• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : TAFSIR AYAT SHALAT BERJAMA'AH MENURUT IBNU

A. Pengertian Shalat Berjama'ah

Bab keempat, Hikmah Shalat Berjama’ah Menurut Ibnu Katsîr Dalam Pandangan Mufassir, Shalat Berjama’ah sebagai lambang persatuan umat, Shalat Berjamaah dapat memakmurkan masjid-masjid, Shalat Berjama’ah 27 kali lipat dibandingkan salat sendirian, dan Analisis Penafsiran.

Bab kelima, Merupakan penutup berupa kesimpulan dan saran penelitian, hal ini penting untuk menjelaskan sekaligus menjawab rumusan masalah, kemudian dilampirkan daftar pustaka.

15

IBNU KATSÎR DAN TAFSIRNYA

A.Biografi, Riwayat Pendidikan, dan Karyanya

Nama kecil Ibn Katsîr adalah Ismâ’îl. Nama lengkapnya adalah ‘Imâd ad-Dîn Abû al-Fidâ Ismâ’îl ibn ‘Amr ibn Katsîr ibn Zarâ’ al-Bushra al-Dimasyqî.1 Lahir di desa Mijdal dalam wilayah Bushra (Bashrah), tahun 700 H./1301 M. Oleh karena itu, ia mendapat predikat al-Bushrawi (orang Bushra).2

Ibn Katsîr berasal dari keluarga terhormat. Ayahnya seorang ulama’ terkemuka dimasanya, Syihâb ad-Dîn Abu Hafsh ‘Amr Ibn Katsîr ibn Dhaw’ ibn Zarâ’ al-Qurasyî, pernah mendalami madzhab Hanafi, kendatipun menganut madzhab Syafî’î setelah menjadi khatib di Bushra.3

Dalam usia kanak-kanak, setelah ayahnya meninggal, Ibn Katsîr diboyong kakaknya (Kamâl ad-Dîn ‘Abd al-Wahhâb) dari desa kelahirannya ke Damaskus. Di kota inilah ia tinggal hingga akhir hayatnya.4 Karena kepindahan ini, ia mendapat predikat ad-dimasyqî (orang Damaskus).

Hal yang sangat menguntungkan bagi Ibn Katsîr dalam pengembangan karir keilumannya, adalah kenyataan bahwa di masa-masa pemerintahan Dinasti Mamluk5 pusat-pusat studi Islam seperti madrasah-madrasah dan masjid-masjid

1

Ahmad Muhammad Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1959), jilid I, h. 22.

2

‘Umar Ridha Kahhâlah, Mu’jam Mu’allifîn: Tarâjum Mushannifî Kutub al-‘Arabiyyah, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), jilid II, h. 283.

3

Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsîr Ad-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah,

(Beirut: Dâr al-Fikr), jilid XIV, h. 32.

4

Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 46.

5

Kata mamlûk berasal dari Bahasa Arab yang berarti budak belian. Mamluk merupakan sebutan kepada budak-budak yang berasal dari Kaukasus, daerah perbatasan Turki-Rusia. Dinasti

berkembang pesat. Perhatian para penguasa pusat di Mesir maupun penguasa daerah di Damaskus sangat besar terhadap studi Islam. Banyak ulama’ ternama di masa ini, yang akhirnya menjadi tempat Ibn Katsîr menimba ilmu.6

Selain di dunia keilmuan, Ibn Katsîr juga terlibat dalam urusan kenegaraan. Tercatat aktifitasnya pada bidang ini seperti, pada akhir tahun 741 H. Ia ikut penyelidikan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati atas seorang sufi zindiq yang menyatakan Tuhan terdapat pada dirinya (hulûl). Tahun 752 H, ia berhasil menggagalkan pemberontakan Amir Baibughah ‘Urus, masa Khalifah al-Mu’tadid. Bersama ulama’ lainnya, pada tahun 759 H, ia pernah diminta Amir Munjak untuk mengesahkan beberapa kebijaksanaan dalam memberantas korupsi, dan beberapa peristiwa kenegaraan lainnya.7

Para ahli melekatkan beberapa gelar keilmuan kepada Ibn Katsîr, sebagai kesaksian atas kepiawaiannya dalam beberapa bidang keilmuan yang ia geluti, yaitu:

1. al-Hafizh, orang yang mempunyai kapasitas hafal 100.000 hadis, matan maupun sanad, walaupun dari beberapa jalan; mengetahui hadis sahih, serta tahu istilah ilmu ini;8

2. al-Muhaddis, orang yang ahli mengenai hadis riwayah dan dirayah, dapat membedakan cacat dan sehat, mengambilnya dari

Mamlûk berkuasa di Mesir tahun 1250-1517 M., dengan 47 sultan mamluk. Pendiri dinasti ini adalah Baybars dan Izz ad-Din Aibak, yang melakukan kudeta terhadap Dinasti Ayubiyyah. Lihat: Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta:PT. Ichtiar van Hoeve, 1993), jilid III, h. 145-149.

6

Ulama’-ulama’ besar yang hidup masa Dinasti Mamlûk, karya dan wafatnya, selanjutnya lihat: Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid XIII, h. 46.

7

Ibnu katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 46.

8

Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, Ushûl al-Hadîs, (Beirut: Dâr al-Fikr), h. 448; Bandingkan dengan: Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mushthâlâh al-Hadîs, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1981), h. 22.

imamnya, serta dapat mensahihkan dalam mempelajari dan mengambil faedahnya;9

3. al-Faqih, gelar keilmuan bagi ulama’ yang ahli dalam ilmu hukum Islam (fiqh), namun tidak sampai pada tingkat mujtahid. Ia menginduk pada suatu mazhab yang ada, tapi tidak taqlid;

4. al-Mu’arrikh, seorang yang ahli dalam bidang sejarah atau sejarawan; 5. al-Mufassir, seorang yang ahli dalam bidang tafsir, yang menguasai

perangkat-perangkatnya berupa ‘ulum al-Qur’ân dan memenuhi syarat-syarat mufassir.

Di antara lima predikat tersebut, al-hafizh merupakan gelar yang paling sering disandangkan pada Ibn Katsîr. Ini terlihat pada penyebutan namanya pada karya-karyanya atau ketika menyebut pemikirannya.

Gelar-gelar tersebut dalam keadaan tertentu saling menunjang. Misalnya, dalam tafsirnya Ibn Katsîr seakan mendemonstrasikan keahlian-keahliannya untuk menganalisis dan mengemukakan materi tafsir. Atau secara terpisah gelar keahlian itu nampak pada karya-karya yang dihasilkan. Kelima gelar yang berhak disandang Ibn Katsîr merupakan suatu kelebihan.

Beberapa ulama’ yang memberikan penilaian kepada Ibn Katsîr yang diantaranya dikemukakan oleh al-Qaththan:

9

Rahman, Ikhtisâr Mushthâlâh al-Hadîs, h. 23. Dalam beberapa kesempatan para ulama’ menyamarkan atau mensejajarkan pengertian antara al-muhaddis dengan al-hafizh. Namun, jumhur ulama’ muta’akhirun ahli hadis berpendapat antara keduanya berbeda dalam tingkatan dan jenjang keahliannya. Hal ini sesuai tingkatan jenjang yang mereka buat. Dinyatakan, gelar terendah ulama’ hadis adalah al-musnid, al-hafizh, al-hakim, dan yang tertinggi: amir al-mu’minin fi al-hadis, Lihat: Jalal ad-Din as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1966), jilid I, h. 43-52.

“...(Ibn Katsîr) adalah pakar Fiqh yang terpercaya, pakar hadis yang cerdas, sejarawan ulung, dan pakar tafsir yang paripurna.”10

Muhammad Husain adz-Dzahabî juga mengatakan:

“ Ibn Katsîr telah menduduki posisi yang tinggi dari sisi keilmuan, dan para ulama’ menjadi saksi terhadap keluasan ilmunya, (penguasaan) materinya, khususnya dalam bidang tafsir, hadis, dan tarikh.”11

Pernyataan di atas merupakan bukti kedalaman pengetahuan Ibn Katsîr dalam beberapa bidang keislaman, terutama hadis, fiqh, sejarah, dan studi al-Quran. Bukti dan keahlian Ibn Katsîr dalam bidang tersebut dapat dilihat pada karya tulisnya. Dan rupanya popularitas karya-karya tulis Ibn Katsîr dalam bidang sejarah dan tafsirlah yang memberikan andil terbesar dalam mengangkat namanya menjadi tokoh ilmuwan yang terkenal.12

Selama hidupnya Ibn Katsîr didampingi seorang istri yang dicintainya bernama Zainab, putri al-Mizzi yang masih sebagai gurunya.13

Setelah menjalani dinamika kehidupan yang panjang, penuh dedikasi pada Tuhannya, agama, negara dan dunia keilmuan, 26 Sya’ban 774 H., bertetapan dengan bulan Februari 1373 M., pada hari Kamis, Ibn Katsîr dipanggil ke rahmat Allah.14 Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat-Nya kepada Ibn Katsîr. Amin.

10

Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhîs fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîs), h. 386.

11

Muhammad Husain Adz-Dzahabî, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah), jilid II, h. 243.

12

A. Malik Madaniy, Ibn Katsîr dan Tafsirnya, (Makalah diskusi dosen tetap IAIN Sunan Kalijaga; di-diskusikan 23 Mei 1986), h. 86.

13

Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 25.

14

Pendidikannya

Sejak kepindahan Ibn Katsîr bersama kakaknya ke Damaskus, 707 H., ia mulai meniti karir keilmuan. Peran yang tidak sempat dimainkan oleh ayah dalam mendidik, dilaksanakan oleh Kamal ad-Din ‘Abd al-Wahhab, sang kakak.15 Kegiatan keilmuan selanjutnya dijalani di bawah bimbingan ulama’ ternama di masanya.

Guru utama Ibn Katsîr adalah Burhân ad-Dîn al-Fazarî (660-729 H.), seorang ulama’ pemuka dan penganut mazhab Syafi’î; dan Kamâl ad-Dîn ibn Qâdhi Syuhbah. Kepada keduanya dia belajar Fiqh, dengan mengkaji kitab at-tanbîh karya asy-Syîrâzî, sebuah kitab furû’ syafî’iyyah, dan kitab Mukhtashâr Ibn Hajib dalam bidang Ushûl al-Fiqh.16 Berkat keduanya, Ibn Katsîr menjadi ahli Fiqh sehingga menjadi tempat berkonsultasi para penguasa dalm persoalan-persoalan hukum.17

Dalam bidang hadis, ia belajar hadis dari ulama’ Hijaz dan mendapat ijazah dari Alwani, serta meriwayatkannya secara langsung dari huffâzh terkemuka di masanya, seperti Syeikh Najm ad-Dîn ibn al-Asqalânî dan Syihâb ad-Dîn al-Hajjâr (w. 730 H.) yang lebih terkenal dengan sebutan Ibn al-Syahnah.18 Kepada al-Hâfizh al-Mizzî (w. 742 H.), penulis kitab Tahdzîb al-Kamâl, ia belajar bidang Rijâl al-Hadis.19 Beliau juga pernah berguru pada adz-Dzahabi (Muhammad bin Muhammad; 1284-1348 M.), yang menjadikannya dipercaya

15

Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 46.

16

Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 192.

17

Nur Faizin Maswan, Kajian Diskriptif Tafsir Ibn Katsîr, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), h. 39.

18

Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 149-150.

19

sebagai penggantinya (1348 M.)., di Turba Umm Shalih (Lembaga Pendidikan). Pada 756 H./1355 M. Ia diangkat menjadi kepala Dar al-Hadis al-Asyrafiyah (Lembaga Pendidikan Hadis), setelah hakim Taqiy ad-Din ash-Subhi (683-756 H.) meninggal dunia.20 Berkaitan dengan studi hadis, pada bulan Sya’ban 766 H., ditunjuk mengorganisir pengkajian kitab Shahih al-Bukhari.21

Dalam bidang sejarah, peranan al-Hâfizh al-Birzali (w.739 H.), sejarawan dari kota Syam, cukup besar. Dalam mengupas peristiwa-peristiwa, Ibn Katsîr mendasarkan pada kitab Tarikh karya gurunya tersebut.22 Berkat al-Birzali dan Tarikhnya, Ibn Katsîr menjadi sejarawan besar yang karyanya sering dijadikan rujukan utama dalam penulisan sejarah Islam.

Pada usia 11 tahun menyelesaikan hafalan al-Qur’an, dilanjutkan memperdalam ilmu qira’at,23 dari studi tafsir dan ilmu tafsir, dari Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah (661-728 H.),24 di samping ulama’ lain. Metode penafsiran Ibn Taimiyyah menjadi bahan acuan pada penulisan Tafsir Ibn Katsîr.25

Pada bulan Syawwal 767 H., Ibn Katsîr dianugerahi jabatan imam dan guru besar tafsir di masjid negara (Masjid Umayyah Damaskus), oleh Gubernur Mankali Bugha.26

Gelar al-mufassir yang disandangkan kepada Ibn Katsîr tidaklah berlebihan, sebagaimana yang disampaikan oleh al-Dawadi al-Mishri (w. 945 H.):

20

Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid XIV, h. 148-150.

21

Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 294-295.

22

Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 185.

23

Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 312.

24

al-Qaththân, Mabâhîs fi ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 365.

25

Taqiy ad-Din Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, (Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karim), h. 93-114.

26

“Ibn Katsîr merupakan ikutan para ulama dan hafizh, dan menjadi sandaran para ahli makna dan ahli lafazh”.27

1. Badr ad-Din az-Zarkasyi (w. 794 H.), penulis kitab al-Burhan fi ‘ulum al-Qur’ân, kitab standar dalam ilmu tafsir.

2. Muhammad ibn al-Jazari (w. 833 H.), pengarang kitab an-Nasyr fial-Qira’at al-’Asyr, kitab standar dalam ilmu qira’at.28

3. Al-Hafizh Abu al-Mahasin al-Husaini, penulis kitab Dzayl Tadzkirah al-Huffazh, sebuah kitab penting dalam ilmu rijal al-hadis.29

4. Syihab ad-Din ibn Hijji (w. 816 H.), seorang penulis buku penting dalam bidang tarikh.30

Demikianlah aktifitas dalam seluruh hayatnya, sehingga ia selalu dikenang keharuman namanya setelah tiada.

Karya-karyanya

Sebagai penulis, Ibn Katsîr tergolong produktif. Beberapa judul karya tulis yang ia persembahkan merupakan “juru bicara” betapa penguasaan dan kedalaman ilmunya dalam beberapa bidang kajian.

Dalam bidang fiqh antara lain : 1. Kitab al-Ijtihad fî Thalab al-Jihâd.

Ditulis tahun 1368-1369 M. untuk meng-gerakkan semangat juang dalam mempertahankan pantai Libanon-Syiria dari serbuan Raja Franks

27

Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 28.

28

Madaniy, Ibn Katsîr dan Tafsirnya, h. 18.

29

Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 26.

30

dari Cyprus. Karya ini banyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibn Taimiyyah: al-Siyâsah al-Syar’iyyah.

2. Kitab Ahkâm. Kitab fiqh yang didasarkan pada al-Quran dan hadis. 3. Al-Ahkâm ‘alâ Ahwâb at-Tanbîh. Kitab ini merupakan komentar dari

kitab at-Tanbîh karya asy-Syîrâzî.

Dalam bidang hadis antara lain :

1. Al-Takmil fî Ma’rifat ats-Tsiqat wa al-Dhu’afâ wa al-Majâhil (5 jilid). Merupakan perpaduan dari kitab Tahdzîb al-Kamâl karya al-Mizzî dan Mîzân al-I’tidâl karya adz-Dzahabî (w. 748 H.), berisi riwayat perawi-perawi hadis.

2. Jamî’ al-Masânid wa as-Sunan (8 jilid). Berisi para sahabat yang meriwayatkan hadis dan hadis-hadis yang dikumpulkan dari al-Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad, Al-Bazzâr dan Abû Ya’lâ serta Mu’jam al-Kabîr. Disusun berdasar tertib huruf.

3. Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadis, merupakan ringkasan dari kitab Muqaddimah Ibn Shalah (w. 642 H./1246 M.). Karya ini kemudian disyarah oleh Ahmad Muhammad Syâkir dengan judul: al-Bâ‘ist al-Hadis fî Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadis.31

4. Takhrîj Ahâdis Adillah at-Tanbîh li ‘Ulûm al-Hadis atau dikenal dengan al-Bâ‘its al-hadis merupakan takhrîj terhadap hadis-hadis yang digunakan dalil oleh asy-Syîrâzî dalam kitabnya at-Tanbîh.

31

Ahmad Muhammad Syâkir, Syarh Alfiyyah al-Suyûthi fî‘ilm al-Hadis, (Beirut: Dâr al-Fikr), h. 142.

5. Syarh Shahîh al-Bukhârî, merupakan kitab penjelasan terhadap hadis-hadis Bukhârî. Kitab ini tidak selesai, tetapi dilanjutkan oleh Ibn Hajâr al-’Asqalânî (952 H./1449 M.).

Dalam bidang sejarah antara lain :

1. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah (14 jilid). Memaparkan pelbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H. Sejarah dalam kitab ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar: Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan sampai kenabian Muhammad saw, dan kedua, sejarah Islam mulai dari periode da’wah Nabi saw di Mekkah sampai pertengahan abad 8 H. Kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian.

2. Al-Fushûl fî Sirat ar-Rasûl atau as-Sîrah al-Nabawiyyah. 3. Thabaqât asy-Syâfî’iyyah.

4. Manâqib al-Imâm asy-Syâfi’i.

Dalam bidang tafsir antara lain :

1. Fadhâil al-Qur’ân, berisi ringkasan sejarah al-Quran. Pada beberapa terbitan, kitab ini ditempatkan pada halaman akhir Tafsîr Ibn Katsîr, sebagai penyempurna.

2. Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, lebih dikenal dengan nama Tafsîr Ibn Katsîr. Diterbitkan pertama kali dalam 10 jilid, pada tahun 1342 H./1923 M. Di Kairo.32

B.Mengenal Tafsir Ibn Katsîr 1. Sumber Tafsir Ibn Katsîr

Sumber-sumber tafsir adalah sumber-sumber yang dikutip oleh para ahli tafsir dan diletakkan di dalam tafsir mereka, lepas dari pandangan mereka dalam menafsirkan al-Quran.33

Secara garis besar, sumber-sumber Tafsir Ibn Katsîr dapat dibagi menjadi dua, yakni sumber riwayah dan dirayah.

a. Sumber Riwayah

Sumber ini antara lain meliputi: al-Qur’ân, Sunnah, pendapat sahabat, pendapat tabi’un. Sumber-sumber tersebut merupakan sumber primer dalam Tafsir Ibn Katsîr. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa materi sumber ini juga berasal dari sumber kedua (dirayah). Karena walaupun Ibn Katsîr sebagai hafizh dan muhaddis yang mempunyai periwayatan hadis, dan menguasai periwayatan tentang hadis tafsir, dia cenderung mengutip riwayat-riwayat penafsiran dari kitab-kitab kodifikasi daripada menyampaikan hasil periwayatannya. Namun, karena materi tersebut identik dengan riwayah, maka sumber-sumber tersebut adalah sumber riwayah. Sebagai ulama’ muta’akhkhirûn yang sudah jauh rentang masanya dengan pemilik-pemilik sumber riwayah, adalah suatu sikap yang

32

Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 34-36.

33

‘Abd ar-Rahman al-Baghdady, Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran al-Qur’ân, terj. Abu Laila dan Muhammad Thohir, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1988), h. 29.

berhati-hati dan menjaga diri apabila dia merujukkan riwayat tafsir kepada kitab kodifikasi, sekalipun menguasai periwayatan. Hal ini tidak masalah karena memang penekanan penulisan tafsir ma’tsûr pada masa muta’akhkhirûn adalah pada selektifitas atau perhatian dan kepedulian pada nilai riwayat. Dikategorikan dalam sumber riwayah karena dalam tafsir ma’tsûr sumber tersebut dikenal sebagai sumber riwayah, dan dulu, masa mutaqaddimûn, penafsiran dengan diriwayatkan sebagaimana diriwayatkannya hadis oleh para periwayatnya secara tahammul dan ‘ada’.

b. Sumber Dirayah (Ijtihad Ibn Katsîr Ketika Menjelaskan)

Yang dimaksud sumber dirayah adalah pendapat yang telah dikutip oleh Ibn Katsîr dalam penafsirannya. Sumber ini selain dari kitab-kitab kodifikasi pada sumber riwayah, juga kitab-kitab tafsir dan bidang selainnya dari para ulama’ muta’akhkhirûn sebelum atau seangkatan dengannya. Terdapat pula pada sumber ini karya ulama’ mutaqaddimûn.

Hal ini merupakan bukti keterbukaan Ibn Katsîr terhadap karya-karya dari ulama’ muta’akhkhirûn yang berorientasi ra’y. maksudnya, dia tidak membatasi diri pada kutipan karya Tafsir ma’tsûr (saja), namun juga memasukkan pendapat para ulama’ tafsir yang lahir dari pengaruh perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam.

2. Metode Tafsir Ibn Katsîr

Al-Farmawi, membagi metode tafsir yang selama ini dipakai ulama’ menjadi empat metode, yaitu:

2. Metode ijmaliy; 3. Metode muqaran; dan 4. Maudhu’iy.34

Dari pembagian di atas, Tafsir Ibn Katsîr menunjuk kepada metode tahliliy, suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’ân dan seluruh aspeknya. Mufassir mengikuti susunan ayat sesuai mushhaf (tartib mushhafi), mengemukakan arti kosakata, penjelasan arti global ayat, mengemukakan munasabah dan membahas sabab an-nuzul, disertai Sunnah Rasul, pendapat sahabat, tabi’un dan pendapat penafsir itu sendiri dengan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’ân tersebut.35

3. Corak Tafsir Ibn Katsîr

Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa Tafsîr Ibn Katsîr bercorak mat’sûr, karena dikategorikan dalam sumber riwayah yang mempunyai pengertian bersumber pada: al-Qur’ân, Sunnah, pendapat sahabat dan pendapat tabi’in. Kategorisasi ini hanyalah menunjukkan dominasi sumber-sumber tersebut, tanpa menafikan sumber-sumber-sumber-sumber lain.

Sumber-sumber lain dalam Tafsîr Ibn Katsîr, diantaranya berkaitan dengan nusansa tafsir tersebut. Sumber-sumber yang dimaksud adalah Isrâ’iliyyât dan ra’y. Isrâ’iliyyât perlu dipertegas sebagai salah satu sumber karena terdapat bukti adanya pemakaiannya, baik pada masa sahabat, ulama’ mutaqaddimân dan

34

‘Abd Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhû’I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. Ke-2, h. 10-11.

35

muta’âkhkhirân, sebagai sumber tafsir. Juga, Isrâ’iliyyât nampak dijadikan sumber tafsir oleh Ibn Katsîr, kendatipun tidak dimasukkan dalam strata sumber-sumber tafsir yang ditulis pada muqaddimah.

Ra’y atau ijtihad sebagai sumber tafsir telah dipakai di kalangan sahabat, tabi’in, dan ulama’ berikutnya. Kemudian, ra’y mempunyai peran besar dalam sebuah penafsiran, apa pun coraknya.36

Tafsir Ibnu Katsîr disepakati oleh para ahli termasuk dalam kategori tafsir bi al-ma’tsur. Kategori atau corak ma’tsur, yaitu penafsiran ayat dengan ayat; penafsiran ayat dengan hadîs Nabi saw, yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit; atau penafsiran dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’un.37

Para ahli yang menetapkan corak ma’tsur, antara lain Manna’ Khalil al-Qaththan, az-Zarqanî, adz-Dzahabî, al-Farmawi, Hasbi ash-Shiddieqŷ, dan Shubhi ash-Shalih.38

Penetapan ini karena yang mendominasi dalam Tafsir Ibn Katsîr adalah penafsiran dengan unsur-unsur atsar, sebagaimana definisi di atas. Penetapan dari penilaian para ulama’ ini, menjadikan sumber (ma’tsur) bagi tafsir tersebut. Adapun unsur atsar yang mendominasi sumber tafsir ini, yaitu:

a. Penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân; b. Sunnah (Hadîs);

c. Pendapat sahabat; d. Pendapat Tabi’un.

36

Maswan, Kajian Diskriptif Tafsir Ibn Katsîr, h. 89.

37

al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhû’I, h. 13.

38

4. Karakteristik Tafsir Ibn Katsîr

Sebagaimana umumnya kitab klasik atau kitab kuning, Tafsir Ibn Katsîr termasuk kitab yang kaya materi. Di dalamnya, memuat bukan hanya materi tafsir al-Qur’ân, namun dapat dikatakan berisi beberapa cabang ilmu keislaman lain, seperti: hadis, fiqh, sejarah (kisah), ilmu qira’at, dan lain-lain. Karena tafsir ma’tsur, maka hadis yang disampaikan dilengkapi dengan ilmu seluk beluk atau perangkat-perangkat keilmuan yang berkaitan dengan hadis, misalnya, ilmu jarh wa ta’dil, kritik hadis, rijal al-hadis dan lain-lain. Keberadaan ini tidak lepas dengan kedudukan Ibn Katsir sebagai ahli hadis (al-muhaddis).

Untuk pembahasan fiqh, Ibn Katsîr sering kali menguraikan secara panjang lebar. Di sini kendati dia berpegang pada satu madzhab, yaitu Syafi’î, pendapat-pendapat dari madzhab lain, seperti Hanafi, Maliki, Hanbali, dan pendapat-pendapat dari imam madzhab yang sudah tidak berkembang disampaikan di antara pendapat madzhabnya. Hal ini menunjukkan keterbukaannya dan membuka keterbukaan pembaca kitabnya untuk melihat terhadap pendapat madzhab lain, selain madzhab yang dipegangi, agar tidak fanatik. Hal ini menunjukkan keluasan pengetahuan dia dalam bidang fiqh.

Dalam sejarah atau kisah, Ibn Katsîr adalah ahlinya. Namun demikian dia tidak berlebih-lebihan dalam menguraikan kisah-kisah orang terdahulu yang disampaikan teks al-Qur’ân. Justru pengaruh keahliannya nampak pada daya kritisnya dalam menyampaikan kisah al-Qur’ân, dengan mengemukakan kritik sejarah terhadap para pendahulunya yang dianggap kurang pas dalam

Dokumen terkait