• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.2. Landasan Teori

II.2.3. Kepercayaan terhadap Merek (Trust in a Brand)

II.2.3.2 Karakteristik perusahaan (company

Karakteristik perusahaan yang ada di balik suatu merek juga dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut. Pengetahuan konsumen tentang perusahaan yang ada di balik suatu merek kemungkinan dapat mempengaruhi penilaiannya terhadap merek tersebut. Karakteristik perusahaan yang

diperkirakan dapat mempengaruhi kepercayaan konsumen terhadap perusahaan (trust

in the company) adalah reputasi perusahaan (company reputations), motivasi yang

dirasakan oleh perusahaan (perceived motives of the company), dan integritas

perusahaan yang dirasakan (company integrity).

1. Kepercayaan terhadap perusahaan (trust in the company). Trust in a

company adalah rasa percaya bahwa perusahaan itu bagus, bonafit, dan

mempunyai kemampuan untuk menciptakan produk yang berkualitas. Ketika kesatuan suatu komponen dipercaya, maka kesatuan-kesatuan yang lebih kecil juga cenderung dipercaya, karena kesatuan-kesatuan kecil tersebut bernaung pada kesatuan yang lebih besar. Dilihat dari segi perusahaan dan produk yang dikeluarkannya, perusahaan yang lebih besar merupakan kesatuan yang lebih

besar, sementara itu merek merupakan kesatuan yang lebih kecil. Jadi konsumen yang menempatkan atau menaruh kepercayaan pada sebuah perusahaan, kemungkinan akan mempercayai merek yang dikeluarkannya.

2. Reputasi perusahaan (company reputation). Bila seorang konsumen merasa

bahwa orang lain berpendapat bahwa perusahaan yang berada di balik merek yang dipilihnya terkenal adil dan bijak, konsumen tersebut akan merasa lebih aman dalam menerima dan menggunakan produk perusahaan tersebut. Hal ini akan menimbulkan kepercayaan yang lebih besar terhadap merek tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, persepsi konsumen bahwa perusahaan memiliki reputasi kesetaraan sangat berkaitan erat dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.

3. Motif perusahaan yang dirasakan pelanggan (perceived motives of the

company). Remple dkk. (2001) menemukan bahwa motif-motif yang

dirasakan dari partner jual beli mempengaruhi kepercayaan terhadap partner tersebut. Intensionalitas merupakan suatu cara untuk mengembangkan kepercayaan dalam hubungan jual-beli industri. Intensionalitas erat kaitannya dengan interpretasi dan penilaian kelompok terhadap motif-motif kelompok lain. Ketika suatu kelompok dirasa membawa keuntungan, kelompok tersebut akan dipercaya. Sama halnya dengan Jones dkk (2003), mengungkapkan bahwa ruang lingkup perilaku pimpinan yang relevan bagi kepentingan bawahannya mempengaruhi kepercayaan diri dan kepercayaan terhadap pimpinan. Oleh karena itu, motif yang baik merupakan faktor yang penting

dalam suatu hubungan. Dalam konteks suatu merek, ketika konsumen merasa bahwa perusahaan yang ada di balik merek banyak mendatangkan keuntungan dan bertindak sesuai dengan minat mereka, maka konsumen akan mempercayai merek tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan, persepsi konsumen bahwa perusahaan memiliki motif yang menguntungkan sangat berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek yang diluncurkan perusahaan tersebut.

4. Integritas perusahaan (company integrity) merupakan persepsi konsumen

yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang logis, misalnya menepati janji, bertindak etis, dan berlaku jujur. Definisi ini sesuai dengan ungkapan Mayer dan Colleman (2001) mengenai integritas yang diharapkan. Tingkat sejauhmana perusahaan dinilai memiliki integritas tergantung pada konsistensi tindakan perusahaan tersebut pada masa-masa sebelumnya, komunikasi yang kredibel dengan kelompok-kelompok lain, kepercayaan yang dimiliki, rasa keadilan yang kuat, dan intensitas dari tindakan-tindakan perusahaan yang sesuai dengan pernyataannya. Jika perusahaan dirasakan mempunyai integritas, maka merek produknya akan dipercaya konsumen. Dengan demikian dapat disimpulkan, persepsi konsumen bahwa perusahaan memiliki integritas sangatlah terkait dengan kepercayaan konsumen terhadap merek yang diluncurkan oleh perusahaan tersebut.

II.2.3.3. Karakteristik merek oleh pelanggan (consumer-brand characteristic)

Totalitas pemikiran dan perasaan individu dengan acuan dirinya sebagai objek sehingga sering kali dalam konteks pemasaran dianalogkan merek sama dengan orang. Konsumen sering kali berinteraksi dengan merek seolah olah merek tersebut adalah manusia sehingga kesamaan antara konsep diri konsumen dengan merek dapat membangun kepercayaan terhadap merek. Karakteristik ini meliputi kemiripan antara

konsep emosional konsumen dengan kepribadian merek (Similarity between

Consumer Self-Concept and Brand Personality), kesukaan terhadap merek (brand liking) dan pengalaman terhadap merek (Brand Experience).

1. Kemiripan antara konsep diri konsumen dengan kepribadian merek

(similarity between consumer's self-concept and brand personality). Konsep diri merupakan totalitas pemikiran dan perasaan individu dengan acuan dirinya sebagai suatu obyek. Sebuah analogi populer yang digunakan dalam konteks pemasaran adalah, merek sama seperti orang. Jadi suatu merek dapat memiliki kesan atau kepribadian. Kepribadian merek adalah asosiasi yang terkait dengan merek yang diingat oleh konsumen dalam menerimanya. Kepribadian merek ini mirip dengan kepribadian manusia, bersifat abadi dan bersifat unik. Konsumen seringkali berinteraksi dengan merek seolah-olah merek tersebut adalah manusia, khususnya bila merek tersebut merupakan produk yang bermutu tinggi seperti pakaian dan mobil. Jika ciri-ciri fisik suatu merek dinilai sesuai dengan kesan dari konsumen terhadap suatu

produk, kemungkinan besar konsumen akan percaya pada merek tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kesamaan antara konsep diri konsumen dengan kepribadian merek sangat berkaitan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.

2. Kesukaan merek (brand liking). Brand liking menunjukkan kesukaan yang

dimiliki oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain karena kesamaan visi dan daya tariknya. Bennet (2005) berpendapat bahwa, untuk mengawali hubungan suatu kelompok harus disukai atau mendapat simpati dari kelompok yang lain. Bagi konsumen, untuk membuka hubungannya dengan suatu merek, maka konsumen tersebut harus menyukai dulu merek tersebut. Di pasar konsumen, jika seorang konsumen menyukai suatu jenis merek (yaitu suatu merek yang menurutnya sesuai dan menarik), kemungkinan konsumen akan lebih mempercayai merek tersebut. Secara formal dapat dinyatakan, simpati konsumen terhadap suatu merek sangat berhubungan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.

3. Pengalaman akan merek (brand experience). Yang dimaksud dengan

pengalaman merek (brand experience) adalah pengalaman masa lalu

konsumen dengan merek tersebut, khususnya dalam lingkup pemakaian. Zucker (2001) mengungkapkan bahwa dalam pengembangan kepercayaan yang bersandar pada proses, timbal balik (saling bertukar) merupakan kuncinya. Pengalaman akan memberikan pada dua kelompok yang melakukan hubungan saling memahami satu dengan yang lainnya. Jadi, pengalaman

kemungkinan besar dapat membangun kepercayaan partner. Juga ketika seorang konsumen mendapat banyak pengalaman dengan suatu merek, maka konsumen tersebut dapat memahami merek secara lebih baik dan kepercayaannya akan semakin meningkat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengalaman konsumen dengan suatu merek sangat berkaitan dengan kepercayaannya terhadap merek tersebut.

4. Kepuasan terhadap merek (brand satisfaction). Kepuasan terhadap suatu

merek dapat didefinisikan sebagai hasil evaluasi subyektif terhadap apa yang telah dicapai oleh merek terpilih dalam rangka memenuhi apa yang diharapkan konsumen. Fenomena ini sesuai dengan paradigma diskonfirmasi kepuasan konsumen, di mana perbandingan antara harapan konsumen dengan hasil yang dirasakan sangat mencirikan definisi "kepuasan".

Peer Support. Bearden, et.al (2003) berpendapat bahwa, salah satu

determinan perilaku individu adalah pengaruh yang dibawa oleh individu lain. Untuk menyatakan secara tidak langsung bahwa pengaruh sosial merupakan determinan penting dalam pembentukan perilaku individu. Implikasi dalam dunia pemasaran menurut Doney dan Canon (2006), jika seorang konsumen membeli suatu merek dan temannya mengatakan bagus maka ia percaya pada merek tersebut. Pada dasarnya, kalau orang lain banyak yang menyatakan bahwa suatu produk bagus, berarti produk tersebut memang bagus dengan catatan tidak ada dramatisasi dalam hal ini. Kesimpulan yang dapat diungkapkan dari pendapat di atas adalah, peer support suatu merek sangat berhubungan dengan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut.

Selain itu, konsumen yang loyal juga akan secara sukarela merekomendasikan untuk menggunakan merek tersebut kepada orang lain yang pada akhirrnya akan meningkatkan keuntungan perusahaan (Durianto, 2004). Penelitian yang berkaitan dengan loyalitas merek (brand loyalty) dilakukan oleh Astuti dan Cahyadi (2007),

yang menunjukkan hasil bahwa loyalitas merek (brand loyalty) yang menjadi salah

satu elemen ekuitas merek berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasa percaya diri konsumen atas keputusan pembelian konsumen pada produk handphone merek Nokia di Semarang, dengan nilai regresi sebesar 0,324. Hasil penelitiannya tersebut menunjukkan bahwa pelanggan yang loyal terhadap suatu merek, memiliki kecenderungan lebih percaya diri pada pilihan mereka.

Pengaruh loyalitas merek terhadap rasa percaya diri pelanggan atas keputusan pembelian juga dinyatakan oleh Aaker (2008) yang menyatakan bahwa tingkat loyalitas merek yang tinggi, yaitu berupa komitmen yang kuat dari pelanggan terhadap merek dapat menciptakan rasa percaya diri yang besar pada pelanggan saat mengambil keputusan pembelian. Hal ini disebabkan karena pelanggan merasa memiliki ikatan dengan merek sehingga pelanggan memiliki keyakinan yang besar bahwa keputusannya membeli merek tersebut adalah keputusan yang tepat (Aaker, 2008).

Aaker juga menyatakan bahwa loyalitas merek tidak terjadi tanpa melalui tindakan pembelian dan pengalaman menggunakan suatu merek. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut: Semakin

tinggi loyalitas konsumen terhadap suatu merek (X1), maka semakin tinggi keputusan pembelian konsumen (Y).

II.2.4. Kualitas Produk

Menurut Kotler (2007) menyatakan bahwa kualitas produk adalah keseluruhan ciri dari suatu produk yang berpengaruh pada kemampuan untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan/tersirat. Swan dalam Tjiptono (2005) menyatakan bahwa: kualitas produk sebagai evaluasi secara sadar atau penilaian kognitif menyangkut apakah kinerja produk relatif bagus atau jelek atau apakah produk bersangkutan cocok atau tidak cocok dengan tujuan pemakaiannya.

Pemahaman Konsep Kualitas Produk

1. Definisi Kualitas Produk

Definisi kualitas sangat beranekaragam dan mengandung banyak makna. Kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang harus

dikerjakan dengan baik. Goetsch dan Davis (2001) dalam Tjiptono (2002)

mendefinisikan “kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi

harapan”. Menurut Buddy (2001) dalam Wahyuningsih (2002), “kualitas sebagai

suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen internal dan eksternal, secara eksplisit dan implisit”. Ini jelas merupakan definisi kualitas yang berpusat pada konsumen, seorang produsen dapat memberikan kualitas bila produk atau pelayanan yang diberikan dapat memenuhi atau melebihi harapan konsumen.

Berdasarkan beberapa pengertian kualitas di atas dapat diartikan bahwa

kualitas hidup kerja harus merupakan suatu pola pikir (mindset), yang dapat

menterjemahkan tuntutan dan kebutuhan pasar konsumen dalam suatu proses manajemen dan proses produksi barang atau jasa terus menerus tanpa hentinya sehingga memenuhi persepsi kualitas pasar konsumen tersebut.

2. Persepsi terhadap Kualitas Produk

Perspektif kualitas yaitu pendekatan yang digunakan untuk mewujudkan

kualitas suatu produk. David dalam Tjiptono (2004), mengidentifikasikan adanya

lima alternatif perspektif kualitas yang biasa digunakan, yaitu: 1. Pendekatan Transedental (Transcendental Approach).

Kualitas dalam pendekatan ini, dipandang sebagai innate excellence, di mana kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalisasikan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam dunia seni, misalnya seni musik, seni drama, seni tari, dan seni rupa. Meskipun demikian suatu perusahaan dapat mempromosikan produknya melalui pernyataan-pernyataan maupun pesan-pesan komunikasi seperti tempat berbelanja yang menyenangkan (supermarket), elegen (mobil), kecantikan - lain. Dengan demikian fungsi perencanaan, produksi, dan pelayanan suatu perusahaan sulit sekali menggunakan definisi seperti ini sebagai dasar manajemen kualitas.

Pendekatan ini menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribut yang dapat dikuantitatifkan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk. Karena pandangan ini sangat objektif, maka tidak dapat menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan, dan preferensi individual.

3. Pendekatan Berbasis Pengguna (User-based Approach).

Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan

preferensi seseorang (misalnya perceived quality) merupakan produk yang

berkualitas paling tinggi. Perspektif yang subjektif dan demand-oriented ini juga menyatakan bahwa pelanggan yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang dirasakannya.

4. Pendekatan Berbasis Manufaktur (Manufacturing-based Approach).

Perspektif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan praktik-

praktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan (conformance to requirements).

Dalam sektor jasa, dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations-

driven. Pendekatan ini berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang

dikembangkan secara internal, yang seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. Jadi yang menentukan

kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan konsumen yang menggunakannya.

5. Pendekatan Berbasis Nilai (Value-based Approach).

Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai “affordable excellence”. Kualitas dalam perspektif ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat dibeli (best-buy).

II.2.5. Harga Optimum Produk

Harga adalah sejumlah uang yang ditentukan perusahaan berdasarkan kalkulasi biaya yang dikeluarkan seperti biaya produksi atau biaya mendapatkan produk, biaya marketing, biaya operasional, keuntungan yang diinginkan perusahaan dan sesuatu lain yang diadakan perusahaan untuk memuaskan keinginan konsumen. Artinya, harga ditetapkan karena terdapat keinginan, kebutuhan dan daya beli

konsumen. Peranan harga dalam bauran pemasaran cenderung meningkat apabila

terjadi kondisi-kondisi sebagai berikut: produk tersebut pertama kali diterjunkan ke pasar, dikaitkan dengan tujuan perusahaan, perusahaan kompetitor melakukan penurunan harga, adanya produk baru yang dihasilkan dari pengembangan teknologi baru yang mempunyai sifat substitusi dan lebih efisien serta efektif. Strategi

penentuan harga harus mempertimbangkan sampai di manakah tingkat loyalitas konsumen terhadap merek tertentu, apakah masih dalam skala kognitif saja, ataukah sudah mencapai tingkat devosi. Menurut Pimentel dan Reynolds (2004) devosi konsumen terhadap merek adalah tingkat loyalitas yang sangat intens sehingga tidak terpengaruh oleh harga yang tinggi, skandal, publisitas buruk, kinerja buruk maupun hilangnya aktivitas promosi.

Konsumen dalam upaya memutuskan pengambil keputusan pembelian suatu

produk dipengaruhi dan dikenal dengan istilah peranan kesadaran harga (price

awareness dan prices consciousness). Sementara konsumen dalam melakukan

evaluasi dan penilaian terhadap harga dari suatu produk sangat dipengaruhi oleh perilaku dari konsumen itu sendiri terdiri dari 4 (empat) aspek utama yaitu budaya, sosial, personal (umur, pekerjaan, kondisi ekonomi) serta psikologi (motivasi, persepsi, percaya). Dalam kenyataannya konsumen dalam menilai harga suatu produk, sangat tergantung bukan hanya dari nilai nominal secara absolut tetapi melalui persepsi mereka pada harga.

Secara umum persepsi konsumen terhadap harga tergantung dari persepsi

perbedaan harga (perception of price differences) dan referensi harga (reference

prices). Sedangkan persepsi terhadap kewajaran harga dapat pula dijelaskan dengan

teori acquisition transaction utility. Konsumen akan melakukan pembelian

(acquisition utility) apabila harga tersebut dikaitkan dengan keuntungan atau kerugian

dalam perspektif fungsi produk. Sedangkan transaction utility, konsumen

keuangan yang didapat dari perbedaan antara referensi internal harga (internal reference prices) dengan harga pembelian. Penilaian kualitas suatu produk sangat tergantung dari informasi yang melekat pada produk tersebut dan juga tergantung dari seberapa besar informasi tersebut dipahami oleh setiap individu.

Informasi tersebut dapat berupa intrinsik dan ekstrinsik. Informasi intrinsik adalah informasi yang berasal dari dalam produk itu sendiri. Sedangkan faktor ekstrinsik menjadi pertimbangan dalam penilaian apabila individu belum mempunyai pengalaman nyata tentang produk tersebut. Konsumen menggunakan harga sebagai indikator kualitas pada kondisi sebagai berikut: konsumen percaya ada perbedaan kualitas diantara berbagai merek dalam satu produk kategori, konsumen percaya kualitas yang rendah dapat membawa resiko yang lebih besar, dan konsumen tidak memiliki informasi lain kecuali merek terkenal sebagai referensi dalam mengevaluasi kualitas sebelum melakukan pembelian.

Pengertian dari persepsi nilai (perceived value) adalah evaluasi menyeluruh dari kegunaan suatu produk yang didasari oleh persepsi konsumen terhadap sejumlah manfaat yang akan diterima dibandingkan dengan pengorbanan yang dilakukan atau secara umum dipikiran konsumen. Value dikenal dengan istilah “value for money”, “best value”, dan “you get what you pay for”. Value dari harga merupakan suatu persepsi yang didapat dari hasil evaluasi keseluruhan tentang manfaat yang dirasakan dibandingkan dengan manfaat yang seharusnya diterima. Konsumen dalam menerima suatu value atau nilai dari suatu harga sangat dipengaruhi oleh konteks, ketersediaan informasi, dan asosiasi. Salah satu keputusan yang sulit dihadapi suatu perusahaan

adalah menetapkan harga. Meskipun cara penetapan harga yang dipakai sama bagi setiap perusahaan yaitu didasarkan pada biaya, persaingan, permintaan, dan laba. Tetapi kombinasi optimal dari faktor-faktor tersebut berbeda sesuai dengan sifat produk, pasarnya, dan tujuan perusahaan.

Secara umum tujuan penetapan harga adalah memaksimalkan penjualan dan penetrasi pasar, mempertahankan kualitas atau diferensiasi pelayanan, mendapatkan

atau memaksimal keuntungan, mendapatkan atau merebut pangsa pasar/market share,

menjaga kelangsungan hidup kegiatan operasional, dan mengelola tingkat

pengembalian modal/Return On Investment (ROI). Secara umum terdapat dua faktor

utama yang perlu dipertimbangkan dalam dasar penetapan harga. Pertama, faktor internal perusahaan yang meliputi tujuan pemasaran perusahaan, strategi bauran pemasaran, biaya, dan organisasi. Kedua, faktor lingkungan eksternal yang terdiri dari sifat pasar dan permintaan; persaingan; dan unsur-unsur lingkungan eksternal lainnya. Secara garis besar metode penetapan harga dapat dikelompokkan menjadi empat kategori utama, yaitu metode penetapan harga berbasis permintaan, berbasis biaya, berbasis laba, dan berbasis persaingan. Sedangkan penyesuaian khusus terhadap harga menurut daftar (list price) terdiri atas diskon, penyisihan (allowance), dan penyesuaian geografis (geographical adjustment).

II.2.6. Keputusan Pembelian

Keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh perilaku konsumen. Perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, serta menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan

yang mendahului dan menyusuli tindakan ini (Engel 2001). Peter dan Olson (2005) mengemukakan bahwa inti dari pengambilan keputusan konsumen adalah proses pengintregasian yang mengkombinasikan pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif, dan memilih salah satu diantaranya. Hasil dari proses pengintregasian ini adalah suatu pilihan, yang disajikan secara kognitif sebagai keinginan berperilaku. Kotler (2007) mengungkapkan bahwa seseorang mungkin dapat memiliki peranan yang berbeda-beda dalam setiap keputusan pembelian. Berbagai peranan yang mungkin terjadi antara lain sebagai berikut:

1. Pengambil inisiatif (initiator), yaitu orang yang pertama-tama menyarankan atau memikirkan gagasan membeli produk atau jasa tertentu.

2. Orang yang mempengaruhi (influence), yaitu orang yang pandangan atau

nasihatnya diperhitungkan dalam membuat keputusan akhir.

3. Pembuat keputusan (decider), yaitu seseorang yang akan menentukan

keputusan mengenai produk yang akan dibeli, cara pembayaran, tempat melakukan pembelian.

4. Pembeli (buyer), yaitu seseorang yang melakukan pembelian.

5. Pemakai (user), yaitu seseorang atau beberapa orang yang menikmati atau

memakai produk atau jasa.

Assael (2002) merumuskan bahwa perilaku pembelian yang dilakukan oleh konsumen dapat dibedakan menjadi 4 tipe, yaitu sebagai berikut:

Keterlibatan konsumen dalam proses pemilihan dan pembelian produk sangat tinggi. Keterlibatan konsumen dalam proses pemilihan dan pembelian akan menjadi semakin tinggi apabila produk yang akan dibeli merupakan produk berharga tinggi, jarang dibeli, berisiko, sangat berkesan, dan informasi yang dimiliki konsumen mengenai produk tersebut sedikit. Pemasar perlu membedakan ciri-ciri yang mencolok dari mereknya. Perincian tersebut dapat dilakukan melalui media cetak yang dapat menggambarkan produk mereka dengan lengkap melalui katalog belanja.

2. Perilaku membeli yang mengurangi ketidakcocokan

Keterlibatan konsumen dalam proses pemilihan serta pembelian produk tinggi, namun konsumen akan melakukan proses pembelian dengan waktu yang lebih cepat karena perbedaan dalam hal merek tidak terlalu diperhatikan. Pemasar harus dapat memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi pilihan konsumen terhadap merek, seperti harga, lokasi, dan tenaga penjual. Selain itu, komunikasi pemasaran yang baik juga diperlukan sebagai faktor yang dapat menimbulkan kepercayaan dari konsumen terhadap produk dan agar konsumen merasa telah menentukan pilihan yang tepat.

3. Perilaku membeli berdasarkan kebiasaan

Keterlibatan konsumen dalam proses pembelian ini relatif kecil. Selain itu tidak terdapat perbedaan yang mencolok antar berbagai merek dalam kategori produk sejenis, sehingga pemasar dapat memanfaatkan promosi harga dan penjualan agar konsumen tertarik untuk membeli produk tersebut.

4. Perilaku membeli yang mencari keragaman

Keterlibatan konsumen dalam proses pembelian relatif kecil, namun terdapat perbedaan yang mencolok antar berbagai merek. Dalam kondisi ini loyalitas konsumen kecil karena konsumen sering kali berganti-ganti merek dalam kategori produk sejenis. Perpindahan merek tersebut terjadi karena konsumen ingin memperoleh keragaman, bukan karena konsumen merasa tidak puas akan produk tersebut. Proses pengambilan keputusan pembelian yang akan dilakukan oleh konsumen akan melalui beberapa tahap, antara lain sebagai berikut (Kotler, 2007):

Sumber: Kotler, 2007

Gambar II.5. Tahapan Proses Pengambilan Keputusan Pembelian Beberapa tahap pengambilan keputusan pembelian yaitu:

1. Tahap pengenalan masalah

Proses membeli dimulai dengan tahap pengenalan masalah atau kebutuhan. Kebutuhan dapat berasal dari dalam pembeli dan dari lingkungan luar. Selain itu pembeli juga akan menyadari adanya suatu perbedaan keadaan sebenarnya dan keadaan yang diinginkannya. Dalam tahap ini sebaiknya pemasar mengetahui apa yang menjadi kebutuhan konsumen atau masalah yang timbul dibenak konsumen, apa yang menyebabkan semua masalah itu muncul, dan

Pengenalan  Masalah Pencarian  Informasi Perilaku Pasca  Pembelian  Keputusan  Membeli  Penilaian  Alternatif

bagaimana kebutuhan atau masalah itu dapat menyebabkan seseorang akan mencari produk tersebut.

2. Tahap pencarian informasi

Ketika seorang konsumen merasa bahwa ia harus membeli suatu produk untuk

Dokumen terkait