• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN

C. Analisis Bivariat

1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang dibahas meliputi peran sebagai orang tua, usia, pendidkan, status pekerjaan, status pernikahan, dan pendapatan.

a. Peran Sebagai Orang Tua

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 57,5% responden adalah ibu dan 42,5% ayah. Partisipasi ibu dalam menjadi responden lebih tinggi karena mayoritas ibu yang mengantar dan menunggu anak di TK. Sehingga mereka lebih mudah untuk ditemui saat pengambilan data penelitian.

Ayah berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, pemberi rasa nyaman, dan sebagai kepala keluarga. Sedangkan ibu memiliki peranan untuk mengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak – anaknya, serta pelindung dan pencari nafkah tambahan dalam keluarga (Effendi, 2008). Sehingga baik ayah maupun ibu memiliki peranan yang sama pentingnya dalam pengasuhan anak. Berdasarkan observasi peneliti di Kelurahan Grogol Selatan, ibu memegang peranan yang lebih dominan

dalam pengasuhan anak prasekolah. Dalam hal ini ibu yang memiliki peranan lebih dominan pada anak prasekolah dapat memberikan pengetahuan mengenai bahaya kekerasan seksual pada anak. Salah satu metode yang dapat dilakukan dalam memberikan pengetahuan pada anak adalah dengan underwear rule, untuk lebih mudah dan ringkas dipahami anak (Andrean, 2014).

Pengasuhan anak khususnya anak prasekolah membutuhkan kasih sayang dan role model yang tidak hanya cukup oleh sosok ibu namun sangat membutuhkan keterlibatan ayah dalam perawatan dan pengasuhan. Hal ini dikarenakan sosok ayah sebagai figur serta contoh teladan sangat penting dalam keluarga (Erawati, 2012).

b. Usia

Menurut Wong (2012) usia yang paling memuaskan untuk membesarkan anak adalah antara 18 dan 35 tahun. Selama waktu itu orang tua dianggap berada dalam kesehatan yang optimum. Dalam penelitian ini, usia tersebut merupakan kelompok dewasa dini (18 – 40 tahun) dengan jumlah sebesar 73,3% atau 88 orang sedangkan kelompok usia dewasa madya sebesar 26,7% atau 32 orang. Maka dapat disimpulkan dalam penelitian ini rata – rata orang tua anak prasekolah di Kelurahan Grogol Selatan berasal dari kelompok usia dewasa dini dan merupakan usia yang paling memuaskan dalam mendidik dan membesarkan anak.

c. Pendidikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54,2% responden merupakan lulusan SD dan SMP (pendidikan dasar), dengan tingkat lulusan SD cukup tinggi yaitu sebesar 20%. Hal ini tentu patut menjadi perhatian, dimana responden yang berpendidikan dibawah wajib belajar cukup tinggi. Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah karakteristik masyarakat.

Masyarakat di Kelurahan Grogol Selatan sebagian besar merupakan mayrakat urban, yaitu masyakat yang melakukan perpindahan dari desa ke kota. Bentuk urbanisasi ini adalah untuk pemenuhan kebutuhan pekerjaan yang sulit di desa, sehingga ciri dari masyrakat desa di mana belum memprioritaskan pendidikan masih terlihat jelas. Hal ini sejalan dengan penilitian yang dilakukan oleh Firdaus (2005) bahwa minat masyarakat pedesaan untuk bersekolah masih sangat rendah.

d. Status Pekerjaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki pekerjaan yaitu sebesar 74,2% . Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan baik ayah maupun ibu yang bekerja dilatarbelakangi untuk pemenuhan ekonomi keluarga.

Jumlah jam kerja sangat berpengaruh terhadap intensitas pertemuan antara orang tua dan anak. Dengan kata lain pengawasan orang tua, dan pemberian pendidikan pada anak sangatlah minim, hal ini tentu akan memicu besarnya peluang anak menjadi korban kekerasan seksual (Kurnia

& Tjandra, 2014). Tingginya jumlah jam kerja mengurangi waktu kebersamaan dengan anak atau quality time antara orang tua dan anak yang dapat menimbulkan perasaan perpisahan atau separation time sehingga anak akan cenderung mencari perhatian di luar (Mehrota, 2011). Senada dengan hal ini penelitian yang dilakukan oleh Gibson dan Leintenberg (2010) terhadap 86 anak korban kekerasan seksual di Boston menyebutkan bahwa 80% orang tua hanya memiliki waktu sekitar 5 sampai 8 jam bahkan kurang dalam sehari bertemu dengan anak mereka.

Waktu kebersamaan dengan anak, tidak selalu menyangkut kuantitas namun juga mencakup kualitas kebersamaan. Orang tua perlu menyadari bahwa hubungan antara orang tua dan anak perlu untuk dibina untuk meningkatkan kualitas kebersamaan. Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orang tua adalah dengan medapatkan perbincangan yang berkualitas. Hal ini harus ditunjang dengan mempertahankan kontak mata ketika berbicara dengan anak, memberikan sentuhan kasih sayang yang dapat menimbulkan perasaan hangat, nyaman, dan nyaman bagi anak (Tanudjaja, 2011)

e. Status Pernikahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 10% atau 12 orang responden memiliki status pernikahan bercerai. Anak sangat membutuhkan kedua sosok orang tua dalam proses tumbuh kembangnya, baik ayah maupun ibu mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan karakter. Ketika sebuah keluarga tidak utuh lagi dalam arti ada salah satu

sosok orang tua yang tidak ada akan sangat mempengaruhi karakter dan pribadi anak (Kurnia dan Tjandra, 2012).

Dampak jangka panjang pada anak dalam keluarga yang becerai adalah masalah psikologis dan sosial yang dapat berlangsung selama bertahun tahun. Hal ini terjadi karena pada umumnya anak akan mengingat masa perpisahan orang tuanya sebagai sebuah duka yang mendalam, sama halnya seperti duka saat bencana alam. Walaupun sangat banyak hasil yang menunjukkan dampak negatif bagi anak yang dibesarkan dalam status perceraian, terdapat banyak juga keluarga yang dapat melalui periode ini sebgai bahan evaluasi. Sehingga terdapat peningkatan kualitas hidup setelah perceraian baik menjadi orang tuanggal maupun dengan membentuk keluarga baru (Wong, 2012).

f. Pendapatan

Pendapatan masyarakat sangat berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat dalam membeli fasilitas – fasilitas sumber informasi untuk menunjang pengetahuan (Notoatmodjo, 2012). Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat jumlah responden berpendapatan rendah yang cukup tinggi yaitu sebesar 68,5% atau 80 orang dari 120 responden. Teori Abraham Maslow (1908 - 1970) tentang lima tingkat kebutuhan manusia, manusia akan memenuhi kebutuhan paling dasar terlebih dahulu barulah memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (Asmadi, 2008). Oleh karena itu, orang tua anak prasekolah di Kelurahan Grogol Selatan memiliki pendapatan rendah maka mengutamakan kebutuhan dasar terlebih dahulu (sandang, pangan, papan) dibandingkan kebutuhan untuk meningkatkan pengetahuan.

2. Pengetahuan Orang Tua Tentang Kekerasan Seksual Pada Anak Prasekolah

a. Tingkat Pengetahuan Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 55% responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang kekerasan seksual pada anak prasekolah dan 45% memiliki pengetahuan yang baik. Maka dapat dikatakan bahwa rata – rata orang tua di Kelurahan Grogol Selatan memiliki pengetahuan yang kurang tentang kekerasan seksual pada anak prasekolah. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Chen (2007) di Tiongkok bahwa pengetahuan orang tua tentang kekerasan seksual pada anak masih sangat minim.

Kontribusi dari semua pihak terkait tentu sangat penting untuk dilakukan. Pemberian edukasi yang berkala mengenai pengetahuan tentang kekerasan seksual pada anak perlu dipaparkan kepada orang tua. Peran serta perawat, pemerhati anak, maupun petugas kesehatan lainnya dalam peningkatan pengetahuan orang tua di Kelurahan Grogol selatan akan sangat membantu. Melalui pendidikan kesehatan sebagai salah satu sarana meningkatkan pengetahuan diharapkan perawat bisa memberikan andil yang besar.

b. Distribusi Frekuensi Jawaban

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden mengetahui pengertian kekerasan seksual pada anak. Sebanyak (74,2%) responden menjawab benar bahwa kekerasan seksual pada anak adalah sengaja mempertontonkan hubungan suami istri di depan anak. Namun pada domain jenis kekerasan seksual pada anak, terdapat 52,5% responden menjawab salah bahwa memotret anak saat telanjang sebagai pemenuhan hasrat seksualnya merupakan kekerasan seksual non-fisik. Hal ini dapat berarti bahwa karena keterbatasan pengetahuan orang tua, sehingga orang tua di Kelurahan Grogol Selatan belum dapat membedakan jenis kekerasan seksual pada anak dengan baik.

Responden menjawab salah pernyataan bahwa seseorang yang melakukan kekerasan seksual pada anak di sebut dengan pedofilia sebanyak 52,5%. Selain itu sebanyak 64,2% responden juga menjawab benar, bahwa pedofilia atau pelaku kekerasan seksual pada anak tidak memiliki ciri atau tanda yang pasti. Menunjukkan bahwa pengetahuan orang tua rendah terhadap pelaku kekerasan seksual. Hal ini dapat berarti bahwa orang tua belum familiar dengan sebutan atau istilah dalam kekerasan seksual pada anak. Selain itu pada domain korban kekerasan seksual, pada anak bahwa anak dengan cacat fisik dan mental tidak mungkin menjadi korban kekerasan seksual, sebanyak 63,3% responden menjawab benar. Hal ini akan sangat membahayakan anak dengan kondisi cacat fisk maupun mental, padahal menurut penelitian yang dilakukan oleh Westcott dan Jones (2007)

mengatakan bahwa resiko kekerasan seksual meningkat dengan anak yang memiliki kecacatan fisik dan retardasi mental.

Salah satu tanda dan gejala psikologis dari korban kekerasan seksual pada anak yang dapat dijadikan sebuah indikator bagi orang tua adalah anak sering berperilaku ganjil seperti mempraktekkan orang sedang berciuman merupakan tanda psikologis korban kekerasan seksual, namun responden sebesar 56,7% masih menjawab salah, begitu pula dengan pernyataan anak tiba-tiba takut masuk ke kamar mandi merupakan salah satu tanda psikologis korban kekerasan seksual, sebanyak 52,5% responden masih menjawab salah. Padahal anak tidak harus selalu memperlihatkan tanda dan gejala fisik, maka orang tua juga harus lebih mengetahui indikator secara psikologis agar lebih sensitif terhadap kelainan perilaku anak secara tiba – tiba (Indriati, 2014).

Pada domain pencegahan kekerasan seksual pada anak, hanya sebanyak 42,5% responden yang menjawab benar pernyataan bahwa bahasan mengenai seksualitas dan organ reproduksi perlu dipaparkan orang tua kepada anak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Chen (2007) di Tiongkok bahwa banyak orang tua yang merasa kurang percaya diri dan tidak memahami kosa kata mengenai bahsan seksual, atau dengan kata lain pengetahuan orang tua masih sangat minim menganai bahasan seksualitas. Selain itu penelitian serupa yang dilakukan oleh Tang dan Yan (2004) juga mengungkapkan bahwa orang tua sering dibatasi oleh mitos bahwa bahasan seksualitas merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan dengan anak.

Pernyataan bahwa perlu untuk mengajarkan anak keterampilan perlindungan diri dari tindak kekerasan seksual sebanyak 52,5% menjawab dengan salah. Senada dengan itu pernyataan bahwa tidak menyebut alat kelamin anak dengan sebutan lain seperti “burung” atau “apem sebanyak 52,5% responden menjawab tidak benar. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan orang tua tentang pencegahan kekerasan seksual masih kurang. Padahal pencegahan kekerasan seksual merupakan hal yang penting untuk di ketahui orang tua adalam rangka melindungi anak sedari dini akan ancama kekerasan seksual. Tidak menamai alat kelamin anak dengan sebutan lain adalah salah satu pencegahan kekerasan seksual pada anak, karena pada umumnya pedofilia memanfaatkan kesempatan tersebut untuk merayu anak dengan mengajak mereka bermainan “burung – burungan” misalnya. Oleh karena itu penting sekali orang tua membahas seputar seksualitas, kesehatan organ reproduksi, bahaya kekerasan seksual dan menamainya dengan nama yang semestinya, penis untuk alat kelamin laki – laki dan vagina untuk alat kelamin permpuan (Cruise, 2013).

Dokumen terkait