• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. KAJIAN PENGARUH PENURUNAN KUALITAS MINYAK

1. Karakteristik Kimia Minyak

Bilangan peroksida merupakan metode yang paling luas digunakan untuk menentukan derajat oksidasi (Krishnamurthy dan Vernon, 1996; Blumethal, 1996). Bilangan peroksida ditentukan dengan metode titrasi iodometri dengan menggunakan kloroform-asam asetat sebagai pelarut dan KMnO4 sebagai titran (Pike, 1998). Oleh karena sifat yang sangat tidak stabil maka dalam penentuan bilangan peroksida diperlukan penanganan yang baik. Perubahan bilangan peroksida selama proses penggorengan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik perubahan bilangan peroksida selama proses penggorengan. y = -2.0755x2 + 16.356x - 8.9965 R2 = 0.9555 0 5 10 15 20 25 30 0 1 2 3 4 5 6 Penggorengan Ke-Kadar Peroksida (meq O

2

/100 g)

Berdasarkan Gambar 7, terlihat bahwa bilangan peroksida mengalami kenaikan sampai penggorengan 15 kemudian mengalami penurunan kembali pada penggorengan 20. Hal ini sesuai dengan teori bahwa grafik perubahan bilangan peroksida akan mengikuti persamaan kuadrat. Tren perubahan yang terbentuk akan membentuk kurva bukan garis linier. Menurut Blumethal (1996), pada proses penggorengan kadar peroksida akan mengalami kenaikan pada awal proses sampai titik tertentu kemudian akan mengalami penurunan. Penurunan ini disebabkan oleh proses degradasi lebih lanjut peroksida menjadi komponen lain karena peroksida merupakan komponen organik yang sangat tidak stabil. Proses degradasi peroksida ini sangat dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu maka proses degradasi peroksida akan semakin cepat. Proses degradasi lebih lanjut dari hidroperoksida dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9.

Gambar 8. Reaksi pemecahan hidroperoksida pada proses penggorengan. Keto-gliserida

polimer Diperoksida Oksidasi lebih lanjut

Asam-asam

Hidroperoksida

Oksidasi CH=CH pada molekul lain Dimer, polimer berbobot molekul

besar polimerisasi Epoksida OH-gliserida Di OH-gliserida Aldehid Semi-aldehid Aldehido-gleserida Komponen-OH Pemecahan dehidrasi

Gambar 9. Reaksi pemecahan hidroperoksida lemak. (Gillatt, 2001)

Krishnamurthy dan Vernon (1996) menambahkan bahwa peroksida akan hilang pada saat suhu penggorengan, tetapi terbentuk kembali pada saat proses pendinginan. Selain itu, metode penentuan bilangan peroksida terbentur dengan permasalahan lingkungan. Hal ini kerena dalam penentuan bilangan peroksida digunakan kloroform yang sangat berbahya bagi lingkungan. Oleh karena itu, bilangan peroksida merupakan tes standar untuk minyak baru (fresh oil) tetapi jarang digunakan pada penentuan kualitas minyak pada minyak yang digunakan pada proses penggorengan.

b. Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acids)

Asam lemak bebas mungkin merupakan sifat yang paling luas digunakan dalam mengontrol kualitas minyak. Asam lemak bebas merupakan hasil hidrolisis dari trigliserida. Pada saat minyak digunakan, pada awal proses asam lemak bebas dihasilkan melalui proses pemecahan oksidasi. Namun, pada tahap selanjutnya asam lemak bebas dihasilkan dari proses hidrolisis yang disebabkan karena adanya air (Krishnamurthy dan Vernon, 1996). Penentuan asam lemak bebas dilakukan dengan cara titimetri asam basa dengan menggunakan

RCHR O OH RO. R RCH+ ROH O R’CHO’ + R. RCHR + R OH RCH+ RH O RCHR + OH. O. RH. Alkohol primer Hidrokarbon Ketone Alkohol sekunder Aldehid

alkohol 95% netral sebagai pelarut asam lemak bebas dan NaOH sebagai titran (Pike, 1998). Perubahan bilangan asam lemak bebas selama proses penggorengan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Grafik perubahan kadar asam lemak bebas selama proses penggorengan.

Berdasarkan Gambar 10, terlihat bahwa kadar asam lemak bebas mengalami kenaikan dan penurunan selama proses penggorengan walaupun tetap membentuk garis lurus dengan koefisien regresi sebesar 0.9046. Pada awal penggorengan kenaikan kadar asam lemak bebas yang tidak terlalu tinggi, tetapi dari mulai penggorengan ke- 5 sampai 20 kenaikan kadar asam lemak bebas tinggi. Hal ini karena pada saat awal penggorengan, kadar air dalam minyak belum terlalu banyak, tetapi pada proses penggorengan selanjutnya kadar air pada minyak semakin bertambah. Keberadaan air pada minyak akan mempercepat proses hidrolisis dari minyak goreng (Mohamed Sulieman et al., 2001).

Blumethal (1996) menyatakan bahwa asam lemak bebas bukan merupakan indikator kualitas minyak yang digunakan dalam penggorengan yang tepat karena bersifat transien. Asam lemak bebas akan menguap melalui proses destilasi dan akan berubah menjadi asam lemak bebas teroksidasi. Lebih lanjut lagi Stier (2001) menambahkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara persen asam lemak bebas dengan kualitas minyak goreng yang telah digunakan. Selain itu, produk yang bagus dapat dihasilkan dari proses penggorengan yang menggunakan asam lemak bebas murni di dalam kondisi laboratorium.

y = 0.045x + 0.175 R² = 0.904 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 0.45 0 1 2 3 4 5 6 Ka da r AL B ( % ) Penggorengan ke-awal 5 10 15 20

Ketengikan pada minyak disebabkan oleh asam lemak berantai pendek. Asam lemak lemak bebas berantai pendek ini merupakan produk oksidasi lebih lanjut dari asam lemak bebas berantai panjang. Namun, pada saat penentuan kadar asam lemak bebas, tidak ada perbedaan antara asam yang terbentuk karena oksidasi dan hidrolisis (Mohamed Sulieman et al., 2001).

c. Total Polar Materials (TPM)

Secara alami minyak tersusun dari senyawa yang bersifat non-polar. Namun, pada kenyataannya pada minyak terdapat pula molekul-molekul polar. Hal ini karena adanya impurities dan senyawa-senyawa hasil degradsi dari minyak. Pada minyak goreng, komponen polar didefinisikan sebagai molekul-molekul yang hilang dalam kolom setelah elusi pertama pada saat minyak yang telah dipanaskan diuji dengan menggunakan kromatografi kolom silika gel (Pike, 1998). Komponen polar terdiri dari semua trigliserida yang teroksidasi secara parsial, senyawa non-trigliserida, lemak, dan bahan-bahan lain yang terlarut, teremulsifikasi, atau tersuspensi di dalam minyak. Impurities yang ada terdiri dari trigleserida teroksidasi, air, asam lemak bebas, mono dan digliserida, sterol, karotenoid, antioksidan, antifoamers, pencegah pembentukan kristal, dan bleaching earth (Blumethal, 1996). Perubahan nilai TPM selama proses penggorengan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Grafik perubahan nilai TPM selama proses penggorengan. y = 3.05x + 2.15 R2 = 0.9321 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 0 1 2 3 4 5 6 Penggorengan Ke- TP M ( % ) awal 5 10 15 20

Berdasarkan Gambar 11, terlihat bahwa nilai TPM akan mengalami kenaikan selama proses penggorengan. Perubahan nilai TPM selama proses penggorengan mengikuti persamaan garis linier dengan koefisien regresi sebesar 0.9321. Menurut Stier (2001), pada saat minyak mencapai suhu penggorengan dan produk dimasukkan maka proses konversi dari trigliseida akan mulai terjadi. Semakin lama proses penggorengan berlanjut minyak akan semakin rusak dan komponen polar pada minyak akan semakin bertambah. Oleh karena itu, komponen polar dapat dijadikan untuk menghitung degradasi total dari minyak goreng. Pokorny seperti yang dikutip oleh Blumethal (1996) telah mendemontrasikan bahwa peningkatan fraksi polar menghasilkan penurunan pada kualitas produk goreng.

Mohamed Sulieman et al., (2001) menyatakan bahwa komponen polar merupakan kriteria yang paling objektif dan paling dapat dipercaya di antara parameter fisik dan kimia untuk mengevaluasi kerusakan pada minyak pada saat sedang digunakan pada proses deep frying. Selain itu, penentuan komponen polar pada minyak bukan hanya berhubungan dengan kualitas produk goreng yang dihasilkan, tetapi berhubungan dengan kemanan produk yang dihasilkan. Berdasarkan percobaan yang dilakukan Billek et al. seperti dikutip oleh Fox (2001), hewan percobaan yang diberi makanan yang mengandung 20% komponen polar minyak selama 18 bulan mengalami penurunan dalam pertumbuhan dan peningkatan berat hati dan ginjal.

Oleh karena itu, simposium internasional ke-3 deep frying yang diselenggarakan pada tahun 2000 di Hagen, Westphalia, Jerman, merekomendasikan TPM (Total Polar Materials) sebagai uji yang harus dilakukan untuk menentukan kualitas minyak goreng. Pada simposium ini ditentukan nilai TPM maksimal sebesar 24%. Selain TPM, komponen polimer juga direkomendasikan sebagai parameter kualitas minyak dengan batas maksimal 12% (DGF, 2001).

Metode penentuan TPM secara konvensional membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang relatif mahal. Oleh karena itu, pada

saat sekarang banyak quick test komersial (Hawson, 1995). Pada penelitian ini digunakan alat TPM meter TESTO 265. Alat ini bekerja berdasarkan prinsip perubahan konstanta dielektrik yang dihubungkan dengan persen TPM. Namun, akan terdapat perbedaan nilai TPM antara pengukuran secara konvensional dan pengukuran dengan menggunakan alat TPM meter. Hal ini karena prinsip pengukuran dengan menggunakan TPM meter adalah mengukur konstanta dielektrik baik dari komponen polar maupun komponen non-polar, sedangkan pengukuran dengan metode kromatrografi memiliki prinsip kerja pemisahan komponen berdasarkan polaritasnya dengan menggunakan silika gel. Selain itu Keijbebets et al. (2001) menambahkan bahwa alat yang mengukur TPM berdasarkan konstanta dielektrik akan ada kesalahan. Hal ini karena alat tersebut terlalu sensitif terhadap kandungan air di dalam minyak. Lebih lanjut lagi Blumethal (1996) mengatakan bahwa teknik pengujian yang memanfaatkan sifat elektrikal dari minyak sangat dipengaruhi oleh suhu. Oleh karena itu, untuk memperkecil kesalahan tersebut, pada saat pengukuran minyak yang akan diukur nilai TPM-nya dipanaskan pada suhu penggorengan tanpa bahan yang digoreng selama 5-15 menit. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kadar air pada minyak. Pembacaan pun selalu dilakukan pada suhu penggorengan agar pengaruh suhu dapat diperkecil.

d. Bilangan Anisidin

Prinsip penentuan bilangan anisidin merupakan reaksi antara anisidin dengan α- dan β-aldehid tidak jenuh yang tidak volatil. Aldehid merupakan produk dekomposisi dari ALB teroksidasi. Aldehid-aldehid tersebut dapat digunakan sebagai sebuah tanda untuk menentukan berapa banyak komponen-komponen peroksida telah mulai terpecah (Stier, 2001). Sebenarnya bilangan anisidin pada awalnya dikenal dengan bilangan benzidin dengan menggunakan benzidin sebagai reagen. Namun karena benzidin bersifat karsinogenik, maka diganti dengan anisidin. bilangan anisidin ditentukan secara spektrofotometri

pada panjang gelombang 350 nm di dalam kuvet 1-cm. Perubahan bilangan anisidin selama penggorengan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Grafik perubahan bilangan anisidin selama penggorengan.

Berdasarkan Gambar 12, terlihat bahwa bilangan anisidin mengalami kenaikan selama proses penggorengan. Perubahan nilai bilangan anisidin mengikuti persamaan linier dengan koefisien regresi sebesar 0.9654.

2. Karakteristik Fisik Minyak

Dokumen terkait