• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Sumberdaya perikanan termasuk sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) akan tetapi upaya pemanfaatan tanpa mempertimbangkan kemampuan untuk pulih kembali telah menyebabkan sumberdaya perikanan di beberapa wilayah perairan menjadi hancur dan mengalami kepunahan. Naamin dan Harjamulia (1990) menyatakan bahwa sumberdaya perikanan yang tersedia melimpah dan mempunyai kemampuan pulih kembali namun tanpa adanya usaha pengawasan terhadap penangkapan yang berlangsung terus-menerus dapat memperbesar kemungkinan terjadinya overfishing di beberapa perairan maupun daerah penangkapan. Guna menjamin kelestarian sumber daya maka pemanfaatannya tidak boleh melebihi potensinya (FAO 1996).

Permintaan terhadap ikan konsumsi oleh masyarakat di Pulau Ambon termasuk jenis ikan demersal cenderung mengalami peningkatan selain karena permintaan pengusaha lokal untuk tujuan ekspor, juga permintaan pasar lokal maupun sejumlah restoran seafood di Kota Ambon dan sekitarnya. Kondisi ini mengakibatkan upaya penangkapan mulai mengarah ke upaya pemanfaatan untuk tujuan komersial. Salah satu penyebab menurunnya sumberdaya perikanan adalah meningkatnya tekanan penangkapan akibat penambahan jumlah armada dan alat penangkapan ikan. Selain itu metode dan teknik ikan penangkapan sering tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan seperti penggunaan bom dan racun yang cukup marak akhir-akhir ini. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa penyebab utama gangguan ekologi sumberdaya dan ekosistem adalah manusia (Dahdouh-Guebas et al. 2005; Lopez-Hoffman et al. 2006).

Sumberdaya ikan demersal di perairan dangkal sering menjadi sasaran eksploitasi karena nilai jual yang relatif tinggi serta kemudahan yang dapat menjangkau daerah penangkapan. Akan tetapi belum diketahui berapa besar potensi dan tingkat pemanfaatannya. Saat ini nelayan lokal yang sudah sejak dulu memanfaatkan sumberaya pada area dimaksud mulai merasakan gejala menurunnya hasil tangkapan. Untuk itu upaya penangkapan demersal di perairan lebih dalam (>20-100 m) yang sejak dulu digeluti sebagian nelayan di Pulau Ambon penting dikaji untuk dikembangkan, sehingga menghindari tekanan di perairan dangkal (20 m), sebagaimana yang dikemukakan Badrudin dan Karyana (1992) bahwa nelayan biasanya mengoperasikan alat tangkap ikan demersal pada kedalaman 20 m.

Perairan Pulau Ambon hingga pada kedalaman 20 meter dimana ekosistem terumbu karang dijumpai merupakan basis penangkapan ikan demersal oleh sebagian besar nelayan di Pulau Ambon. Berbagai jenis alat penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan antara lain : jaring insang dasar (bottom gill net), mini trawl, rawai, bubu, pancing tangan, tombak dan panah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku 2013). Pengoperasian jenis-jenis alat penangkapan ini jika terus menerus dilakukan tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan

terutama pada dasar perairan yang didominasi oleh terumbu karang maka cepat atau lambat akan menyebabkan kerusakan lingkungan dan sumberdaya hayati didalamnya bahkan kerugian manusia yang memanfaatkannya.

Berdasarkan hasil pengamatan ekosistem terumbu karang yang dijumpai di kedalaman 20 m di daerah penangkapan sekitar perairan Pulau Ambon dapat dikategorikan cukup baik, namun di beberapa lokasi dinyatakan dalam kondisi buruk akibat penangkapan tidak bertanggung jawab seperti penggunaan bom, potas dan lain sebagainya. Odum 1955 dan Connell 1978 menyatakan bahwa terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling produktif dan beragam secara hayati di Bumi. Hampir sepertiga dari spesies ikan laut dunia ditemukan di terumbu karang (McAllister 1991) dan hasil tangkapan dari daerah terumbu karang menghasilkan sekitar 10% sumberdaya ikan yang dikonsumsi oleh manusia (Smith 1978). Untuk itu pemanfaatan sumberdaya ikan demersal sebaiknya diarahkan ke perairan yang lebih dalam, agar mengindari kerusakan pada ekosistem terumbu karang di perairan dangkal yang penting bagi keberlanjutan sumberdaya.

Sebagian besar penelitian terbaru ikan demersal pada perairan yang lebih dalam dititik beratkan pada penilaian sumberdaya (Moffit 2003). Dalam perikanan data runtun waktu diperlukan untuk kepentingan perkiraan hasil maksimum lestari (MSY) dengan menggunakan model surplus produksi antara lain model Schaefer yang telah diterapkan pada perikanan demersal laut dalam termasuk area slope dari ikan demersal yang dikenal sebagai perikanan multispecies di Hawaii. Akan tetapi dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menyediakan data karena baru berkembangnya perikanan demersal untuk pulau-pulau di Pasific dan daerah lain disekitarnya (Ralston dan Polovina 1982).

Produksi dalam pengertian umum meliputi semua aktifitas untuk menciptakan barang dan jasa (Ari, 2004). Menurut Joesron dan Fathorozi (2005) produksi merupakan hasil akhir dari proses aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan atau input. Ketut (2004) dalam Suharno (2008) memberikan definisi fungsi produksi sebagai fungsi yang menjelaskan hubungan fisik antara jumlah input yang dikorbankan dengan jumlah maksimum output yang dihasilkan. Fungsi produksi menurut Ari (2004) adalah suatu skedul (atau label atau persamaan matematis) yang menggambarkan jumlah output maksimum yang dapat dihasilkan dari satu set faktor produksi tertentu dan pada tingkat tertentu pula. Singkatnya, fungsi produksi adalah katalog dari kemungkinan hasil produksi. Bilas (1995) mendefinisikan fungsi produksi sebagai hubungan fisik antara input-input sumberdaya perusahaan dan outputnya yang berupa barang dan jasa per unit waktu. Sedangkan Ferguson dan Gould (1975) dalam Joesron dan Fathorozi (2005) menjelaskan bahwa fungsi produksi adalah suatu persamaan yang menunjukkan jumlah maksimum output yang dihasilkan dengan kombinasi input tertentu. Nicholson (2006) mengemukakan bahwa hubungan antara input dan output ini dapat diformulasikan oleh sebuah fungsi produksi, yang dalam bentuk matematis bisa ditulis :

Q = f(K,T,M, . . . .) ... (1 ) Q = output yang dihasilkan selama suatu periode tertentu

K = kapital (modal) T = tenaga kerja

M = material

(tanda titik-titik dalam kurung menunjukkan kemungkinan digunakannya input yang lainnya)

Fungsi Produksi Perikanan

Fungsi Produksi perikanan jangka pendek merupakan hubungan antara tangkapan (catch) dengan usaha-usaha (efforts), sedangkan fungsi perikanan jangka panjang adalah hubungan antara penangkapan ikan dengan rata-rata tangkapan yang diperoleh pada waktu tertentu tanpa mempengaruhi persediaan ikan di laut (Anderson, 1986 dalam Suharno, 2008). Fungsi perikanan jangka panjang untuk tangkapan yang maksimal atau MSY dapat diartikan sebagai hasil tangkapan ikan yang sama dengan pertumbuhan alami dari stok ikan yang tetap selama upaya (effort) juga tetap (Panatoyou, 1985 dalam Waridin, 2005).

Walaupun stok ikan atau sumberdaya melimpah, variasi lokasi dan waktu penangkapan, stok ikan dalam jangka pendek diasumsikan tetap, sehingga fungsi produksi perikanan jangka pendek dapat dirumuskankan sebagai berikut (Panayotou, 1985; Zen et al., 2002 dalam Waridin, 2005):

Y = f (E) ... (2) dimana Y adalah hasil tangkapan dan E adalah upaya penangkapan ikan (effort).

Menurut Panayotou (1985), Frederick dan Nair (1985) dan Zen et al. (2002) dalam Waridin (2005), fungsi produksi penangkapan ikan dapat dituliskan sebagai berikut:

Y = f (E1, E2, ……., E6) ... (3) Menurut Fauzi dan Anna (2005) dasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana dapat memanfaatkan sumberdaya sehingga menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. Terkandung dua makna dari pernyataan tersebut yaitu makna ekonomi, makna konservasi atau biologi. Pemanfaatan optimal sumberdaya ikan harus mengakomodasi kedua ilmu tersebut. Oleh karena itu, pendekatan bioekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan.

Bidang perikanan termasuk bidang yang paling banyak menggunakan ilmu bioekonomi. Para pakar telah lama mencoba mengenali dan menganalisis kompleksitas pengelolaan sumberdaya ikan. Perhatian dimulai terhadap sumberdaya ikan itu sendiri, baik dari sisi morfologi, fisiologi, tingkah laku, karakteristik maupun kelimpahannya. Karakteristik khas sebagai common property resources membuat sumberdaya ikan bisa habis meskipun tergolong dapat pulih (renewable). Selanjutnya Nikijuluw (2005) memaparkan sifat lain dari common property sumberdaya ikan yaitu ekskludabilitas, substraktabilitas, indivisibilitas, dan interkoneksitas. Sifat ekskludabilitas dan substraktabilitas terkait dengan cara pemanfaatannya, sementara sifat indivisibilitas dan interkoneksitas terkait dengan sifat bermigrasi dan kesatuan stok ikan dalam

kelompok. Sifat barang publik seringkali menyebabkan penanganan yang salah sehingga menyebabkan apa yang disebut Hardin(1968) sebagai “tragedy of common”.

Mulyana (2007) menyatakan bahwa banyak penelitian lainnya diarahkan untuk mengetahui biomassa ikan serta menentukan batas-batas pemanfaatan sesuai tujuan pengelolaan. Istilah bioekonomi diperkenalkan oleh Scott Gordon, seorang ahli dari Kanada yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal. Karena Gordon menggunakan basis biologi yang sebelumnya sudah diperkenalkan oleh Schaefer (1954), pendekatan Gordon ini disebut pendekatan bioekonomi (Fauzi dan Anna, 2005).

Lebih lanjut Fauzi dan Anna (2003) menguraikan ketika Schaefer pada tahun 1954 pertama kali mengenalkan konsep MSY (Maximum Sustainable Yield), konsep ini menjadi “buzz word” (jimat) pengelolaan sumberdaya perikanan. Untuk pendugaan stok ikan (standing stock), Schaefer (1954) mengembangkan metode surplus production yang mengkaji hubungan antara produksi dan produktivitas penangkapan atau CPUE (catch per unit effort) dengan effort. Ditemukan bahwa hubungan CPUE dan effort sifatnya linier dan trend-nya menurun (slope negatif). Schaefer mengembangkan konsep pertumbuhan populasi ikan berdasarkan asumsi konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan Verhulst pada tahun 1983. Dari sini lahirlah konsep MSY (maximum sustainable yield) yang akhirnya ditetapkan sebagai salah satu titik referensi (reference point) pengelolaan perikanan. Pada Gambar 1 diperlihatkan grafik hubungan produksi lestari dengan effort serta titik MSY sebagai tingkat perolehan produksi secara berkelanjutan yang maksimum.

Pendekatan bioekonomi ini diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan karena selama ini pengelolaan didasarkan pada pendekatan biologi semata, yaitu ketika Schaefer mengenalkan konsep MSY, maka konsep ini seperti menjadi jimat dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Konsep MSY ini ditujukan untuk pendekatan biologi yaitu memperoleh produksi setinggi-tingginya dan mengabaikan faktor biaya pemanenan ikan, tidak mempertimbangkan aspek social ekonomi akibat pengelolaan sumberdaya ikan dan tidak memperhitungkan nilai ekonomi terhadap sumberdaya yang tidak dipanen. Kekurangan-kekurangan pendekatan biologi tersebut melahirkan konsep baru yaitu pendekatan bioekonomi.

Dengan bioekonomi aspek sosial dan ekonomi menjadi penting dalam pengelolaan. Pada pendekatan biologi tujuan utama adalah pertumbuhan biologi namun pada pendekatan bioekonomi tujuan utama adalah aspek ekonomi dengan kendala aspek biologi sumberdaya ikan (Fauzi dan Anna, 2005). Kelemahan pendekatan MSY menurut Conrad dan Clark (1987) antara lain : (1) sifatnya tidak bersifat stabil; (2) hanya berlaku pada kondisi steady state (keseimbangan); (3) tidak dapat diterapkan pada perikanan yang multispesies; (4) tidak memperhitungkan nilai ekonomi jika stok ikan tidak dipanen; dan (5) mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya. Gordon memasukkan kajian ekonomi terhadap model Schaefer untuk menjelaskan hubungan antara sumberdaya ikan dengan usaha penangkapan ikan, interaksi biologi-ekonomi ini dikenal sebagai model Gordon-Schaefer. Berangkat dari itu maka Caddy dan Mahon dalam FAO (1995) seperti dikutip Rukka (2006) telah menjabarkan

konsep MEY (Maximum Economic Yield) yang mendeskripsikan tingkat effort yang menghasilkan rente sumberdaya maksimum (yaitu selisih terbesar antara penerimaan dengan biaya). Jika fungsi penerimaan dan fungsi biaya digabungkan maka akan menguraikan inti mengenai keseimbangan bioekonomi model Gordon-Schaefer.

Konsep MEY ini kemudian ditetapkan sebagai salah satu target (reference point) pengelolaan sumberdaya. Hal ini disebabkan adanya kelebihan faktor produksi (tenaga kerja, modal) dalam perikanan yang seharusnya bisa digunakan untuk ekonomi lainnya yang lebih produktif. Inilah yang menjadi prediksi Gordon bahwa pada kondisi open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Hal ini didukung oleh Clark (1985) yang menyatakan bahwa overfishing ekonomi tidak akan terjadi pada perikanan yang terkendali, sedangkan overfishing biologi akan terjadi kapan saja bila perbandingan antara harga dengan biaya cukup tinggi. Dengan kata lain, keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to zero) sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Kondisi ini identik dengan ketidakadaannya hak pemilikan (property rights) pada sumberdaya atau lebih tepatnya adalah ketiadaan hak pemilikan yang bias dikuatkan secara hukum (enforceable) (Fauzi, 2006).

Kegiatan perikanan terdiri dari sejumlah aktifitas dan ciri berbeda berkaitan dengan jenis ikan dan alat tangkap yang berbeda. Disana banyak jenis ikan yang dipanen dengan banyak jenis armada dan alat tangkap. Untuk memudahkan analisis, maka kita perlu membuat asumsi penyederhanaan, bahwa jenis ikan yang ada dianggap satu jenis dan ditangkao dengan satu alat yang sama..

Para ahli biologi ikan menggolong-golongkan jenis ikan menjadi dua kelompok, yaitu : (a) jenis ikan demersala, yaitu ikan-ikan yang tinggal di dasar perairan dengan ruaya terbatas di lokasi tertentu. (b) Jenis ikan pelagis yang ruayanya sangat luas, berpindah-pindah dari satu wilayah perikanan tertentu ke wilayah perikana yang lain.

Adanya perbedaan kelompok ikan dimersal dan pelagis bukan saja penting dipersoalkan kerna ada kaitannya dengan alat tangkap yang dapat digunakan, tapi juga berkaitan dengan pertimbangan pemilikan sumberdaya. Untuk menangkap ikan demersal (dasar) dengan ruaya yang sangat terbatas sehingga pengembangan konsep pemilikan perorangan sangat tepat. Hal itu berbeda dengan penangkapan ikan pelagis yang terkadang bergerak dan beruaya jauh, seperti ikan tuna.

Disamping itu, ikan adalah sumberdaya yang dapat diperbaharui. Dalam hal ini ada dua konsep penting yang memerlukan perhatian kita, yaitu : (a) Stok atau populasi ikan, baik dalam satuan jumlah ikan atau biomassa secara agregat pada waktu tertentu. (b) Flow yaitu perubahan dalam stok pada periode waktu tertentu yang terjadi karena faktor biologis, seperti ikan baru masuk menjadi anggota populasi (recruitment), pertumbuhan anggota populasi, kematian secara alami, dan faktor ekonomi seprti panen ikan. Populasi bertambah karena tambahan jumlah ikan baru dan karena pertumbuhan ikan. Namun populasi ikan akan menurun karena kematian alami dan karena dipanen.

Model ekonomi perikanan dalam Bab ini akan menggambarkan empat konsep dasar, yaitu :

(2) Bagaimana dampak panen ikan terhadap populasi sumberdaya;

(3) Bagaimana kondisi open access berdampak terhadap panen dan kondisi populasi ikan; dan

(4) Bagaimana dengan panen yang optimal secara sosial-ekonomi sumberdaya dalam kondisi open access.

Kegiatan produksi untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan laut memiliki tiga komponen saling berkaitan, yaitu : (1) komponen biologis, (2) kebijakan pemanfaatan sumberdaya, dan (3) sosial-ekonomi perikanan. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan satu sama lain. Komponen biologi menjelaskan dinamika stok ikan, komponen pemanfaatan sumberdaya menyajikan dinamika kebijakan melalui pengaturan armada penangkapan ikan (fishing effort), dan komponen sosial ekonomi menyajikan dinamika biaya dan keuntungan Juragan pemilik aset dan pendapatan ABK dalam operasi penangkapan ikan. Oleh karena itu, satu hal yang harus diperhatikan bahwa ikan bisa punah karena dilakukan panen secara melalpaui batas stok ikan yang tersedia.

Sumberdaya ikan demersal di perairan Pulau Ambon sudah dimanfaatkan sejak dulu, namun informasi tentang besar potensi dan tingkat pemanfaatan belum diketahui. Salah satu pendekatan untuk menjaga keseimbangan pemanfaatan sumberdaya adalah melalui pendekatan biologi yaitu menentukan besarnya upaya pada tingkat MSY (Maximum Sustainable Yield). MSY adalah cara sederhana untuk mengelola sumberdaya dengan mempertimbangkan bahwa eksploitasi berlebihan sumberdaya menyebabkan hilangnya produktivitas (Kar dan Chakraborty 2009). Tujuan penelitian ini adalah menentukan potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Pulau Ambon.

Metodologi

Penelitian dilaksanakan di perairan Pulau Ambon sejak Januari sampai April 2013. Data yang diambil meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan pengamatan secara langsung dan wawancara dengan menggunakan kuisioner untuk mendapatkan jenis dan ukuran ikan serta sebaran daerah penangkapan. Jenis ikan hasil tangkapan nelayan diukur dan selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan buku petunjuk identifikasi menurut Anderson dan Allen (2001) dan Allen et al. (2003), sedangkan data sekunder diperoleh dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon periode 2005-2010. Data ini digunakan untuk kepentingan pendugaan potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Pulau Ambon. Data primer dianalisis secara deskriptif melalui gambar dan tabel, sedangkan data sekunder dianalisis dengan pendekatan sebagai berikut:

Catch per Unit Effort (CPUE)

CPUE dimaksudkan untuk mengetahui kelimpahan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang ada di wilayah perairan tertentu. Perhitungan dilakukan setelah data produksi dan upaya (effort) ditabulasi menurut jenis alat tangkap. Upaya dalam penelitian ini adalah trip penangkapan. Perhitungan CPUE dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut:

……….. (4) Keterangan :

CPUEt = hasil tangkapan per upaya penangkapan pada tahun ke-t Catcht = hasil tangkapan pada tahun ke-t

effortt = upaya penangkapan pada tahun ke-t Standarisasi alat tangkap

Alat tangkap yang umumnya digunakan untuk penangkapan jenis ikan demersal di Perairan Pulau Ambon adalah: rawai, pancing tangan, bubu dan gill net tetap. Karena tiap alat memilik kemampuan tangkap yang berbeda, maka standarisasi dilakukan untuk menghitung input upaya secara agregat. Jika standarisasi tidak dilakukan maka tidak mungkin dapat menjumlahkan total input agregat (total effort) dari perikanan yang dianalisis (Fauzi dan Anna, 2005). Alat penangkapan ikan standar adalah alat yang memiliki produktivitas tertinggi dalam penangkapan suatu jenis ikan, atau mempunyai rata-rata CPUE terbesar dengan indeks kemampuan tangkap (fishing power indeks) satu. Standarisasi alat tangkap ke n pada periode waktu t adalah:

……….. (5)

φxt diukur berdasarkan rasio CPUE dari alat tangkap terhadap alat tangkap standar pada periode waktu t

...……….. (6) keterangan :

Estd = Effort standar

Φnt = indeks kemampuan alat tangkap jenis ke n pada waktu t Ent = Upaya nominal alat tangkap ke-n pada waktu t

Unt = CPUE alat tangkap ke-n pada waktu t Ustd = CPUE alat tangkap standar

Pendugaan Potensi Lestari dan Tingkat Pemanfaatan

Analisis Potensi pada tingkat lestari (MSY) dilakukan melalui 5 (lima) model/pendekatan. Dari ke lima model tersebut akan ditentukan salah satu model terbaik yang menggambarkan keadaan sebenarnya dari objek yang diteliti. Kelima pendekatan tersebut sebagai berikut:

1 Disequilibrium schaefer 2 Schaefer t t t t t qE U qK r r U U U 2 ln 1 1

.

bx

a

Y Y c/ f,

.………... (7) ………... (8)

x = f. MSY = a/2b, f optimum = a2/4b 3 Walter-Hilborn

4 Schnute

5 Clark, Yoshimoto, dan Pooley (CYP).

Keterangan:

Ut = CPUE pada waktu t Ut + 1 = CPUE pada waktu t + 1 Ut = CPUE pada waktu t Ut + 1 = CPUE pada waktu t + 1 Et = Effort pada waktu t Et + 1 = Effort pada waktu t + 1 Ht = Hasil tangkapan pada waktu t K = Daya dukung lingkungan r = Konstanta pertumbuhan alami q = Koefisien daya tangkap

Untuk mendapatkan model terbaik dilakukan pengukuran untuk menentukan goodness of fit suatu model penduga: Penentuan/pengukuran dilakukan melalui:

1) Membandingkan nilai r2-nya 2) Kesesuaian tandanya

3) Penyimpangan yang terkecil

Hasil dan Pembahasan Jenis dan Distribusi

Perairan Pulau Ambon merupakan salah satu daerah penangkapan ikan (fishing ground) potensial dari berbagai jenis sumberdaya perikanan. Mulai dari perairan pantai (in shore) hingga lepas pantai (off shore), pada permukaan perairan (pelagic) hingga pada laut dalam (deepsea). Sumberdaya perikanan di wilayah tersebut sudah dimanfaatkan sejak dulu oleh nelayan setempat. Hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan selama penelitian dilakukan diperoleh sampel yang didatai terhadap 110 responden diketahui jenis ikan demersal yang tertangkap sebanyak 22 jenis (Tabel 1).

) ( ) 2 ( ) ln( ) 2 ) 2 ( ) ln( 2 2 ) ln( t 1 t Et Et 1 r q U r r qK r r U t t t t U qE qK r r U U 1 1 2 ) ( ) 2 ( ln 1 t 1 t t t 1 t t E E q U U qK r r U U .………... (9) .……….…... (10) ………. (11)

Tabel 1 Jenis dan ukuran ikan demersal di perairan Pulau Ambon

No Jenis ikan Panjang (cm) TL Dominan

Nama lokal Nama ilmiah minimum maksimum

1 Kerapu Epinephelus spp 20 70

2 Kerapu macan Epinephelus fusco guttatus 30 120

3 Sikuda Lethrinus lencam 25 40

4 Gaca Lethrinus sp 15 45

5 Bae Gamuru Aphareus rutilans 32 114

6 Bae perempuan Etelis carbunculus 40 80

7 Bae laki-laki Etelis radiosus 30 110

8 Bae ekor bandera Etelis coruscans 30 114

9 Silapa Pristopomoides spp 15 60

10 Kuwe Caranx sp 30 70

11 Hiu/kaluyu Carcharias sp 45 150

12 Taruri Caranx sp 50 75

13 Kakap merah Lutjnus spp 35 90

14 Salmaneti Parupeneus spp 20 45

15 Kakatua Catoscarus sp 15 40

16 Parang-parang Trichiurus savala 70 150

17 Piscada Sphyraena sp 40 80 18 Gorango Lutjanus sp 20 40 19 Gurara Lutjanus sp 15 40 20 Maming Cheilinus sp 40 150 21 Kakas-kapas Gerres sp 20 40 22 Bambangan Nemipteridae sp 20 50

Hasil wawancara dengan nelayan terdapat 22 jenis ikan yang sering ditangkap oleh nelayan, hasil tersebuat dapat dilihata pada (Tabel 2), dari ke 22 jenis ini kemudia di pilih 5 jenis yang dominan untuk kemudian dilakukan analisa. Hasil yang diperoleh dari ke 5 jenis ikan tersebut yang dominan tertangkap dari sisi jumlah maupun periode penangkapan yakni: 1) ikan lencam (Lethrinus sp), (2) ikan kurisi (Etelis spp); (3) ikan kerapu (Epinephelus sp); (4) ikan kakap merah (Lutjanus spp); dan 5) ikan bobara (Caranx sp). Kelima jenis ikan ini selanjutnya digunakan untuk menganalisis seberapa besar potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di perairan Pulau Ambon. Data yangdigunakan adalah data Tahunan Dinas perikanan dan Kelautan Kota Ambon periode 2005-2010. Jenis-jenis ikan tersebut di atas ditemukan menyebar di sekitar Perairan Pulau Ambon. Sebaran daerah penangkapan berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan nelayan diperoleh 30 lokasi atau daerah penangkapan ikan (DPI). Sebaran lokasi penangkapan berdasarkan wilayah perairan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta sebaran daerah penangkapan jenis–jenis ikan demersal di perairan Pulau Ambon

Distribusi jenis-jenis ikan tersebut sangat dipengaruhi musim (Tabel 2). Kondisi ini teridentivikasi berdasarkan konsentrasi nelayan saat melakukan aktivitas penangkapan. Musim timur (Mei-September) konsentrasi nelayan penangkap berada di wilayah perairan Leihitu. Pada musim peralihan II sampai musim barat (September-Pebruari) aktivitas penangkapan ikan demersal berlangsung di wilayah perairan Teluk Ambon Luar dan perairan Nusaniwe. Pada musim barat (Desember-Pebruari) aktivitas penangkapan berlangsung di wilayah perairan Leitimur Selatan. Aktivitas penangkapan jenis-jenis ikan demersal dapat berlangsung sepanjang tahun di wilayah perairan Salahutu, dengan mayoritas nelayan berasal dari Negeri Tulehu dan Waai.

Tabel 2 Distribusi Ikan Demersal di Perairan Pulau Ambon berdasarkan wilayah penangkapan dan musim

Wilayah Penangkapan/Letak Lokasi Tangkap Musim/Puncak Tangkap I Leihitu 1 Tanjung Liang Timur

(Mei-September) 3.6010‟ – 3.70.26‟ LS- 2 Tanjung Setan

128.10.30‟ -128.20.30” BT 3 Muka Labuhan Morela dan 3.60.10‟ – 3.60.45‟ LS 4 Laut Mamala

127.90– 127.110 BT 5 Labuhan negeri Hitu Lama s/d belakang benteng (Hila)

6 Labuhan Negeri Lima 7 Palau Tiga

II Teluk Ambon Luar 8 Tg. Tapi Peralihan II -Barat (September- Pebruari) 3.7020‟ – 3.7040‟ LS - 9 Pemancar

127048‟ - 12801BT dan 10 Labuhan Negeri Alang 3.70.10‟ – 3.80 LS dan

127.90– 128.10 BT

11 Labuhan Negeri Hatu-Laha

III Nusaniwe 12 Batu Gelang Peralihan II-Barat (September- Pebruari) 3.70.30‟ – 3.80.10‟.09” LS-

13 Pantai Nama 127051‟,9” – 1280.20‟39” 14 Batu Pintu BT dan 3.70.30‟ – 3.80 LS- 15 Batu Naku 127048‟ – 1280.45‟ BT 16 Batu Badiri

17 Tg Lau

IV Leitimur Selatan 18 Wailirang Barat (Desember-Pebruari) 3.60.10‟ – 3.70.15‟ LS- 19 Liang

128.20 - 128.30.40‟ BT 20 Batu Ayam dan 3.7005‟ – 3.70.40‟ LS- 21 Labuhan Hukurila 1280.2‟ -1280.40‟ BT 22 Tg Hao

23 Batu Tongka 24 Saaru 25 Laut Tial 26 Teluk Baguala

V Perairan Salahutu 27 Tg Tial Sepanjang Tahun 3.5010‟ -3.60.48‟ LS - 28 Hurnala

128.20.40‟ –128.30.40‟ BT 29 Mamoking 30 Pulau Pombo

Wilayah perairan yang merupakan lokasi penangkapan jenis-jenis ikan tersebut berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil pemetaan sumberdaya

Dokumen terkait