• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : IBNU KATSÎR DAN TAFSIRNYA

B. Mengenal Tafsir Ibn Katsîr

4. Karakteristik Tafsir Ibn Katsîr

Sebagaimana umumnya kitab klasik atau kitab kuning, Tafsir Ibn Katsîr termasuk kitab yang kaya materi. Di dalamnya, memuat bukan hanya materi tafsir al-Qur’ân, namun dapat dikatakan berisi beberapa cabang ilmu keislaman lain, seperti: hadis, fiqh, sejarah (kisah), ilmu qira’at, dan lain-lain. Karena tafsir ma’tsur, maka hadis yang disampaikan dilengkapi dengan ilmu seluk beluk atau perangkat-perangkat keilmuan yang berkaitan dengan hadis, misalnya, ilmu jarh wa ta’dil, kritik hadis, rijal al-hadis dan lain-lain. Keberadaan ini tidak lepas dengan kedudukan Ibn Katsir sebagai ahli hadis (al-muhaddis).

Untuk pembahasan fiqh, Ibn Katsîr sering kali menguraikan secara panjang lebar. Di sini kendati dia berpegang pada satu madzhab, yaitu Syafi’î, pendapat-pendapat dari madzhab lain, seperti Hanafi, Maliki, Hanbali, dan pendapat-pendapat dari imam madzhab yang sudah tidak berkembang disampaikan di antara pendapat madzhabnya. Hal ini menunjukkan keterbukaannya dan membuka keterbukaan pembaca kitabnya untuk melihat terhadap pendapat madzhab lain, selain madzhab yang dipegangi, agar tidak fanatik. Hal ini menunjukkan keluasan pengetahuan dia dalam bidang fiqh.

Dalam sejarah atau kisah, Ibn Katsîr adalah ahlinya. Namun demikian dia tidak berlebih-lebihan dalam menguraikan kisah-kisah orang terdahulu yang disampaikan teks al-Qur’ân. Justru pengaruh keahliannya nampak pada daya kritisnya dalam menyampaikan kisah al-Qur’ân, dengan mengemukakan kritik sejarah terhadap para pendahulunya yang dianggap kurang pas dalam

menyampaikan kisah.39 Pada bagian ini dia menambahkan kisah yang bersumber dari Isra’iliyyat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Demikian juga bidang-bidang keislaman lain ia sampaikan secara proporsional.

Adapun karakteristik Tafsir Ibn Katsîr secara terperinci diuraikan berikut ini:

a. Mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda

Ibn Katsîr selalu berusaha mengkompromikan perbedaan pendapat yang disampaikan para ulama’ sebelumnya. Kalau tidak mungkin, ia akan melakukan tarjîh. Ia begitu arif dalam menyampaikan hasil pengkompromiannya itu dengan ungkapan yang menyejukkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan, ketika menghadapi perbedaan dalam penafsiran shirat al-mustaqîm (QS Al-Fatihah [1]: 6).

Dengan bijaksana sebagai hasil pemahaman yang mendalam, ia mengkompromikan ikhtilaf itu dalam tulisnya:

Seluruhnya qaul ini adalah benar. Semuanya tetap bisa dipakai (kuat). Karena sesungguhnya, barang siapa mengikuti Nabi Saw. Dan mengikuti 2 orang sahabat setelahnya, yaitu Abu Bakar dan Umar, maka sesungguhnya (ia) mengikuti kebenaran. Barang siapa mengikuti kebenaran , maka sesungguhnya ia mengikuti ajaran agama Islam. Dan barang siapa mengikuti ajaran agama Islam, maka sesungguhnya ia mengikuti al-Qur’ân. Sedang al-Qur’ân merupakan Kitab Allah, tali (agama)-Nya yang kokoh, dan jalan-Nya yang lurus. Semuanya adalah benar, yang membenarkan sebagian atas sebagian yang lain.”40

Dalam mengutip berbagai macam pendapat, terutama yang mengandung ikhtilaf, Ibn Katsîr berusaha bersikap netral, bebas dan kritis. Apabila mendukung salah satu pendapat yang dikutipnya, ia akan mengemukakan argumen yang menguatkan pendapat itu dari pendapat-pendapat yang lainnya.

b. Merangkum Tafsir Terdahulu

Ibnu Katsîr mengutip beberapa penafsiran dari para ulama’. Ia mengambil pendapat-pendapat dari para ulama’ sebagai salah satu sumber tafsir. Ulama’ tersebut adakalanya dari kelompok mutaqaddimûn, namun terkadang dari

40

muta’akhirûn. Mereka semua memiliki kontribusi besar dalam mengangkat nilai tafsirnya.

Pandangan dari banyak ulama’ yang beragam latar belakang keahliannya tersebut, menjadikan tafsir ini punya sudut pandang yang kompleks. Rangkuman pendapat di dalamnya sangat luas bidang cakupannya. Dalam mengutip pendapat tertentu Ibn Katsîr hanya menyebutkan nama kitabnya. Tanpa menyebut-nyebut nama kitab yang dikutip, orang sudah dan atau mudah tahu karya ulama’ yang dimaksud, karena ulama’ itu sudah terkenal dan terpercaya.

Ketika Ibnu Katsîr menulis; “Telah berkata az-Zamakhsyari...,” maka orang akan tahu bahwa yang dimaksud tulisan itu adalah dalam Tafsir al-Kasysyâf, bukan karya-karyanya yang lain dalam sastra atau teologi. Jika yang disebut ath-Thabari, maka orang akan paham bahwa sumber qaul itu dari Tafsir Jâmi’ al-Bayan fî Tafsir al-Qur’ân, bukan kitab tarikhnya. Sebab, ketika Ibn Katsîr dalam keadaan tertentu mengutip dari karya tarikh, maka dia menulis: ”Telah berkata ath-Thabarî dalam tarikhnya:...,” demikian seterusnya.

Terhadap periwayatan hadis, Ibn Katsîr menulis, “Telah berkata Ahmad di dalam kitab Musnad-nya..., atau “Dan dalam Musnad Ahmad...,” dan seterusnya. Baik dalam bidang tafsir, hadis, fiqh dan lain-lain, Ibn Katsîr sering menyebut qaul ulama’ tanpa menyebutkan kitab yang menjadi sumber pengambilan. Namun dalam keadaan tertentu, ia menyebutkan nama kitab yang dimaksud sehingga memudahkan bagi orang yang hendak mengeceknya.

Kritk Abduh yang menganggap kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tak lebih merupakan intelectual exercise, yang penyampainnya terkesan gersang dan kaku,41 serta kurang bisa membawa pesan-hidayah al-Qur’ân, adalah terarah kepada kitab-kitab tafsir yang menempuh metode ijmâli, misalnya Tafsir Jalâlain karya dua Jalâl; Jalâl ad-Dîn al-Mahallî dan Jalal ad-Dîn as-Suyûthî. Kitab ini misalnya, tak ubahnya sebagai tafsir mufradat. Artinya, dalam tafsir itu si mufassir hanya menyampaikan pada kata yang lebih mudah dan lebih dikenal dari kata-kata teks al-Qur’ân, dan membatasi menyampaikan maksud isi al-Qur’ân. Pembacanya dipersilahkan mengambil pesan al-Qur’ân dengan perantara pengertian-pengertian kata. Namun demikian, hal di atas hanyalah efek negatif dari metode ijmâli, karena terdapat pengecualian dari pandangan Abduh di atas mengenai tafsir dan penafsiran. Menurutnya, Tafsir az-Zamakhsyarî yang sangat teliti dalam redaksional dan uraian sastrawinya; Tafsir ath-Thabarî, Tafsir al-Qurthubî dan Tafsir Abu Muslim al-Asfahani yang pengarang-pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taqlid dan tidak melibatkan diri dalam perbedaan paham, merupakan Tafsir yang sangat baik bagi para penuntut ilmu.42

Nah, kendati Abduh secara khusus tidak menyebut Tafsir Ibn Katsîr, namun melihat “sifat” Tafsir yang dikecualikan atau baik bagi penuntut ilmu itu dipunyai tafsir ini, maka ia termasuk Tafsir yang terkecualikan. Hal ini semakin nyata jika diingat dan dihubungkan bahwa Rasyîd Ridhâ sebagai pelanjut dan perealisiride-ide Abduh, dalam penafsirannya sangat terpengaruh oleh Ibn Katsîr.

41

Muhammad ‘Abduh, Fatihat al-Kitab, (Kairo: at-Tahrir), h. 13.

42

Abd al-’Athi’ Muhammad Ahmad, al-Fikr as-Siyasi li al-Imam Muhammad Abduh, (Kairo: al-Hai’ah al-Mishriyyah li al-Kitab), h. 117.

Kekaguman itu telah mendorongnya untuk mencetak Tafsir Ibn Katsîr dan menyebarluaskannya ke seluruh negara Arab, bahkan dunia Islam.

Karya Ibnu Katsîr tersebut menekankan penukilan riwayat penafsiran dari masa Nabi saw hingga masa atba’ at-tabi’in. Pendapat ulama’-ulama’ pasca riwayat hanya sekedar pelengkap. Pembahasan nahwiyah kurang mendapat porsi yang cukup. Penukilan penafsiran, misalnya, dari az-Zamakhsyarî tentang i’rab, kendati pun dinukil namun kadarnya kecil sekali. Hal ini karena memang ciri penafsiran masa mutaqaddimûn, masa generalisasi atsar, Tafsir ditekankan pada pemahaman murad Allah dalam nash al-Qur’ân. Sehingga, walaupun Tafsir Ibn Katsîr ditulis pada masa muta’akhirûn, namun karena memakai corak mutaqaddimûn (yaitu ma’tsûr), ia tidak begitu terpengaruh oleh corak-corak tafsir yang tumbuh setelah berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya ilmu tata bahasa.

Titik tekan perhatiannya bukan pada ilmu-ilmu pengetahuan yang sedang marak berkembang pada masa itu, namun lebih memfokuskan diri pada penelitian sanad. Sebab dengan kritik sanad itulah. Tafsir Ibn Katsîr menjadi tafsir ma’tsûr yang bersikap Mahmûd (dipuji) dan Jaiz (dibolehkan), serta menempati kedudukan yang tinggi di antara tafsir-tafsir ma’tsûr. Jika dalam penafsiran, ketika itu, Ibnu Katsîr tidak mempedulikan kritik sanad maka tafsirnya akan menjadi tafsir yang disifati madzmum (yang dicela) atau mamnû’ (dilarang), karena riwayat-riwayat tafsir yang dikutip tidak teruji otentisitas dan validitasnya, sehingga bisa kemasukan riwayat-riwayat palsu (maudhû’), atau minimal yang lemah (dha’if) dan atau Isra’îliyyât dan nashrâniyyat yang tidak sesuai standar

kualitasnya sebagaimana yang disampaikan dalam muqaddimah, yaitu sesuai tidaknya dengan ajaran agama Islam.

Melihat data-data di atas, adalah beralasan jika Subhi Shalih berpendapat bahwa keistimewaan Tafsir Ibn Katsîr antara lain terletak pada ketelitian dalam masalah sanad, kesederhanaan ungkapan yang digunakan dan kejelasan ide pemikiran.43

Dokumen terkait