• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOSIO-EKOLOGI NELAYAN IKAN HIAS

5.4 Wilayah Tangkap Nelayan Ikan Hias 1 Pengelolaan Sumberdaya Laut

Sumberdaya laut Les adalah terumbu karang dan beranekargaman ikan hias yang hidup dan berkembang biak di sana. Kondisi terumbu karang mengalami degradasi yang mengkhawatirkan. Ekosistem terumbu karang secara terus menerus mendapat tekanan akibat berbagai aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa aktivitas manusia yang secara langsung dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang diantaranya adalah menangkap ikan dengan menggunakan racun sianida (potas), pembuangan jangkar, berjalan di atas terumbu, penambangan batu karang (dulunya untuk bahan kapur dan bangunan), penambangan pasir, dan sebagainya. Aktivitas manusia yang secara tidak langsung dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang adalah sedimentasi yang disebabkan aliran lumpur dari daratan akibat penggundulan hutan-hutan dan kegiatan pertanian, penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan untuk kebutuhan pertanian, sampah plastik, dan lain- lain (Yahyaet.al, 2006).

Pengelolaan sumberdaya laut Les membutuhkan perhatian yang lebih intensif. Salah satu bentuk pengelolaan tersebut adalah dengan menerapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Salah satu DPL Kecamatan Tejakula adalah wilayah perairan Les sebagian wilayah terumbu karang seluas 200 m2(Yahya et al, 2006). DPL diterapkan untuk memulihkan kondisi sumberdaya yang sedang

direhabilitasi sebelum dapat dieksplorasi kembali. Pengelolaa sumberdaya laut Les ditujukan untuk membentuk wilayah penangkapan ikan hias bagi nelayan.

Setiap komunitas nelayan memiliki wilayah penangkapan (fishing ground) ikan tertentu. Wilayah penangkapan adalah area khusus yang digunakan nelayan sebagai tempat mencari ikan hias. Penentuan wilayah tangkap biasanya tergantung pada arah angin dan ombak. Di Desa Les penentu wilayah tangkap lainnya adalah batas administratif yang ditetapkan oleh desa secara otonomi. Sebenarnya bagi nelayan Desa Les tidak ada batasan wilayah tertentu dalam mencari ikan, sepanjang garis pantai Desa Les nelayan bebas menangkap ikan. Akan tetapi ada beberapa pihak yang menetapkan daerah larang tangkap khusus bagi nelayan ikan hias Desa Les. Larangan tersebut muncul dari pihak pemerintahan desa tetangga maupun resort-resort yang terdapat di sepanjang wilayah pantai utara Bali. Berikut salah seorang nelayan ikan hias Desa Les menyampaikan pengalamannya mengenai fenomena ini:

“… kami tidak boleh menangkap ikan di Desa B, karena ada peraturan desa mereka yang melarang kami untuk menangkap ikan disana. Alasannya karena kami perusak alam, padahal sekarang kami telah tidak menggunakan cara-cara seperti yang dulu.” (GS, 28)

Pernyataan ini dikuatkan oleh pemimpin kelompok nelayan (MM,49), yang menyampaikan pendapat:

“… nelayan kami sering diusir kalau mau menangkap ikan di dekat resort A, katanya kami menyampah disana dan menggangu pemandangan tamu mereka. Kami mencintai laut, setiap ada sampah yang kami temukan di dasar laut saat menyelm justru kami bersihkan dari terumbu karang. Alasan mereka cenderung mengada-ada. Resort kan hanya membeli tanah di pinggir pantai untuk bangunan hotel, tapi merka seperti membeli laut juga. Sehingga kami nelayan di batas- batasi”

Pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah disebutkan bahwa pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkan segala potensi atas sumberdaya alam yang ada di daerahnya masing-masing. Otonomi daerah memperkenankan setiap badan pemerintahan bahkan Desa sekalipun untuk membuat peraturan yang berkaitan dengan pemanfaatan potensi sumberdaya daerahnya. Beberapa desa sepanjang pantai utara Bali, dalam wilayah administratif Kecamatan Tejakula, memetakan wilayah

laut desanya. Pemetaan ini ditujukan untuk mempersempit ruang gerak nelayan dari desa lain untuk mengambil ikan dari wilayah laut desa tersebut. Ditambah pemetaan yang dilakukan oleh beberaparesortyang mengkapling laut untuk tidak dimasuki oleh pihak lain selain tamu.

Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, laut yang merupakan sumbedaya alam bersama yang dikuasai oleh negara. Pengkaplingan menunjukan adanya indikasi pelanggaran atas Undang-Undang tersebut. Ostrom et.al (1999) memaparkan mengenai tipe hak kepemilikan atas sumberdaya bersama.

Tabel 12. Hak Kepemilikan dan Karekteristiknya Hak Kepemilikan Karakteristik

Open access(akses terbuka) Tidak ada yang memegang hak kepemilikan pada tipe kepemilikan ini

Kepemilikan kelompok Hak kepemilikan sumberdaya dipegang oleh

sekelompok penguna yang dapat mengeksklusi orang lain.

Kepemilikan pribadi Hak kepemilikan sumberdaya dipegang oleh individu atau perusahaan yang dapat mengeksklusi orang lain. Kepemilikan pemerintah Hak kepemilikan sumberdaya dipegang oleh

pemerintah yang dapat mengeksklusi pihak lain. Sumber: Ostormet.al(1999)

Berdasarkan klasifikasi tipe kepemilikan sumberdaya bersama Ostrom dan Undang-Undang Dasar RI 1945, maka laut merupakan hak kepemilikan pemerintah sebagaiownerdan masyarakat dapat bertindak sebagaiclaimant(lihat Tabel 1). Sebagai owner pemerintah memiliki hak kepemilikan yang kolektif untuk berpartisipasi dalam mengelola dan mengekslusi juga memegang hak aleanasi (hak menjual atau menyerahkan hak kepemilikan). Berdasarkan keterangan di atas, pemerintah memiliki hak untuk eksklusi pihak-pihak tertentu dalam memanfaatkan sumberdaya laut. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan pemberian hak oleh pemerintah setempat kepada resort untuk mengelola laut. Intepretasi dari hak ini kemudian diartikan olehresortsebagai hak untuk mengeksklusi pihak lain (nelayan). Masyarakat dalam konteks ini, nelayan, yang hanya memiliki hak claimant, hak masuk dan memanfaatkan hasil sumberdaya alam, juga hak untuk mengelola sumberdaya alam. Nelayan tidak mendapat ‘jatah’ hak eksklusi dari pemerintah.

Laut dapat dikategorikan sebagai sumberdaya bersama yang menurut Robbins (2004) dan Ostorm (1999) merupakan sistem ekologi yang kompleks. Akan ada biaya yang dikeluarkan untuk mengeksklusi pihak lain. Sumberdaya bersama biasanya memiliki dilema dalam pengelolaannya, yang diterangkan teori sumberdaya bersama “Theory of Tragedy of the Commons” oleh Garret Hardin. Diperlukan sentralisasi dan privatisasi untuk mengatasi dilema pengeloaan sumberdaya bersama. Tragedy of the commons muncul dari kebingungan atas pengelolaan sumberdaya bersama, sehingga dengan adanya privatisasi akan lebih memudahkan untuk mengelola laut. Eksklusi atas laut oleh pihak tertentu kemudian membatasi ruang gerak nelayan, merupakan solusi dari tragedy of the commons. Pengelolaan sumberdaya yang kolektif menurut Ciriacy-Wantrup dan Bishop (1975) dalam Robbins (2004) merupakan fakta bahwa sumberdaya bersama tidak ada yang memiliki (secara legal, res nullius) tapi sebenarnya memiliki hak kepemilikan bersama yang dimiliki oleh masyarakat setempat (secara legal, res communes). Laut secara luas tidak ada yang memiliki, namun laut yang berada di dekat daerah tertentu makan pengelolaannya akan dilakukan oleh daerah tersebut, sehingga laut merupakan milik masyarakat (res communes). 5.4.2 Konflik Hak Kepemilikan Sumberdaya Laut

Pengelolaan sumberdaya laut sangat mempengaruhi kinerja nelayan ikan hias dalam proses penangkapannya. Pada sub-bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai pengeloaan sumberdaya alam yang dapat diidentifikasi sebagai konflik pemanfaatan sumberdaya alam. Wilayah tangkap nelayan dibatasi, sehingga hak- hak nelayan ikut tereduksi. Berdasarkan hak kepemilikan menurut Ostrom dan posisi nelayan, sebelum dan setelah praktek perikanan ramah lingkungan yang diterapkan oleh nelayan Les adalah sebagai berikut:

Tabel 13. Perubahan Hak Nelayan Ikan Hias oleh Peraturan Desa Tetangga dan Pihak Swasta

Tipe Hak Sebelum Program Perikanan Ramah Lingkungan

(sebelum 2001)

Setelah Program Perikanan Ramah Lingkungan

(setelah 2001)

Hak akses Ya Dibatasi

Hak menangkap Ya Tidak

Hak mengelola Ya Tidak

Sebelum program ramah lingkungan dilaksanakan oleh nelayan Les, dengan mengubah pola dan cara tangkap meninggalkan penggunaan potassium- sianida nelayan memiliki hak akses atas laut sepanjang pantai kecamatan Tejakula, utara Bali. Namun sejak nelayan Les berhasil merubah pola tangkap menjadi lebih ramah lingkungan, beberapa desa di Kecamatan Tejakula mengeluarkan peraturan yang melarang nelayan Les untuk menangkap ikan di wilayah desa tersebut. Alasan yang mengemuka dari pihak swasta dan pemerintah desa tetangga adalah bahwa nelayan Les adalah nelayan perusak lingkungan. Para pemangku kepentingan tersebut tidak ingin daerahnya dirusak oleh nelayan Les. Dengan dibatasinya hak akses, nelayan Les tidak memiliki hak untuk menangkap ikan dan mengelola laut tersebut. Nelayan menjadi dibatasi ruang geraknya. Hal ini merupakan salah satu kendala bagi nelayan dalam proses penangkapan ikan hias.

Praktek perikanan ramah lingkungan ternyata tidak hanya memberi dampak positif bagi sosial ekonomi nelayan ikan hias. Hak nelayan tereduksi dengan penerapan perikanan ramah lingkungan (Molyneaux, 2008). Tabel 13 tidak hanya menggambarkan pengurangan hak nelayan dengan adanya peraturan otonomi desa lain. Tabel tersebut turut menjelaskan pengurangan hak nelayan akibat pembangunan resort. Resort memiliki hak untuk mengelola pantai yang termasuk ke dalam wilayah pariwisata. Hak resort inilah yang kemudian mereduksi hak nelayan. Nelayan menjadi tidak memiliki hak kelola dan bahkan tidak mempunyai hak akses untuk melakukan penangkapan ikan hias.

Konflik lingkungan menurut Robbins (2004), adalah saat meningkatnya kelangkaan akibat tertutupnya akses terhadap sumberdaya oleh otoritas pemerintahan, pihak swasta, atau elit sosial yang turut mempercepat konflik di antara kelompok (gender, kelas, dan etnik). Sama halnya dengan masalah lingkungan menjadi terpolitisasi (politicized) saat pengelolaan lingkungan oleh kelompok masyarakat dipengaruhi oleh intervensi otoritas, agen pemerintah, atau pihak swasta. Politisasi lingkungan dalam Bryant dan Bailey (2005) merupakan sebuah pemikiran yang konvensional dari perubahan lingkungan yang dikaitkan dengan proses politik dan ekonomi. Dalam jangka waktu yang lama konflik akan

menimbulkan ekologilisasi (ecologized) di antara komunitas dengan merubah kebijakan pembangunan konservasi sumberdaya alam.

Konflik lingkungan yang terjadi pada nelayan Les terhadap pihak swasta dan pemerintah adalah akibat dari tertutupnya akses nelayan terhadap sumberdaya laut. Nelayan merupakan masyarakat pesisir yang sangat bergantung kepada alam. Terjadinya benturan kepentingan ini membuat nelayan yang berada pada pihak yang lemah termarginalisasi. Pengelolaan laut menjadi terpolitisasi oleh adanya intervensi dari pemerintahan desa tetangga dan resortsebagai pihak swasta yang memiliki eksklusifitas dalam memanfaatkan laut.