• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.4 Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Les yang bermata pencaharian sebagai nelayan ikan hias. Rata-rata umur responden dalam penelitian

Pelindung/Penasehat Kepala Desa Les

Nengah Alus Kelian Adat Jero Ketut Murai KETUA: Made Merta

HUMAS Nyoman Widia

PEMASARAN Made Partiana SEKRETARIS: Nyoman Triada

BENDAHARA Gede Gumiarta

ANGGOTA

Gambar 5. Susunan Kepengurusan Kelompok Nelayan Ikan Hias Mina Bhakti Soansari

ini adalah termasuk dalam kategori usia muda dan usia dewasa (antara 18 hingga 49 tahun) menurut Havighurts dan Acherman dalam Sugiah (2006). Berdasarkan latar belakang pendidikannya mayoritas responden yang merupakan nelayan ikan hias di Desa Les berpendidikan rendah, yakni tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, atau hanya tamat SD. Sedangkan sisanya responden hanya lulus Sekolah Menengah Pertama. Tidak ada responden yang berpendidikan di atas Sekolah Menengah Pertama.

Tabel 9. Persentase Tingkat Pendidikan Responden

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Responden

(Orang) (%)

1. Rendah (tidak sekolah/tidak tamat

SD/hanya tamat SD) 10 67

2. Sedang (tamat SMP/sederajat) 5 43

3. Tinggi (tamat SMA/sederajat) 0 0

Total 15 100

Rendahnya tingkat pendidikan nelayan juga mempengaruhi rendahnya tingkat pendidikan keluarga nelayan. Hal ini karena ketiadaan biaya keluarga nelayan untuk menyekolahkan anak-anaknya dan motivasi untuk berpendidikan yang rendah. Salah seorang nelayan ikan hias memaparkan kondisi pendidikan keluarganya:

“… Saya cuma tamat kelas 3 SD, tidak apa-apa yang penting saya sudah bisa membaca dan menulis. Itu yang penting. Anak saya yang pertama, peremepuan tamat SMA sekarang jadi pelayan took di Denpasar. Anak saya yang kedua laki-laki, cuma tamat SMP saja. Dia akan menlanjutkan usaha saya mencari ikan di laut, jadi tidak perlulah sekolah tinggi-tinggi. Istri saya saja tidak pernah sekolah.” (NA,47)

Terdapat dua tipe nelayan ikan hias di Desa Les berdasarkan cara penangkapan ikan hiasnya, yaitu nelayan pinggiran dan nelayan kompresor. Nelayan pinggiran adalah nelayan ikan hias yang hanya menangkap ikan hias di wilayah pinggir pantai dengan kedalaman maksimum lima meter. Sedangkan nelayan kompresor adalah nelayan yang menangkap ikan hias dengan menggunakan alat bantu pernapasan, kompresor. Biasanya nelayan kompresor menangkap ikan di kedalaman lebih dari lima meter. nelayan kompresor yang

membutuhkan perahu untuk menangkap ikan. Nelayan pinggiran hanya dengan menggunakan alat bantu seperti masker dan fin. Nelayan ikan hias yang menjadi responden penelitian ini sebanyak 67 persen adalah nelayan pinggiran, sedangkan 33 persen lainnya merupakan nelayan kompresor.

Berdasarkan kepemilikan perahu, dan kondisi tempat tinggal responden hanya tujuh persen yang memiliki kapal sendiri dan berkondisi tempat tinggal permanen dan cukup luas. Sementara itu sebagian besar nelayan bertempat tinggal semi permanen, bahkan 34 persen responden yang bertempat tinggal non- permanen. Tempat tinggal non-permanen ini biasanya berupa gubug dengan luas 10m2dengan dinding dan atap dari daun kelapa yang telah dikeringkan kemudian dianyam. Jumlah pendapatan responden cukup beragam antara Rp. 500.000 per bulan hinggan Rp. 2.000.000 per bulan. Responden penelitian ini homogen dalam latar belakang agama, etnik, dan kependudukan. Responden merupakan penduduk asli desa Les, yang beragama Hindu, dan beretnik Bali. Tidak ada pendatang yang menjadi nelayan ikan hias di Desa Les, sehingga responden penelitian ini juga tidak ada yang merupakan warga pendatang.

BAB IX PENUTUP

9.1 Kesimpulan

1. Keberlangsungan sertifikasi ekolabeling di Desa Les.

Ekolabeling perikanan ikan hias dan nelayan ikan hias di desa Les, Bali memiliki sebuah hubungan tak langsung yang mempengaruhi. Ekolabeling perikanan dan segala perangkatnya, yakni: sertifikasi ramah lingkungan pemegang mata rantai perdagangan ikan hias internasional, serta praktek penangkapan ikan ramah lingkungan yang sesuai standar yang telah ditetapkan MAC sebagai lembaga sertifikasi ikan hias. Perubahan praktek perikanan di daerah ini dari menggunakan potassium dan sianida yang merupakan bahan perusak alam terutama terumbu karang dimulai sejak tahun 2000 melalui pendekatan oleh Yayasan Bahtera Nusantara sebagai LSM lokal dan Telapak Indonesia. Perubahan bersifat mendasar, dari cara menangkap ikan, alat yang digunakan, sistem penangkapan ikan, hingga penanganan pasca tangkap pun berubah menjadi lebih memperhatikan aspek lingkungan. Pensertifikasian nelayan, pengepul, dan eksportir mulai dilaksakan pada tahun 2006 oleh Marine Aquarium Council hingga tahun 2008 lembaga ini kolaps karena minimnya dana operasional. Sertifikasi oleh MAC hanya berlaku selama dua tahun di Les. Akan tetapi, tanpa ekolabeling ikan hias Les tetap bisa menembus perdagangan ikan hias internasional.

2. Dampak sosial ekonomi sertifikasi ekolabeling di Desa Les.

Secara umum, sertifikasi ekolabeling di desa Les hanya berjalan selama dua tahun. Ekolabeling ikan hias dari desa Les tidak memiliki pengaruh atau dampak langsung terhadap nelayan ikan hias, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun ekologi. Dari sisi ekonomi, sertifikasi ekolabeling bahkan praktek perikanan yang ramah lingkungan ini belum mampu menaikkan harga jual ikan ditingkat pengepul, sehingga tidak pelak lagi tidak terjadi peningkatan pendapatan yang signifikan dari perubahan pola tangkap ini. Kondisi tempat tinggal, pendapatan sehari-hari, tingkat pendidikan rata-

rata keluarga nelayan tidak mengalami perubahan yang berarti. Harga ikan yang telah disertifikasi di tingkat pengepul cenderung sama dengan harga ikan yang tidak disertifikasi. Hal ini tidak sesuai dengan visi awal ekolabeling yang ingin meningkatkan harga ikan hias.

Dari sisi sosial, nelayan ikan hias yang telah disertifikasi tidak mengalami perubahan pada posisi sosial.Sedangkan pada sisi ekologi, perubahan lingkungan telah dilakukan oleh nelayan dan LSM sebelum ekolabeling masuk di Les. Dibangun Kelompok Nelayan Ikan Hias Mina Bhakti Soansari sebagai wadah bagi nelayan untuk saling bertukar informasi dan berbagi pengalaman. Tingkat pendidikan nelayan tidak mempengaruhi signifikan akan keikutsertaan nelayan dalam kelompok, begitu juga tingkat pengalaman kerja. Baik yang berpendidikan rendah maupun tinggi, serta berpengalaman atau belum berpengalaman memiliki keterikatan yang tinggi dalam kelompok nelayan. Oleh karena ada motif lain yang lebih kuat dari sekedar pendidikan dan pengelaman kerja, yaitu kesadaran nelayan yang tinggi dalam melaksanakan perikanan yang ramah lingkungan.

3. Dampak ekologi sertifikasi ekolabeling di Desa Les

Ekologi laut Les yang sudah mulai membaik menunjukkan kestabilan keberlimpahan dan keanekaragaman ikan. Dengan demikian meski harga ikan di tingkat pengepul tidak mengalami kenaikan, namun kestabilan hasil tangkapan membantu nelayan mencukupi kebuthan sehari-harinya. Dengan beralih menjadi nelayan yang ramah lingkungan nelayan menjadi lebih aman dan memilki nilai sosial yang lebih baik. Perlu digarisbawahi bahwa perubahan lingkungan ini telah berlangsung sebelum ekolabeling diterapkan. Pada pelaksanaan ekolabeling selama dua tahun ini, cenderung tidak menunjukkan dampak yang positf maupun dampak yang negatif. 9.2 Saran

1) Perhatian pemerintah dalam hal ini Kementrian Kelautan dan Perikanan. Dengan memberikan penghargaan mengingat perubahan praktek yang lebih baik yang dilakukan oleh nelayan ikan hias desa Les. Pemerintah juga

diharapkan dapat membantu nelayan mengatasi kendala yang terjadi di lapang terutama isu pengkaplingan luat, yang terjadi tidak hanya di lokasi penelitian. Semoga akan ada kebijakan yang dapat membantu nelayan, 2) Pengembangan masyarakat nelayan. Selama ini belum ada program

pengembangan masyarakat yang membantu para keluarga nelayan untuk menjadi lebih baik dari sisi sosial-ekonomi terutama dalam bidang pendidikan. 3) Penelitian lebih lanjut mengenai ekologi politik ekolabeling, serta penelitian lintas disiplin ilmu untuk melihat besar perubahan ekologi yag telah terjadi di desa Les dan bagaimana mempertahankannya agar tetap berkelanjutan.

BAB V