Indonesia merupakan negara produsen dan sekaligus konsumen cengkeh terbesar di dunia karena sebagian besar cengkeh yang diproduksi adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pabrik rokok kretek.
Tanaman cengkeh (Syzygium aromaticum) di Indonesia lebih kurang 95% diusahakan oleh rakyat dalam bentuk perkebunan rakyat tersebar di seluruh propinsi. Cengkeh merupakan tanaman rempah yang termasuk komoditas sektor perkebunan yang mempunyai peranan cukup penting antara lain dalam menyumbang pendapatan petani dan sebagai sarana untuk pemerataan wilayah pembangunan serta turut serta dalam pelestarian sumber daya alam dan lingkungan (Ruchnayat 1997).
Sejak zaman dahulu cengkeh sudah banyak digunakan untuk berbagai keperluan yaitu sebagai bahan obat-obatan, penambah rasa dan aroma pada makanan ataupun minuman, kemudian berkembang menjadi bahan baku rokok kretek.
Indonesia merupakan penghasil cengkeh terbesar didunia setelah Madagaskar (Nurdjannah 1997).
Hasil utama tanaman cengkeh yaitu bunga dan daunnya sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun sehingga dikenal dengan adanya musim panen besar dan kecil yang perbedaannya hingga mencapai 60%. Hal ini menyebabkan pengadaan cengkeh dipasaran tidak stabil sedangkan penggunaan cengkeh untuk makanan, minuman dan obat-obatan relatif tetap. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut perlu adanya suatu teknik penganekaragaman hasil tanaman cengkeh agar ketersediaanya di pasaran tidak terhambat dan tidak merusak mutu hasil olahan cengkeh tersebut selama penyimpanan (Nurdjannah 1997).
Pengolahan cengkeh dilakukan dengan cara ekstraksi. Ekstraksi minyak dilakukan pada bagian bunga, tangkai bunga dan daunnya. Dari ketiga bagian tersebut yang paling ekonomis adalah ekstrak bagian daunnya. Oleh karena itu jenis minyak cengkeh yang umum diperjual belikan adalah minyak daun cengkeh ( clove leaf oil
Minyak daun cengkeh biasa diperoleh dari daun cengkeh yang sudah gugur. Komposisi minyak yang dihasilkan bervariasi tergantung dari keadaan daun serta cara destilasinya, minyak yang dihasilkan mengandung eugenol antara 80 – 88% dengan kadar eugenol asetat yang rendah tetapi kadar coryophyllene yang tinggi. Penyulingan daun dengan kadar air sekitar 7 – 12% yang dilakukan dalam tanki stainless steel volume 100 liter selama 8 jam, menghasilkan minyak dengan rendemen 3.5% dan total eugenol 76.8% (Nurdjannah et al. 1990).
Sumber ekstraksi minyak cengkeh diantaranya yaitu : (1) Bud oil berasal dari pucuk bunga dari S.aromaticum, terdiri dari 60-90% eugenol, eugenyl acetate, caryphyllene dan komponen lainnya dalam jumlah kecil, (2) Leaf oil berasal dari daun S.aromaticum, terdiri dari 82-88% eugenol, tidak terdeteksi adanya eugenyl acetate dan komponen lainnya dalam jumlah kecil, (3) Stem oil berasal dari ranting
S.aromaticum, terdiri dari 90-95% eugenol dan beberapa komponen lainnya dalam
jumlah kecil (Weiss 1997).
Cengkeh digunakan untuk keperluan sehari – hari rumah tangga sebagai penambah rasa dan aroma khususnya untuk memasak, produk makanan yang menggunakan cengkeh diantaranya adalah bumbu kare (curry powder), saus dan makanan yang dipanggang (baked foods) (Nurdjanah 1997).
Cengkeh dalam indutri rokok berguna untuk memberikan aroma pada kretek , memberikan rasa panas dan sifat mengkretek juga memberikan rasa menggigit, langu dan pahit. Cengkeh juga digunakan dalam industri obat karena cengkeh memiliki efek farmakologi, antimetik, antiseptik dan antipasmodik (Perry dan Metzger 1990).
KARAKTERISTIK GUM
Gum diklasifikasikan ke dalam tiga golongan besar yaitu gum alamiah, gum termodifikasi dan gum sintetik. Gum alamiah adalah gum yang merupakan hasil sekresi dari bagian kulit atau batang tanaman (Plant Exudation), berupa cairan yang kental dan akan menjadi padat jika dibiarkan dingin. Cairan ini akan keluar apabila kulit batang tanaman terluka, untuk mecegah terjadinya pengeringan pada jaringan dibawahnya. Gum yang diekstrak dari tanaman yang termasuk dalam genus Acacia,
antara lain adalah gum arabika (Acacia arabica) dan gum senegal (Acacia senegal) (Reineccius 1995).
Gum arabika merupakan polisakarida netral atau sedikit asam, biasanya terdapat dalam bentuk garam Ca, Mg dan K. Gum juga merupakan senyawa yang tidak dapat dicerna dan dapat digolongkan berdasarkan kelarutannya menjadi dua golongan besar yaitu gum yang larut air (hidrofilik) dan gum yang tidak larut air (hidrofobik). Gum yang hidrofilik dapat dilarutkan atau didispersikan dalam air panas atau air dingin untuk meningkatkan viskositas larutan (Bertolini 2001).
Gum arabika dapat digunakan untuk memperbaiki viskositas, tekstur dan bentuk dari makanan. Selain itu gum arabika dapat mempertahankan flavor dari makanan yang dikeringkan dengan menggunakan pengering semprot (spray drier). Hal ini disebabkan gum arabika dapat membentuk lapisan yang dapat melapisi partikel flavor, sehingga melindungi partikel flavor tersebut dari oksidasi, evaporasi dan absorpsi air dari udara terutama untuk produk produk yang higroskopis (Reineccius 2002).
Gum arabika merupakan senyawa kompleks hetero polisakarida yang terdiri dari L-arabinosa, L-rhamnosa, D-galaktosa dan D-asam glukoronat serta mengandung ion kalsium, magnesium dan kalium. Struktur utama molekulnya adalah unit unit1,3 galaktopiranosa dengan rantai cabang 1,6 galaktopiranosa sebagai pangkal bagi asam glukoronat atau 4-0-metil glukoronat (Krishnan et al. 2005).
Dalam industri pangan, gum arabika digunakan sebagai penstabil busa dalam minuman berkarbonasi, pengikat aroma dan juga sebagai penstabil dan pengemulsi dalam pembuatan es krim . Gum arabika termasuk dalam golongan GRAS (Generally
Recoqnized As Safe), tidak beracun dan tidak berbahaya untuk dikomsumsi manusia (Reineccius 2002).
ENKAPSULASI FLAVOR
Flavor didefinisikan oleh Dordland et al ( 1977), sebagai sensasi dari makanan
minuman dan seasoning yang dihasilkan dari ransangan terhadap indra pada saat makanan masuk ke dalam saluran makanan dan pernafasan, terutama untuk atribut rasa dan bau. Pohborn dan Rusell ( 1977), menyatakan bahwa perisa makanan merupakan kombinasi dari rasa, bau dan perasaan (taste, smell and mouthfeel). Hall (1968) menambahkan bahwa perisa makanan merupakan salah satu pertimbangan utama dari masyarakat untuk menerima suatu produk pangan, disamping penampakan dan teksturnya. Sedangkan menurut Lindsay (1985), perisa makanan didefinikan sebagai gabungan perpsepsi yang diterima oleh indra kita yaitu bau, rasa , penampakan, sentuhan dan bunyi saat kita mengkomsumsi makanan. Tiga sensasi yang ditimbulkan perisa makananpada indra kita adalah rasa, bau dan tekstur.
Menurut Burdock (1991), klasifikasi perisa makanan berdasarkan legal status adalah :
1. Natural merupakan senyawa –senyawa yang diekstrak dari bahan – bahan
yang terdapat dialam. Contohnya : vanilin , orange oil dan celery oil.
2. Natural Identical merupakan senyawa – senyawa yang dapat diekstrak atau
terdapat di alam, tetapi pada prosesnya dibuat secara kimia. Umumnya flavor yang dibuat dari bahan alam ini lebih murah dibandingkan dengan Natural. Suatu bahan disebut Natural Identical bila prosesnya dilakukan secara sintetis
kimiawi dan sedikitnya 99% sama dengan bahan aslinya. Contohnya : etil asetat dan lakton.
3. Artificial merupakan senyawa yang tidak terdapat di alam dan hanya dapat
dibuat melalui proses sintesis tetapi dapat memberikan efek flavor tertentu. Contohnya senyawa articial adalah ethyl vanillin yang mempunyai struktur dan perisa makanan yang hampir sama dengan vanilin tetapi sampai saat ini belum ditemukan secara alami.
Menurut Chee-Teck Tan (1995), bahan-bahan dasar perisa makanan biasanya mempunyai satu atau lebih sifat – sifat berikut (1) mempunyai konsentrasi tinggi (2) sangat volatil (3) dapat larut atau berinteraksi dengan air (4) mudah teroksidasi. Bahan – bahan penyusun perisa makanan biasanya dilarutkan dalam pelarut netral untuk memudahkan penggunaannya. Pelarut yang umumnya digunakan adalah air,
triacetin, etanol, minyak, propilen glikol, gliserol dan isopropanol.
Berdasarkan bentuk fisiknya perisa dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu bentuk cair (liquid flavourings), bentuk emulsi (emulsions), bentuk pasta atau padat (paste atau solid flavourings) dan bentuk powder kering (Winarno 2002).
Menurut Chee-Teck Tan (1995), teknologi yang banyak terlibat dalam pembuatan flavor untuk digunakan pada produk pangan antara lain (1) Pencampuran / compounding (2) Emulsi / mikroenkapsulasi (3) Mikro emulsi (4) Spray dring (5)
Spray chilling (6) Ekstruksi (7) Adsorpsi (8) Molecular inclusion (9) Coacervation
(10) Co-crystallization (11) Pembentukan liposom.
Pengeringan Semprot merupakan metode yang paling populer untuk membuat produk flavor bubuk dari flavor cair dan mengenkaspulasi flavor untuk mengontrol
pelepasannya. Pengeringan semprot melibatkan tiga tahapan : (1) Persiapan carrier
atau matriks pelindung, (2) Mencampur flavour ke dalam larutan carrier dan dihomogenisasi untuk membuat emulsi dan (3) Atomisasi emulsi ke dalam ruang pengering untuk menguapkan air dari fase air pada butiran emulsi (Winarno 2002).
Menurut Master (1979), pengeringan semprot adalah proses perubahan bahan dari bentuk cair ke bentuk partikel kering oleh suatu proses penyemprotan bahan kedalam medium kering dan panas. Sedangkan menurut Greenwald dan King (1981), produk kering yang dihasilkan dapat berupa tepung, butiran atau gumpalan, tergantung sifat fisik dan kimia bahan yang dikeringkan.
Menurut Onwulata (2005), tahapan-tahapan dalam pengeringan semprot adalah : (1) Persiapan larutan matriks pelindung (2) Pencampuran perisa pada larutan dan dibuat emulsi dengan proses homogenisasi (3) Proses atomisasi perisa emulsi dalam
dry chamber untuk menguapkan air dari fase air pada droplet emulsi. Prinsip kerja
pengeringan semprot adalah bahan dipompa ke dalam atomizer, proses ini mengasilkan partikel bahan berukuran kecil dan seragam. Partikel-partikel tersebut dikeringkan oleh udara pemanas yang berasal dari heater electric. Dalam chamber
pengering partikel mengalami proses pemanasan secara mendadak dan cepat sehingga dihasilkan bahan yang berbentuk bubuk, selanjutnya aliran udara panas akan membawa bubuk tersebut ke cyclon. Produk terpisah dari udara karena adanya gaya sentrifugal yang bekerja pada gerakan produk di cyclon, seperti terangkum pada Gambar 2 .
Gambar 2 Tahapan proses pengeringan semprot
Teknik enkapsulasi dengan metode pengeringan semprot ditujukan untuk mengkonversikan perisa cair atau produk cair menjadi perisa padat atau bubuk sekaligus mencegah kerusakan komponen perisa. Kerusakan komponen perisa dapat terjadi karena penguapan, oksidasi cahaya dan oksigen. Kerusakan ini pada akhirnya dapat menyebabkan off flavor. Enkaspulasi diharapkan dapat mencegah kerusakan perisa(Reinecius 1989). Tahap atomisasi R. Pengering Tahap :Evaporasi Siklon Scrubber Produk Tahap : Pemisahan produk dari
udara kering
Tahap 2 : kontak partikel udara
Menurut Food Science and Technology Comittee (2005), metode pengeringan semprot meliputi pendispersian bahan yang akan dilapisi ke dalam larutan pelapis dan penyemprotan larutan tersebut ke dalam udara panas. Saat terjadi kontak dengan udara panas, pelarut yang umumnya berupa air akan dilepaskan sehingga pemadatan pelapis dapat terjadi dengan pelapis atau penyalut atau bahan pelindung dapat dipecah dengan adanya panas, tekanan, proses pengadukan ataupun dengan melarutkannya dengan pelarut yang cocok sehingga kandungan bahan didalamnya akan terlepaskan (Takeoka 2001).
Selama proses enkapsulasi, setiap komponen perisa memiliki partikel emulsi yang berbeda serta memiliki perbedaan tekanan, titik didih , panas laten atau evaporasi, panas spesifik cairan dan tekanan. Beberapa komponen perisa dapat membentuk azeotrop dengan air pada emulsi. Karena komponen yang berbeda secara fisik, komponen perisa akan hilang beberapa derajat selama proses pengeringan semprot. Hal inilah yang menyebabkan produk hasil pengeringan semprot memiliki sedikit karakter aroma yang sedikit berbeda/ lebih lemah dibandingkan perisa aslinya (Winarno 2002).
Bahan pengisi seringkali dikombinasikan agar didapatkan semua sifat yang dibutuhkan dan lebih ekonomis. Kombinasi yang sering digunakan adalah antara gum arab dan maltodekstrin. Gum arabika adalah bahan pengisi yang memiliki viskositas yang tinggi. Gum arabika sering digunakan karena memiliki kemampuan emulsifikasinya dan kemampuan membentuk filmnya baik (Bhandari et al., 1992).
Bahan pengisi atau pelapis disebut juga sebagai kulit, dinding atau membran, dapat berasal dari film forming (pembuat lapisan tipis) polimer natural atau sintesis.
Memilih pelapis harus berdasarkan pada sifat kimia maupun fisik bahan aktif, bahan pelapis harus tidak larut dan tidak bereaksi dengan zat aktif. Ide dasar dari mikroenkaspulasi berasal dari sel, yaitu permeabilitas selektif membran sel memberikan perlindungan tehadap inti sel dari kondisi lingkungan yang berubah- ubah dan berperan dalam pengaturan metabolisme sel (Reineccius 2002). Mikroenkapsulasi yang berkembang saat ini menggunakan prinsip yang sama untuk melindungi bahan aktif dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung.
Dua jenis struktur utama dari mikroenkapsulasi adalah satu inti (single core) dan banyak inti (multiple core) pada bagian dindingnya seperti telihat pada Gambar 3. Mikroenkapsulasi dengan satu inti biasanaya diproduksi dengan cara coacervation, droplet co-extrusion dan pemasukan molekul. Mikroenkapsulasi dengan struktur banyak inti dibagian dindingnya umumnya diproduksi dengan menggunakan teknik pengeringan semprot. Bahan inti tersebar secara merata di bagian dinding dan bagian tengah mikrokapsul biasanya berupa rongga kosong yang dihasilkan dari pemuaian selama tahap –tahap pengeringan akhir ( Reineccius 2002).
Keuntungan pembuatan perisa powder terenkapsulasi yang dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan pengering semprot adalah sebagai berikut: (1) Kekuatan dan kualitas perisa bertahan cukup lama selama penyimpanan, (2) Bersifat tidak mudah menguap karena material perisa berada dalam lapisan tertutup yang melindunginya dari penguapan dan perubahan oksidatif, (3) Ketika dilakukan pencampuran dengan air, kapsul menjadi pecah dan membebaskan perisa dalam bentuk awan mikrokospik , (4) Memiliki Aw yang rendah (0.2 – 0.3), (5) Produk menjadi kering tanpa menyentuh permukaan logamyang panas, suhu produk akhir rendah walaupun udara pengering yang digunakan relatif tinggi, (6) Mempermudah penanganan /handling dan transportasi dan (7) Waktu pengeringan yang singkat sehingga cocok diterapkan pada bahan yang mudah rusak apabila dipanaskan dalam waktu yang relative lama (Onwulata 1996).
Kriteria keberhasilan suatu bahan yang diproses dengan metode pengeringan semprot tersebut adalah mempunyai rasa, bau dan penampakan yang sebanding dengan produk segar atau produk- produk yang telah diolah dengan cara lain, dapat direkonstruksi dengan mudah, masih mempunyai nilai gizi yang tinggi dan harus mempunyai stabilitas penyimpanan yang baik (Suratmi 1993).
Selain keuntungan diatas pengeringan semprot juga mempunyai kekurangan yaitu biaya operasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan alat pengeringan yang lain dan produk hasil pangan semprot ini cenderung bersifat higroskopis yang akan menurunkan mutu selama penyimpanan jika proses pengemasan kurang baik (Onwulata 1996).
UMUR SIMPAN
Umur simpan atau masa kadaluwarsa (shelf life) didefinisikan oleh Ellis (1994) sebagai waktu antara saat produk di produksi dan dikemas, sampai saat produk tidak dapat diterima lagi pada kondisi lingkungan dimana produk tersebut digunakan.
Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible (tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil rekasi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Selanjutnya ditambahkan bahwa pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.
Menurut Institute of Food of Technology seperti dikutip Arpah (2001), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat komsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. Menurut Arpah (2001), umur simpan adalah waktu hingga produk mengalami penurunan mutu. Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriosas /penurunan mutu. Reaksi deteriosasi merupakan suatu reaksi kimia, oleh karena itu mekanisme deteriosasi dapat dianalisa secara matematika. Dengan analisa tersebut, waktu produk pangan mulai rusak dapat diketahui sehingga umur simpan produk pangan dapat ditentukan.
Menurut Labuza (1982), seharusnya konsumen memperoleh informasi tentang umur simpan dari produk yang dikomsumsinya. Informasi tersebut dapat berupa tanggal pada saat produk diproduksi (pack date), tanggal apda saat produk diletakan di toko (display date), tanggal terakhir yang dianjurkan bagi konsumen untuk membeli produk tersebut sehingga masih mempunyai jangka waktu untuk mengkomsumsinya, tanpa produk tersebut mulai mengalami kerusakan (pull date
atau sell by date) atau tanggal pada saat kualitas produk sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen ( use by date atau expiration date).
Dibeberapa negara maju telah ditetapkan peraturan bahwa produk makanan harus menetapkan tanggal minimum yang menunjukan produk tersebut mulai rusak.
The best before merupakan tanggal yang menunjukan jangka waktu minimum dari
produk diproduksi sampai produk sudah tidak dapat diterima lagi secara fisik dan kualitasnya. Sedangkan use by merupakan tanggal yang menunjukan jangka waktu minimum dari produk diproduksi sampai mengalami kerusakan mikrobiologis yang berbahaya bagi kesehatan (Ellis 1994).
Syarief dan Halid (1993), menyatakan bahwa perubahan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut, oleh karenanya dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut. Menurut Syarief et al. (1989) faktor –faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah sebagai berikut :
1. Keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik.
2. Ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume.
3. Kondisi atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama masa transit dan sebelum digunakan.
4. Kemasan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau, termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat.
Penentuan umur simpan produk pangan merupakan suatu jaminan mutu industri pangan bahwa produk pangan yang bermutu baik saja yang didistribusikan ke konsumen. Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS) atau metode konvesional dan Accelerated Storage Studies (AAS) atau metode akselerasi.
Penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan penurunan mutunya. Metode akselerasi diterapkan pada produk pangan dengan memvariasikan kondisi kelembaban relative
(RH), suhu, atau intensitas cahaya, baik secara sendiri- sendiri maupun gabungannya. Keuntungan metode ini adalah memerlukan waktu yang relative singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi (Floros 1993).
PERKIRAAN UMUR SIMPAN BERDASARKAN PERUBAHAN KADAR AIR.
Kerusakan produk pangan dapat disebabkan oleh adanya penyerapan air oleh produk pangan selama penyimpanan. Produk pangan yang dapat mengalami
kerusakan seperti ini diantaranya adalah produk kering seperti makanan ringan, biskuit, krupuk, permen dan sebagainya. Kerusakan produk dapat diamati dari penurunan kekerasan dan kerenyahan dan/atau peningkatan kelengketan atau penggumpalan (Kusnandar 2010).
Produk pangan yang mengandung kadar sukrosa tinggi seperti permen, umumnya bersifat higrokopis dan mudah mengalami penurunan mutu selama penyimpanan yang disebabkan oleh terjadinya penyerapan air. Umur simpan produk seperti ini akan ditentukan oleh seberapa mudah uap air dapat bermigrasi ke dalam produk selama penyimpanan dengan menembus kemasan. Semakin besar perbedaan antara kelembaban relatif lingkungan penyimpanan dibandingkan dengan kadar air produk pangan, maka air akan semakin mudah bermigrasi (Hariyadi 2004).
Laju penyerapan air oleh produk pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh tekanan uap air murni pada suhu udara tertentu, permeabilitas uap air, dan luasan kemasan yang diguanakan, kadar air awal produk, berat kering awal produk , kadar air kritis, kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan dan slope kurva isotermis sorpsi air. Faktor - faktor tersebut diformulasikan oleh Labuza dan Schmidl (1985) menjadi model matematika seperti pada persamaan matematika dan digunakan sebagai model untuk menduga umur simpan. Model matematika ini dapat diterapkan khususnya untuk produk pangan kering yang memiliki kurva isoterm sorpsi air (ISA) berbentuk sigmoid (Kusnandar 2010).
Menurut Labuza dan Schmidl (1985), pengujian akselerasi dapat diaplikasikan pada produk kering jika secara berkesinambunagn kadar air produk berubah selama penyimpanan dan jika kecepata kerusakan hanya tergantung pada kadar air dan suhu.
Metode ini didasarkan kepada kecepatan kerusakan dengan perlakuan produk pada kelembaban relatif (RH) dan suhu tinggi. Untuk melakukan percobaan dengan benar, perkiraan kriteria mutu produk harus cocok dan mewakili secara keseluruhan. Peningkatan kadar air pada produk kering dapat menyebabkan beberapa tipe kerusakan dinatarnya kehilangan kerenyahan, pengerasan dan penggumpalan.
Selanjutnya Labuza dan Schmidl (1985), menambahkan bahwa penelitian tentang umur simpan dapat dilakukan pada kondisi dipercepat (akselerasi), yang selanjutnya dapat digunakan untuk memperkirakan umur simpan pada suhu rendah. Kondisi akselerasi dapat dilakukan dengan mengkondisikan bahan pada suhu dan RH yang tinggi sehingga kadar air kritis lebih cepat tercapai daripada kondisi normal atau kondisi penyimpanan pada suhu rendah. Metode akselerasi ini dilakukan hanya untuk mempercepat proses perkiraan umur simpan sedangkan pengamatan pada kondisi normal tetap dilakukan sebagai kontrol.
Labuza (1982), menyatakan bahwa pertambahan atau kehilangan air dari suatu bahan pangan pada suhu dan kelembaban (RH) yang konstan dapat dihitung dengan persamaan berikut :
Dw/ Dθ = k A (Pout – P in) x
Keterangan :
dW / dθ = jumlah air yang bertambah atau berkurang per hari (g) k = Permeabilitas kemasan (g H2
A = Luas Permukaan kemasan (m)
O/hari,mmHg) P out = Tekanan uap air diluar kemasan (mmHg) P in = Tekanan uap air dalam kemasan (mmHg)
Lebih lanjut Labuza (1982), menambahkan bahwa dengan meningkatnya suhu dan kelembaban udara pada kondisi penyimpanan bahan pangan kering yang disimpan dalam kemasan, dapat mengakibatkan meningkatnya kadar air pada bahan pangan tersebut sampai mencapai kondisi yang tidak diinginkan. Kondisi suhu dan kelembaban udara yang tinggi dapat digunakan untuk mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan atau disebut dengan metode akselerasi.
Faktor – faktor yang dibutuhkan untuk memperkirakan umur simpan suatu bahan pangan kering yang dikemas adalah sebagai berikut :
1. Kurva isoterm sorpsi air
Kurva sorpsi isothermis ini diasumsikan sebagai garis linier dengan persamaan sebagai berikut :
m = ba + c Keterangan :
m = Kadar air bahan (%bk) a = aktivitas air
b = slope kurva c = intersep kurva
Secara alami, produk pangan ada yang bersifat mneyerap air atau melepaskan air, yang dapat digambarkan dalam kurva isotermis, yaitu kurva yang menunjukan hubungan antara kadar air bahan pangan (Me) dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang penyimpanan (RHs) atau aktivitas air pada suhu tertentu. Istilah sorpsi air dipakai untuk penggabungan air ke dalam bahan pangan, sedangkan