BAB 4 METODE PENELITIAN
5.1 Hasil Penelitian
5.2.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Demografi
Proporsi usia ibu dari anak autistik yang paling tinggi adalah ibu dewasa akhir dengan rentang usia 36-45 tahun yaitu 53,8%. Sedangkan proporsi terendah yaitu ibu dalam masa lansia awal dengan rentang usia 46-55 tahun yaitu 7,7%. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Zahrokh (2014) di Surakarta, dimana proporsi usia ibu dari anak autistik yang paling tinggi adalah usia dengan rentang 36-40 tahun sebesar 59,4%.
Proporsi pendidikan terakhir pada ibu dari anak autistik yang paling tinggi adalah sarjana yaitu 69,2% sedangkan proporsi terendah yaitu diploma sebesar 5,1%. Hal ini sesuai dengan penelitian Sartika terhadap anak autistik di Medan (2009) dimana proporsi tertinggi pada pendidikan orang tua dari anak penderita autistik adalah Sarjana yaitu 72,4%. Terlihat bahwa kebanyakan anak-anak autistik terlahir dari orang tua dengan tingkat pendidikan yang baik.
Proporsi pekerjaan pada ibu dari anak autistik yang paling tertinggi yaitu Ibu Rumah Tangga sebesar 46,2% dan proporsi terendah yaitu wiraswasta sebesar 5,1%. Ibu dari anak autistik cenderung menerima peran dalam pengasuhan anak saat ayah harus bekerja. Ibu melaporkan bahwa merawat anak dengan gangguan autistik memerlukan tanggung jawab penuh. Hal ini dikarenakan anak autistik cenderung tidak mampu bersosialisasi dan memiliki masalah tingkah laku sehingga dibutuhkan tenaga dan waktu yang besar untuk mengawasi mereka untuk mengendalikan maslah anak tersebut. Akibatnya, ibu harus menyesuaikan jadwal kerja mereka. Beberapa ibu percaya bahwa mereka tidak dapat bekerja lagi, dan yang lainnya percaya mereka dapat melanjutkan bekerja tetapi hanya jika pekerjaan itu memberikan mereka jadwal yang lebih fleksibel. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian yang menyatakan bahwa ibu dari anak autistik mengalami pembatasan karir karena tidak memiliki jam kerja yang sesuai sehingga terpaksa meninggalkan pekerjaan mereka untuk merawat anak mereka, yang kemudian akan menimbulkan lebih banyak masalah keuangan karena ibu tidak bekerja (Montes &Halterman, 2008., Jorgensen, dkk, 2010 dalam Tay,
Proporsi pendapatan keluarga per bulan pada ibu dari anak autistik yang paling tinggi adalah 5 juta-10 juta sebesar 46,2% sedangkan proporsi terendah yaitu 1 juta-5 juta sebesar 20,5%. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa ibu sebagian besar berasal dari keluarga dengan kondisi finansial yang baik. Menurut peneliti hal ini disebabkan penelitian ini dilakukan di tempat terapi autis. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, biaya sekolah di tempat terapi autis terbilang cukup mahal. Mahalnya terapi autis inilah yang menyebabkan hanya anak dari keluarga dengan kondisi finansial baik yang mampu mengikuti terapi ini. Ini dibenarkan oleh beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa membesarkan anak dengan gangguan autistik adalah tiga kali lebih mahal dibanding membesarkan anak dengan perkembangan normal karena orang tua harus mengeluarkan uang untuk terapi (Sawyer, dkk, 2009., Ludlow, dkk., 2011., Sharpe & Barke, 2007., Jorgensen, dkk, 2010 dalam Tay, 2013).
Proporsi suku terbanyak pada ibu dari anak autistik adalah suku Batak sebesar 35,9% dan suku Jawa sebesar 30,8% sedangkan proporsi terendah adalah suku Aceh dan Minangkabau dengan proporsi yang sama yaitu 5,1%. Menurut peneliti hal ini dikarenakan lokasi penelitian berada dalam wilayah Sumatera Utara dimana mayoritas suku nya adalah suku Batak (gosumatra.com). Banyaknya penduduk suku Jawa di Medan dikarenakan adanya program transmigrasi dari pulau Jawa ke Medan dalam rangka pemerataan penduduk (ceritamedan.com). Belum ada penelitian sebelumnya yang menilai pengaruh suku terhadap kejadian autistik. Hasilnya akan beragam sesuai tempat dan lokasi penelitian.
Proporsi usia pada anak autistik yang paling besar adalah pada kelompok kanak-kanak (6-11 tahun) sebesar 48,7% sedangkan proporsi terkecil yaitu pada kelompok remaja awal (12-16 tahun) dan remaja akhir (17-21 tahun) dengan proporsi yang sama sebesar 7,7%. Hal ini bertentangan dengan penelitian Sartika (2009) di Medan, dimana proporsi anak autistik yang paling tinggi adalah kelompok usia 2-5 tahun sebesar 34,2%. Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan bahwa kegiatan terapi yang dijalani anak autistik umumnya tidak memikat dan memaksa sehingga banyak anak autistik yang menghentikan
kegiatan terapinya dan berganti tempat terapi dengan berbagai alasan. Sehingga proporsi umur tidak merata.
Proporsi jenis kelamin anak yang paling tinggi adalah jenis kelamin laki-laki sebesar 84,6% sedangkan perempuan hanya sebesar 15,4%. Hal ini sesuai dengan penelitian Tarabek (2011) dimana proporsi jenis kelamin terbesar adalah laki-laki sebesar 83,6%. Hal ini menguatkan data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2014 yang menyatakan bahwa anak laki-laki 5 kali lebih mungkin didiagnosis autistik dibanding anak perempuan. Hal ini juga sesuai dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu pada penelitian Zahrokh, 2014 ; Sartika, 2009 ; Hall, 2008 ; Wang, dkk, 2013 ; Schieve dkk, 2007.
Proporsi terbesar usia saat anak pertama kali didiagnosis autistik yaitu pada usia 2 tahun sebesar 43,6% dan 3 tahun sebesar 41,0% sedangkan proporsi terkecil yaitu pada usia 4 tahun sebesar 15,4%. Hal ini konsisten dengan teori gangguan autistik menurut Kaplan dimana gejala-gejala gangguan autistik baru ditemukan sebelum usia 3 tahun (Kaplan, 2010). Dari data yang didapat peneliti, Saat anak menunjukkan gejala-gejala autistik, ibu langsung memeriksakannya ke dokter anak maupun ke psikolog.
5.2.2 Stres Pengasuhan
Tantangan dalam membesarkan anak dengan gangguan autistik telah dilaporkan dalam beberapa dekade terakhir. Orang tua dari anak dengan gangguan autistik dilaporkan memiliki tingkat stres tinggi dibandingkan dengan orang tua dari anak dengan perkembangan normal (Davis, 2008). Penelitian menyebutkan bahwa menjadi orang tua dari anak dengan gangguan autistik menunjukkan proses yang dinamik dan kompleks. Hal ini disebabkan ada banyak faktor (psikososial, sosial, pendidikan, keuangan, dan kekhawatiran akan masa depan) yang menyebabkan stres pada orang tua yang memiliki anak autistik). Lebih jauh lagi disimpulkan bahwa kekhawatiran akan masa depan anak adalah faktor yang membuat orang tua menjadi lebih stres. Orang tua berpikir bahwa mereka harus
saat membayangkan hidup anak mereka tanpa mereka. Hal ini menjadi sumber stres untuk mereka bahwa siapa yang akan merawat anak mereka setelah mereka meninggal (Hassan & Inam, 2013).
Stres pengasuhan pada ibu berhubungan dengan kesulitan anak dalam kemampuan pengaturan diri (Wang, dkk, 2013). Permasalahan ini mempengaruhi beberapa area, termasuk pengaturan emosi dan irama sirkadian. Penelitian menunjukkan bahwa menurut orang tua, anak dengan gangguan autistik memperlihatkan emosi yang lebih negatif daripada anak dengan cacat mental dan anak dengan perkembangan normal (Capps, dkk, 1993 dalam Pisula, 2011). Tomanik dkk (2004) melaporkan bahwa ibu dari anak autistik mengalami stres yang lebih hebat ketika anak mereka mudah marah, suka menyendiri, hiperaktif/tidak bisa diam, tidak dapat mengurus diri sendiri, dan tidak dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. Pada penelitian Konstantareas dan Papageorgiou (2006) faktor yang paling mempengaruhi stres pada ibu adalah temperamen anak, terbatasnya kegiatan anak, kurangnya fleksibilitas, dan suasana hati yang buruk. Salah satu sumber masalah yang dialami orang tua adalah gangguan irama sirkadian anak. Sejumlah anak dengan gangguan autistik memiliki masalah tidur, seperti waktu tidur yang terlalu singkat, sulitnya untuk tertidur, terbangun berulang-ulang di waktu malam, susahnya beranjak turun dari tempat tidur di pagi hari, dan mengantuk sepanjang hari (Goodlin-Jones,dkk, 2008).
Dalam penelitian ini, responden memiliki proporsi stres pengasuhan yang rendah (74%) dan sedang (25,6%) dan tidak ada yang memiliki stres pengasuhan yang tinggi. Hal ini bertentangan dengan penelitian-penelitian sebelumnya dimana stres pengasuhan pada ibu dari anak autistik cenderung tinggi (Davis, 2008., Wang, dkk, 2013., Hassan & Inam, 2013., Schieve, dkk, 2006., Sabih & Sajid, 2006). Stres pengasuhan yang rendah ini menunjukkan bahwa sebagian responden mampu mengatasi situasi stres yang dialaminya dengan baik. Gill dan Haris (1991) dalam Boyd (2002) menyatakan bahwa kepribadian yang kuat (tetap sehat secara fisik dan emosional) dan dukungan sosial adalah faktor dalam menentukan kemampuan untuk tetap sehat secara emosional menghadapi stres dalam
pengasuhan anak. Menurut Marslow (1994) dalam Rahwawati, dkk (2013) mengatakan penerimaan diri merupakan sikap positif terhadap diri sendiri, dapat menerima keadaan diri dan segala kelebihan dan kekurangan. Sikap positif ini akan membuat ibu dari anak autistik merasa percaya diri sehingga tidak merasa malu dan bersalah memiliki anak yang berbeda dengan anak yang terlahir normal.
5.2.3 Dukungan Sosial
Secara teori dukungan sosial diartikan sebagai bantuan emosional, psikososial, informasi, ataupun material yang diberikan kepada orang-orang untuk memelihara kesehatan atau meningkatkan kemampuan menyesuaikan diri dengan berbagai peristiwa hidup. Dukungan sosial selanjutnya dibagi dalam dua kategori yaitu: dukungan formal dan informal. Pasangan dari individu, anak, keluarga jauh, teman, maupun tetangga merupakan sumber dari dukungan informal. Sedangkan dukungan formal berupa dukungan yang berasal dari layanan profesional, kegiatan rutin, dan agensi (Shaffer, 2012). Dukungan sosial menurut House (Smet, 1994) mencakup 4 aspek: dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif. Dengan bantuan empat aspek yang diperoleh dari orang lain, seseorang dapat mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Dukungan seperti informasi, uang, tenaga, penghargaan adalah suatu bentuk dukungan yang diperlukan oleh para orang tua dari anak autistik.
Dalam penelitian ini, responden memiliki skor dukungan sosial yang tinggi (64,1%) dan sedang (35,9%) serta tidak ada responden yang memiliki dukungan sosial yang rendah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat dukungan sosial berada pada kategori tinggi. Dalam penelitian ini, ibu dari anak autistik berstatus menikah dan bukan single parent sehingga dukungan sosial yang tinggi kemungkinan disebabkan karena ibu yang memiliki anak autistik merasakan dukungan terbesar berasal dari suami. Hal ini sesuai dengan penelitian Tarastin & Haniman (2013) terhadap ibu dari anak autistik di Surabaya, yang menyatakan bahwa suami adalah sumber utama dukungan sosial bagi ibu. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rahmawati terhadap
dukungan sosial yang diperoleh ibu berada pada kategori tinggi, yang berasal dari suami dan guru atau terapis di SLB. Konseling dari pihak sekolah kepada ibu dari