kota Binjai. Sehingga penulis berasumsi bahwa keluarga menggunakan sebagian penghasilannya yang seharusnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dasar menjadi untuk membeli rokok. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaksanakan di delapan negara di Asia Tenggara yang menyatakan bahwa kaum miskin menghabiskan lebih banyak tembakau daripada mereka yang kaya. (Rafei, 2007)

5.2. Kebiasaan Keluarga

Sosialbudaya di dalam keluarga akan memengaruhi perilaku seseorang. Sosialbudaya merupakan kebiasaan, tata kelakuan, norma dan nilai yang terdapat di dalam keluarga yang membentuk perilaku anggota keluarga. Dapat dilihat juga dari tabel 4.6 bahwa hanya 12 responden (17,1%) yang tidak memiliki anggota keluarga perokok. Sebagian besar responden yaitu sebanyak 58 responden (82,9%) memiliki anggota keluarga perokok minimal 1 orang di dalam keluarganya. Hal ini sejalan dengan penelitian Purba (2009)

yang menyatakan bahwa ada hubungan antara ada atau tidak ada anggota keluarga responden yang merokok dengan kebiasaan merokoko di SMU Parulian 1 Medan. Hal ini sejalan dengan penelitian Zuliyyati (2003) Hampir di setiap keluarga siswa terdapat perokok, sebanyak 35 siswa (43,8%) mempunyai jumlah anggota keluarga perokok I orang, kemudian 28 siswa (35,0%) perokok 2 orang, kemudian 10 siswa (12,5%') perokok 3 orang, dan kemudian 5 siswa (6,39%) perokok 4 orang di keluarganya. Anggota keluarga perokok terbanyak adalah bapak (50%) disusul kakak (20,8%) dan semua orang dewasa merokok lainnya yang ada dalam keluarga (29,2%).

Dapat juga dilihat pada tabel 4.7 bahwa jumlah keluarga responden yang merokok sehabis makan sebanyak 49 responden (70,0%). Dari tabel 4.8 juga dapat dilihat bahwa keluarga responden yang memiliki kebiasaan merokok saat menonton televisi sebanyak 45 responden (64,3%). Sedangkan untuk jumlah keluarga responden yang merokok saat bersama keluarga dapat dilihat pada tabel 4.9 sebanyak 41 responden (58,6%) memiliki keluarga yang merokok saat bersama anggota keluarga lainnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ambarita (2010) memperoleh bahwa responden perokok memiliki orangtua/ saudara yang tidak merokok sebanyak 38,5% dan yang aktif merokok sebanyak 61,5%. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok diperoleh dari proses imitasi atau peniruan dimana dalam hal ini yang menjadi model yang perilakunya akan ditiru adalah orang tua/ saudara.

Bandura menyatakan dalam teori social learning bahwa perilaku model adalah sumber informasi bagi pihak pengamat. Dimana perilaku merupakan hasil dari interaksi terus menerus antara variable individu dan lingkungannya. Artinya proses imitasi dapat terjadi dikarenakan individu pengamat mengalami interaksi yang terus menerus dengan model yang dalam hal ini adalah orang tua/saudara yang merupakan perokok. Hal ini didukung oleh pernyataan Eggmose dalam Rochadi (2004) yang menyatakan bahwa perilaku merokok itu menular yaitu bila salah satu anggota keluarga merokok maka anggota keluarga yang lain akan ikut merokok. Menurut asumsi peneliti, terjadi proses imitasi melalui pengamatan yang cukup lama terhadap anggota keluarga yang merokok hingga responden mengadopsi perilaku merokok.

Pada tabel 4.10 dapat kita lihat bahwa sebanyak 61 responden (87,1%) tersedia asbak rokok dirumahnya. Peneliti berasumsi bahwa hal ini merupakan wujud permisif keluarga tersebut terhadap perilaku merokok. Artinya keluarga tersebut masih menyediakan fasilitas untuk para perokok, Hal ini dapat memicu timbulnya perilaku merokok dalam anggota keluarga tersebut. Hal ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Green dalam Notoadmodjo (2005) bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor yaitu :

1. Faktor predisposisi yaitu faktor faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, tradisi, dll.

2. Faktor pemungkin yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Dalam hal ini adalah tersedianya asbak rokok trsebut.

3. Faktor penguat adalah faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Sikap permisif orang tua yang ditunjukkan dari menyediakan asbak rokok dirumah merupakan salah satu faktor yang memperkuat terjadinya perilaku merokok tersebut.

Dari tabel 4.11 dapat dilihat kebiasaan tidur larut malam keluarga responden sebanyak 36 responden (51,4%) memiliki keluarga yang tidak tidur larut malam sebanyak 34 responden (48,6%) memiliki keluarga yang tidur larut malam. Kebiasaan tidur larut malam ini akan memberikan pengaruh terhadap perilaku merokok responden. Hal ini dikarenakan pada malam hari banyak iklan rokok yang ditayangkan. Sesuai dengan peraturan mengenai rokok PP No 19 Tahun 2003 Pasal 16 ayat 3 yang menyatakan bahwa iklan pada media elektronik hanya dapat dilakukan pada pukul 21.30 sampai dengan 05.00 waktu setempat. Tariana Ginting dalam penelitiannya menemukan bahwa iklan rokok berpengaruh terhadap pengetahuan siswa di SMP Swasta Dharma Bakti dalam hal ini iklan yang paling dominan adalah video/visual. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Komnas Anak dan Fakultas Ilmu Kesehatan Muhammadiyah dr Hamka dalam Kanal (2007) menyatakan bahwa 99,7% remaja terpajan iklan rokok di TV. 68,% remaja dapat menyebutkan lebih dari tiga selogan iklan rokok dan 50 remaja

percaya jika merokok dirinya seperti yang dicitrakan iklan rokok. Hasil penelitian ini didukung oleh Mu’tadin dalam Ginting (2011), bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku merokok pada remaja diantaranya:

a. Pengaruh Orang Tua

Orang tua sangat berpengaruh sekali dalam pembinaan perilaku anak- anaknya. Remaja akan mudah terpengaruh untuk berperilaku merokok jika melihat orang tua mereka merokok. Remaja yang berasal dari keluarga yang kurang bahagia, dimana orang tua tidak begitu memperhatikan anakanaknya juga dapat memicu remaja untuk berperilaku merokok, dibanding anak-anak muda yang berasal dari keluarga yang bahagia.

b. Pengaruh Teman

Semakin banyak remaja merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok dengan alasan agar remaja tersebut dapat diterima dilingkungannya dan tidak dikatakan banci oleh sebagian anak muda lainnya.

c. Faktor Kepribadian

Perilaku merokok pada remaja berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa perkembangannya, yaitu masa ketika mereka sedang mencari jati dirinya.

d. Pengaruh Iklan

Remaja akan mudah terpengaruh untuk berperilaku merokok jika melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran

bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour. Peneliti berasumsi, remaja yang memiliki keluarga yang sering begadang atau tidur larut malam akan lebih sering terpapar oleh iklan rokok yang memengaruhi persepsi remaja tersebut. Sehingga memiliki kemungkinan lebih besar untuk merokok. Wujud permisif anggota keluarga akan memengaruhi perilaku merokok remaja. Salah satu wujud permisif mengenai kebiasaan merokok di keluarga adalah tindakan orang tua menasehati jika ada anggota keluarga lain yang merokok di keluarga tersebut. Pada penelitian ini dapat kita lihat hasil pada tabel 4.13 bahwa terdapat 90 % orang tua responden akan menasihati responden jika merokok. hal ini merupakan wujud adanya sikap tidak setuju dari orang tua. Sehingga orang tua akan menasihati anaknya mengenai bahaya merokok itu sendiri.

Pada tabel 4.12 dapat kita lihat bahwa terdapat 33% anggota keluarga responden merokok jika ada masalah. Sementara sebanyak 37 % tidak merokok jika ada masalah. Asumsi peneliti bahwa perbedaan yang kecil membuktikan bahwa merokok memberikan efek psikologis terhadap keluarga responden. Hal ini didukung oleh pernyataan Laventhal dan Cleary yang menyatakan bahwa motif seseorang terbagi menjadi dua motif utama yaitu faktor psikologis dan faktor biologis. Adapun pembagian faktor psikologis adalah sebagai berikut :

Perilaku merokok menjadi sebuah perilaku yang harustetap dilakukan tanpa adanya motif yang bersifat negatif ataupun positif

2. Reaksi emosi yang positif

Merokok digunakan untuk menghasilkan emosi yang positif misalnya rasa senang, relaksasi dan kenikmatan rasa.

3. Reaksi penurunan emosi

Merokok ditujukan untuk mengurangi rasa tegang, kecemasan biasa, ataupun kecemasan yang timbul karena adanya interaksi dengan orang lain. Pada poin ini lah keluarga responden merokok untuk menghilangkan kecemasan dari masalah yang di hadapinya.

4. Alasan sosial

Merokok ditujukan untuk mengikuti kebiasaan kelompok, identifikasi dengan perokok lain, dan untuk menentukan image diri seseorang.

Dokumen terkait