BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.4. Hubungan Dukungan Sosial dengan Stres
berkaitan dengan perilaku anak dan cara menangani anak autistik.
5.2.4 Hubungan Dukungan Sosial dengan Stres Pengasuhan Pada Ibu dari Anak Autistik
Stres dan depresi adalah dua faktor utama yang menyebabkan ibu dari anak autistik untuk mencari dukungan sosial. Akibat dari beberapa stres yang dialami, ibu pertama sekali mencari dukungan sosial dari keluarganya (khususnya, pasangan mereka). Pada umumnya, dukungan informal lebih efektif mengurangi stres pada ibu daripada dukungan formal. Sumber paling penting pada dukungan formal untuk ibu yaitu menjadi bagian dari kelompok dukungan orang tua (parent support group), dimana mereka bebas untuk menyampaikan kekhawatiran mereka membesarkan anak autistik (Krauss dkk, 1993 dalam Boyd, 2002). engan memiliki sumber dukungan ini, orang tua akan memiliki kesempatan untuk mengungkapkan kecemasan mereka mengenai gangguan autistik, proses diagnostik, dan pengobatan yang tersedia. Oleh sebab itu, dukungan-dukungan ini membantu orang tua dalam mengatasi dan menyesuaikan diri dengan anak autistik mereka (Ahman & Dokken, 2009., Davis & Carter, 2008 dalam Serrata, 2012).
Dukungan sosial dalam beberapa teori telah diketahui bermanfaat dalam pengasuhan. Ahli teori berasumsi bahwa dukungan sosial secara aktif mempengaruhi tingkah laku, sikap, nilai, dan harapan orang tua. Secara lebih luas dipercaya bahwa dukungan sosial yang cukup dapat mengurangi intensitas stres pengasuhan pada orang tua, dan jika kurang, maka dapat meningkatkan stres. Dukungan sosial berfungsi menyanggah (buffer) efek negatif dari stres dan dampak terhadap peristiwa stres adalah dengan menurunkan tuntutan pengasuhan pada anak. Dukungan sosial mungkin mengubah persepsi orang tua terhadap karakteristik anak mereka dan meningkatkan hubungan orang tua dan anak. Dukungan sosial dapat juga berfungsi sebagai sumber informasi, bantuan finansial, atau menyebarkan pesan penguatan diri. Hal ini dapat meningkatkan
kesejahteraan, ketahanan, dan keterampilan pada orang tua. Sikap positif pada orang tua dapat dipertahankan walaupun dengan stresor yang berlangsung terus menerus, bahkan ketika stresor tersebut adalah tingkah laku anak mereka yang bermasalah. Kesimpulannya adalah dukungan sosial dapat mengurangi tekanan subjektif dari keluarga, dan juga mendorong pribadi lebih positif, keluarga, dan anak menjadi lebih aktif. Dukungan sosial memungkinkan orang tua untuk membiasakan diri hidup normal meskipun membesarkan anak cacat (Shaffer, 2012).
Setelah melalui analisis pengolahan data diperoleh hasil bahwa nilai korelasi dukungan sosial dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autistik adalah sebesar 0,634 dengan p= 0,0001 < 0,001. Hal ini menunjukkan hubungan yang kuat antara dukungan sosial dengan stres pengasuhan pada ibu dari anak autistik. Maka hipotesis yang diajukan peneliti dapat diterima yaitu adanya hubungan antara dukungan sosial dengan stres pengasuhan pada ibu dari anak autistik. Nilai R-Square pada penelitian ini sebesar 0,460 jadi nilai koefisien determinasi (KD) 46%. Hal ini menunjukkan variabel X yaitu dukungan sosial mempengaruhi variabel Y yaitu stres pengasuhan yaitu sebesar 46% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak disebutkan dalam penelitian ini.
Penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Hadadian (1994) dalam Boyd (2002) menemukan bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan stres pengasuhan. Artinya, ketika dukungan nyata dari keluarga dan teman berkurang maka tingkat stres akan meningkat. Pada penelitiannya didapatkan bahwa ibu yang menerima dukungan dari pasangannya terlihat lebih baik secara emosional terhadap anaknya. Penelitian yang dilakukan Dunst, dkk (1986) dalam Boyd (2002) menemukan bahwa kepuasan orang tua terhadap dukungan sosial berhubungan dengan kepribadian yang lebih baik, sikap yang lebih positif terhadap anak, hubungan positif antara anak dan orang tua, dan skor tinggi pada tes perkembangan anak. Penelitian yang dilakukan oleh Suraiya & Astuti (2008) di Yogyakarta, menemukan dukungan sosial untuk beberapa responden dapat membantu, tetapi
mengurangi perasaan stres secara tidak langsung dan tergantung lingkungan atau individu mana yang memberikan dukungan sosial.
5.2.5 Keterbatasan Penelitian
1. Pada penelitian ini hanya melihat stres pengasuhan pada ibu. Orang lain yang biasa mengasuh anak autistik seharusnya juga perlu dinilai stres yang dialaminya seperti ayah, nenek atau kakek, saudara, pengasuh, dan guru terapis anak.
2. Penelitian ini tidak menilai sumber dukungan sosial yang paling mempengaruhi stres pengasuhan pada ibu dari anak autistik.
3. Penelitian ini tidak menilai keparahan gejala autistik pada anak yang dilaporkan dapat meningkatkan stres pengasuhan pada ibu dari anak autistik
4. Responden banyak yang tidak bersedia mengisi kuesioner dengan alasan malas untuk membacanya, menganggap peneliti hanya menyita waktu dan menghambat waktu reponden saat melakukan aktivitas, maupun responden tidak ingin orang lain tahu bahwa dia memiliki anak autistik.
BAB 6
KESIMPULAN & SARAN
6.1 Kesimpulan
Hasil penelitian yang dilakukan pada responden dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Responden pada penelitian ini paling banyak berusia 36-45 tahun (53,8%), pendidikan terakhir sarjana (69,2%), berprofesi sebagai ibu rumah tangga (46,2%), berasal dari keluarga dengan penghasilan keluarga per bulan 5 juta -10 juta (46,2%), mayoritas suku Batak (35,9%). Sedangkan anak autistik dalam penelitian ini paling banyak berusia 6-11 tahun (48,7%), mayoritas berjenis kelamin laki-laki (84,6%) dan sebagian besar anak didiagnosis autistik pada umur 2 tahun (43,6%)
2. Responden penelitian secara keseluruhan mayoritas memiliki dukungan sosial yang tinggi (64,1%)
3. Responden penelitian secara keseluruhan mayoritas memiliki stres yang rendah (74,4%)
4. Ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan stres pengasuhan pada ibu dari anak autistik (r=0.634 ; p=0,0001)
6.2 Saran
6.2.1 Untuk Ibu Dari Anak Autistik
1. Untuk ibu dengan dukungan sosial dan tingkat stres dalam kategori sedang, diharapkan dapat menerima kondisi anak dan dapat membuka diri untuk menerima dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya sehingga dapat mengurangi ataupun menghindari stres pengasuhan yang dialami. 2. Ibu sebaiknya lebih sering mengikuti kegiatan atau perkumpulan dari
orang tua yang mempunyai anak autistik, sehingga selain ibu mendapatkan ilmu dan informasi mengenai gangguan autistik, ibu juga dapat berbagi cerita dan saran dengan orang tua dari anak autistik lainnya sehingga dapat
6.2.2 Untuk Pihak Keluarga dan Teman
Diharapkan dapat memberikan dukungan sosial untuk mengurangi stres pada ibu yang memiliki anak autistik dengan cara bersikap lebih empati dan peduli, memberikan dorongan untuk maju, memberikan masukan kepada individu, menolong individu saat membutuhkan bantuan, dan melakukan kegiatan bersama.
6.2.3 Untuk Pihak Yayasan Terapi dan SLB
Diharapkan pihak yayasan terapi ataupun pihak sekolah SLB untuk dapat bekerjasama dengan ibu dari anak autistik dalam perkembangan anaknya dengan memberikan informasi dan masukan mengenai gangguan autististik sehingga ibu dapat menerima keadaan anaknya.
6.2.4 Untuk Masyarakat
Diharapkan meningkatkan sosialisasi mengenai gejala autistik baik melalui media massa maupun media elektronik sehingga masyarakat dapat mendeteksi gejala autistik yang terjadi pada anak lebih awal sehingga anak dapat ditangani lebih baik. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai gangguan autistik sehingga dapat mengurangi pandangan buruk terhadap ibu dan diharapkan masyarakat dapat memberikan dukungan kepada ibu.
6.2.5 Untuk Peneliti Selanjutnya
Diharapkan peneliti selanjutnya menilai sumber dukungan sosial yang paling mempengaruhi stres pengasuhan pada ibu dan juga menilai keparahan gejala autistik pada anak yang dapat mempengaruhi stres pengasuhan pada ibu dari anak autistik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stres
2.1.1. Definisi Stres
Banyak ahli telah mengemukakan pendapat tentang definisi stres sehingga pengertian stres berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang ahli yang mendefinisikannya. Berikut beberapa pendapat tentang stres:
Istilah stres sendiri ditemukan oleh Hans Selye, seorang ahli fisiologi dari Universitas Montreal. Ia merumuskan bahwa stres adalah tanggapan tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap aksi tuntutan atasnya. Sehingga tubuh bereaksi secara emosi (psikis) dan somatik (fisik) untuk mempertahankan kondisi fisi yang optimal. Reaksi ini disebut GAS (General Adaptation Syndrome) (Liza, 2010).
Menurut Robert S. Fieldman, stres adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku. Peristiwa yang memunculkan stres dapat saja positif (misalnya: merencanakan perkawinan) atau negatif (contoh: kematian keluarga). Sesuatu didefinisikan sebagai peristiwa yang menekan (stressfull event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh individu. (Zulistianah, 2009)
Menurut Rippetoe-Kilgore, stres adalah kondisi yang dihasilkan ketika seseorang berinteraksi dengan lingkungannya yang kemudian merasakan suatu pertentangan, apakah itu riil ataupun tidak, antara tuntutan situasi dan sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial. Dalam terminologi medis, stres akan mengganggu sistem homeostasis tubuh yang berakibat terhadap gejala fisik dan psikologis (Liza, 2010)
2.1.2. Tahap-Tahap Stres
Hans Selye mengemukakan bahwa tubuh kita bereaksi sama terhadap berbagai stresor yang tidak menyenangkan, baik sumber stres berupa serangan bakteri mikroskopis, penyakit karena organisme, perceraian ataupun kebanjiran. Model GAS menyatakan bahwa dalam keadaan stres, tubuh kita seperti jam dengan sistem alarm yang tidak berhenti sampai tenaganya habis (Liza, 2009). Respon GAS ini dibagi dalam tiga fase, yaitu
a. Tahap waspada (Alarm reaction Stage)
Adalah persepsi terhadap stresor yang muncul secara tiba-tiba akan munculnya reaksi waspada. Reaksi ini menggerakkan tubuh untuk mempertahankan diri. Diawali oleh otak dan diatur oleh sistem endokrin dan cabang simpatis dari sistem saraf autonom. Reaksi ini disebut juga reaksi berjuang atau melarikan diri (fight-or-flight reaction) (Zulistianah, 2009).
b. Tahap pertahanan (Resistance Stage)
Reaksi ini merupakan tahap adaptasi dimana sistem endokrin dan sistem simpatis tetap mengeluarkan hormon-hormon stres tetapi tidak setinggi pada saat reaksi waspada. Reaksi terhadap stresor sudah melampaui batas kemampuan tubuh, timbul gejala psikis dan somatik. Individu berusaha mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi untuk mengatur stresor, tubuh akan berusaha mengimbangi proses fisiologi yang terjadi pada fase waspada, sedapat mungkin bisa kembali normal, bila proses fisiologis ini telah teratasi maka gejala stres akan turun (Liza, 2009).
c. Tahap kelelahan (Exhaustion Stage)
Pada fase ini gejala akan terlihat jelas. Karena terjadi perpanjangan tahap awal stres yang telah terbiasa, energi penyesuaian sudah terkuras, individu tidak dapat lagi mengambil dari berbagai sumber untuk penyesuaian, timbullah gejala penyesuaian seperti sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner, hipertensi, dispepsia (keluhan pada gastrointestinal), depresi, ansietas, frigiditas, impotensia (Liza, 2009).
Gambar 2.1. The General Adaptation Syndrome (GAS)
Model GAS menggambarkan mekanisme coping tubuh terhadap stres Sumber: Donatelle, 2009
2.1.3. Sumber Stres
Secara umum sumber stres dapat dibagi menjadi tiga yaitu stresor fisik, sosial, dan psikologis
1. Stresor Fisik
Bentuk dari stressor fisik adalah suhu (panas dan dingin), suara bising, polusi udara, keracunan, obat-obatan (bahan kimia).
2. Stresor Sosial
a. Stresor sosial, ekonomi, dan politik, misalnya tingkat inflasi yang tinggi, tidak ada pekerjaan, perubahan teknologi yang cepat, kejahatan. b. Keluarga, misalnya peran seks, iri, cemburu, kematian anggota
c. Jabatan atau karir, misalnya kompetisi dengan teman, hubungan yang kurang baik dengan atasan atau sejawat, pelatihan, aturan kerja.
d. Hubungan interpersonal dan lingkungan, misalnya harapan sosial yang terlalu tinggi, pelayanan yang buruk, hubungan sosial yang buruk. 3. Stresor Psikologis
a. Frustasi, adalah tidak tercapainya keinginan atau tujuan karena ada hambatan.
b. Ketidakpastian, apabila seseorang sering berada dalam keraguan dan merasa tidak pasti mengenai masa depan atau pekerjaannya. Atau merasa selalu bingung dan tertekan, rasa bersalah, perasaan khawatir dan rendah diri.
2.2. Stres Pengasuhan
2.2.1. Pengertian Stres Pengasuhan
Stres pengasuhan (parenting stress) adalah keadaan psikologis bermakna yang terjadi ketika tanggung jawab pengasuhan dinilai melebihi sumber daya seseorang, membuat seseorang merasa bahwa mereka memiliki kesulitan memenuhi peran sebagai orang tua. Stres yang dialami orangtua secara teoritis diyakini sebagai akibat dari karakteristik orang tua dan/atau anak, dan mungkin merupakan hasil dari interaksi orangtua-anak. Seringkali, stres pengasuhan tersebut dianggap disebabkan merawat anak yang memiliki ciri fisik dan perkembangan yang dirasakan oleh orangtua sulit untuk dikendalikan dan menyebabkan ketidakpuasan. Stres pengasuhan dapat mengalahkan kemampuan orang tua untuk mengatasi stresor dan berakibat buruk pada orang tua, anak dan keluarga (McCubbin & Figley, 1983 dalam Shaffer, 2012).
2.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Pengasuhan
Hidangmayun (2010) dalam Chairini (2013) menjabarkan stres pengasuhan disebabkan oleh:
a. Karakteristik Anak 1. Jenis Kelamin
Sabih dan Sajid (2008) dalam penelitiannya melaporkan bahwa orang tua yang memiliki anak laki-laki cenderung menunjukkan tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak perempuan.
2. Kebiasaan Anak
Kebiasaan anak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi stres pengasuhan, yaitu terkait dengan perilaku anak yang tidak sesuai dengan harapan orang tua.
3. Usia Anak
Stres yang dialami oleh orang tua dihubungkan dengan usia anak dapat dikaitkan dengan kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Umumnya anak dengan usia muda cenderung lebih sulit untuk menyesuaikan dirinya dibandingkan dengan anak yang lebih tua.
b. Karakteristik Orang tua 1. Usia Orang tua
Orang tua dengan usia yang masih muda dianggap belum matang atau belum dewasa untuk melakukan pengasuhan, sementara orang tua yang telah lanjut usia dianggap akan mengalami kesulitan dalam perawatan anak terkait dengan kondisi fisik yang melemah.
2. Pendidikan Orang tua
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara ibu dengan pendidikan rendah terhadap tingginya stres pengasuhan.
3. Pekerjaan
Penelitian yang dilakukan Forgays (2001) dalam Chairini (2013) menunjukkan bahwa ibu yang bekerja mengalami stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja, namun dari jenis pekerjaan yang dilakukan ibu tidak terdapat perbedaan stres pengasuhan yang signifikan.
4. Penghasilan
Kelemahan ekonomi juga mempengaruhi sejauh mana orang tua mengalami stres pengasuhan. Merawat anak dalam konteks kemiskinan atau kekurangan materi sangatlah sulit, yaitu dapat meningkatkan stres jika orang tua tidak dapat memberikan makanan, pakaian, pengobatan yang adekuat, serta tempat tinggal yang menetap dan aman.
5. Temperamen
Temperamen merupakan reaksi emosional, status perasaan, serta atribut energi seseorang. Beberapa penelitan menunjukkan terdapat interaksi yang signifikan antara intoleransi orang tua dan status kekerasan oleh orang tua.
6. Dukungan sosial
Beberapa penelitian menyebutkan tentang pentingnya melihat variabel dukungan sosial dengan pengalalaman stres pengasuhan yang dialami orang tua.
2.3. Dukungan Sosial
2.3.1. Pengertian Dukungan Sosial
Dukungan sosial berasal dari kata dukungan dan sosial. Sosial artinya menyinggung relasi di antara dua atau lebih individu dan dukungan artinya: 1) mengadakan atau menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang lain, 2) memberikan dorongan atau pengobaran semangat dan nasihat kepada orang lain dalam situasi pembuatan keputusan (Chaplin, 1999 dalam Mutiah, 2014).
Menurut Dimatteo (1991) dalam Maysithah (2012), dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, rekan kerja dan orang lain. Saronson (1991) dalam Masyithah (2012) menerangkan bahwa dukungan sosial dapat dianggap sebagai sesuatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya. Dari keadaan tersebut individu akan mengetahui bahwa orang lain memperhatikan, menghargai, dan mencintainya.
2.3.2. Sumber Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang diterima dapat bersumber dari berbagai pihak. Kahn & Antonoucci (Afriyanti, 2011) membagi sumber-sumber dukungan sosial menjadi 3 kategori, yaitu:
1. Sumber dukungan sosial yang berasal dari orang-orang yang selalu ada sepanjang hidupnya, yang selalu bersama dengannya dan mendukungnya. Misalnya: keluarga dekat, pasangan (suami atau istri), atau teman dekat. 2. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit
berperan dalam hidupnya dan cenderung mengalami perubahan sesuai dengan waktu. Sumber dukungan ini meliputi teman kerja, sanak keluarga, dan teman sepergaulan.
3. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang memberi dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Meliputi dokter atau tenaga ahli atau profesional, keluarga jauh.
2.3.3. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial
Menurut Sarafino (2002) dalam Afriyanti (2011), ada lima bentuk dukungan sosial, yaitu:
1. Dukungan Emosional
Terdiri dari ekspresi seperti perhatian, empati, dan turut prihatin kepada seseorang. Dukungan ini akan menyebabkan penerima dukungan merasa nyaman tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika dia
mengalami stres, memberi bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta.
2. Dukungan Penghargaan
Dukungan ini ada ketika seseorang memberikan penghargaan positif kepada orang yang sedang stres, dorongan atau persetujuan terhadap ide ataupun perasaan individu, ataupun melakukan perbandingan positif antara individu dengan orang lain. Dukungan ini dapat menyebabkan individu yang menerima dukungan membangun rasa menghargai dirinya, percaya diri, dan merasa bernilai. Dukungan jenis ini akan sangat berguna ketika individu mengalami stres karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada kemampuan yang dimilikinya.
3. Dukungan Instrumental
Merupakan dukungan yang paling sederhana untuk didefinisikan, yaitu dukungan yang berupa bantuan secara langsung dan nyata seperti memberi atau meminjamkan uang atau membantu meringankan tugas orang yang sedang stres.
4. Dukungan Informasi
Orang-orang yang berada di sekitar individu akan memberikan dukungan informasi dengan cara menyarankan beberapa pilihan tindakan yang dapat dilakukan individu dalam mengatasi masalah yang membuatnya stres (DiMatteo, 1991). Terdiri dari nasehat, arahan, saran ataupun penilaian tentang bagaiman individu melakukan sesuatu. Misalnya individu mendapatkan informasi dari dokter tentang bagaimana mencegah penyakitnya kambuh lagi.
5. Dukungan Kelompok
Merupakan dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana anggota-anggotanya dapat saling berbagi. Misalnya menemani orang yang sedang stres ketika beristirahat atau berekreasi.
2.4. Hubungan Stres dengan Dukungan Sosial
Dua model untuk menjelaskan bagaimana dukungan sosial dapat mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres, yaitu:
1. Model Efek Langsung (direct effect hypothesis)
Model main effect hypothesis atau direct effect hypothesis menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis individu dengan adanya ataupun tanpa tekanan, dengan kata lain seseorang yang menerima dukungan sosial dengan atau tanpa adanya tekanan ataupun stres akan cenderung lebih sehat. Menurut Sarafino (2002) melalui model ini dukungan sosial memberikan manfaat yang sama baiknya dalam kondisi yang penuh tekanan maupun yang tidak ada tekanan (Afriyanti, 2008).
2. Model Buffering (buffering bypothesis)
Model ini berfokus pada aspek dari dukungan sosial yang berperilaku sebagai buffer dalam mempertahankan diri dari efek negatif stres. Model ini mengacu pada sumber daya interpersonal yang akan melindungi dari efek negatif stres dengan memberikan kebutuhan khusus yang disebabkan oleh kejadian yang mengakibatkan stres. Model ini bekerja dengan mengarahkan kembali dari hal-hal yang menimbulkan stres atau mengatur keadaan emosional yang disebabkan oleh hal-hal tersebut. Model ini berfokus pad fungsi dukungan sosial yang melibatkan kualitas hubungan sosial yang ada (Lubis, 2006).
Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam mempengaruhi kejadian efek stres. Menurut Sarafino (1998) dalam Afriyanti (2006) beberapa contoh efek negatif yang timbul dari dukungan sosial, antara lain:
a. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara
b. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.
c. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat.
d. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang diinginkannya. Keadaan ini dapat menggangu program rehabilitas yang seharusnya dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain.