• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

b. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap informasi pada kemasan obat tradisional yang meliputi logo, nomor ijin edar, nama produk, komposisi, cara

pemakaian, khasiat, kontraindikasi, efek samping, nomor batch, keterangan kadaluwarsa?

c. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi atau alasan masyarakat di Desa Maguwoharjo dalam pemilihan jamu ramuan segar ataupun jamu instan? 2. Keaslian penelitian

Sebagian data yang terdapat di skripsi sudah dipublikasikan pada Proseeding Kongres Ilmiah ISFI XVI 2008 tanggal 11-12 Agustus 2008 di Hotel Ina Garuda Yogyakarta. Data hasil penelitian yang sudah dipublikasi merupakan data sekunder, sedangkan data yang belum dipublikasi disebut data primer

Data yang termasuk data sekunder dari penelitian yang berjudul ”Studi Tentang Pemahaman Obat Tradisional Berdasar Kemasan Dan Motivasi Pemilihan Jamu Ramuan Segar Atau Jamu Instan Pada Masyarakat Desa Maguwohardjo Depok Sleman Yogyakarta”, antara lain data hasil wawancara tentang pengalaman menggunakan jamu instan, pengetahuan tentang bentuk sediaan lain jamu selain serbuk, nomor ijin edar sebagai faktor utama yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat, alasan memilih jamu ramuan segar, alasan memilih jamu instan, tujuan penggunaan jamu dan tingkat pemahaman obat tradisional berdasarkan informasi pada kemasan.

Data yang termasuk data primer dari penelitian yang berjudul ”Studi Tentang Pemahaman Obat Tradisional Berdasarkan Informasi Pada Kemasan Dan Alasan Pemilihan Jamu Ramuan Segar Atau Jamu Instan Pada Masyarakat Desa Maguwoharjo”, antara lain data karakteristik responden, persentase kecenderungan jawaban pada setiap butir pernyataan pemahaman obat tradisional

berdasarkan informasi pada kemasan, faktor utama yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat selain nomor ijin edar, pengertian jamu, pengertian jamu instan, pengertian jamu ramuan segar, sumber-sumber pengenalan jamu, alasan memilih mengkonsumsi jamu, hasil yang diperoleh setelah mengkonsumsi jamu, cara pembuatan kunyit asam.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang kefarmasian, terkait dengan perilaku kesehatan.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar/baseline survey penelitian untuk mendesain modul edukasi terkait obat tradisional serta dapat dijadikan acuan dalam merencanakan program pemberdayaan kesehatan melalui pengobatan tradisional mandiri.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Memberi informasi mengenai pemahaman masyarakat tentang kemasan obat tradisional serta faktor-faktor yang melatarbelakangi atau alasan pemilihan pemakaian obat tradisional di masyarakat sekarang ini.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui karakteristik responden pengguna obat tradisional di Desa Maguwoharjo.

b. Mengetahui pemahaman masyarakat terhadap informasi pada kemasan obat tradisional yang meliputi logo, nomor ijin edar, nama produk, komposisi, cara pemakaian, khasiat, kontraindikasi, efek samping, nomor batch, dan keterangan kadaluwarsa.

c. Mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi atau alasan masyarakat di Desa Maguwoharjo dalam memilih jamu ramuan segar ataupun jamu instan.

6

A. Perilaku Kesehatan

Gochman (Smet, 1994) mendefinisikan perilaku kesehatan sebagai suatu sifat seperti kepercayaan, harapan, motivasi, nilai-nilai persepsi dan unsur-unsur kognitif lain, karakteristik kepribadian termasuk afektif, status emosional dan sifat individu, aksi dan kebiasaan-kebiasaan yang berhubungan dengan perawatan kesehatan, perbaikan kesehatan dan peningkatan kesehatan.

Skinner mendefinisikan perilaku kesehatan sebagai suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau suatu objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan diklasifikasikan menjadi : (a) perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanane), (b) perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior) (c) perilaku kesehatan lingkungan (Notoatmodjo, 2007).

Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan tidak merasa sakit (disease but no illness) sudah barang tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha (Notoatmodjo, 2007). Menurut Suchman, ada 5 macam reaksi dalam proses mencari pengobatan, yaitu :

1. shopping, adalah proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosis dan pengobatan sesuai dengan harapan si sakit,

2. fragmentation, adalah proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama, contohnya: berobat ke dokter, sekaligus ke sinse dan dukun,

3. procrastination, adalah proses penundaan pencarian pengobatan meskipun gejala penyakitnya sudah dirasakan,

4. self medication, adalah pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai ramuan atau obat-obatan yang dinilai tepat baginya,

5. discontinuity, adalah penghentian proses pengobatan (Sarwono, 2007).

B. Teori tentang Perilaku

Beberapa teori yang sering digunakan untuk analisa perilaku kesehatan individu maupun suatu kelompok masyarakat yaitu:

1. Teori adopsi inovasi Rogers

Menurut teori inovasi Rogers, implisit dalam proses perubahan perilaku adalah adanya suatu gagasan baru yang diperkenalkan kepada individu dan yang diharapkan untuk diterima oleh individu tersebut. Teori ini dikenal sebagai innovation decision process. Proses ini terdiri dari lima tahap, yaitu mengetahui atau menyadari tentang adanya ide baru (awareness), menaruh perhatian terhadap ide tersebut (interest), memberi penilaian (evaluation), mencoba memakainya

(trial) dan bila menyukainya maka setuju untuk menerima ide atau hal baru tersebut (adoption) (Sarwono, 2007).

Dari pengalaman di lapangan serta penelitian mengenai penerapan teori ini ternyata membuat Rogers menyimpulkan bahwa proses adopsi ini tidak berhenti setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Situasi ini kelak dapat berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungannya. Rogers mengubah teori itu dan membagi proses pembuatan keputusan menjadi empat tahap, yaitu:

a. Tahap knowledge

Mula-mula individu menerima informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan suatu ide baru, ini menimbulkan minat untuk mengenal lebih jauh tentang obyek atau topik tersebut.

b. Tahap persuasion

Oleh petugas kesehatan, tahap knowledge tersebut digunakan untuk membujuk atau meningkatkan motivasi individu guna bersedia menerima obyek atau topik yang dianjurkan tersebut.

c. Tahap decision

Tergantung pada hasil persuasi petugas atau pendidik kesehatan dan pertimbangan pribadi individu, maka dalam tahap decision dibuat keputusan untuk menerima atau justru menolak ide tersebut.

d. Tahap confirmation

Pada tahap ini, individu akan meminta dukungan dari lingkungan atas keputusan yang telah diambil tersebut. Bila lingkungan memberikan dukungan positif maka perilaku yang baru tersebut tetap dipertahankan, sedangkan bila

ada keberatan dan kritik dari lingkungan terutama dari kelompok acuannya, maka biasanya adopsi itu tidak jadi dipertahankan dan individu kembali lagi pada perilaku semula. Sebaliknya suatu penolakan pun akan dapat berubah menjadi adopsi apabila lingkungannya justru memberikan dukungan agar individu menerima ide baru tersebut. Tidak setiap orang mempunyai kecepatan yang sama dalam hal mengadopsi sesuatu yang baru (Sarwono, 2007).

2. Model perubahan perilaku dari Green

Suatu teori lain dikembangkan oleh Lawrence Green yang mengatakan bahwa kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor-faktor diluar perilaku (non perilaku). Selanjutnya faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga kelompok faktor: faktor-faktor predisposisi, pendukung, dan pendorong. Faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat. Faktor pendukung (enabling factors) ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya, sedangkan faktor pendorong (reinforcing factors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Green menyatakan bahwa pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok faktor itu agar searah dengan tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap program tersebut dan terhadap kesehatan pada umumnya (Sarwono, 2007).

3. Model kepercayaan kesehatan dari Rosenstock

Menurut Rosenstock (1982) model kepercayaan kesehatan mencakup lima unsur utama. Unsur utama adalah persepsi individu tentang kemungkinannya terkena penyakit tersebut akan lebih cepat merasa terancam. Unsur yang kedua adalah pandangan individu tentang beratnya penyakit tersebut (perceived seriousness), yaitu risiko dan kesulitan apa saja yang akan dialaminya dari penyakit itu. Semakin berat risiko suatu penyakit maka semakin besar kemungkinan individu itu terserang penyakit tersebut sehingga timbul ancaman yang besar dari dalam dirinya (perceived threast). Ancaman ini mendorong individu untuk melakukan tindakan pencegahan atau penyembuhan penyakit. Beberapa alternatif tindakan ditawarkan oleh petugas kesehatan untuk mengurangi ancaman tersebut. Individu akan mempertimbangkan, apakah alternatif tersebut dapat mengurangi ancaman penyakit. Sebaliknya, konsekuensi negatif dari tindakan yang dianjurkan (biaya yang lebih mahal, rasa malu, takut akan rasa sakit, dan sebagainya) seringkali menimbulkan keinginan individu untuk menghindari alternatif yang dianjurkan petugas kesehatan. Dalam memutuskan, menerima atau menolak alternatif tindakan tersebut, diperlukan satu unsur lagi yaitu faktor pencetus (cues to action) yang dapat datang dari dalam diri individu, nasehat orang lain, kampanye kesehatan, dan lain-lain (Sarwono, 2007).

C. Obat Tradisional

Menurut Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan bab I pasal 1 ayat (10) obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Menurut Handayani dan Suharmiati (2002), sumber pembuat atau yang memproduksi obat tradisional, dapat dikelompokkan menjadi tiga:

1) Obat tradisional buatan sendiri

Obat tradisional jenis ini merupakan akar dari pengembangan obat tradisional di Indonesia saat ini. Pada zaman dahulu, nenek moyang kita mempunyai kemampuan untuk menyediakan ramuan obat tradisional yang lebih mengarah kepada ”self care” untuk menjaga kesehatan anggota keluarga serta penanganan penyakit ringan yang dialami oleh anggota keluarga. Sumber tanaman disediakan oleh masyarakat sendiri, baik secara individu, keluarga, maupun kolektif dalam suatu lingkungan masyarakat. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahan baku dibeli dari pasar tradisional yang banyak menjual bahan jamu yang pada umumnya juga merupakan bahan untuk keperluan bumbu dapur masakan asli Indonesia.

2) Obat tradisional berasal dari pembuat jamu / herbalist

Penjual jamu gendong, peracik tradisional, tabib lokal dan sinshe, termasuk pembuat jamu herbalist

a) Penjual jamu gendong

Usaha jamu gendong adalah usaha peracikan, pencampuran, pengolahan dan pengedaran obat tradisional dalam bentuk pilis, parem, tapel, tanpa penandaan dan atau merk dagang serta dijajakan untuk langsung

digunakan (Anonim, 1990). Jamu gendong dibuat dan dijajakan oleh ibu-ibu muda yang bersolek, memakai batik dan kebaya, dengan sebuah bakul sarat botol-botol berisi racikan obat tradisional tersandang dengan selendang lusuh dipunggungnya (Kodim, 2000).

Pembuat jamu gendong merupakan salah satu penyedia obat tradisional dalam bentuk cairan minum yang sangat digemari masyarakat. Segala lapisan masyarakat sangat membutuhkan kehadirannya meskipun tidak dapat dipungkiri lebih banyak dari lapisan bawah yang menggunakan mereka. Selain jamu gendong yang umumnya dijual seperti kunir asam, sinom, mengkudu, pahitan, beras kencur dan gepyokan, mereka juga menyediakan jamu khusus sesuai pesanan, misalnya : jamu habis bersalin, jamu untuk keputihan dan lain-lain. Saat ini dengan semakin berkembangnya jamu-jamu industri seringkali kita menjumpai penjual jamu gendong menyediakan serbuk buatan industri untuk dikonsumsi bersamaan dengan jamu gendong yang mereka sediakan.

b) Peracik tradisional

Peracik jenis ini tampaknya sudah semakin berkurang jumlahnya dan kalah bersaing dengan industri, karena alasan kepraktisan. Peracik tradisional umunya berada di pasar-pasar tradisional menyediakan jamu sesuai kebutuhan konsumen. Bentuk jamu pada umumnya sejenis jamu gendong, namun lebih mempunyai kekhususan untuk pengobatan penyakit atau keluhan kesehatan tertentu.

Perbedaan jamu gendong dan peracik tradisional adalah jamu gendong menjual barang jadi, sedangkan peracik tradisional menjual barang setengah jadi, yaitu berupa ramuan yang sudah ditumbuk kemudian diracik dengan menambah air matang, disaring dan hasilnya siap diminum.

c) Tabib lokal

Biasanya melaksanakan praktik pengobatan dengan menyediakan ramuan dengan bahan alam yang berasal dari bahan lokal. Ilmu ketabiban seringkali diperoleh dengan cara bekerja sambil belajar kepada tabib yang telah berpraktik. Di beberapa kota, telah dapat dijumpai pendidikan tabib berupa kursus yang telah dikelolah dengan baik dan diselenggarakan oleh tabib tertentu. Pada umumnya, selain pemberian ramuan, para tabib juga mengkombinasikannya dengan teknik lain seperti metode spiritual atau agama dan supranatural.

d) Shinshe

Merupakan pengobat tradisional yang berasal dari etnis Tionghoa yang melayani pengobatan menggunakan ramuan obat tradisional bersumber dari pengetahuan negara asal mereka, yaitu Cina. Pada umumnya mereka menggunakan bahan-bahan yang berasal dari Cina meski tidak jarang juga dicampur dengan bahan-bahan yang sejenis dengan yang mereka jumpai di Cina. Selain memberikan obat tradisional yang disediakan sendiri maupun yang disediakan oleh toko obat, shinse pada umumnya mengkombinasikan ramuan segar dengan teknik lain, seperti : pijatan, akupresur, atau akupuntur.

3) Obat tradisional buatan industri

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.246/Menkes/Per/V/1990, Industri obat tradisional digolongkan menjadi industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional berdasarkan total aset yang mereka miliki, tidak termasuk harga tanah dan bangunan. Dengan semakin maraknya obat tradisional, tampaknya industri farmasi mulai tertarik untuk memproduksi obat tradisional. Tetapi, pada umumnya yang berbentuk sediaan modern seperti bentuk tablet, kapsul, pil, salep, krim.

1. Penggolongan obat tradisional

Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi 3 kategori yakni dengan logo sebagai penanda pada kemasan :

a. Jamu atau obat tradisional Indonesia Jamu harus memenuhi kriteria :

1) aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan 2) klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris 3) memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat pembuktiannya yaitu tingkat pembuktian umum dan medium. Jenis klaim penggunaan harus diawali dengan kata-kata: ”Secara tradisional digunakan untuk ….” atau sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran. Contoh : Antangin®(tablet), Buyung Upik®(serbuk), Kuku Bima®(kapsul)

Gambar 1. Logo jamu

(ranting daun terletak dalam lingkaran) b. Obat Herbal Terstandar (OHT)

Merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji pra klinik dan bahan bakunya telah distandarisasi. Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria :

1) aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan 2) klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau pra klinik

3) telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi

4) memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.

Contoh : Diapet®(kapsul), Lelap®(kaplet), Tolak Angin®(cair)

Gambar 2. Logo herbal terstandar

c. Fitofarmaka

Merupakan sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji pra klinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandarisasi. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria : 1) aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan

2) klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik

3) telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi

4) memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian medium dan tinggi. Kode nomor ijin edar digit 1 dan 2 adalah FF. Contoh : X-Gra®(kapsul), Tensigard®(kapsul), Stimuno®(cair)

Gambar 3. Logo fitofarmaka

(jari-jari daun yang kemudian membentuk bintang terletak dalam lingkaran) (Anonim, 2004)

2. Peraturan perundang-undangan terkait obat tradisional

a. Menurut Undang-Undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan Pasal 40

2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alatkesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.

Penjelasan pasal

Pasal 41

1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat ijin edar.

Penjelasan pasal

Obat dan bahan obat tradisional yang dibuat secara sederhana oleh industri rumah tangga seperti jamu racik dan jamu gendong tidak diwajibkan memiliki ijin edar dan belum dikenakan sanksi pidana sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.

b. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.05.23.02769 tahun 2002 tentang pencantuman asal bahan tertentu, kandungan alkohol, dan tanggal kadaluwarsa pada penandaan atau label obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan:

Pasal 3

1) Obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan yang mengandung bahan tertentu harus mencantumkan asal dan keterangan bahan tertentu tersebut pada komposisi penandaan atau label.

2) Untuk obat, obat tradisional, dan suplemen makanan, selain harus mencantumkan keterangan sebagaimanan dimaksudkan pada ayat (1) juga harus mencantumkan tulisan ”Bersumber Babi” dalam kotak dengan warna putih pada penandaan atau label.

Pasal 4

1) Obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan yang mengandung alkohol harus mencantumkan kadar alkohol tersebut pada komposisi penandaan atau label.

2) Kadar alkohol sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) harus dicantumkan dalam persentase volume per volume (v/v).

Pasal 5

1) Obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan harus mencantumkan tanggal kadaluwarsa pada penandaan atau label.

2) Pencantuman tanggal kadaluwarsa sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) harus dicantumkan dibagian utama penandaan atau label sehingga mudah terlihat dan terbaca.

Pasal 6

Penulisan tanggal kadaluwarsa dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: a) Tanggal ditulis dengan angka;

b) Bulan ditulis dengan huruf; dan c) Tahun ditulis dengan angka.

c. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.05.41.1384 tahun 2005 tentang kriteria dan tata laksana pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka:

Pasal 2

1) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang dibuat dan atau diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki ijin edar dari Kepala Badan.

2) Untuk memperoleh ijin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan pendaftaran

Pasal 3 Dikecualikan dari ketentuan Pasal 2 terhadap:

a) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang digunakan untuk penelitian;

b) Obat tradisional impor untuk digunakan sendiri dalam jumlah terbatas; c) Obat tradisional impor yang telah terdaftar dan beredar di negara asal

untuk tujuan pameran dalam jumlah terbatas;

d) Obat tradisional tanpa penandaan yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan jamu gendong;

e) Bahan baku simplisia dan sediaan galenik Pasal 4

Untuk dapat memiliki ijin edar sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) menggunakan bahan berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan / khasiat;

b) dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku; c) penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat

menjamin penggunaan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka secara tepat, rasional dan aman sesuai dengan hasil evaluasi dalam rangka pendaftaran.

Pasal 17

1) Berkas pendaftaran harus dilengkapi dengan :

a. rancangan kemasan yang meliputi etiket, dus, pembungkus, strip, blister, catch over, dan kemasan lain sesuai ketentuan tentang pembungkus dan penanda yang berlaku, yang merupakan rancangan kemasan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang akan diedarkan dan harus dilengkapi rancangan warna;

b. brosur yang mencantumkan informasi mengenai obat tradisional obat herbal terstandar dan fitofarmaka

2) Informasi minimal yang harus dicantumkan pada kemasan dan brosur sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1)

Tabel I. Informasi yang harus dicantumkan pada kemasan obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka

Keterangan

√ = informasi harus dicantumkan

± = informasi dapat dicantumkan dengan menyebutkan ”Lihat Brosur” Pasal 34

1) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dilarang mengandung:

a) bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat; b) narkotik atau psikotropika;

c) bahan yang dilarang seperti yang tercantum;

d) hewan atau tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

No. Informasi yang harus dicantumkan Pembungkus/Bungkus luar

1. Nama Obat tradisional/Obat herbal terstandar/Fitofarmaka

2. Bentuk sediaan

3. Besar kemasan

4. Komposisi

5. Logo Obat tradisional/Obat herbal terstandar/Fitofarmaka

6. Nama pendaftar

7. Alamat pendaftar

Nama industri negara asal/pemberi lisensi/penerima kontrak

Alamat industri negara asal/pemberi lisensi/penerima kontrak

8. Nomor ijin edar

9. Nomor batch 10. Batas kadaluwarsa 11. Klaim penggunaan 12. Kontraindikasi ± 13. Efek samping ± 14. Interaksi obat ± 15. Cara penyimpanan

16. Informasi khusus sesuai ketentuan yang berlaku, misalnya:

- Bersumber babi - Kandungan alkohol - Pemanis buatan

2) Obat tradisional dilarang dalam bentuk sediaan: a) intravaginal;

b) tetas mata; c) parenteral;

d) supositoria, kecuali digunakan untuk wasir.

3) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dalam bentuk sediaan cair obat dalam tidak boleh mengandung etil alkohol dengan kadar lebih besar dari 1% (satu persen), kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran.

Untuk informasi pada kemasan obat tradisional, yang menjadi acuan adalah Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.05.41.1384 tahun 2005 tentang kriteria dan tata laksana pendaftaran obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka dan bukan Peraturan Menteri Kesehatan No.246/Menkes/Per/V/1990 tentang ijin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional bab VI pasal 34, walaupun secara struktural Peraturan Menteri Kesehatan No.246/Menkes/Per/V/1990 lebih tinggi. Hal ini karena pada Peraturan Menteri Kesehatan No.246/Menkes/Per/V/1990 belum ada penggolongan pengelompokan obat bahan alam Indonesia (baik itu jamu, obat herbal terstandar maupun fitofarmaka), pengelompokan ini baru ada pada tahun 2004 melalui Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.4.2411 tentang ketentuan pokok pengelompokkan dan penandaan obat bahan alam Indonesia.

3. Persepsi masyarakat tentang obat tradisional

Persepsi masyarakat bermacam-macam tentang obat tradisional, dari yang tidak percaya sampai yang fanatik. Tidak percaya karena tidak semanjur obat modern, bentuk dan kemasannya tidak meyakinkan, bahkan ada yang

Dokumen terkait