• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setelah dilakukan proses degumming minyak biji karet, maka selanjutnya minyak dianalisis sifat fisiko-kimianya untuk mengetahui karakteristik awal minyak sebelum diolah lebih lanjut. Hasil karakterisasi minyak biji karet setelah dilakukan proses degumming dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini.

Tabel 10. Sifat Fisikokimia Minyak Biji Karet Hasil Ekstraksi dan Degumming

Parameter Nilai

Kadar Air [% berat] 0,18

Viskositas Kinematik pada 40oC [Cst] 23,31

Densitas pada 25oC [g/ml] 0,896

Bilangan Asam [mg KOH/gram sampel] 22,22

FFA [%] 11,06

Bilangan Penyabunan [mg KOH/g sampel] 203,33

Bilangan Ester Teoritis [mg KOH/g sampel] 181,11

Bilangan Iod [g I2/ 100 g] 139,30

Bilangan Peroksida 24,85

Kadar air merupakan parameter penting dalam penentuan kualitas suatu minyak, termasuk juga minyak biji karet. Kadar air yang tinggi dalam minyak biji karet dapat mendorong terjadinya proses hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air dalam minyak biji karet setelah di-degumming sebesar 0,18 % (b/b), lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air minyak biji karet yang diperoleh oleh Silam (1998), yaitu sebesar 0,09 %. Namun, jika dibandingkan dengan minyak setelah diekstraksi, diketahui bahwa kadar air minyak yang dihasilkan dalam penelitian ini telah mengalami penurunan, dimana nilainya jauh di bawah nilai yang dinyatakan oleh Ketaren (1986), bahwa kadar air minyak atau lemak yang dihasilkan dari proses ekstraksi mekanis minyak, yakni

berkisar antara 2,5-3,5 %. Perbedaan kadar air dalam minyak disebabkan oleh perbedaan penanganan pasca panen terhadap biji karet. Perlakuan pasca panen seperti penngeringan terhadap biji karet sebelum proses ekstraksi dapat menurunkan kandungan air di dalam minyak biji karet. Kandungan air yang rendah dalam minyak tentu sangat menguntungkan, karena air merupakan senyawa yang berperan dalam reaksi kerusakan minyak akibat hidrolisis, sehingga dengan kadar air yang rendah diharapkan reaksi hidrolisis berjalan lambat.

Bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah miligram basa yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak/lemak. Asam lemak bebas ini merupakan produk hidrolisis dari trigliserida. Nilai bilangan asam digunakan untuk menentukan kualitas minyak/lemak. Semakin tinggi bilangan asam yang terkandung dalam minyak, semakin tinggi pula tingkat kerusakan minyak tersebut (Ketaren, 1986). Bilangan asam yang dimiliki oleh minyak biji karet dalam penelitian ini adalah 22,22 mg KOH/g sampel. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan bilangan asam minyak biji karet hasil penelitian Silam (1998) dan Aliem (2008), yakni masing-masing sebesar 9,92 dan 0,37 mg KOH/g sampel. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan air di dalam minyak biji karet. Semakin tinggi kandungan air di dalam minyak dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya proses hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Selain itu, kondisi penyimpanan minyak yang berbeda menyebabkan perbedaan nilai bilangan asam tersebut. Minyak yang dibiarkan kontak dengan udara dan logam seperti besi akan menyebabkan terjadinya proses oksidasi minyak, sehingga menghasilkan asam-asam berantai pendek, akibatnya akan meningkatkan nilai bilangan asam.

Asam lemak bebas merupakan produk hidrolisis trigliserida. Reaksi ini terjadi karena hadirnya molekul air. Reaksi ini tidak terjadi secara sederhana, akan tetapi bertahap dan dapat balik (reversible). Proses hidrolisis dapat dipercepat dengan adanya suhu tinggi. Reaksi ini menghasilkan asam lemak bebas dan molekul gliserol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai persen FFA minyak biji karet sebesar 11,06 %. Nilai ini lebih besar dari hasil yang

diperoleh oleh Silam (1998) dan Aliem (2008), yakni masing-masing sebesar 4,91 % dan 0,18 %. Persen FFA diperoleh dari hasil konversi bilangan asam dibagi dengan faktor konversi untuk asam linoleat, yaitu sebesar 2,01 (Sudarmadji et al., 1989). Hal ini disebabkan karena asam linoleat merupakan asam lemak paling tinggi yang terdapat pada minyak biji karet. Perbedaan nilai persen FFA dipengaruhi oleh kandungan air dalam minyak dan kondisi penyimpanan minyak.

Bilangan penyabunan merupakan jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Proses penyabunan dapat terjadi karena adanya reaksi antara 3 molekul KOH dengan trigliserida menghasilkan gliserol dan sabun. Bilangan penyabunan berhubungan dengan bobot molekul minyak. Minyak yang memiliki bobot molekul lebih tinggi akan memilki bilangan penyabunan yang lebih rendah, sebaliknya minyak yang memiliki bobot molekul yang rendah akan memiliki bilangan penyabunan yang tinggi (Ketaren, 1986). Nilai bilangan penyabunan minyak biji karet menunjukkan bahwa minyak biji karet terdiri dari senyawa- senyawa yang memiliki gugus reaktif (gugus karboksil dan gugus ester), seperti gliserida, asam lemak bebas, dan asam-asam organik (Sonntag, 1982). Hasil penelitian menunjukkan bilangan penyabunan minyak biji karet yang diperoleh, yakni sebesar 203. 33 mg KOH/g sampel. Hasil ini lebih tinggi dari yang diperoleh oleh Aliem (2008), yakni sebesar 200,10 mg KOH/g sampel. Namun, hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Silam (1998), yakni sebesar 206,48 mg KOH/g sampel. Perbedaan tersebut disebabkan oleh kondisi minyak yang digunakan dan perbedaan pengolahan minyak yang digunakan.

Pengukuran bilangan ester minyak menunjukkan banyaknya kandungan ester teoritis di dalam minyak biji karet. Bilangan ester teoritis dihitung dari hasil pengurangan bilangan penyabunan dengan bilangan asam (Ketaren, 1986). Meskipun tidak menunjukkan kuantitas senyawa ester yang sebenarnya, tetapi secara teoritis, bilangan ini dapat memperkirakan jumlah asam organik yang bersenyawa sebagai ester. Berdasarkan hasil pengukuran

bilangan asam dan bilangan penyabunan, bilangan ester minyak biji karet adalah 181,11 mg KOH/g sampel.

Bilangan iod menunjukkan ukuran ketidakjenuhan atau banyaknya ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang menyusun gliserida dari suatu minyak atau lemak. Bilangan iod adalah jumlah (gram) iod yang dapat diikat oleh 100 gram minyak. Jumlah ikatan rangkap yang semakin banyak ditunjukkan oleh bilangan iod yang tinggi. Penentuan bilangan iod berdasarkan atas prinsip titrasi. Gliserida tidak jenuh suatu minyak atau lemak mempunyai kemampuan mengabsorbsi sejumlah iod sehingga membentuk suatu senyawa yang jenuh. Untuk mengetahui jumlah iod yang diabsorbsi oleh minyak, kelebihan tersebut dititrasi menggunakan natrium tiosulfat (Hamilton & Rossel, 1987).

Nilai bilangan iod merupakan parameter mutu minyak yang penting, karena digunakan untuk menyatakan derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk menggolongkan jenis minyak pengering dan minyak bukan pengering. Minyak pengering mempunyai bilangan iod yang lebih dari 130, sedangkan minyak yang mempunyai bilangan iod antara 100-130 bersifat setengah mengering (Djatmiko dan Widjaja, 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai biangan iod minyak biji karet yang diperoleh, yakni sebesar 139,30. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh Silam (1998) dan Aliem (2008), yakni masing-masing sebesar 139,55 dan 140,06 g I2/100 g.

Berdasarkan hasil penelitian, karena bilangan iod yang diperoleh lebih dari 130 maka minyak biji karet termasuk dalam minyak mengering (dry oil).

Bilangan peroksida merupakan nilai terpenting untuk menunjukkan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Bilangan peroksida ini ditentukan dengan metode iodometri. Menurut Bailey (1950), peroksida merupakan hasil proses oksidasi terhadap minyak, pada proses ini terjadi penambahan molekul oksigen pada ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh. Peroksida tersebut selanjutnya akan mendorong terjadinya proses oksidasi minyak lebih lanjut sehingga dihasilkan senyawa yang lebih

sederhana seperti aldehida, keton dan asam-asam lemak dengan berat molekul lebih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bilangan peroksida minyak biji karet, yakni sebesar 24,85. hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Aliem (2008), yakni sebesar 38,55. Namun, hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Silam (1998), yakni sebesar 9,93. Oleh karena minyak biji karet tidak digunakan sebagai minyak makan, maka bilangan peroksida tidak menjadi parameter mutu yang terlalu penting. Namun demikian, minyak dengan bilangan peroksida yang rendah lebih baik daripada minyak dengan bilangan peroksida yang tinggi, karena akan relatif lebih tahan lama terhadap kerusakan.

Viskositas dan densitas minyak biji karet dalam penelitian ini, yakni masing-masing sebesar 23,31 cSt dan 0,98 g/ml. Viskositas dan densitas yang tinggi merupakan alasan utama mengapa minyak nabati tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar mesin diesel. Viskositas yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya alat injeksi mesin kendaraan dan cenderung menghasilkan deposit pada tangki pembakaran (Knothe, 2004). Oleh karena itu, minyak/lemak nabati (termasuk minyak biji karet) harus diproses lebih lanjut sampai diperoleh nilai viskositas dan densitas yang memenuhi standar bahan bakar, sehingga penggunaannya sebagai bahan bakar dapat diaplikasikan.

Dokumen terkait