• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBERLIMPAHAN TERUMBU KARANG DI DESA LES TAHUN 2002-

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 1 Ekolog

2.1.4 Pelabelan Ramah Lingkungan (Ecolabelling )

Berikut merupakan beberapa definisi mengenai ecolabelling (PRL) oleh berbagai ahli, antara lain:

1. PRL oleh Gardiner dan Visnawathan (2004) diartikan sebagai penyedia informasi bagi konsumen dengan memberi kesempatan kepada konsumen untuk menunjukkan perhatiannya terhadap ekologi maupun lingkungan melalui produk yang mereka pilih.

2. Nunes dan Riyanto (2005) menyebutkan bahwa PRL mengarah kepada skema kebijakan yang dikarakterisasi oleh evaluasi suatu produk, atau karakteristik produk. Hal ini berlawanan dengan menspesifikasi produk secara khusus. Intinya untuk mengukur dan mengemukakan

secara detail nilai sosial, ekologi, dan ekonomi yang menjadi atribut dari produk tersebut.

3. FAO (2007) mendefinisikan PRL sebagai pemberian label pada produk dengan sukarela guna menyampaikan informasi produk kepada konsumen untuk menciptakan insentif berbasis pasar demi pengelolaan perikanan yang lebih baik.

4. European Council (2002) dalam Mungkung et.al(2006) menyatakan bahwa PRL merupakan sebuah pendekatan, digunakan secara luas dalam mengindustrialisasikan negara-negara sebagai jalan untuk mempromosikan produk yang berkelanjutan dengan cara yang saling melengkapi, yakni dengan meyediakan informasi bagi konsumen untuk memudahkan mereka memilih produk yang lebih ramah lingkungan atau dengan menggunakan “brenchmarking” untuk meningkatkan pengembangan produk.

5. Dalam bukuSeafood Ecolabelling: Principles and Practise, Ward dan Phillpis (2009) menyatakan PRL merupakan sistem yang dibentuk berdasarkan insentif dari mekanisme pasar untuk mendorong produk yang memberitahukan bahwa diproduksi dengan memperhatikan keberlanjutan ekologi.

Gambar 1 menggambarkan apa yang disebutkan oleh Ward dan Phillps (2009) mengenai sistem insentif pasar dan beberapa elemen pendukungnya PRL ini sebenarnya adalah hanya sebuah tanda, logo, label, atau sebuah pengesahan produk perikanan yang dimaksudkan untuk menyatakan secara tidak langsung kepada konsumen bahwa produk yang mereka beli adalah produk yang telah diproduksi melalui prosedur keberlanjutan ekologi, dan bersumber dari sumberdaya alam yang dikelola dengan baik. Gambar 2 merupakan contoh PRL yang beredar di dunia.

Gambar 1 Insentif Pasar untuk Mendukung Praktik Lingkungan dan Keberlanjutan dalam Penangkapan dan Produksi Hasil Perikanan (Ward dan Philips, 2009)

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa PRL ditelurkan dari didirikannya Marine Stewardship Council (MSC) yang diinisiasi oleh Unilever dan WWF pada tahun 1997. Sejarah inisiasi PRL pada sub-bab ini akan dilihat dari kedua aktor besar yang berperan. Pertama, berlandaskan padaUnilever’s Fish Sustainibility Initiative (2003). Unilever, berdasar pada data-data yang didapat dari FAO melihat perikanan global mulai menghadapi ancaman yang memiliki implikasi sosial. Satu miliar orang di Asia dan Afrika yang menggantungkan hidupnya pada sumber protein ikan akan menghilang. Teknik penangkapan ikan dan penurunan stok perikanan membuat konservasi menjadi suatu kebutuhan. Pada 2002, dalam World Summit on Sustainable Development para pemerintah setuju bahwa stok ikan perlu diperbaharui demi terjaganya stok ikan pada tahun 2015. Di dalam FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (1995) dinyatakan:

Fisheries, including aquaculture, provide a vital source of food, employement, recreation, trade, and economic well-being for people throughout the world, both of present and future generations and should therefore be conducted in a responsible manner. FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries sets out principles and international standards of behavior for responsible

Credibillity anAAppealappeal Consumer preference Consumer Product endorsement verification Environmental Regulations, Policies, plans and strategies; principles and guidelines; practice; customary producers Producer standard Improved ecological sustainability

practices with a view to ensuring the effective conservation, management, and development of living aquatic resources, with due respect for the ecosystem and biodiversity”

Gambar 2. Contoh Label Ramah Lingkungan (PRL)

WWF untuk mencapai tujuannya membuat perikanan berkelanjutan dengan membuat sarana dan insentif untuk perikanan yang dikelola dengan baik dengan menggandeng partner baik dari organisasi pemerintahan maupun non- pemerintah, industri, dan masyarakat pesisir. Merujuk kepada Gardiner dan Visnawathan (2004) PRL memiliki tiga skema yang secara garis besar mengklasifikasikan PRL dalam tiga kategori. Adapun kategori tersebut, antara lain:

1. Skema PRL jenis pertama atau biasa disebut self declaration. Skema ini diterapkan oleh perusahaan berdasarkan pada standar produk yang mereka produksi sendiri. Biasanya diinformasikan melalui media periklanan.

2. Skema PRL jenis kedua. Skema ini diterapkan oleh asosiasi industri untuk konsumen mereka. Para anggota asosiasi ini menetapkan kriteria sertifikasi sendiri, atau terkadang dibantu oleh ahli dari luar asosiasi mereka, seperti akademisi maupun organisasi lingkungan.

3. Skema PRL jenis ketiga. Skema ini diterapkan oleh inisiator (publik maupun swasta) yang bebas dari produsen, distributor, maupun pedagang dari produk tersebut. Produk yang disuplai oleh organisasi

atau sumbernya disertifikasi untuk menginformasikan kepada konsumen bahwa produk ini ramah lingkungan. Skema ini bertipikal sama dengan lisensi.

Forsyth (2008) menyatakan bahwa apabila berbicara mengenai lingkungan, kerusakan lingkungan, ataupun ekologi akan terkait dengan kebijakan yang telah ada dan kebijakan yang akan dibuat. Penetapan kebijakan dan pelaksanaannya tidak terlepas dari unsur politik, sehingga menganalisis kejadian serta peristiwa alam yang terjadi dapat dengan baik dijelaskan dalam kerangka ekologi politik. Adapun dampak dari kekurangan dan kelebihan pelaksanaan program PRL perikanan ini bagi nelayan terutama nelayan skala kecil yang banyak terdapat di NSB seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kelebihan dan Kekurangan PRL Berdasarkan Aktor

Aktor Ekolabeling

Kelebihan Kekurangan

Negara Skala Besar

(NSB) 

Produk yang telah bersertifikasi memiliki harga yang tinggi di pasar

 Mewujudkan praktek perikanan yang berkelanjutan

Mengurangi jatah tangkap ikan NSBs sehingga permintaan akan produk ini yang tinggi tidak dapat dipenuhi semua (memebuat harga ikan bersertifikasi lebih tinggi di pasar) Nelayan Skala Kecil

(NSK)

Mewujudkan praktek perikanan yang berkelanjutan

 PRL perikanan berbiaya tinggi sehingga NSK tidak dapat memenuhinya

 PRL merupakan instrumen pasar internasional sehingga mempengaruhi praktek ekspor impor (negara sedang

berkembang akan ter-drive oleh negara maju)

Kelangsungan Kelestarian Alam

 Perikanan dikelola secara baik, dapat merekoveri stok ikan lebih cepat

 Mewujudkan praktek perikanan yang berkelanjutan.

 Belum ada hasil signifikan bahwa PRL ini

meningkatkan stok ikan

 Hanya berfokus pada hasil tapi tidak memperhatikan system pengelolaan yang digunakan

Sumber: Gardiner dan Visnawathan (2004); Gudmusson dan Wessel (2000); Molyneaux (2008); Suwarsono (2006); Sainsbury (2010)

Bila dilihat dari sudut pandang nelayan skala kecil dan dari aspek sosial, ekonomi, dan politik, PRL memiliki dampak tersendiri, antara lain:

1. Biaya sertifikasi yang mahal membuat nelayan skala kecil tidak dapat mensertifikasikan produk perikanannya. Hal ini membuat produk perikanan ini tidak dapat memasuki perdagangan internasional, kerena tidak memenuhi persyaratan PRL (Gardiner dan Visnawathan 2004). 2. Bagi perikanan yang telah tersertifikasi pun tidak lepas dari permasalahan.

Dari aspek politik, perikanan yang telah disertifikasi untuk memenuhi tuntutan pasar ekspor-impor ternyata memiliki implikasi adanya ketergantungan NSB kepada NM (Soewarsono, 2000).

2.1.4.1 Dampak Ekologi Penerapan Sertifikasi Ekolabeling

Dampak diartikan sebagai adanya suatu benturan antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan pembangunan dengan kepentingan usaha melestarikan kualitas lingkungan yang baik. Dampak yang diartikan dari benturan antara dua kepentingan itupun masih kurang tepat karena yang tercermin dari benturan tersebut hanyalah kegiatan yang menimbulkan dampak negatif (Kristanto, 2004). Pada penelitian ini, kepentingan yang menjadi fokus utama pertama, kepentingan nelayan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan kata lain sebagai kepentingan pembangunan (dapat diartikan sebagai kepentingan ekonomi, sosial, dan politik) dan kedua, kepentingan masyarakat nelayan dalam menjaga kelestarian laut (ekologis).

PRL perikanan merupakan peristiwa masuknya instrumen pasar dalam menangani masalah ekologis. Dalam buku “Seafood Ecolabelling: Principles and Practise”, Ward dan Phillpis (2009) menyatakan PRL merupakan sistem yang dibentuk berdasarkan insentif dari mekanisme pasar untuk mendorong produk yang memberitahukan bahwa diproduksi dengan memperhatikan keberlanjutan ekologi. Berikut dampak ekologis yang terjadi akibat berlangsungnya praktek PRL perikanan:

1. Tidak diperbolehkannya perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap yang merusak (destructive fishing) seperti, bom ataupun zat kimia berbahaya (Sainsbury (2010) dan Gardiner dan Visnawathan (2004)). Sehingga wilayah perairan laut yang sebelumnya terkena

dampak negatif akibat penangkapan yang menggunakan bahan peledak dan zat berbahaya seperti potassium-sianida, khususnya terumbu karang, menjadi baik kembali.

2. Keterbatasan kelimpahan ikan (stok ikan) dapat mulai dikendalikan (Sainsbury (2010) dan Visnawathan (2004)). Dengan pengelolaan yang tepat dan penghitungan produktivitas ikan di perairan, permasalahan stok ikan yang mulai menipis dapat diatasi. Yang menjadi indikator dalam hal ini adalah jumlah stok ikan.

3. Penangkapan ikan yang memperhatikan keanekaragaman hayati ikan, maksudnya penangkapan dengan mempertimbangakan kelimpahan dan keberadaannya dalam rantai makanan (Sainsbury, 2010). Ikan langka dan hampir punah tidak akan ditangkap untuk diperjualbelikan disini. Sehingga rantai makanan ekosistem ikan di laut tidak terganggu. 4. Dengan tidak digunakannya zat-zat kimia berbahaya dalam sistem

penangkapan ikan, membuat masayarakat pesisir di sekitar pantai berkurang kemungkinan terkontaminasi zat berbahaya.

2.1.4.2 Dampak Sosial Ekonomi Penerapan PRL

PRL perikanan sebenarnya bermuara pada perikanan berkelanjutan. Menurut Eyjólfur Gudmundsson dan Cathy R. Wessells (2000) praktek perikanan berkelanjutan dapat dibuat perhitungan bio-ekonominya. Efektifitas label ramah lingkungan yang menunjukkan praktek perikanan berkelanjutan dibawah rezim open-access, limited access, dan pengelolaan perikanan yang optimal dengan produk PRL yang berharga bagus di pasar. Dalam pelaksanaannya perikanan berkelanjutan ini, mengundang pesimitis dari beberapa pihak, seperti dalam tulisan “Whose sustainability? Top–down participation and emergent rules in marine protected area management in Indonesia” oleh Galser et.al (2010) wilayah perlindungan laut (konservasi) untuk melindungi wilayah laut yang terkena dampak kelebihan penangkapan, atau tereksploitasi lebih. Wilayah konservasi biasanya ditentukan oleh pemerintah dengan disandarkan kepada peraturan IUCN mengenai perikanan yang diimplementasikan oleh pemerintah dalam UU No. 5 Tahun 1997. Praktek perikanan yang terjadi dengan adanya

peraturan yang top-down ini membuat gerah masyarakat nelayan. Hak-hak nelayan tereduksi oleh peraturan seperti ini.

Dampak sosial ekonomi praktek PRL perikanan ini tidak bisa dipungkiri terjadi pada masyarakat nelayan. Di bawah ini beberapa butir dampak sosial ekonomi yang terjadi dalam praktek PRL.

1. Ada hak-hak nelayan yang tereduksi, karena hanya berfokus pada hasil tetapi tidak memperhatikan sistem pengelolaan yang digunakan (Molyneaux, 2008).

2. Sertifikasi perikanan dapat mendorong kesadaran dan peningkatan pemasaran produk perikanan, namun tidak untuk perikanan skala kecil. Biaya sertifikasi yang tinggi, dan ke-eksklusifan yang ditawarkan pemegang sertifikasi PRL membuat adanya kesenjangan ekonomi dalam masyarakat nelayan (Schimidt 1998 dalam Gardiner dan Visnawathan 2004). Ditambahkan oleh Molyneaux (2008) skema ekolabeling yang dikendalikan oleh perusahaan tujuan akan berbalik arah sehingga tidak dapat dipercaya bahwa skema MSC ini dapat menguntungkan nelayan skala kecil. Ada pasar yang hanya membeli ikan yang bersertifikat, mengunci pada status ikan yang berkelanjutan dan potensial. Kembali lagi ini menguatkan bahwa PRL seakan menutup akses nelayan kecil untuk memperdagangkan hasil tangkapannya di pasar Internasional.

3. Akan terjadi ketimpangan harga di pasar (Gudmusson dan Wessel 2000). Oleh karena harga ikan yang bersertifikasi dinilai lebih tinggi sehingga hasil tangkapan yang tidak bersertifikasi PRL lebih rendah di pasar. Hal ini membuat nelayan skala kecil mengalami kesulitan dalam ekonomi.

2.1.5 Perikanan Berkelanjutan

Merujuk kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup

generasi saat ini. Ditambahkan FAO dalam Sinclair dan Valdimarsson (2003) perikanan berkelanjutan semestinya dilihat secara pendekatan holistik dan integratif juga dengan partisipasi dari para pemangku kepentingan yang mengarah kepada dimensi pengelolaan yang terpusat. Berikut Galser et.al merumuskan beberapa instrumen yang seharusnya ada dalam praktek perikanan berkelanjutan:

1.

Keadilan distributif; ini penting untuk memastikan siapa yang bertanggung jawab atas biaya dan yang memperoleh keuntungan dari wilayah konservasi. Baik keuntungan material maupun non-material.

2.

Transparansi dan Representatif; pada tingkat lokal peraturan dan program ini dibangun, pemilihan pengurus, dan lainnya harus diurus secara inklusif dan menghindari marginalisasi. Seluruh pelaksanaan ini dilaksanakan secara transparan dan memilki unsur keterwakilan.

3.

Budaya lokal; hal tabu maupun mitos di lingkungan sekitar wilayah konservasi harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memutuskan wilayah konservasi.

4.

Partisipasi aktif; diperlukan peran aktif dari masyarakat pengguna sumberdaya dalam merumuskan implementasi wilayah konservasi.

5.

Mengaitkan pengetahuan; baik itu pengetahuan lokal maupun pengetahuan modern dan pengetahuan lainnya disejajarkan dalam pertimbangan pengambilan keputusan agar tercipta peraturan yang tidak berat sebelah.

6.

Peraturan Lokal; jangan abaikan peraturan lokal yang telah menjadi tradisi di wilayah tersebut.

2.2 Kerangka Pemikiran

Timbul kesadaran akan rusaknya lingkungan di laut Les yang diakibatkan penggunaan bahan berbahaya dalam menangkap ikan (destructive fishing) serta penangkapan ikan berlebih (over-exploitation fishing). Hal ini kemudian mengawali pergerakan perikanan ramah lingkungan yang dilakukan oleh kelompok nelayan ikan hias dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, yakni Yayasan Bahtera Nusantara yang juga dibantu oleh Telapak Indonesia. Gerakan pelestarian yang dilakukan dimulai dengan merubah cara pandang nelayan, kemudian diikuti dengan memutuskan solusi yang tepat untuk kebaikan bersama. Gerakan ini mengubah cara tangkap ikan hias yang dari

menggunakan potassium-sianida menjadi menggunakan jaring, dari pola tangkap mengambil sebanyak-banyaknya ikan menjadi berpola mengikuti order, juga termasuk memberi pelatihan penyelaman untuk menangkap ikan yang hidup lebih dari 15 meter di bawah permukaan laut.

Setelah gerakan perikanan ramah lingkungan berjalan beberapa waktu, kemudian Marine Aquarium Council melakukan PRL (ecolabelling) terhadap pemangku kepentingan rantai pasar dari ikan hias. Munculnya program PRL ini kemudian menimbulkan dampak, baik dari sisi sosial dan ekonomi masyarakat nelayan dan ekologis lingkungan (terutama laut). Perubahan pendapatan, perubahan kondisi tempat tinggal, ragam sumber pandapatan, serta kepemilikan alat tangkap menjadi tolak ukur ekonomi nelayan. Sedangkan dari sisi sosial, kekuatan jejaring sosial (networking), stratifikasi masyarakat nelayan, sebaran wilayah tangkap, dan tingkat kepuasan kerja oleh nelayan menjadi parameternya. Sementara luas tutupan karang dan keberanekaragaman ikan hias di laut Les menjadi alat ukur akibat yang dihasilkan dari PRL ini.

2.1 Hipotesis Penelitian

1) Terdapat hubungan perubahan pola kehidupan sosio-ekonomi masyarakat nelayan ikan hias akibat pelaksanaan PRL. Perubahan sosial yang terjadi memiliki hubungan:

 Responden yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung memiliki keikutsertaan yang tinggi dalam kelompok.

 Responden yang memiliki tingkat pengalaman kerja yang tinggi maka cenderung memiliki tingkat keikutsertaan yang tinggi.

 Responden dengan tingkat pengalaman yang tinggi maka cenderung memiliki tingkat pendapatan tinggi.

 Responden yang memiliki tingkat pengalaman kerja yang tinggi maka cenderung memiliki tingkat pendapatan yang tinggi.

2) Terdapat perubahan ekologi perairan Les akibat pelaksanaan PRL. 3) Terdapat perubahan pelaksanaan perikanan ikan hias setelah

Kerusakan Lingkungan (Laut)

Gerakan Perikanan Ramah Lingkungan Sertifikasi Ekolabeling Dampak Sosial:  Jaringan sosial  Tingkat keikutsertaan dalam kelompok  Stratifikasi masyarakat nelayan Dampak Ekonomi:  Tingkat pendapatan  Ragam sumber pendapatan  Persaingan wilayah tangkap  Kondisi tempat tinggal Karakteristik Nelayan:  Umur  Tingkat pendidikan  Tingkat pengalaman  Tingkat pengetahuan tentang perikanan yang ramah lingkungan Dampak Ekologi:  Luas tutupan Karang  Keberanekaragaman

ikan hias Nelayan Ikan Hias

LSM Lembaga sertifikasi Dampak Sosial:  Jaringan sosial  Tingkat keikutsertaan dalam kelompok  Stratifikasi masyarakat nelayan Dampak Ekonomi:  Tingkat pendapatan  Ragam sumber pendapatan  Persaingan wilayah tangkap  Kondisi tempat tinggal Karakteristik Nelayan:  Umur  Tingkat pendidikan  Tingkat pengalaman  Tingkat pengetahuan tentang perikanan yang ramah lingkungan Dampak Sosial:  Jaringan sosial  Tingkat keikutsertaan dalam kelompok  Stratifikasi masyarakat nelayan Keterangan: Hubungan Pengaruh

Stakeholderyang berperan dalam kegiatan Hubungan peristiwa

Gambar 3. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian Sertifikasi Ekolabeling Dan Dampaknya Terhadap Nelayan Ikan Hias

2.2 Definisi Konseptual

1. Kerusakan lingkungan di laut merupakan akibat dari aktivitas perikanan yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan alat atau bahan yang merusak, dapat berupa rusaknya terumbu karang.

2. Perikanan ramah lingkungan merupakan aktivitas perikanan yang menerapkan prinsip tidak merusak lingkungan yang dalam penerapannya perikanan ini tidak menggunakan alat-alat atau bahan yang merusak (destructive fishing). PRL perikanan merupakan sistem penangkapan ikan yang memiliki sertifikasi ramah lingkungan yang diakui di dunia, sehingga produk perikanan ini dapat menembus pasar internasional untuk diperdagangkan.

3. Dampak sosial merupakan akibat yang terjadi pada masyarakat dalam bentuk hubungan-hubungan sosial yang terjadi karena dilaksanaannya program PRL perikanan ini.

4. Jaringan sosial (social networking) adalah bentuk hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain antar pemangku kepentingan dalam memenuhi kebutuhan masing–masing pihak.

5. Stratifikasi sosial adalah pergeseran verikal status dan peran dalam pekerjaan, dapat naik atau pun turun.

6. Dampak ekonomi merupakan akibat yang terjadi dalam masyarakat nelayan yang berhubungan dengan ekonomi karena dilaksanakannya PRL perikanan ini.

7. Ragam sumber pendapatan maksudnya adalah berbagai bidang pekerjaan lain selain pekerjaan utama responden yang turut menyumbang pemasukan pendapatan keluarga responden.

8. Strategi nafkah nelayan merupakan aktivitas yang dilakukan nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.

9. Sumber pendapatan merupakan sumber penghasilan nelayan baik dari hasil menangkap ikan maupun dari hasil pekerjaan lainnya.

2.3 Definisi Operasional

1. Karakteristik nelayan adalah ciri-ciri yang melekat pada individu nelayan meliputi umur, tingkat pengalaman menekuni pekerjaan, tingkat

pendidikan, dan pengetahuan mengenai perikanan yang ramah lingkungan.

a. Umur adalah usia responden pada tahun dilaksanakannya penelitian. Namun, dibagi kedalam tiga kategori oleh Havighurts dan Acherman dalam Sugiyah (2008):

i. Muda (18-30 tahun) ii. Dewasa (31-50 tahun) iii.Tua (50 tahun)

b. Pendidikan adalah jenjang atau tingkat pendidikan formal yang telah ditempuh oleh individu pada saat penelitian ini berlangsung, yang dibedakan sebagai berikut:

i. Rendah (tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tidak sekolah) ii. Sedang (tamat SMP/sederajat)

iii.Tinggi (Tamat SMA/sederajat)

c. Tingkat pengalaman menekuni pekerjaan diukur dari selang waktu yang telah ditempuh oleh individu dengan pekerjaan utama sebagai nelayan ikan hias, dihitung dalam satuan waktu tahun. Oleh karena praktek perikanan ikan hias berjalan sejak tahuan 1986 dan dihitung pada tahun 2011, maka selang periodenya adalah 25 tahun. Sehingga, range yang digunakan adalah:

i. Rendah (0-5 tahun) ii. Sedang (5-15 tahun) iii. Tinggi (diatas 15 tahun)

d. Pengetahuan mengenai perikanan yang ramah lingkungan adalah kumpulan pengetahuan yang dimiliki nelayan dalam bidang dan praktek perikanan yang ramah lingkungan.

i. Rendah (jika jawaban kurang benar)

ii. Sedang (jika jawaban benar tetapi kurang menyakinkan) iii. Tinggi (jika jawaban mendekati benar)

2. Tingkat pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh oleh responden secara keseluruhan (tidak hanya dari hasil bekerja sebagai nelayan ikan hias) dalam satuan waktu bulan.

i. Rendah (jika penghasilan individu dibawah penghasilan rata-rata keseluruhan responden)

ii. Sedang (jika penghasilan individu berada ditengah pengahasilan rata-rata keseluruhan responden)

iii. Tinggi (jika penghasilan individu berada diatas penghasilan rata-rata keseluruhan responden)

3. Tingkat keikutsertaan dalam kelompok adalah seberapa banyak kehadiran individu dalam acara atau pertemuan-pertemuan rutin kelompok nelayan ikan hias dalam satu tahun. Oleh karena pertemuan rutin diadakan setiap bulan hitungan kalender Bali, yakni setiap 35 hari yang bertepatan dengan upacara agama Hindu,tumpek, maka satuan yang digunakan adalah berapa kali pertemuan. Satu tahun berarti berkisar ada 10 kali pertemuan.

i. Rendah (jika kehadiran individu kurang dari 5 kali dalam kurun waktu satu tahun)

ii. Sedang (jika kehadiran individu antara 5 sampai 8 kali dalam kurun waktu satu tahun)

iii. Tinggi (jika kehadiran individu lebih dari 8 kali dalam kurun waktu satu tahun)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali. Sejalan dengan judul serta tujuan dari penelitian ini, melihat praktek pelabelan ramah lingkungan (ecolabelling) berlangsung dan bagaimana pengaruhnya bagi nelayan ikan hias. Lokasi ini dipilih secara sengaja karena latar belakang praktek perikanan ikan hias yang ramah lingkungan yang telah dilaksanakan di desa ini. Juga karena para nelayan Desa Les ini telah pernah tersertifikasi oleh lembaga sertifikasi Marine Aquarium Council. Waktu penelitian dilakukan selama bulan Juni hingga Juli 2011.

Tabel 5. Perencanaan Waktu Penelitian

No. Kegiatan Juni Juli Agustus September Oktober 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1. Pengambilan data lapangan 2. Pengolahan dan analisis data 3. 3 . Penulisan draft skripsi 4. Sidang skripsi 5. Perbaikan laporan penelitian

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung oleh pendekatan kuantitatif. Dalam metode penelitian kualitatif digunakan observasi, pengamatan, dan wawancara. Sedangkan pada pendekatan kuantitatif, penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian dengan mengumpulkan informasi dari suatu sampel dengan menanyakan melalui angket atau interview supaya menggambarkan berbagai aspek dari populasi (Fraenkel dan Wallen sebagaimana dikutip Wahyuni dan Muljono 2009). Penelitian survei yang dilakukan antara lain untuk melihat hubungan antara tingkat pendidikan nelayan dengan tingkat pendapatan dan tingkat keikutsertaannya dalam kelompok nelayan. Lalu melihat hubungan tingkat

pengalaman kerja dan hubungannya dengan tingkat pendapatan dan tingkat keikutsertaannya dalam kelompok nelayan.

Pengambilan data dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden dan informan untuk melakukan test sebagai preliminary research. Kemudian setelah dilakukan tes dilakukan pengeditan kuesioner sebagai kuesioner penelitian sesungguhnya yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat dan daerah lokasi penelitian. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dapat terjamin, baik