KARET (Hevea brasiliensis) MELALUI PROSES ESTRANS (ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI)
Oleh:
MUHAMMAD YUSUF MF F 34104040
2010
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
Transesterifikasi). Di bawah bimbingan Khaswar Syamsu dan Ono Suparno. 2010.
RINGKASAN
Biodiesel merupakan senyawa alkil ester yang dapat digunakan pada mesin diesel yang berasal dari turunan minyak/lemak nabati dan hewani. Salah satu jenis minyak nabati yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan biodiesel adalah minyak biji karet. Namun, mengingat kandungan asam lemak bebas di dalam minyak biji karet yang tinggi, maka proses pembuatan biodiesel dari minyak biji karet lebih efektif dan efisien dilakukan dengan proses estrans, yaitu proses dua tahap reaksi Esterifikasi-Transesterifikasi dengan penggunaan katalis yang sesuai.
Tujuan penelitian ini secara umum ialah sebagai salah satu upaya untuk memanfaatkan biji karet yang selama ini masih belum optimal pemanfaatannya. Sedangkan tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : [1] Memperoleh kondisi terpilih proses estrans pengolahan minyak biji karet menjadi biodiesel, dan [2] Mengetahui karakteristik biodiesel minyak biji karet hasil proses estrans terpilih dan perbandingannya dengan standar biodiesel yang telah ditetapkan.
Hasil analisis proksimat biji karet menunjukkan bahwa kadar lemak yang terkandung dalam biji karet cukup tinggi, yakni sebesar 38,65 % (berat kering) dan hasil rendemen minyak setelah diekstraksi diketahui rata-rata sebesar 15,69 %. Karakteristik minyak biji karet setelah dilakukan proses degumming, diketahui bahwa nilai viskositas kinematik minyak pada suhu 40 oC, densitas minyak pada suhu 25 oC, dan bilangan asam minyak cukup tinggi, yakni masing-masing sebesar 23,31 cSt, 0,896 g/ml, dan 22,22 mg KOH/g sampel. Oleh karena itu, minyak biji karet belum dapat digunakan secara langsung sebagai bahan bakar karena tingginya nilai dari ketiga parameter ini. Untuk itu perlu dilakukan proses estrans minyak biji karet sehingga dihasilkan biodiesel (metil ester) yang meemenuhi standar dan dapat digunakan sebagai bahan bakar.
Berdasarkan hasil proses estrans minyak biji karet menjadi biodiesel, diketahui bahwa kondisi perlakuan reaksi esterifikasi terpilih, yaitu pada perlakuan A1B2C3(Konsentrasi HCl 1 %, Waktu Reaksi 120 menit, dan Rasio Mol Metanol : Minyak = 20 : 1), dimana bilangan asam yang dihasilkan sudah memenuhi standar, yakni sebesar 0,32 mg KOH/g sampel. Sedangkan kondisi perlakukan terpilih pada reaksi transesterifikasi adalah perlakuan A1B2 (Waktu Reaksi 30 menit dan Rasio Mol Metanol : Minyak = 6 : 1), dimana nilai viskositas kinematik pada suhu 40 oC sebesar 4,77 cSt,, rendemen biodiesel sebesar 74,51 %, dan bilangan asam sebesar 0,22 mg KOH/g sampel.
Berdasarkan hasil karakteristik biodiesel, jika dibandingkan dengan standar biodiesel, maka kualitas biodiesel yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah sesuai dengan standar biodisel untuk parameter viskositas kinematik, densitas, bilangan asam, dan titik nyala (flash point).
(Esterification-Transesterification) Process. Supervised by Khaswar Syamsu and Ono Suparno.2010.
SUMMARY
Biodiesel is alkyl ester produced from of vegetable, animal or fat oil derivate which could be used in diesel machine. One of the materials that can be used in making biodiesel is rubber seed oil. In order to influence the effective and efficient of biodiesel production, the process held in two steps esterification-transesterification with the appropriate catalyst. The process had to be held in two step because of the high concentration of free fatty acid in rubber seed oil.
The general purpose of this research was to add the utilization of rubber seed oil. The particular purposes of this research were to obtain the opted esterification-transesterification process from rubber seed oil and to know the characteristic of biodiesel produced from rubber seed oil esterification-transesterification process and compare it with the obtained biodiesel standard.
The result of proximate analysis of rubber seed showed that fat concentration in rubber seed was high enough about 38.65 % (dry basis) and the mean of rubber seed oil yield after extraction was 15.69 %. The characteristics of rubber seed oil after degumming were; cinematic viscosity at 40 oC was 23.31 cSt, the oil density at 25 oC was 0.896 g/ml and fatty acid value was 22.22 mg KOH/g of sample. Moreover, the oil could not be used directly as biodiesel because of three parameter values were higher than the standard. Therefore, the Esterification-Transesterification process must be carried out, so biodiesel that produced could fulfill the standard and could be used as fuel.
Based on biodiesel production of rubber seed oil through Esterification-Transesterification could be known that the opted condition of esterification process was at A1B2C3 (HCl 1 %, reaction time 120 minutes, and mole ratio of methanol: oil = 20:1), fatty acid value was 0.32 mg KOH/g sample. The opted condition of transesterification was at A1B2 (reaction time 30 minutes and mole ratio of methanol:oil = 6:1), cinematic viscosity at 40 oC was 4.77 cSt, yield of biodiesel was about 74.51 %, and fatty acid value was 0.22 mg KOH/g of sample.
Based on biodiesel characterization, the biodiesel quality produced in this research was appropriate with the standard of biodiesel for cinematic viscosity, density, fatty acid number, and flash point.
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Sintesis dan Karakterisasi Biodiesel dari Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Melalui Proses Estrans (Esterifikasi-Transesterifikasi)” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Februari 2010 Yang membuat pernyataan,
(ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh
MUHAMMAD YUSUF MF F 34104040
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
( ) Melalui Proses Estrans (Esterifikasi-Transesterifikasi)
Nama : Muhammad Yusuf MF NIM : F34104040
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen P embimbing II
Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M. Sc Dr. Ono Suparno S. TP, M.T NIP : 19630817 198803 1 003 NIP : 19721203199702 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP : 19621009 198903 2 001
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 10 Juli 1986. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara, putra dari pasangan M. Fahri MS dan Zamanniah. Penulis memulai pendidikannya di SD N 194 Jambi (1992-1998). Kemudian Penulis melanjutkan pendidikannya di SLTP N 1 Jambi (1998-2001) dan SMU N 2 Jambi (2001-2004). Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) di Fakultas Teknologi Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian.
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis pernah menjadi Asisiten Praktikum pada mata kuliah Teknologi Pengemasan, Distribusi, dan Transportasi tahun 2006, serta Asisten Praktikum Bioproses pada tahun 2008. Penulis juga aktif dalam berbagai keorganisasian dan kepanitiaan. Beberapa organisasi yang pernah diikuti oleh penulis adalah Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai staff Departemen Kewirausahaan, Forum Bina Islami Fateta (FBI-F) sebagai staff Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia, Himpunan Mahasiswa Jambi (HIMAJA), dan Unit Kebun Mahasiswa Agrifarma. Sedangkan beberapa kepanitiaan kegiatan yang pernah diikuti oleh penulis adalah Training Unit Kebun Mahasiswa Agrifarma tahun 2005-2006, Masa Pengenalan Fakultas Teknologi Pertanian (MPF) tahun 2006, dan Hari Warga Industri (HAGATRI) tahun 2006.
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dan dapat menyusun laporan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.
Skripsi dengan judul “Sintesis dan Karakterisasi Biodiesel dari Minyak Biji Karet (Hevea brasiliensis) Melalui Proses Estrans (Esterifikasi-Transesterifikasi)” disusun dalam rangka untuk memenuhi persyaratan ujian Strata-1 dan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian-IPB.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini, Penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan penuh ketakziman penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M. Sc, Selaku Dosen pembimbing Skripsi I yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran selama pelaksanaan perkuliahan hingga skripsi ini terselesaikan.
2. Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T, Selaku Dosen pembimbing Skripsi II yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran selama pelaksanaan penelitian hingga skripsi ini terselesaikan.
3. Prayoga Suryadarma, S.TP., MT, sebagai dosen penguji yang telah memberikan banyak saran dan masukan bagi kesempurnaan skripsi ini. 4. Ayah, Ibu, Nenek, Kakak-kakakku tercinta (Agustini, Nurasiah,
Firmansyah, Wahyu Firdaus, dan Siti Masita) dan seluruh keluargaku yang selalu mencintai dan menyayangi Penulis, yang selalu memberikan motivasi, kasih sayang, dukungan, dan do’a dengan sepenuh hati dan tak henti-hentinya.
5. Staf UPT Departemen dan BAAK Fakultas yang telah membantu Penulis mengurus administrasi dan kelengkapan kelulusan lainnya.
v Dramaga-Bogor atas kebersamaan dan keceriaannya.
8. Teman-teman satu Bimbingan Ademik (Yayan, Yuyun, dan Dika) atas kebersamaan dan pengertiannya.
9. Seluruh teman-teman TIN 41 seperjuangan yang telah berjuang bersama-sama di almamater IPB untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. 10.Pihak-pihak lain yang telah berjasa dan tidak dapat disebut satu persatu
yang telah senantiasa mendukung penulis hingga saat ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan saran yang membangun, senantiasa Penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya dan menambah wawasan bagi yang membacanya. Amin.
Bogor, Februari 2010
vi Halaman
RIWAYAT HIDUP... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR... ix
DAFTAR LAMPIRAN... x
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 1
B. TUJUAN... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN KARET... 6
B. BIJI BUAH KARET... 7
C. MINYAK BIJI KARET... 8
D. ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI... 9
E. BIODIESEL………... 13
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT... 17
B. METODE PENELITIAN... 17
C. RANCANGAN PERCOBAAN... 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN BAKU... 26
1. Persentase Bagian-Bagian Biji Karet... 26
2. Komposisi Kimia Daging Biji Karet... 27
3. Ektraksi Minyak Biji Karet... 29
4. Degumming Minyak Biji Karet... 30
B. KARAKTERISTIK MINYAK BIJI KARET... 32
C. PENELITIAN UTAMA... 36
1. Esterifikasi... 37
vii V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN... 49
B. SARAN... 50
DAFTAR PUSTAKA... 51
viii Halaman Tabel 1. Tumbuhan penghasil biodiesel yang dapat dikembangkan di
Indonesia... 3 Tabel 2. Luas areal tanaman karet seluruh Indonesia menurut
pengusahaan... 7 Tabel 3. Komposisi kimia daging biji karet... 8 Tabel 4. Komposisi asam-asam lemak di dalam minyak biji karet... 9 Tabel 5. Perbandingan sifat fisik biodiesel dari minyak sawit dan
minyak jarak dengan solar (Svlele, 2002) dalam Hambali et al., (2006)... 14 Tabel 6. Standar mutu biodiesel Eropa, Amerika, dan Indonesia... 15 Tabel 7. Perentase kulit dan daging biji karet... 26 Tabel 8. Hasil analisis komposisi kimia daging biji karet………… 27 Tabel 9. Rendemen minyak daging biji Karet (per 250 gram daging
biji)... 30 Tabel 10. Sifat fisikokimia minyak biji karet hasil ekstraksi... 32 Tabel 11. Hasil analisis biodiesel biji karet dan perbandingan dengan
ix Halaman Gambar 1. Bagian-bagian biji karet (Lusianti, 1989)... 8 Gambar 2. Reaksi esterifikasi antara metanol dan asam lemak bebas.. 10
Gambar 3. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan alkohol... 11 Gambar 4. Sistematika tahapan penelitian... 18 Gambar 5. Diagram alir proses pembuatan biodiesel minyak biji karet
melalui proses estrans... 22 Gambar 6. Bilangan asam dari produk-produk hasil reaksi esterifikasi pada
berbagai perlakuan... 39 Gambar 7. Viskositas kinematik metil ester hasil proses transesterifikasi
pada berbagai perlakuan... 43 Gambar 8. Rendemen metil ester (biodiesel) hasil proses
transesterifikasi pada berbagai perlakuan... 45 Gambar 9. Bilangan asam rendemen metil ester (biodiesel) hasil proses
x Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisis Komposisi Kimia Biji Karet... 57 Lampiran 2. Prosedur Analisis Minyak Biji Karet... 59 Lampiran 3. Perhitungan Jumlah Pereaksi dan Katalis untuk Proses
Estrans... 63 Lampiran 4. Prosedur Analisis Biodisel (Metil Ester)... 64 Lampiran 5. Tabulasi Data Bilangan Asam Produk Hasil Reaksi
Esterifikasi... 67 Lampiran 6. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Bilangan Asam Produk
Hasil Reaksi Esterifikasi... 68 Lampiran 7. Hasil Uji Lanjut Duncan Terhadap Bilangan Asam
Produk Hasil Reaksi Esterifikasi... 69 Lampiran 8. Tabulasi Data Nilai Viskositas Kinematik Metil Ester
Hasil Reaksi Transesterifikasi... 70 Lampiran 9. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Viskositas Kinematik
Metil Ester Produk Hasil Reaksi Transesterifikasi... 70 Lampiran 10. Hasil Uji Lanjut Duncan Terhadap Viskositas Kinematik
Metil Ester Hasil Reaksi Tansesterifikasi... 71 Lampiran 11. Tabulasi Data Nilai Rendemen Ester Hasil Reaksi
Transesterifikasi……….. 71
Lampiran 12. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Rendemen Metil Ester Produk Hasil Reaksi Transesterifikasi... 72 Lampiran 13. Tabulasi Data Nilai Bilangan Asam Ester Hasil Reaksi
Transesterifikasi... 72 Lampiran 14. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Bilangan Asam Metil
A. LATAR BELAKANG
Ketersediaan energi fosil yang terdapat di dalam perut bumi diprediksi semakin menipis, sementara itu kegiatan konsumsi diperkirakan akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan industri. Kondisi ini akan berdampak pada kenaikan harga minyak dunia, yang pada tahun 2005 harga minyak dunia mencapai US$ 70 per barel (pada bulan Agustus 2005), kemudian meningkat pada tahun 2008 menjadi $100 per barel (Anonim, 2005).
Indonesia sudah tidak lagi menjadi negara eksportir minyak (netto), akan tetapi telah menjadi salah satu negara importir minyak di dunia dalam beberapa tahun terakhir ini. Kondisi ini dipengaruhi oleh laju peningkatan konsumsi serta terbatasnya kapasitas kilang minyak nasional. Selain itu, pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas industri, yang berakibat pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi BBM nasional.
Minyak diesel (solar) merupakan salah satu BBM yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Seiring dengan bertambahnya jumlah kendaraan dan industri yang mengkonsumsi bahan bakar diesel, diperkirakan permintaan solar dalam negeri akan terus meningkat, padahal kemampuan kilang nasional untuk memproduksi solar tidak bertambah. Hal ini juga mengakibatkan impor solar di masa yang akan datang diperkirakan akan meningkat. Mulyadi et al., (2007) diacu oleh Nugraha (2007), menyatakan bahwa impor solar Indonesia tahun 2006 mencapai sekitar 5-6 milyar liter dan diperkirakan pada tahun 2010 kebutuhan solar di Indonesia sebesar 36 milyar liter.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi minyak (khususnya minyak solar) dalam negeri adalah dengan meningkatkan kapasitas kilang minyak nasional. Namun, upaya tersebut sulit untuk dilakukan dalam waktu singkat karena memerlukan investasi yang bersifat padat modal (capital intensive). Selain itu, eksploitasi besar-besaran minyak mineral sebagai bahan bakar yang sifatnya tidak diperbaharuhi secara terus-menerus, dapat menyebabkan berkurangnya atau bahkan habis persediaan bahan bakar fosil yang terdapat di alam. Sementara itu dari sisi lingkungan, pemakaian bahan bakar fosil (khususunya minyak solar) untuk keperluan aktivitas kehidupan manusia telah menyebabkan timbulnya isu lingkungan, seperti efek rumah kaca yang menyebabkan peristiwa global warming.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kenaekaragaman hayati yang tinggi, dimana alam Indonesia menyimpan sejumlah potensi ketersediaan bahan baku biodisel yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Hal ini juga didukung oleh kondisi lahan di Indonesia yang relatif subur, sehingga memungkinkan proses budidaya tanaman-tanaman yang menjadi bahan baku biodiesel dapat berlangsung dengan baik. Beberapa tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan baku dalam pembuatan biodiesel di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tumbuhan penghasil biodiesel yang dapat dikembangkan di Indonesia
No. Nama
Indonesia Nama Latin Sumber
Kadar Minyak (%-Bkr) P/NP 1 Alpukat Hodgsonia macrodcarpa Daging buah 40-80 P
2 Jarak pagar Arachis hypogea Biji 35-55 P
3 Karet Hevea brasiliensis Biji 40-50 NP
4 Kelapa Cocos mucifera Daging buah 60-70 P
4 Kemiri Aleurrites molucana Inti biji (kernel) 57-69 NP 6 Kelapa sawit Elaes guineensis Daging buah 46-54 P Sumber : Majalah komoditi edisi v (2006) yang diacu oleh Nugraha (2007)
Keterangan : Bkr = basis kering
P = minyak/lemak pangan (edible fat/oil) NP = minyak/lemak non pangan (nonediblefat/oil)
Pada Tabel 1, berdasarkan jumlah kandungan minyak yang dimiliki, tanaman alpukat, kelapa, dan kelapa sawit memiliki kandungan minyak yang tinggi. Akan tetapi, kandungan minyak yang dimiliki merupakan jenis minyak pangan (edible oil). Jika penggunaannya diarahkan sebagai bahan baku biodiesel, maka dikhawatirkan terjadinya kompetisi penggunaan untuk kepentingan pangan. Oleh karena itu, sangatlah baik jika dipilih tanaman yang memiliki kandungan minyak yang tinggi dan merupakan jenis minyak non pangan (nonedible oil) sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Berdasarkan Tabel 1, biji dari tanaman karet memiliki kedua faktor tersebut, yakni memiliki kandungan minyak yang tinggi (40-50 %) dan merupakan jenis minyak non pangan (edible oil), sehingga sangat baik digunakan sebagai bahan baku produksi biodiesel.
karet yang luas, dimana dari perkebunan karet inilah selain menghasilkan getah karet, juga menghasilkan biji keret yang merupakan hasil samping yang belum dimanfaatkan secara optimal. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (1996), luas tanaman karet di seluruh Indonesia pada tahun 1996 sebesar 3.534.581 ha, dengan proporsi luas tanaman produktif sebesar 2.160.669 ha (61%) dan luas tanaman non-produktif sebesar 1.373.912 ha (39%). Apabila setiap hektar rata-rata dapat menghasilkan biji karet sebanyak 186,62 kg (Nadarajapillat dan Wijewantha, 1967), maka dari luas areal tanaman karet produktif akan dapat menghasilkan biji karet setiap tahunnya sekitar 402.370,39 ton biji karet. Jika dari produksi tersebut diasumsikan 25% digunakan untuk bibit/benih, maka biji karet yang belum dimanfaatkan secara optimal masih sekitar 301.777,75 ton per tahun.
Berdasarkan hal tersebut, maka proses pengolahan terhadap biji karet berpotensi sekali untuk dilakukan. Salah satunya yakni dengan memanfaatkan kandungan minyak dalam biji karet sebagai bahan baku dalam pembuatan biodiesel, sedangkan hasil ekstraksi minyak biji karet tersebut (ampas) dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak. Dengan demikian, adanya upaya pemanfaatan minyak biji karet sebagai bahan baku biodiesel, juga sangat mendukung pengembangan perkebunan karet sendiri, yakni selain menghasilkan getah karet dan kayu, juga dihasilkan biji karet yang menjadi bahan baku untuk pembuatan biodiesel.
asam atau kadar asam lemak bebas yang tinggi, perlu dilakukan dua tahap proses estrans (esterifikasi-transesterifikasi) untuk menghasilkan alkil ester yang sesuai dengan standar yang diharapkan. Adapun penelitian yang berhubungan dengan proses estrans minyak nabati menjadi metil ester (biodiesel), antara lain yaitu Gubitz et al. (1999) tentang produksi metil ester dari minyak kedelai, biji bunga matahari, dan lobak melalui proses estrans dan Jaya (2005) tentang optimasi sintesis biodiesel dari minyak jarak pagar melalui proses estrans. Kedua penelitian tersebut telah menghasilkan biodiesel yang layak untuk digunakan pada kendaraan dan mesin diesel (solar)
Mengingat kandungan asam lemak bebas di dalam minyak biji karet yang tinggi, maka proses pembuatan biodiesel dari minyak biji karet lebih efektif dan efisien dilakukan dengan proses estrans, yaitu proses dua tahap esterifikasi-transesterifikasi dengan penggunaan katalis yang sesuai. Melalui proses ini diharapkan akan menghasilkan biodiesel yang berkualitas tinggi dan sesuai dengan syarat mutu biodisel yang telah ditetapkan.
B. TUJUAN PENELITIAN
Pada saat ini, masyarakat Indonesia belum memanfaatkan biji karet secara optimal. Biji karet pada umumnya hanya digunakan sebagai bibit/benih tanaman karet itu sendiri. Penelitian dan pengembangan biji karet secara fungsional dapat dikatakan masih belum optimal. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini secara umum ialah sebagai salah satu upaya untuk memanfaatkan biji karet yang selama ini masih belum optimal pemanfaatannya. Pada penelitian ini, upaya yang dilakukan adalah pembuatan biodiesel (metil ester) dari minyak biji karet melalui proses estrans (Esterifikasi–Transesterifikasi).
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) Memperoleh kondisi terpilih proses estrans pengolahan minyak biji karet
menjadi biodiesel.
A. TANAMAN KARET
Tanaman karet merupakan tanaman yang telah dikenal luas oleh rakyat Indonesia. Tanaman karet termasuk ke dalam divisio Spermatophyta, sub divisio Angiospermae, kelas Dycotyledonae, ordo Euphorbiaceae, genus Hevea (Tim Penebar Swadaya, 1994). Dalam genus Hevea, hanya spesies Hevea brasiliensis Muell Arg. yang dapat menghasilkan lateks unggul, dimana sebanyak 90 % karet alam dihasilkan oleh spesies tersebut.
Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik di sekitar ekuator antara 10 o
LU dan 10 oLS. Pertumbuhan tanaman karet sangat ideal bila ditanam pada ketinggian 0–200 m dpl dengan curah hujan berkisar antara 2500–4000 mm per tahun dan pH 3.8–8.0. Suhu harian yang cocok untuk tanaman karet rata-rata 25–30 oC. Suhu di bawah 20 oC atau terlalui tinggi kurang baik terhadap petumbuhan tanaman karet. Syarat lain yang dibutuhkan tanaman karet adalah sinar matahari dengan intensitas yang cukup yaitu selama 5–7 jam (Supijatno dan Iskandar, 1988).
Perakaran tanaman karet menyebar secara ekstensif, sehingga diperlukan drainase yang baik. Akar tersebut mampu menembus/menetrasi tanah hingga kedalaman satu meter. Banjir yang sering melanda tanaman karet dapat merusak perakarannya. Tanaman karet dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, seperti tanah berpasir hingga laterit merah dan podsolik kuning, tanah abu gunung, tanah berliat, serta tanah yang mengandung peat. Tanaman karet tidak membutuhkan waktu yang khusus ataupun topografi tertentu. Di Malaysia Barat, perkebunan karet diklasifikasikan berdasarkan jenis tanah, angin kencang, serangan penyakit dan topografi. Dengan demikian, sifat kimia tanah bukan hal yang mutlak untuk pertumbuhan (Syamsulbahri, 1996).
dikenal dengan nama lateks (Tim Penebar Swadaya, 1994). Selain menghasilkan getah, tanaman karet juga menghasilkan biji (Iskandar, 1983). Luas areal tanaman karet di Indonesia pada periode tahun 1990-1996 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas areal tanaman karet seluruh indonesia menurut pengusahaan Tahun Luas Perkebunan
Rakyat (Juta ha)
Luas Perkebunan Negara (Juta ha)
Luas Perkebunan Swasta (Juta ha)
1990 2.639 0.267 0.235
1991 2.668 0.264 0.242
1992 2.748 0.267 0.274
1993 2.847 0.276 0.282
1994 2.865 0.281 0.299
1995 2.952 0.248 0.295
1996 2.991 0.248 0.295
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (1996)
Menurut Aritonang (1986) diacu oleh Silam (1998), karet merupakan tanaman berbuah polong (diselaputi kulit yang keras) yang sewaktu masih muda buahnya berpaut erat dengan rantingnya. Buah karet dilapisi oleh kulit tipis berwarna hijau dan di dalamnya terdapat kulit yang keras dan berkotak. Tiap kotak berisi sebuah biji yang dilapisi tempurung, setelah tua warna kulit buah berubah menjadi keabu-abuan dan kemudian mengering. Pada waktunya pecah dan jatuh, bijinya tercampak lepas dari kotaknya. Tiap buah tersusun atas dua sampai empat kotak biji. Pada umumnya berisi tiga kotak biji dimana setiap kotak terdapat satu biji. Tanaman karet mulai menghasilkan buah pada umur lima tahun dan akan semakin banyak setiap pertambahan umur tanaman.
B. BIJI BUAH KARET
Gambar 1. Bagian-bagian biji karet (Lusianti, 1989)
Biji Karet terdiri atas 45-50 % kulit biji yang keras berwarna coklat dan 50-55 % daging biji yang berwarna putih (Nadarajah, 1969). Biji karet segar terdiri atas 34,1 % kulit, 41,2 % isi, dan 24,4 % air. Sedangkan biji karet yang telah dijemur dua hari terdiri atas 41,6 % kulit, 8,0 % kadar air, 15,3 % minyak, dan 35,1 % bahan kering (Nadarajapillat dan Wijewantha, 1967). Tabel 3 memperlihatkan komposisi kimia daging biji karet.
Tabel 3. Komposisi kimia daging biji karet Komponen Persentasea) Persentaseb)
Kadar air 14.5 7.6
Protein kasar 22.5 21.7
Serat kasar 3.8 2.8
Lemak kasar 49.5 39.0
Kadar abu 3.5 3.1
Sumber : a) Bahasuan (1984) diacu oleh Aritonang (1986) b) Stosic dan Kaykay diacuh oleh Aritonang (1986)
C. MINYAK BIJI KARET
Kandungan minyak biji atau inti biji karet yaitu sebesar 45–50 %, dengan komposisi 17–22 % asam lemak jenuh yang terdiri atas asam palmitat, stearat, arakhidat, serta asam lemak tidak jenuh sebesar 77–82 % yang terdiri atas asam oleat, linoleat dan linolenat (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976 diacu oleh Ongge, 2001). Selain itu, biji karet mengandung 27 % protein, 40–45 % lemak, 2,4 % abu dan 3,6 % air (Lauw et al., 1967). Komposisi asam-asam lemak di dalam minyak biji karet dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Pori Pertumbuhan
Lembaga
Kotiledon
Tabel 4. Komposisi asam-asam lemak di dalam minyak biji karet Asam lemak Persentasea) Persentaseb)
Asam palmitat 8.1 11
Asam stearat 10.5 12
Asam arakhidat 0.3 1
Asam oleat 21.5 24
Asam linoleat 27.3 35
Asam linolenat 21.7 17
Sumber : a) Ong dan Yeong diacu oleh Aritonang (1986) b) Eckey (1954)
Minyak biji karet merupakan salah satu jenis minyak mengering (drying oil), yaitu minyak yang mempunyai sifat mengering jika terkena oksidasi dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka (Ketaren, 1986).
Penggunaan minyak biji karet sebagai bahan pangan (minyak makan) masih dalam taraf penelitian. Hal ini karena adanya asam linolenat yang cukup tinggi dalam minyak biji karet dan mempunyai bau yang tidak enak. Apabila pemisahan asam linolenat telah berhasil dikukan, diperkirakan minyak biji karet akan setaraf dengan minyak nabati lainnya. Penggunaan minyak biji karet dalam industri non pangan, antara lain untuk pelumas dalam industri genteng, cat, vernis, dan industri baja sebagai pelapis agar tahan karat (Nadarajah, 1969).
D. ESTERIFIKASI-TRANSESTERIFIKASI
Istilah esterifikasi mengacu pada reaksi asam karboksilat, dalam hal ini asam lemak dengan alkohol untuk menghasilkan ester. Transesterifikasi adalah reaksi ester baru yang mengalami penukaran posisi asam lemak (Swern, 1982). Proses transesterifikasi lebih disukai untuk memproduksi biodiesel karena lebih efisien (Freedman et al., 1984).
dapat dilakukan pada suhu rendah (Swern, 1982). Reaksi esterifikasi antara asam lemak bebas dan metanol dapat dilihat pada Gambar 2.
R1COOH + CH3OH R1COOCH3 + H2O
Gambar 2. Reaksi esterifikasi antara metanol dan asam lemak bebas Transmetilasi berkatalis basa berlangsung antara metanol dan trigliserida melalui pembentukan berturut-turut digliserida dan monogliserida yang menghasilkan metil ester pada tiap tahapannya (Mao et al., 2004). Laju konversi monogliserida menjadi metil ester lebih cepat dari pada digliserida dan trigliserida (Darmoko dan Cheryan, 2000). Menurut Mao et al., (2004), hal ini terjadi karena monoglierida lebih mudah larut dalam fase polar (gliserol) dimana katalis berada. Metanolisis berkatalis basa memerlukan minyak dengan syarat tertentu. Sifat dasar minyak yang harus dipenuhi adalah bersih, tanpa air, dan netral secara substansial (Swern, 1982). Kegagalan reaksi ini menghasilkan sabun yang dapat mengurangi kebasaan katalis dan membentuk lapisan gel yang dapat mempersulit pemisahan dan pengendapan gliserol (Canakci dan Gerpen, 2001).
Kandungan asam lemak bebas dan air yang lebih dari 0,5 % dan 0,3 % dapat menurunkan rendemen transesterifikasi minyak (Freedman et al., 1984). Di samping itu, Lee et al., (2002) juga melaporkan bahwa rendemen transesterifikasi dapat ditingkatkan dari 25 % menjadi 96 % dengan memurnikan minyak jelantah (dari 10 % asam lemak bebas dan 0.2 % air menjadi 0,23 % asam lemak bebas dan 0,02 % air).
Transesterifikasi minyak menjadi metil ester dilakukan baik dengan satu atau dua tahap proses, bergantung pada mutu awal minyak. Minyak yang mengandung asam lemak bebas yang tinggi, dapat dengan efisien dikonversi menjadi esternya melalui beberapa tahap reaksi yang melibatkan katalis asam, untuk mengesterifikasi asam lemak bebas yang dilanjutkan dengan transesterifikasi asam lemak bebas berkatalis basa yang mengkonversi sisa trigliserida (Canakci dan Gerpen, 2001). Jika minyak mempunyai kandungan asam lemak bebas yang rendah, transesterifikasi dapat dilakukan dengan satu
Asam Lemak
Bebas Katalis asam
tahap (Ambarita, 2002). Gambar 3 memperlihatkan reaksi transesterifikasi anatara trigliserida dengan alkohol.
R1-C-O-C-H R1-C-O-R HO-CH2
R2-C-O-C-H + 3R-OH R2-C-O-R + HO-CH
R3-C-O-C-H R3-C-O-R HO-CH2
Gambar 3. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan alkohol
Katalis asam selain mengesterifikasi asam lemak bebas, juga mengkonversi trigliserida menjadi metil esternya. Meskipun demikian, kecepatannya lebih rendah dibandingkan dengan transesterifikasi yang menggunakan katalis basa (Haas et al., 2003).
Reaksi esterifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jumlah pereaksi, metanol dan asam lemak bebas, waktu reaksi, suhu, konversi katalis, dan kandungan air pada minyak (Ozgul dan Turkay, 2002). Semakin tinggi jumlah metanol yang digunakan dan kandungan asam lemak bebas pada minyak, maka semakin tinggi rendemen metil ester serta semakin kecil kandungan asam lemak bebas di akhir reaksi. Goff et al. (2004), menyatakan bahwa minyak dengan kadar air kurang dari 0.1 % dapat menghasilkan metil ester lebih dari 90 %.
Ozgul dan Turkay (2002), juga menyatakan bahwa semakin lama waktu reaksi esterifikasi maka semakin besar rendemen metil ester yang didapat. Suhu 65 oC sudah memberikan rendemen metil ester yang memadai. Akan tetapi, jumlah katalis yang berlebihan tidak akan meningkatkan dengan nyata rendemen metil ester. Haas et al., (2003) menambahkan bahwa air yang dihasilkan selama proses esterifikasi berkurang seiring berjalannya waktu.
H
O
O O
O
Minyak atau Lemak (Trigliserida)
Alkohol Biodiesel
(Alkil ester)
Gliserol
Reaksi transesterifikasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah kondisi minyak itu sendiri misalnya kandungan air, kandungan asam lemak bebas, dan kandungan zat terlarut maupun tak terlarut yang dapat mempengaruhi reaksi. Faktor eksternal adalah kondisi yang bukan berasal dari minyak dan dapat mempengaruhi reaksi. Faktor eksternal diantaranya adalah suhu, waktu, kecepatan pengadukan, jenis dan konsentrasi katalis, serta jumlah rasio molar metanol terhadap minyak.
Jumlah alkohol yang dianjurkan sekitar 1.6 kali jumlah yang dibutuhkan secara teoritis. Bahkan bisa dikurangi sampai 1.2 kali jika direaksikan dalam tiga tahap. Jumlah alkohol yang lebih dari 1.75 kali jumlah teoritis tidak akan mempercepat reaksi bahkan mempersulit pemisahan gliserol selanjutnya (Swern, 1982). Proses transesterifikasi dapat dilakukan secara curah (batch) atau sinambung (continuous) (Darnoko et al., 2001).
Menurut Mao et al. (2004), transesterifikasi pada minyak kedelai dengan jumlah metanol 6:1 (20 % v/v) dan 2 % bobot NaOH terhadap minyak, dalam waktu 3 menit menghasilkan metil ester yang memenuhi standar biodiesel. Akan tetapi, menurut Freedman et al. (1984), katalis yang dapat dipakai adalah 1,0 % bobot minyak atau kurang dan rasio molar metanol terhadap minyak adalah 6:1. Tidak ada peningkatan rendemen yang signifikan jika kedua variabel tersebut ditingkatkan. Reaksi ini menghasilkan 95 % metil ester dalam waktu 1 jam pada suhu 65 oC.
Rendemen transesterifikasi dapat diperbaiki dengan penggunaan katalis basa yang dilebihkan untuk minyak yang mengandung asam lemak bebas tinggi, karena asam lemak bebas yang tidak teresterifikasi dapat dikonversi menjadi garam alkalinya/sabun (Haas et al., 2003). Tetapi, terbentuknya sabun menyulitkan proses pencucian dan memungkinkan hilangnya produk yang berguna. Alternatifnya, proses dilakukan dengan dua tahap reaksi yang menggunakan katalis asam dan katalis basa (Canakci dan Gerpen, 2001).
dalam metanol. Dengan kata lain, konsentrasi ion metoksida sebanding dengan konsentrasi hidroksida dalam metanol. Meskipun demikian, penggunaan metoksida lebih baik dibanding hidroksida, karena kesetimbangan hidroksida dalam metanol menghasilkan air yang menghambat reaksi transesterifikasi (Mao et al., 2004; Zhou et al., 2003).
E. BIODIESEL
Biodiesel didefinisikan sebagai bahan bakar mesin diesel yang berasal dari sumber lipid alami terbarukan (Soerawidjaja, 2002). Biodiesel diolah dari sumber trigliserida alami terbarukan melalui proses esterifikasi-transesterifikasi untuk memperoleh alkil ester dari asam lemak yang telah diproses. Secara kimiawi, biodiesel merupakan turunan lipid dari golongan monoalkil ester dengan panjang rantai karbon 12–20 (Darnoko et al., 2001). Biodiesel dapat berupa minyak kasar atau monoalkil ester asam lemaknya, umumnya merupakan metil ester. Metil ester atau etil ester adalah senyawa yang relatif stabil, cair pada suhu ruang (titik leleh antara 4-18 oC), non-korosif, dan titik didihnya rendah (Allen et al., 1999).
Keuntungan penggunaan biodiesel diantaranya adalah bahan bakunya dapat diperbaharuhi (renewable), penggunaan energi lebih efisien, dapat menggantikan bahan bakar diesel dan turunannya dari petroleum, dapat digunakan pada peralatan diesel tanpa perlu modifikasi atau hanya modifikasi kecil, dapat mengurangi emisi/pancaran gas yang menyebabkan pemanasan global, dapat mengurangi emisi udara beracun karena kandungan sulfurnya kecil atau bahkan tidak ada, memiliki titik nyala yang cukup tinggi sehingga aman dalam penyimpanannya, bersifat biodegradable, cocok untuk lingkungan sensitif, dan mudah digunakan (Knothe, 2006).
bahan bakar diesel (petroleum). Sebagai suatu bahan bakar yang berpotensi menggantikan petrodiesel, penggunaan biodiesel dapat dilakukan secara murni atau dicampurkan dengan petrodiesel dalam nisbah tertentu, seperti B10, B20, atau B30, yang artinya kadar pencampuran antara metil ester dengan petrodiesel, yakni dengan kadar 10 %, 20 %, dan 30 %. Perbandingan sifat fisik antara biodiesel dengan solar (diesel) dapat dilihat pada Tabel 5.
Kualitas biodiesel ditentukan oleh kemurnian senyawa metil ester di dalam biodiesel. Senyawa selain metil ester (kontaminan) yang terdapat di dalam biodiesel dapat menyebabkan permasalahan ketika penggunaan biodiesel pada mesin. Kontaminan dapat menyebabkan timbulnya kerak pada mesin dan penyumbatan pada saluran injeksi. Kontaminan yang terdapat pada biodiesel dapat berupa asam lemak bebas, gliserol, mono-, di- dan trigliserida yang masih terdapat pada biodiesel (Knothe, 2006). Gliserol, mono-, di- dan trigliserida dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pada alat injeksi mesin. Sedangakan asam lemak bebas, terutama asam lemak bebas tidak jenuh dan air dapat menyebabkan timbulnya kerak pada tangki bahan bakar dan saluran pembakaran. Selain itu, air dapat menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme dan pembentukan emulsi.
Tabel 5. Perbandingan sifat fisik biodiesel dari minyak sawit dan minyak jarak dengan solar (Svlele, 2002) dalam Hambali et al. (2006)
No. Parameter
Nilai Palm
Biodiesel
Jatropha
Biodiesel Solar
1. Densitas, g/ml (15 oC) 0.868 0.879 0.83
2. Viskositas kinematik (Cst) (40 oC) 5.3 4.84 5.2
3. Cloud point (oC) 16 5 18
4. Titik nyala (oC) 174 191 70
5. Nilai kalori, LVH (MJ/kg) 37-38 37-38 41 6. Kandungan sulfur (ppm) < 50 < 50 Max 500
7. Bilangan setana 62 51 42
8. Bilangan penyabunan (mg KOH/g) 209.7 198 NA
Tabel 6. Standar mutu biodiesel Eropa, Amerika, dan Indonesia Viskositas kinematik pada 40
oC, mm2/s (cSt)
3,5-5,0 1,9-6,0 2,3-6,0
Angka setana Min. 51 Min. 57 Min. 51
Titik nyala (closed cup), oC Min. 120 Min. 130 Min. 100
Titik kabut, oC - - Maks. 18
Korosi tembaga (3 jam pada 50 oC)
- Maks. No. 3 Maks. No. 3
Residu karbon - dalam contoh asli
- dalam 10% ampas destilasi -
Sumber : Sudrajat (2006)
menyebabkan terganggunya alat injeksi mesin kendaraan dan cenderung menghasilkan deposit pada tangki pembakaran (Knothe, 2004).
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas, bahan-bahan kimia lain juga diperlukan untuk analisis minyak dan biodiesel minyak biji karet, diantaranya toluen, etanol 95 %, larutan KOH 0,1 N, indikator fenoftalein, larutan KOH beralkohol 0,5 N, lautan HCl 0,1 N, indikator pati, kloroform, larutan Wijs, asam asetat glasial, larutan KI, Na2S2O3 0,1 N, dan aquades.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah ekstraktor minyak (pompa hidraulik), neraca analitik, labu leher tiga, termometer, kondensor, sumbat karet, labu pemisah, gelas piala, gelas ukur, Erlenmeyer, kertas saring, corong gelas, pipet Mohr, hot plate stirrer, magnetic stirrer, pendingin tegak, piknometer, cawan porselin, oven, desikator, viskometer Ostwald, perangkat titrasi, dan perangkat gelas lainnya.
B. METODE PENELITIAN
Gambar 4. Sistematika tahapan penelitian ANALISIS SIFAT FISIKO-KIMIA
MINYAK HASIL PROSES DEGUMNMING
PROSES ESTERIFIKASI
TAHAP KARAKTERISASI
MINYAK
PROSES TRANSESTERIFIKASI
ANALISIS BIODIESEL HASIL PROSES ESTRANS
PENENTUAN PERSENTASE BAGIAN-BAGIAN
BIJI KARET
ANALISIS KOMPOSISI KIMIA DAGING BJI KARET
EKSTRAKSI MINYAK BIJI KARET
DEGUMMING MINYAK BIJI
KARET HASIL EKSTRAKSI
TAHAP PERSIAPAN BAHAN BAKU
PERBANDINGAN DENGAN STANDAR BIODIESEL
TAHAP PENELITIAN
Tahapan Penelitian 1. Persiapan Bahan baku
Persiapan bahan baku bertujuan untuk mempersiapkan dan mengkarakterisasi bahan sebelum digunakan dalam penelitian, yang meliputi penentuan persentase bagian–bagian biji karet, analisis proksimat daging biji karet, ekstraksi minyak biji karet, dan proses degumming minyak biji karet.
¾ Penentuan persentase bagian-bagian biji karet dilakukan dengan memisahkan antara bagian kulit biji dan daging biji karet. Kemudian dilakukan perhitungan persentase antara kedua bagian tersebut (%). ¾ Analisis proksimat daging biji karet yang dilakukan meliputi kadar air,
kadar lemak, kadar protein, kadar serat kasar, dan kadar abu. Prosedur analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
¾ Ekstraksi minyak biji karet dilakukan dengan mengekstrak biji karet secara mekanis dengan hydraulic press dan dengan bantuan pemanasan. Besarnya tekanan kempa adalah maksimum 20 ton (2,5 Kpa) dan suhu 60 - 70 oC selama pemanasan. Bungkil biji sisa pengempaan diulang kembali pengempaannya sebanyak 1 kali.
2. Karakterisasi Minyak
Karakterisasi minyak dalam penelitian ini dilakukan dengan menganalisis minyak biji karet yang telah melalui perlakukan pada tahapan persiapan bahan baku sebelumnya. Sifat-sifat yang dianalisis diantaranya adalah bilangan asam, FFA, viskositas kinematik, densitas, kadar air, bilangan iod, bilangan penyabunan, bilangan ester teoritis, dan bilangan peroksida. Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat awal minyak biji karet sebelum diproses lebih lanjut menjadi biodiesel. Data sekunder mengenai komposisi asam lemak hasil penelitian sebelumnya juga digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini. Prosedur analisisnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
3. Penelitian Utama
Penelitian utama meliputi proses esterifikasi dan transesterifikasi minyak biji karet untuk membuat biodiesel, analisis biodiesel minyak biji karet hasil proses estrans terpilih, serta perbandingan hasil analisis biodiesel yang terpilih dengan standar.
Esterifikasi
perlakuan yang terbaik. Setelah metanol dan katalis HCl dicampurkan, kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam labu leher tiga berisi minyak biji karet, kemudian proses esterifikasi dilakukan selama waktu yang telah ditentukan (perlakuan waktu : 60 menit dan 120 menit). Setelah melalui proses esterifikasi, dilakukan penyaringan produk yang didapat dengan menggunakan kapas untuk menyaring kotoran-kotoran padat yang mungkin terbentuk selama reaksi. Perlakuan yang menghasilkan bilangan asam yang rendah dan memenuhi standar dijadikan sebagai kondisi perlakuan terpilih dan akan dilanjutkan pada reaksi transesterifikasi.
Transesterifikasi
Karakterisasi Biodiesel dan Perbandingannya dengan Standar
Biodiesel hasil proses estrans terpilih, selanjutnya dilakukan analisis (karakterisasi). Analisis yang dilakukan diantaranya adalah bilangan asam, FFA, viskositas kinematik pada suhu 40 o C, densitas pada suhu 15 o C, bilangan penyabunan, bilangan ester teoritis, dan titik nyala Kemudian hasil analisis yang diperoleh dibandingkan dengan standar biodiesel. Prosedur analisis biodiesel (metil ester) yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4.
Minyak Biji Karet
Pemanasan 55-60 oC
Gliserol
Pemanasan 55-60 oC
Transesterifikasi 55-60 oC
Biodiesel Kasar
Pencucian Rasio mol methanol: minyak
10:1; 15:1; 20:1.
Waktu reaksi 60 menit; 120 menit
Rasio mol methanol: minyak 4:1; 6:1; 8:1.
Waktu reaksi 30 menit; 60 menit Konsentrasi HCl
1%; 2%
C. RANCANGAN PERCOBAAN
Penelitian ini menggunakan beberapa variabel dalam proses pengolahan minyak biji karet menjadi biodiesel melalui proses estrans yang dilakukan. Variabel tersebut dibagi dalam dua tahap reaksi, yakni sebagai berikut : 1. Reaksi Esterifikasi
Variabel perlakuan yang digunakan adalah konsentrasi HCl (A) dalam dua taraf, yaitu 1 % (A1) dan 2 % (A2); waktu reaksi (B) dalam dua taraf, yaitu 60 menit (B1) dan 120 menit (B2); dan rasio mol metanol : minyak dalam tiga taraf, yaitu 10 : 1 (C1), 15 : 1 (C2), dan 20 : 1 (C3). Setiap kombinasi perlakuan dilakukan ulangan sebanyak 2 kali. Parameter yang diamati adalah bilangan asam minyak hasil reaksi esterifikasi setelah dicuci dengan air hangat yang mengandung NaHCO3 0,01 %. Tujuan proses esterifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi reaksi terpilih yang menghasilkan minyak dengan kandungan asam lemak bebas yang memenuhi standar (maksimal 0,8 mg KOH/ g minyak). Minyak yang dihasilkan dari kondisi terbaik reaksi esterifikasi tersebut, selanjutnya akan digunakan untuk proses transesterifikasi. Analisis lain yang diperlukan adalah densitas dan viskositas kinematik, serta bilangan penyabunan untuk menentukan bilangan ester teoritis. Analisis ini dilakukan pada perlakuan penelitian terpilih.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berpola Faktorial. Parameter yang diukur hanya bilangan asam karena tujuan reaksi ini hanya untuk mengetahui bilangan asam yang memenuhi standar yang dihasilkan oleh variabel perlakuan pada penelitian ini. Metode linear aditifnya dapat dilihat sebagai berikut :
Yijkl = µ + Ai + Bj + Ck + (AB)ij + (AC)ik + (BC)jk + (ABC)ijk + eijkl Keterangan :
Yijkl : nilai pengamatan (bilangan asam) µ : nilai tengah umum
Ai : pengaruh konsentrasi HCl ke-i Bj : pengaruh waktu ke-j
(AB)ij : pengaruh interaksi faktor Ai dan Bj (AC)ik : pengaruh interaksi faktor Ai dan Ck (BC)kl : pengaruh interaksi faktor Bj dan Ck (ABC)ijk : pengaruh interaksi faktor Ai , Bj dan Ck eijkl : galat (kesalahan percobaan)
Berdasarkan model rancangan percobaan yang digunakan, maka jumlah satuan percobaan pada tahap reaksi esterifikasi adalah A x B x C x jumlah ulangan = 2 x 2 x 3 x 2 = 24 satuan percobaan.
Hasil analisis sidik ragam dilanjutkan dengan uji jarak beda nyata (Duncan) untuk mengetahui kombinasi perlakuan yang menyebabkan perbedaan nyata dari bilangan asam minyak yang dihasilkan.
2. Reaksi Transesterifikasi
Pada proses transesterifikasi digunakan kondisi proses esterifikasi terpilih yang menghasilkan bilangan asam yang memenuhi standar. Variabel yang digunakan adalah waktu reaksi (A) dalam dua taraf, yaitu 30 menit (A1) dan 60 menit (A2); dan rasio mol metanol : minyak (B) dalam dua taraf, yaitu 4 : 1 (B1), 6 : 1 (B2), dan 8 : 1 (C3). Setiap kombinasi perlakuan dilakukan ulangan sebanyak 2 kali. Parameter yang diamati adalah viskositas kinematik, rendemen, dan bilangan asam. Pengukuran viskositas kinematik, rendemen, dan bilangan asam dilakukan pada minyak hasil reaksi transesterifikasi setelah dicuci dengan air hangat yang mengandung CH3COOH 0,01 %. Tujuan proses transesterifikasi dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi terbaik yang menghasilkan metil ester dengan viskositas kinematik dan bilangan asam yang memenuhi standar, serta rendemen yang tinggi. Analisis lain yang diperlukan adalah bilangan penyabunan untuk mengetahui bilangan ester teoritis. Analisis ini dilakukan pada perlakuan penelitian terpilih.
adalah untuk mengetahui viskositas kinematik, rendemen, dan bilangan asam metil ester yang dihasilkan oleh variabel perlakuan pada penelitian ini. Model linear aditifnya adalah sebagai berikut :
Yijkl = µ + Ai + Bj + (AB)ij + eijk Keterangan :
Yijkl : pengamatan (viskositas, rendemen, dan bilangan asam) µ : nilai tengah umum
Ai : pengaruh waktu ke-i
Bj : pengaruh rasio mol metanol : minyak ke-j (AB)ij : pengaruh interaksi faktor Ai dan Bj eijkl : galat (kesalahan percobaan)
Berdasarkan model rancangan percobaan yang digunakan, maka jumlah satuan percobaan pada tahap reaksi esterifikasi adalah A x B x jumlah ulangan = 2 x 3 x 2 = 12 satuan percobaan.
A. PERSIAPAN BAHAN BAKU
Tahap persiapan bahan baku dalam penelitian ini meliputi penentuan
persentase bagian-bagian biji karet, analisis komposisi kimiawi (analisis
proksimat) daging biji karet, ekstraksi minyak biji karet, dan degumming minyak biji karet.
1. Persentase Bagian-Bagian Biji Karet
Pada proses penentuan bagian-bagian biji karet, digunakan biji karet
utuh (biji karet yang belum dikupas). Selanjutnya penentuan persentase bagian
biji karet dilakukan dengan mengambil biji karet sebanyak 10 buah yang
dipilih secara acak, lalu dilakukan pemisahan antara daging biji dan kulitnya
untuk selanjutnya ditimbang, sehingga dapat diketahui persentase dari
masing-masing bagian tersebut. Hasil penentuan persentase bagian-bagian biji karet
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Persentase kulit dan daging biji karet
No
35,11 19,85 15,27 56,52 43,48 9
36,69 20,78 15,91 56,64 43,36 10
37,87 21,08 16,79 55,67 44,33
Menurut Nadarajah (1969), biji karet terdiri atas 45-50 % kulit biji
yang keras berwarna coklat dan 50-55 % daging biji yang berwarna putih.
Berdasarkan Tabel 7, maka dapat diketahui bahwa biji karet yang digunakan
dalam penelitian ini mempunyai persentase daging biji karet yang lebih besar
dibandingkan dengan persentase kulit bijinya, yakni rata-rata persentase
daging biji karet sebesar 56,20 % dan persentase kulit biji karet sebesar
43,80 %. Perbedaan persentase dari daging dan kulit biji karet tergantung dari
jenis klon, topografi (kualitas tempat tumbuh) tanaman karet, lama
penyimpanan biji karet, dan kandungan air biji karet (Nadarajapilat dan
Wijewantha, 1967).
2. Komposisi Kimia Daging Biji Karet
Setelah dilakukan penentuan persentase bagian-bagian biji karet, maka
selanjutnya dilakukan analisis proksimat daging biji karet untuk mengetahui
komposisi kimia daging biji karet. Hasil dari analisis proksimat yang telah
dilakukan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Hasil analisis komposisi kimia daging biji karet
Ulangan
Kadar
Air
(%)
Kadar Abu Kadar Lemak Kadar Protein Kadar Serat
Kasar
Berdasarkan Tabel 8, dapat diketahui bahwa kandungan minyak yang
dimiliki daging biji karet dalam penelitian ini sebesar 38,65 % (berat kering).
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini lebih besar dari hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Aliem (2008), yang menyatakan bahwa daging biji karet
memiliki kandungan minyak sebesar 37,94 %. Namun, kandungan minyak biji
karet dalam penelitian masih lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh
Silam (1998), dimana kandungan minyak dalam biji karet sebesar 50,56 %.
Hal ini juga tidak sama dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh
biji atau inti biji karet memiliki kandungan minyak sebesar 45-50 %. Akan
tetapi, kandungan minyak dari daging biji karet hasil penelitian ini tergolong
cukup tinggi.
Kadar minyak dalam daging biji karet dipengaruhi oleh varietas,
ukuran biji, iklim, kelembaban, keadaan tanah tempat tumbuh, penanganan
pasca panen, dan jenis pelarut serta metode ekstraksi yang ditetapkan (Ketaren,
1986). Kadar minyak yang tinggi menyebabkan minyak biji karet sangat baik
digunakan untuk industri yang menggunakan bahan baku minyak mengering,
sehingga prospek pengembangan ke depannya sangat menjanjikan.
Selain kandungan minyak yang tinggi, hasil analisis proksimat daging
biji karet juga menunjukkan kandungan protein yang cukup tinggi, yakni
sebesar 17,07 % (berat kering). Kadar protein dalam penelitian ini sedikit
lebih rendah dari penelitian yang dilakukan oleh Silam (1998), dimana
kandungan protein minyak biji karet yang dihasilkan sebesar 18,60 %. Kadar
protein dalam biji karet yang tinggi, dapat mengakibatkan terjadinya proses
penguraian protein secara enzimatis yang menghasilkan senyawa-senyawa
yang larut dalam minyak, sehingga minyak menjadi kotor dan berwarna gelap.
Selain itu, kandungan protein yang tinggi dalam biji karet juga dapat
menyebabkan biji cepat rusak dan akhirnya minyak yang dihasilkan bermutu
rendah. Apalagi jika kadar air dalam biji karet yang digunakan tinggi, dimana
hal ini akan dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis. Berdasarkan hasil
proksimat daging biji karet, diketahui bahwa kada air biji karet sebesar 7.85 %.
Kerusakan yang terjadi pada biji karet juga dapat disebabkan oleh
adanya mikroorganisme yang terdapat pada biji karet. Namun, kerusakan biji
karet yang mutlak terjadi, yakni karena adanya aktivitas enzim. Menurut
Ketaren (1986), enzim lipase merupakan salah satu jenis enzim yang aktif
pada biji-bijian yang telah dipanen. Aksi enzim ini akan mendorong
penguraian gliserida menjadi asam lemak dan gliserol. Untuk menghindari
agar protein dan mikroorganisme tidak ikut terekstraksi, maka sebelum
diekstrak biasanya biji-bijian dipanaskan terlebih dahulu. Pemanasan ini
bertujuan untuk mengkoagulasikan protein sehingga dapat meningkatkan
Selain itu, berdasarkan hasil analisis proksimat daging biji keret dalam
penelitian ini, diketahui bahwa kadar abu dan kadar serat kasar yang
terkandung dalam biji karet yang digunakan dalam penelitian ini, yakni
masing-masing sebesar 3,01 % (berat kering) dan 5,06 % (berat kering).
3. Ekstraksi Minyak Biji Karet
Menurut Bailey (1950), ekstraksi minyak dan lemak merupakan proses
pemisahan minyak atau lemak dari bahan-bahan yang diduga mengandung
minyak atau lemak. Ektraksi dapat dilakukan dengan cara rendering, mekanis, pelarut atau kombinasi cara mekanis dan pelarut.
Ekstraksi dengan cara mekanis, biasanya diterapkan pada bahan-bahan
yang diduga berkadar lemak tinggi (30-70 %), terutama bahan yang berupa
biji-bijian. Ekstraksi minyak dengan cara ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap
perlakuan pendahuluan dan tahap pengempaan. Tahap perlakuan pendahuluan
terdiri dari pembersihan bahan, pemisahan kulit, pengecilan ukuran, dan
pemasakan/pemanasan (Bailey, 1950).
Ada dua cara yang umum dilakukan dalam pengepresan mekanis, yaitu
pengepresan hidrolik (hydraulic pressing) dan pengepresan berulir (expeller pressing). Ekstraksi minyak biji karet dalam penelitian ini dilakukan secara mekanis dengan alat hidrolik press. Besarnya tekanan kempa yang digunakan
adalah maksimum 20 ton (2,5 Kpa) dan suhu 60 - 70 oC selama pemanasan.
Bungkil biji sisa pengempaan diulang kembali pengempaannya sebanyak 1
kali. Hasil rendemen minyak yang diperoleh dalam penelitian ini disajikan
pada Tabel 9.
Rendemen merupakan perbandingan antara minyak biji karet yang
dihasilkan dengan bobot bahan baku daging biji karet sebelum diekstrak.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, rendemen minyak biji
karet berkisar antara 12-19 %, dengan rata-rata sebesar 15,69 %. Nilai
rendemen minyak dalam penelitian ini lebih rendah daripada yang dihasilkan
oleh Silam (1998), yakni sebesar rata-rata 26,83 % yang menggunakan
Banyaknya minyak atau lemak yang dapat diekstraksi tergantung dari
lamanya pengepresan, tekanan kempa yang digunakan, serta kandungan
minyak dalam bahan asal. Menurut Bailey (1950), pemasakan merupakan
salah satu tahap yang sangat penting dalam ekstraksi minyak menggunakan
cara pengempaan mekanik. Tujuan utama pemasakan adalah untuk
mengkoagulasikan protein dalam bahan, sehingga butiran minyak
terakumulasi dan minyak mudah keluar dari bahan. Selain itu, pemasakan
menyebabkan penurunan afinitas minyak dengan permukaan bahan, sehingga
minyak diperoleh semaksimal mungkin pada waktu bahan dikempa.
Tabel 9. Rendemen minyak daging biji karet (per 250 gram daging biji)
No Bobot Minyak
Rata-rata 39,22 15,69
Rendemen yang dihasilkan dari sesuatu ekstraksi juga dipengaruhi oleh
kadar minyak di dalam bahan asal. Kadar minyak yang terkandung di dalam
daging biji karet yang digunakan dalam penelitian ini cukup tinggi yaitu
38,65 % (berat kering). Kurangnya rendemen yang dihasilkan sangat
dipengaruhi oleh kondisi alat pengempaan, seperti umur alat, kondisi peralatan
kempa, serta tekanan dan suhu yang digunakan.
4. Degumming Minyak Biji Karet
Minyak biji karet harus di-degumming terlebih dahulu untuk menghilangkan sifat emulsifier dari zat-zat terlarut seperti gum, protein, dan
fosfatida sebelum digunakan untuk memproduksi biodiesel. Menutut Norris
senyawa fosfat dan gum yang terdapat pada minyak dengan cara memanaskan
minyak sehingga menurunkan kelarutan fosfat dan gum di dalam minyak.
Menurut Kirk dan Othmer (1964), tujuan dari proses degumming
adalah untuk menghilangkan partikel-partikel halus tersuspensi atau berbentuk
koloidal. Iwouha et al. (1996) mengemukakan bahwa pada dasarnya degumming dilakukan dengan penambahan reagent (larutan) kimia untuk memperoleh crude oil pada suhu 85-90 oC selama 20 menit atau pada suhu 50-70 oC selama 30 menit, kemudian dilakukan pendinginan hingga mencapai
suhu 40 oC. Koris dan Vatai (2002) menambahkan bahwa degumming merupakan langkah pertama pada proses refining minyak nabati yang berfungsi untuk menghilangkan fosfolipida dari minyak. Menurut Kim et al. (2002), fosfolipida harus dihilangkan karena dapat mempengaruhi kualitas
minyak yang dihasilkan, dimana fosfolipida dalam minyak dapat
menyebabkan minyak menjadi berwarna gelap selama deodorisasi pada suhu
tinggi, sehingga kualitas minyak menjadi rendah.
Wiedermann (1981) menjelaskan bahwa dalam proses degumming, fosfatida dikondisikan dengan asam fosfat dan dihidrasi dengan air. Hasil yang
larut yaitu berupa hydrated gum diseparasi sebagai lumpur (sludge) dengan gaya sentrifugal. Proses degumming minyak untuk menghilangkan zat-zat terlarut dalam minyak, selain bertujuan memurnikan minyak juga bertujuan
untuk mempermudah proses pengolahan minyak lebih lanjut, seperti proses
netralisasi. Proses degumming perlu dilakukan sebelum proses netralisasi karena 2 alasan. Alasan pertama adalah sabun yang terbentuk dari hasil reaksi
antara asam lemak bebas dengan kaustik soda pada proses netralisasi akan
menyerap gum (getah atau lendir) sehingga menghambat proses pemisahan
sabun (soap stock) dari minyak. Alasan kedua adalah netralisasi minyak yang masih mengandung gum akan menambah partikel emulsi dalam minyak,
sehingga mengurangi rendemen trigliserida (Ketaren, 1986).
Pada penelitian ini, degumming minyak biji karet dilakukan dengan metode pemanasan (80 oC) dan pengasaman (asam fosfat 20 %) sebanyak
0,2-0,3 % (v/b). Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak biji karet sebelum
berbeda. Minyak biji karet yang sudah di-degumming secara visual, tampak kelihatan lebih jernih dibandingkan dengan minyak sebelum dilakukan
degumming. Selain itu rendemen minyak biji karet yang diperoleh setelah di-degumming, yakni sebesar 84,89 %. Adapun siifat fisiko kimia minyak biji karet setelah degumming, dalam penelitian ini dijelasakan pada tahap karakterisasi minyak biji karet.
B. KARAKTERISTIK MINYAK BIJI KARET
Setelah dilakukan proses degumming minyak biji karet, maka selanjutnya minyak dianalisis sifat fisiko-kimianya untuk mengetahui
karakteristik awal minyak sebelum diolah lebih lanjut. Hasil karakterisasi
minyak biji karet setelah dilakukan proses degumming dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini.
Tabel 10. Sifat Fisikokimia Minyak Biji Karet Hasil Ekstraksi dan Degumming
Parameter Nilai
Kadar Air [% berat] 0,18
Viskositas Kinematik pada 40oC [Cst] 23,31
Densitas pada 25oC [g/ml] 0,896
Bilangan Asam [mg KOH/gram sampel] 22,22
FFA [%] 11,06
Bilangan Penyabunan [mg KOH/g sampel] 203,33
Bilangan Ester Teoritis [mg KOH/g sampel] 181,11
Bilangan Iod [g I2/ 100 g] 139,30
Bilangan Peroksida 24,85
Kadar air merupakan parameter penting dalam penentuan kualitas
suatu minyak, termasuk juga minyak biji karet. Kadar air yang tinggi dalam
minyak biji karet dapat mendorong terjadinya proses hidrolisis trigliserida
menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kadar air dalam minyak biji karet setelah di-degumming sebesar 0,18 % (b/b), lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air minyak biji karet yang diperoleh
oleh Silam (1998), yaitu sebesar 0,09 %. Namun, jika dibandingkan dengan
minyak setelah diekstraksi, diketahui bahwa kadar air minyak yang dihasilkan
dalam penelitian ini telah mengalami penurunan, dimana nilainya jauh di
bawah nilai yang dinyatakan oleh Ketaren (1986), bahwa kadar air minyak
berkisar antara 2,5-3,5 %. Perbedaan kadar air dalam minyak disebabkan oleh
perbedaan penanganan pasca panen terhadap biji karet. Perlakuan pasca panen
seperti penngeringan terhadap biji karet sebelum proses ekstraksi dapat
menurunkan kandungan air di dalam minyak biji karet. Kandungan air yang
rendah dalam minyak tentu sangat menguntungkan, karena air merupakan
senyawa yang berperan dalam reaksi kerusakan minyak akibat hidrolisis,
sehingga dengan kadar air yang rendah diharapkan reaksi hidrolisis berjalan
lambat.
Bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah miligram basa yang
dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam
minyak/lemak. Asam lemak bebas ini merupakan produk hidrolisis dari
trigliserida. Nilai bilangan asam digunakan untuk menentukan kualitas
minyak/lemak. Semakin tinggi bilangan asam yang terkandung dalam minyak,
semakin tinggi pula tingkat kerusakan minyak tersebut (Ketaren, 1986).
Bilangan asam yang dimiliki oleh minyak biji karet dalam penelitian ini
adalah 22,22 mg KOH/g sampel. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan
bilangan asam minyak biji karet hasil penelitian Silam (1998) dan Aliem
(2008), yakni masing-masing sebesar 9,92 dan 0,37 mg KOH/g sampel.
Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan kandungan air di dalam
minyak biji karet. Semakin tinggi kandungan air di dalam minyak dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya proses hidrolisis trigliserida menjadi
asam lemak bebas dan gliserol. Selain itu, kondisi penyimpanan minyak yang
berbeda menyebabkan perbedaan nilai bilangan asam tersebut. Minyak yang
dibiarkan kontak dengan udara dan logam seperti besi akan menyebabkan
terjadinya proses oksidasi minyak, sehingga menghasilkan asam-asam
berantai pendek, akibatnya akan meningkatkan nilai bilangan asam.
Asam lemak bebas merupakan produk hidrolisis trigliserida. Reaksi ini
terjadi karena hadirnya molekul air. Reaksi ini tidak terjadi secara sederhana,
akan tetapi bertahap dan dapat balik (reversible). Proses hidrolisis dapat dipercepat dengan adanya suhu tinggi. Reaksi ini menghasilkan asam lemak
bebas dan molekul gliserol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai persen
diperoleh oleh Silam (1998) dan Aliem (2008), yakni masing-masing sebesar
4,91 % dan 0,18 %. Persen FFA diperoleh dari hasil konversi bilangan asam
dibagi dengan faktor konversi untuk asam linoleat, yaitu sebesar 2,01
(Sudarmadji et al., 1989). Hal ini disebabkan karena asam linoleat merupakan asam lemak paling tinggi yang terdapat pada minyak biji karet. Perbedaan
nilai persen FFA dipengaruhi oleh kandungan air dalam minyak dan kondisi
penyimpanan minyak.
Bilangan penyabunan merupakan jumlah miligram KOH yang
diperlukan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Proses
penyabunan dapat terjadi karena adanya reaksi antara 3 molekul KOH dengan
trigliserida menghasilkan gliserol dan sabun. Bilangan penyabunan
berhubungan dengan bobot molekul minyak. Minyak yang memiliki bobot
molekul lebih tinggi akan memilki bilangan penyabunan yang lebih rendah,
sebaliknya minyak yang memiliki bobot molekul yang rendah akan memiliki
bilangan penyabunan yang tinggi (Ketaren, 1986). Nilai bilangan penyabunan
minyak biji karet menunjukkan bahwa minyak biji karet terdiri dari
senyawa-senyawa yang memiliki gugus reaktif (gugus karboksil dan gugus ester),
seperti gliserida, asam lemak bebas, dan asam-asam organik (Sonntag, 1982).
Hasil penelitian menunjukkan bilangan penyabunan minyak biji karet yang
diperoleh, yakni sebesar 203. 33 mg KOH/g sampel. Hasil ini lebih tinggi dari
yang diperoleh oleh Aliem (2008), yakni sebesar 200,10 mg KOH/g sampel.
Namun, hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil
penelitian oleh Silam (1998), yakni sebesar 206,48 mg KOH/g sampel.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh kondisi minyak yang digunakan dan
perbedaan pengolahan minyak yang digunakan.
Pengukuran bilangan ester minyak menunjukkan banyaknya
kandungan ester teoritis di dalam minyak biji karet. Bilangan ester teoritis
dihitung dari hasil pengurangan bilangan penyabunan dengan bilangan asam
(Ketaren, 1986). Meskipun tidak menunjukkan kuantitas senyawa ester yang
sebenarnya, tetapi secara teoritis, bilangan ini dapat memperkirakan jumlah
bilangan asam dan bilangan penyabunan, bilangan ester minyak biji karet
adalah 181,11 mg KOH/g sampel.
Bilangan iod menunjukkan ukuran ketidakjenuhan atau banyaknya
ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang menyusun gliserida dari
suatu minyak atau lemak. Bilangan iod adalah jumlah (gram) iod yang dapat
diikat oleh 100 gram minyak. Jumlah ikatan rangkap yang semakin banyak
ditunjukkan oleh bilangan iod yang tinggi. Penentuan bilangan iod
berdasarkan atas prinsip titrasi. Gliserida tidak jenuh suatu minyak atau lemak
mempunyai kemampuan mengabsorbsi sejumlah iod sehingga membentuk
suatu senyawa yang jenuh. Untuk mengetahui jumlah iod yang diabsorbsi oleh
minyak, kelebihan tersebut dititrasi menggunakan natrium tiosulfat (Hamilton
& Rossel, 1987).
Nilai bilangan iod merupakan parameter mutu minyak yang penting,
karena digunakan untuk menyatakan derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau
lemak. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk menggolongkan jenis
minyak pengering dan minyak bukan pengering. Minyak pengering
mempunyai bilangan iod yang lebih dari 130, sedangkan minyak yang
mempunyai bilangan iod antara 100-130 bersifat setengah mengering
(Djatmiko dan Widjaja, 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai
biangan iod minyak biji karet yang diperoleh, yakni sebesar 139,30. Hasil ini
lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang diperoleh oleh Silam (1998) dan
Aliem (2008), yakni masing-masing sebesar 139,55 dan 140,06 g I2/100 g.
Berdasarkan hasil penelitian, karena bilangan iod yang diperoleh lebih dari
130 maka minyak biji karet termasuk dalam minyak mengering (dry oil). Bilangan peroksida merupakan nilai terpenting untuk menunjukkan
derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat
mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida.
Bilangan peroksida ini ditentukan dengan metode iodometri. Menurut Bailey
(1950), peroksida merupakan hasil proses oksidasi terhadap minyak, pada
proses ini terjadi penambahan molekul oksigen pada ikatan rangkap dari asam
lemak tidak jenuh. Peroksida tersebut selanjutnya akan mendorong terjadinya
sederhana seperti aldehida, keton dan asam-asam lemak dengan berat molekul
lebih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bilangan peroksida minyak biji
karet, yakni sebesar 24,85. hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan
penelitian Aliem (2008), yakni sebesar 38,55. Namun, hasil penelitian ini
lebih tinggi dibandingkan penelitian Silam (1998), yakni sebesar 9,93. Oleh
karena minyak biji karet tidak digunakan sebagai minyak makan, maka
bilangan peroksida tidak menjadi parameter mutu yang terlalu penting. Namun
demikian, minyak dengan bilangan peroksida yang rendah lebih baik daripada
minyak dengan bilangan peroksida yang tinggi, karena akan relatif lebih tahan
lama terhadap kerusakan.
Viskositas dan densitas minyak biji karet dalam penelitian ini, yakni
masing-masing sebesar 23,31 cSt dan 0,98 g/ml. Viskositas dan densitas yang
tinggi merupakan alasan utama mengapa minyak nabati tidak dapat digunakan
langsung sebagai bahan bakar mesin diesel. Viskositas yang tinggi dapat
menyebabkan terganggunya alat injeksi mesin kendaraan dan cenderung
menghasilkan deposit pada tangki pembakaran (Knothe, 2004). Oleh karena
itu, minyak/lemak nabati (termasuk minyak biji karet) harus diproses lebih
lanjut sampai diperoleh nilai viskositas dan densitas yang memenuhi standar
bahan bakar, sehingga penggunaannya sebagai bahan bakar dapat
diaplikasikan.
C. PENELITIAN UTAMA
Penelitian utama pada penelitian ini meliputi proses esterifikasi dan
transesterifikasi minyak biji karet untuk memproduksi biodiesel (metil ester),
karakteristik biodiesel proses estrans terpilih, serta perbandingannya dengan standar. Proses esterifikasi dilakukan untuk menurunkan bilangan asam pada
produk esterifikasi yang dihasilkan, sedangkan proses transesterifikasi
dimaksudkan untuk memproduksi metil ester, menghilangkan gliserida,
menurunkan viskositas, dan titik tuang. Kedua proses ini disebut proses dua