• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Nelayan adalah orang atau komunitas orang yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan (Widodo, 2006). Menurut UU No 45 Tahun 2009 tentang perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Selanjutnya Charles (2001), menggolongkan nelayan ke dalam empat tipe yaitu 1) Nelayan subsistem (subsistence fishery), yaitu nelayan yang menangkap ikan hanya untuk konsumsi sendiri; 2) Nelayan asli (native/indigenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit banyaknya memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun sebagian hasil tangkapannya sudah untuk dijual; 3) Nelayan rekreasi (recreational fishers) yaitu orang yang menangkap ikan untuk tujuan rekreasi atau bersenang-senang; 4) Nelayan komersial (comercial fishers) yaitu mereka yang menangkap ikan untuk tujuan komersial yang hasil tangkapannya dipasarkan di pasar lokal maupun ekspor.

Kesteven (1973) yang diacu dalam (Smith 1983) mengelompokkan nelayan ke dalam tiga kelompok yaitu nelayan industri, artisanal dan subsistem, dimana nelayan industri dan artisanal berorientasi komersial sedangkan hasil tangkapan nelayan subsistem biasanya tidak dijual di pasar tetapi lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan konsumsi sendiri beserta keluarganya atau untuk dijual secara barter. Nelayan artisanal yang termasuk sebagai small scale fishery adalah orang pemilik perahu yang sebagian besar penghasilannya bergantung pada kegiatan penangkapan ikan di laut, mengoperasikan sendiri perahunya dengan bobot 2,75–25 GT (atau ukuran panjang perahu antara 5 meter hingga 15 meter, lebar antara 1,5 meter hingga 6 meter menggunakan peralatan tangkap ikan sederhana (seperti gilnet, jaring badut, min itrawl, pancing, rawai pancang), menggunakan sistem bagi hasil antara pemilik dan anak buah kapal, dan menjual hasil tangkapan ikan dalam lingkup pasar lokal yang terbatas (Berkes et al. 2001; Charles 2009; Satria 2002; Ardianto 2007). Menurut Mukfiati (2010) bahwa masyarakat nelayan di Indonesia merupakan golongan masyarakat yang dianggap miskin secara absolut, bahkan paling miskin diantara penduduk miskin (the poorest of the poor). Selanjutnya beberapa hasil penelitian menunjukkan juga bahwa kondisi nelayan, khususnya nelayan perikanan skala kecil di Indonesia berada pada tingkat marjinal (Kusnadi 2000; Semedi 2003; Budi 2008).

Nelayan adalah orang yang hidup dari mata pencaharian hasil laut. Di Indonesia para nelayan biasanya bermukin di daerah pinggir pantai atau pesisir laut. Komunitas nelayan adalah kelompok orang yang bermata pencaharian hasil laut dan tinggal didesa-desa atau pesisir (Sastrawidjaya. 2002). Ciri komunitas nelayan dapat dilihat dari berbagai segi. Sebagai berikut :

a) Dari segi mata pencaharian. Nelayan adalah mereka yang segala aktivitasnya berkaitan dengan lingkungan laut dan pesisir. Atau mereka yang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian mereka.

b) Dari segi cara hidup. Komunitas nelayan adalah komunitas gotong royong. Kebutuhan gotong royong dan tolong menolong terasa sangat penting pada

saat untuk mengatasi keadaan yang menuntut pengeluaran biaya besar dan pengerahan tenaga yang banyak. Seperti saat berlayar. Membangun rumah atau tanggul penahan gelombang di sekitar desa.

c) Dari segi ketrampilan. Meskipun demikian pekerjaan nelayan adalah pekerjaan berat namun pada umumnya mereka hanya memiliki ketrampilan sederhana. Kebanyakan mereka bekerja sebagai nelayan adalah profesi yang diturunkan oleh orang tua. Bukan yang dipelajari secara professional.

Dari bangunan struktur sosial, komunitas nelayan terdiri atas komunitas yang heterogen dan homogen. Masyarakat yang heterogen adalah mereka yang bermukim di desa-desa yang mudah dijangkau secara transportasi darat. Sedangkan yang homogen terdapat di desa-desa nelayan terpencil biasanya mengunakan alat-alat tangkap ikan yang sederhana, sehingga produktivitas kecil. Sementara itu, kesulitan transportasi angkutan hasil ke pasar juga akan menjadi penyebab rendahnya harga hasil laut di daerah mereka. (Sastrawidjaya. 2002).

Dilihat dari teknologi peralatan tangkap yang digunakan dapat dibedakan dalam dua katagori, yaitu nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern mengunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Ukuran modernitas bukan semata-mata karena pengunaan motor untuk mengerakkan perahu, melainkan juga besar kecilnya motor yang digunakan serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan. Perbedaan modernitas teknologi alat tangkap juga akan berpengaruh pada kemampuan jelajah operasional mereka (Imron, 2003:68).

Pada umumnya dalam pengusahaan perikanan laut terdapat tiga jenis nelayan, yaitu; nelayan pengusaha, nelayan campuran dan nelayan penuh. Nelayan pengusaha yaitu pemilik modal yang memusatkan penanaman modalnya dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan campuran yaitu seseorang nelayan yang juga melakukan pekerjaan yang lain di samping pekejaan pokoknya sebagai nelayan. Sedangkan nelayan penuh ialah golongan nelayan yang hidup sebagai penangkap ikan di laut dan dengan memakai peralatan lama atau tradisional.

Namun demikian apabila sebagian besar pendapatan seseorang berasal dan perikanan (darat dan laut) ia disebut sebagai nelayan. (Mubyarto, 2002:18). Sejalan dengan itu, dalam hal tingkat pendidikan khususnya bagi nelayan tradisional, untuk bekal kerja mencari ikan dilaut, latar belakang seorang nelayan memang tidak penting artinya karena pekerjaan sebagai merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah memberikan pengaruh terhadap kecakapan mereka dalam melaut. Persoalan dari arti penting tingkat pendidikan ini biasanya baru mengedepankan jika seorang nelayan ingin sberpindah ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan yang rendah jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tadisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain selain mejadi nelayan. (Kusnadi, 2002:3).

Berbagai pihak mengasosiasikan nelayan dengan kemiskinanan atau marginalitas. Mubyarto et al. (2003) yang dikutip dalam Kinseng (2011) mengatakan bahwa keluarga nelayan pada umumnya lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin. Umumnya masyarakat nelayan masih hidup dalam keterbatasan, diantaranya adalah keterbatasan eknomi dan sosial. Keterbatasan ini nampak pada tingkat pendapatan nelayan yang pada umumnya masih rendah dan kondisi sumberdaya manusia yang masih rendah, terutama jika

dibandingkan dengan komunitas lain di luar nelayan (Wahyono et al. 2001). Kusnadi et al. (2007) menjelaskan bahwa kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di berbagai kawasan secara umum ditandai oleh adanya beberapa ciri, seperti kimiskinan, keterbelakangan sosial budaya, rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM). Wahyono et al. (2001) menjelaskan bahwa dua hal utama yang tidak bisa diabaikan begitu saja dalam pengembangan suatu masyarakat adalah keadaan sumberdaya manusia dan keadaan lingkungan dimana masyarakat itu berada. Dua hal ini penting, sebab dengan potensi lingkungan yang berbeda, maka teknologi yang digunakan untuk mengolahnya juga berbeda. Kondisi kemiskinan nelayan tersebut merupakan permasalahan kompleks sebagai akibat dari ketidakberdayaan nelayan terhadap akses sumberdaya alam yang tersedia. Faktor rendahnya pendidikan, keterampilan, ketiadaan modal serta rendahnya aksesibilitas menyebabkan nelayan menjadi kelompok yang semakin termarjinalkan. Menurut Sinaga (1982), Sinaga dan Simatupang (1987) dikutip dalam Zid (2011) bahwa keadaan sosial ekonomi nelayan pantai di Jawa sangat memprihatinkan, pendidikan sangat rendah (sekitar 38% nelayan masih buta huruf dan 58% istri nelayan buta huruf). Sedangkan Sajogyo (1983) menjelaskan bahwa rumah tangga nelayan tergolong miskin.

Provinsi Maluku yang dikenal sebagai Provinsi kepulauan memiliki luas 712.479,69 km yang terdiri dari luas laut 658.294,69 km (92.4%) dan luas daratan 54.185 km (7,6%), terdapat potensi sumberdaya perikanan sebesar 1.640.160 ton/ tahun sesuai dengan hasil kajian Badan Riset Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oceonologi Lembaga Ilmu (LIPI) tahun 2001. Potensi sumberdaya hayati perikanan dimaksud terdiri dari pelagis, demersal dan biota laut lainnya yang perlu dieksploitasi secara optimal. Dilihat dari besarnya potensi yang tersedia maka untuk tahun 2010 telah dimanfaatkan sebesar 370.929,4 ton. Dalam melaksanakan eksploitasi potensi dimaksud perlu didukung dengan berbagai faktor penunjang produksi lainnya seperti Rumah Tangga Perikanan (RTP), Armada Penangkapan, Unit Penangkapan dan teknologi. Rumah Tangga Perikanan (RTP) pada tahun 2009 tercatat sebanya 45.741 orang mengalami peningkatan pada tahun 2010 sebesar 23,2 % atau sebanyak 59.619 orang (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku 2011).

Sumberdaya perikanan yang cukup tinggi diharapkan menjadi sumber pendapatan nelayan yang memungkinkan kesejahteraan nelayan meningkat, bukan sebaliknya. Bagaimana karakteristik nelayan perikanan demersal di Pulau Ambon. Apakah sama dengan nelayan Indonesia sebagaimana disampaikan oleh berbagai peneliti seperti dikemukakan di atas, ataukah lebih baik terutama dari sisi ekonomi karena sumberdaya perikanan yang cukup tinggi. Jika kondisinya sama apa penyebabnya, apakah karena kemampuan mereka yang terbatas dalam mengeksploitasi usmberdaya yang ada, ataukah karena terbatasnya tingkat pendidikan atau akses pasar atau penyebab lain. Beberapa pertanyaan ini menjadi dasar pelaksanaan penelitian ini. Pulau Ambon dijadikan sebagai lokasi penelitian karena di Pulau Ambon terletak Kota Ambon sebagai Kota Provinsi Maluku dengan daya serap pasar terhadap produksi/hasil tangkapan nelayan yang tinggi. Dengan demikian nelayan di Pulau Ambon menjadi indikator bagi nelayan lain di Maluku, artinya jika nelayan di Pulau Ambon dikategorikan nelayan miskin maka dipastikan nelayan Maluku adalah miskin. Analisis ini akan didahului dengan

bahas tentang krakteristik Pulau Ambon, sebagai dasar pembentukan karakteristik masyarakat nelayan di pulau tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik nelayan perikanan demersal di Pulau Ambon, yang menjadi indikator nelayan di Provinsi Maluku.

Metode Penelitian Waktu dan tempat penelitian

Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari sampai Mei 2013, berlokasi di Pulau Ambon. Beberapa lokasi pengambilan sampel adalah Negeri Hukurila, Lehari dan Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan, Negeri Seri, Latuhalat Kecamatan Sirimau, Negeri Laha dan Hatu Kecamatan Teluk Ambon, Negeri Lima, Seith, Hitu dan Morela Kecamatan Leihitu, Negeri Tulehu Kecamatan Salahutu. Semua lokasi pengambilan sampel berada di wilayah pesisir yang sebagian anggota masyarakatnya mengandalkan laut sebagai salah satu sumber pendapatan ekonomi keluarga.

Pengumpulan data

Pengambilan data dilakukan melalui wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan terhadap 110 responden, sekitar 40-50% populasi nelayan ikan demersal dari setiap negeri/desa sampel. Data sekunder berupa kebijakan pemerintah, sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang lainnya diambil dari instansi terkait. Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi berdasarkan suatu pertimbangan tertentu (Sugiyono 2011). Artinya sampel yang diambil terlebih dahulu sudah ditetapkan yaitu nelayan yang benar-benar melakukan aktivitas penangkapan ikan demersal.

Analisis data

Untuk mengetahui karakteristik nelayan, data yang didapat dari nelayan ditabulasi dalam bentuk tabel dan diagram kemudian dianalisis secara deskriptif. Setyosari (2012) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan suatu keadaan, peristiwa, objek apakah orang atau segala sesuatu yang terkait dengan variabel-variabel yang bisa dijelaskan baik dengan angka-angka maupun dengan kata-kata. Dalam penelitian deskriptif, peneliti menggunakan strategi kuantitatif (misalnya teknik kuesioner, dan observasi) untuk mengumpulkan data atau informasi. Sugiyono (2010) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabelnya, baik suatu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel satu dengan variabel yang lain. Supranto (2003) menyatakan bahwa sesuai dengan namanya maka studi deskriptif bertujuan untuk menguraikan tentang sifat-sifat (karakteristik) suatu keadaan. Selanjutnya Wardiyanta, (2006) menyatakan bahwa penelitian deskriptif (descriptive research) adalah penelitian yang bertujuan membuat deskripsi atas suatu fenomena sosial/alam secara sistematis, faktual dan akurat.

Hasil dan Pembahasan Karakteristik Pulau Ambon

Nelayan pancingan adalah nelayan yang menangkap ikannya dengan cara tradisional yaitu pancingan, nelayan ini pada umumnya berlatar belakang masyarakat yang kurang mampu, hidupan sehari-hari mereka adalah dari hasil penangkapan.

Proses yang mereka lakukan juga terhitung masih sangat tradisional, dan hasilnya punsangat jauh bila di bandingkan dengan nelayan moderen.

Nelayan-nelayan ini merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, namun demikian pemerintah daerah setempat belum dengan sepenuhya memperhatikan kesejahteraan nelayan pancingan tradisional, hal ini dapat di lihat dari hasil tangkapan yang sangat minim.

Kehidupan bermayarakat nelayan pancing tradisional tersebut sangat rukun walaupun dengan keadaan ekonomi mereka yang masih di bawah kata sejahtera, namun hal ini tidak menutup mereka untuk hidup rukun. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan.

Faktor-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan tetap dalam kemiskinannya. Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai negara Asia serta Anderson (1979) yang melakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan bahwa kekauan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah asalan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan.

Karakteristik Pulau Ambon dijadikan sebagai salah satu sub bahasan pada analisis ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum bagaimana kondisi wilayah yang membentuk karakter masyarakat terutama nelayan di wilayah ini. Dalam bahasan ini tidak diuraikan secara rinci karakteristik Pulau Ambon, tetapi hanya gambaran umumnya saja, sehingga menjadi masukan untuk bahasan karakteristik nelayan perikanan demersal di pulau ini. Pulau Ambon memiliki luas 761 km2, merupakan pulau karang, secara geologi termasuk dalam klasifikasi paleoceen bersama kepulauan Maluku secara umum, yang terbentuk sejak 70 juta tahun yang lalu. Berdasarkan klasifikasi agroklimat dari OLDEMAN (1980), Pulau Pulau Ambon termasuk dalam kategori Zona III.3, yakni bulan basah selama 5-6 bulan dan bulan kering <2 bulan (Statistik Provinsi Maluku 2013).

Iklim di Pulau Ambon adalah iklim musiman. Distribusi iklim sesuai lokasi stasiun penelitian iklim adalah seperti berikut ini. Musim Timur berlangsung dari bulan Juni sampai Agustus. Musim ini adalah musim hujan disertai dengan angin dari arah tenggara dengan kecepatan yang tinggi membuat Laut Banda yang berhadapan langsung dengan Pulau Ambon sangat bergelombang dengan tinggi gelombang dapat mencapai 5 m. Musim Barat dari bulan November-Januari, musim ini adalah musim kemarau. Musim Pancaroba pada bulan Pebruari-Mei serta September-Nopember. Bulan April-Oktober bertiup angin Timur Tenggara. Angin kencang bertiup pada bulan Januari-Pebruari, yang diikuti dengan hujan deras dan laut bergelora. Bulan April-September bertiup angin Timur Tenggara dan Selatan sebanyak 91% dengan angin Tenggara dominan 61%, Bulan

Oktober-Maret bertiup angin Barat Laut sebanyak 50% dengan angin Barat Laut dominant 28%. Curah hujan di Pulau Ambon per tahun antara 2000-2500 mm. Suhu udara rata-rata untuk tahunan sesuai data Stasiun Meteorologi Ambon adalah 26,3ºC, dengan suhu minimum absolut rata 22,8ºC dan suhu maksimum absolut rata-rata 30.7ºC. Rata-rata-rata Kelembaban Udara Relatif 83.3%; Penyinaran matahari rata-rata 64,7 %; dan tekanan udara rata-rata 1.013,3 milibar (Statistik Provinsi Maluku 2013).

Masyarakat di pulau Ambon terbagi pada dua kabupaten/kota yaitu Kota Ambon yang merupakan ibu kota Provinsi Maluku dan Kabupaten Maluku Tengah. Jumlah penduduk kota Ambon adalah 331.254 jiwa sedangkan 3 Kecamatan lain di Pulau Ambon wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah adalah 110.359 jiwa. Dengan demikian jumlah penduduk yang mendiami Pulau Ambon adalah 441.613 jiwa. Kota Ambon merupakan kota provinsi, dengan aktivitas perdagangan dan pemasaran ikan yang cukup tinggi (Maluku Dalam Angka 2013). Hal ini dibuktikan dengan banyaknya perusahan penangkapan dan pengumpul ikan segar di Kota dan Pulau Ambon secara keseluruhan. Berdasarkan data Dinas Perdagangan Provinsi Maluku, hasil-hasil tangkapan ikan segar dari Provinsi Maluku di ekspor ke Jepang, Korea Selatan, Thailand, Philipina, Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa (Dinas Perdagangan Provinsi Maluku, 2012).

Wilayah pesisir Pulau Ambon dikarakteristikan dengan ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Dua kecamatan di Pulau Ambon yang memiliki ketiga ekosistem ini secara lengkap adalah Kecamatan Salahutu dan Leihitu, sedangkan di kecamatan lainnya memiliki satu atau dua dari tiga ekosistem tersebut. Luas lahan ekosistem lamun di Kecamatan Salahutu adalah 10,23 ha, terumbu karang 233,70 ha dan ekosistem mangrove 12,60 ha. Sedangkan di Kecamatan Leihitu luas lahan ekosistem lamun adalah 23,50 ha, terumbu karang 678,20 ha dan ekosistem mangrove 2,10 ha. Secara keseluruhan hampir di sepanjang pesisir Pulau Ambon didominasi oleh ekosistem karang (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku 2010). Kondisi ini memungkinkan pulau ini memiliki sumberdaya perikanan demersal yang cukup tinggi, yang dapat dijadikan sebagai sumber ekonomi masyarakat jika dimanfaatkan dengan baik dan benar.

Karakteristik Nelayan

Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa unit penangkapan yang digunakan nelayan untuk mengeksploitasikan sumberdaya perikanan demersal di Pulau Ambon adalah rawai, pancing tangan, gill net dan bubu. Alat tangkap rawai dan pancing tangan digunakan untuk penangkapan ikan demersal laut dalam, sedangkan bubu dan gill net untuk perairan dangkal dan karang. Belum ada sentuhan teknologi dalam penggunaan alat tangkap maupun metode penangkapan. Nelayan selama ini menggunakan cara-cara konvensional untuk menemukan gerombolan ikan maupun operasi penangkapan. Kapal yang digunakan semuanya ukuran kecil, dengan ukuran panjang antara 6-8 m, lebar 60-80 cm dan tinggi 50-70 cm. Bahan dasar kayu dan fiber glass, atau bahan dasar kayu yang dilapisi fiber glass. Mesin penggeraknya adalah mesin tempel as pendek dan as panjang, ada juga yang menggunakan tenaga manusia. Kapal-kapal dengan mesin tempel

as pendek umumnya lebih besar dari kapal-kapal dengan mesin tempel as panjang dan tanpa mesin (Gambar 3). Semua kapal tidak memiliki alat navigasi, karena daerah penangkapan berada diwilayah pesisir dengan jarak tempuh paling lama 2 jam perjalanan, umumnya 1 jam. Setiap kapal dioperasikan oleh 1-2 orang nelayan. Semua kegiatan operasi menggunakan tenaga manusia. Kapal-kapal ini tidak memiliki palka ikan, namun memiliki kotak pendingin yang diberi es untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan. Alat tangkapan pancing tangan memiliki produktivitas yang rendah. Hasil tangkapan maksimum 25 individu/trip, rata-rata 12 individu/trip. Semua hasil tangkapan untuk kepentingan komersial, untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal.

Gambar 3 Jenis kapal yang digunakan nelayan (a) As pendek (b) As panjang (c) tanpa mesin (motor penggerak)

Kapal-kapal yang digunakan pada unit alat tangkap jaring insang dan bubu ukurannya sama dengan pancing tangan, namun pada ke dua unit alat tangkap ini umumnya menggunakan mesin as panjang dan tanpa mesin. Hal ini diakibatkan karena daerah penangkapan yang dekat dengan wilayah pemukiman, ada juga yang jauh dari wilayah pemikiman namun tetap di pesisir pantai pada wilayah perairan dangkal. Hasil tangkapan umumnya dijual ke pasar lokal atau pedagang pengumpul. Khusus untuk alat tangkap bubu, hasil tangkapan ikan garopa (Ephinephelis sp) dijual dalam bentuk hidup ke pedagang pengumpul dengan harga cukup tinggi.

Daerah penangkapan ikan demersal menyebar merata mengililingi pulau ini, sehingga di setiap desa terdapat daerah penangkapan ikan demersal. Walaupun demikian satu daerah penangkapan tidak dikleim menjadi milik desa atau kecamatan tertentu. Masyarakat bebas menangkap pada semua daerah penangkapan. Musim penangkapan untuk semua daerah penangkapan adalah berbeda berdasarkan posisinya. Di Jasira Leihitu aktivitas penangkapan berlangsung dari bulan April sampai September atau pada akhir musim pancaroba pertama sampai awal pancaroba ke dua dengan puncaknya pada bulan Mei sampai Juli. Di Teluk Ambon Luar sampai Jasira Leitimur Selatan aktivitas penangkapan yang baik pada bulan September sampai Februari dan puncaknya pada bulah Oktober-November. Sedangkan di perairan Salahutu aktivitas penangkapan dapat berlangsung sepanjang tahun. Kondisi ini diakibatkan karena kondisi musim yang terjadi. Musim Timur (Juni-Agustus) dengan curah hujan disertai kecepatan angin yang tinggi dari arah tenggara Pulau Ambon mengakibatkan kondisi laut di sebelah selatan pulau Ambon sampai Teluk Ambon luar sangat bergelombang dengan gelombang dapat mencapai 5 m. Kondisi ini mengakibatkan pada

bulan tersebut aktivitas penangkapan tidak dapat dilakukan. Sedangkan di sebelah utara (Jasirah Leihitu) kondisi lautnya tenang, karena tidak mendapat pengaruh angin saat itu. Sebaliknya pada musim barat di Jasirah Leihitu lebih mendapat tekanan akibat bertiupnya angin utara dan barat. Sedangkan di Perairan Salahutu, operasi penangkapan dapat berlangsung sepanjang tahun karena posisinya lebih terlindung sehingga tidak terlalu mengalami tekanan akibat perubahan musim yang terjadi.

Investasi setiap unit perikanan pancing sekitar 1,2-35 juta, tergantung mesin yang digunakan. Jika menggunakan mesin tempel as pendek investasinya lebih tinggi dibandingkan dengan mesin tempel as panjang dan tanpa mesin. Hal yang sama berlangsung bagi unit penangkapan bubu dan jaring insang. Investasi yang digunakan bervariasi, tergantung ukuran dan jumlah unit tangkapan yang digunakan. Secara umum unit penangkapan yang digunakan ukurannya kecil sehingga nelayan yang memiliki unit tangkapan mengoperasikanya sendiri. Hanya sebagian kecil saja yang memiliki unit tangkapan agak besar dan menggunakan tenaga kerja tambahan. Hasil wawancara terhadap 109 responden didapati 104 responden atau 95,4% nelayan pemilik mengoperasikan alat tangkapnya sendiri dan 5 responden atau 4,6% menggunakan tenaga kerja tambahan. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa hanya 4,6% nelayan perikanan demersal di Pulau Ambon yang memiliki unit tangkapan yang agak besar dan membutuhkan tenaga kerja tambahan dalam kegiatan penangkapan.

Semua ikan hasil tangkapan adalah untuk dipasarkan, terutama jenis-jenis ikan dengan nilai ekonomis tinggi seperti garopa, ikan merah dan ikan bae (kurisi). Nelayan akan memanfaatkan ikan-ikan yang nilai jualnya rendah untuk dikonsumsikan, bahkan waktu-waktu tertentu semua hasil tangkapan dijual dan untuk konsumsi keluarga mereka membeli ikan-ikan pelagis dengan nilai jual yang lebih rendah. Hasil tangkapan dijual di pasar lokal yang ada di sekitar tempat tinggal maupun di Kota Ambon. Hasil ini menunjukkan bahwa orientasi menangkap ikan oleh nelayan-nelayan perikanan demersal di Pulau Ambon adalah untuk kepentingan komersil bukan untuk konsumsi. Dengan demikian

Dokumen terkait