• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hikmah shalat berjama'ah dalam al-qur'an menurut penafsiran ibnu katsir (surat an-Nisa: 102, dan al-Baqarah: 432

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hikmah shalat berjama'ah dalam al-qur'an menurut penafsiran ibnu katsir (surat an-Nisa: 102, dan al-Baqarah: 432"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Ardian Maksal Lintang NIM: 105034001166

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

ii

HIKMAH SHALAT BERJAMA’AH DALAM AL-QUR’ÂN MENURUT PENAFSIRAN IBNU KATSÎR

(SURAT AN-NISÂ: 102, DAN AL-BAQARAH: 43)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Ardian Maksal Lintang NIM: 105034001166

Pembimbing:

Dr. Faizah Aly syibromalisi, MA NIP: 1955725 200012 2 001

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

Menurut Penafsiran Ibnu Katsîr (Surat an-Nisa:102, dan al-Baqarah:43),

yang ditulis oleh Ardian Maksal Lintang, NIM: 105034001166, telah diuji dan dinyatakan lulus dengan yudisium: Cumlaude, dalam Sidang Terbuka Ujian Promosi Sarjana di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 20 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat umtuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada jurusan Tafsir Hadis.

Jakarta, 20 Desember 2010 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap anggota,

Dr. Bustamin, M.Si Muslim, S.Th.I NIP: 19630701 199803 1 003

Anggota,

Penguji I Penguji II

Dr. Bustamin, M.Si Dra. Hermawati, MA NIP: 19630701 199803 1 003 NIP: 19541226 198603 2 002

Pembibing,

(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ardian Maksal Lintang

NIM : 105034001166

Tempat/Tgl. Lahir : Cilegon, 26 Maret 1987 Program Studi : Tafsir Hadis

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi dengan judul: “Hikmah Shalat Berjama'ah Dalam Al-Qur'ân Menurut Penafsiran Ibnu Katsîr (Surat an-Nisâ: 102, dan al-Baqarah: 43)” adalah karya ilmiah saya, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya.

Sekiranya terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 20 Desember 2010

(5)

iv

Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan yang selalu melimpahkan Kasih dan Sayang-Nya kepada seluruh mahluk. Dengan kuasa-Nya kita dapat bernapas, bergerak, berpikir dan hidup dengan penuh makna dan kebahagiaan atas nikmat yang indah. Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Kuasa. Maha Pengasih yang tidak pilih kasih. Maha Penyayang, yang kasih sayang-Nya tiada terbilang oleh dimensi ruang dan waktu. Dengan penuh keikhlasan hati, Penulis bersyukur atas kehidupan yang telah diberi. Alhamdulillah, Allah telah memberikan kita potensi berpikir, bertindak, berusaha, berjuang, dan berevolusi.

Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW. Nabi yang membawa risalah suci untuk disampaikan pada seluruh umat manusia. Nabi yang diutus untuk menjadi rahmatan lil alamin. Kesejahteraan dan keselamatan semoga selalu tercurahkan untuknya, para keluarga, seluruh sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

(6)

v

dialami penulis, baik menyangkut soal pengaturan waktu, pengumpulan bahan (data) maupun soal pembiayaan dan lain sebagainya. Namun, berkat kesungguhan hati dan kerja keras disertai dorongan dan bantuan dari semua pihak, maka semua kesulitan dan kendala itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, seyogyanyalah penulis memanjatkan puji syukur yang sedalam-dalamnya ke hadirat Allah SWT Yang Maha Agung, dan mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga serta menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya skripsi ini: Dr. Faizah Aly Syibromalisi, MA., dan A. Rifqi Muchtar, MA., yang dengan tulus ikhlas dan penuh perhatian keduanya telah membimbing, mengarahkan dan memberi petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat yang sangat berharga kepada penulis.

Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada:

1. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan.

2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis dan kepada Bapak Rifqi Muhammad Fathi, MA., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

(7)

vi

Hidayatullah, pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kepala Perpustakaan Umum dan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nasional, Iman Jama, perpustakaan pribadi K.H. Bunyamin dan K.H. Zuhri Yakub.

7. Kepada Ayah dan Ibu ku tercinta, Ayah. Agus Sayuti Nasution dan Ibu. Lukis Lubis yang telah berusaha payah membesarkan dan mengarahkan pendidikan penulis, sehingga tanpa hal tersebut sulit kiranya penulis dapat mencapai apa yang diperoleh saat ini.

8. Kepada Kakak ku tercinta, Santi Sundari Lintang, yang selalu mendorong dan memotivasi penulis untuk selalu sabar dan tabah dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama yang sudah pernah meminjamkan uang kepada penulis hingga penulis selalu lancar dalam pembuatan skripsi ini, dan kepada adek ku yang selalu mengingatkan penulis untuk cepat segera wisuda. Terima kasih atas dorongannya. 9. Kekasih hati…………..,, si Konyah yang dengan begitu sabar dan

tabah selalu mendorong dan mengingatkan penulis untuk menekuni dan menyelesaikan studi ini pada waktunya. Terima kasih kekasih hati ku atas pengertian dan perhatiannya.

(8)

vii

Akbar, yang secara tidak langsung memicu penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada Ahmad Sahal yang telah banyak membantu penulis dalam mencari tambahan data.

11.Teman kosan, Kavink, Ipink, Hasyim, yang selalu memberikan keluangan waktunya untuk berdiskusi, khususnya kepada Qusyairi yang selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi ini. Terima kasih atas dorongannya.

(9)

viii

Jakarta, 20 Desember 2010 Penulis

(10)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL . . . i

PENGESAHAN PEMBIMBING . . . ii

PERNYATAAN KEASLIAN . . . iii

KATA PENGANTAR . . . iv

DAFTAR ISI . . . ix

PEDOMAN TRANSLITERASI . . . xi

BAB I : PENDAHULUAN . . . 1

A. Latar Belakang Masalah . . . 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah . . . 8

C. Kajian Pustaka . . . 9

D. Tujuan Penelitian . . . 10

E. Metodologi Penelitian . . . 11

F. Sistematika Penulisan . . . 13

BAB II : IBNU KATSÎR DAN TAFSIRNYA . . . 15

A. Biografi, Pendidikan, dan Karyanya . . . 15

B. Mengenal Tafsir Ibn Katsîr . . . 24

1. Sumber Tafsir Ibn Katsîr . . . 24

2. Metode Tafsir Ibn Katsîr . . . 25

3. Corak Tafsir Ibn Katsîr . . . 26

4. Karakteristik Tafsir Ibn Katsîr . . . 28

5. Sistematika Tafsir Ibn Katsîr . . . 34

(11)

x

A. Pengertian Shalat Berjama'ah . . . 37

B. Tafsir Ayat-Ayat Shalat Berjama'ah Menurut Ibnu Katsîr . . 40

1. an-Nisâ 102 . . . 41

2. al-Baqarah 43 . . . . . . . 51

BAB IV : HIKMAH SHALAT BERJAMA'AH MENURUT IBNU KATSÎR DALAM PANDANGAN MUFASSIR . . . 55

A. Shalat Berjama'ah Sebagai Lambang Persatuan Umat . . . . 55

B. Shalat Berjama'ah Dapat Memakmurkan Masjid-Masjd . . . 60

C. Shalat Berjama'ah Di Lipat Gandakan Pahalanya Sebanyak 27 Kali Lipat . . . 64

D. Analisis Penafsiran . . . . . 68

BAB V : PENUTUP . . . 79

A. Kesimpulan . . . 79

B. Saran Penelitian . . . 80

(12)

1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Islam datang untuk kebahagian umat manusia dan mengangkatnya ke puncak tertinggi. Setiap kali Allah ‘Azza wa Jalla mensyari’atkan sesuatu pasti sesuatu itu akan menghidupkan umat manusia serta memberinya kebaikan dan manfaat di dunia serta di akhirat. Allah ‘Azza wa Jalla telah mensyari’atkan shalat berjama’ah karena hikmah-hikmah yang besar dan tujuan-tujuan yang luhur.1 Allah ‘Azza wa Jalla mensyari’atkan shalat lima waktu sehari semalam dan juga shalat jama’ah adalah untuk memaklumatkan syiar-syiar Islam, memenuhi panggilan Allah, membuat marah musuh-musuh Islam, memperkuat hubungan sosial antar sesama umat Islam.2

Shalat berjama’ah adalah termasuk amal yang penuh pahala bagi seorang muslim, bahkan sejak sebelum memulai berjama’ah, karena langkah-langkah orang yang keluar untuk shalat berjama’ah sudah suatu amal kebaikan yang ditulis bahkan para malaikat saling berebutan untuk menulisnya. Berjalan kaki untuk shalat berjama’ah adalah termasuk amal yang di dapatkan oleh seorang hamba dengan karunia Allah-jaminan hidup dengan baik dan mati dengan baik. Demikian juga shalat berjama’ah termasuk amal yang dengan melakukannya kesalahan

1

Mahir Manshur Abdurraziq, Mu’jizat Shalat Berjama’ah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), h. 70.

2

(13)

diampuni dan derajat dinaikan. Itu bukan hanya ketika berangkat ke masjid saja melainkan demikian juga ketika pulang kembali dari masjid.3

Sesungguhnya dengan shalat berjama’ah berarti seorang muslim telah mematuhi (salah satu) perintah Allah yang dibebankan kepada segenap hamba-Nya yang beriman. Allah berfirman:











Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43).

Menjelaskan ayat diatas, Ibnu Katsîr dalam kitab Tafsirannya berkata, “Yakni hendaklah kalian bersama orang-orang yang beriman dalam berbagai perbuatan mereka yang terbaik, dan yang paling utama dan sempurna dari semua itu adalah shalat. Dan banyak para ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalil bagi diwajibkannya shalat berjama’ah”.4

Ibnul Qayyim menerangkan, “Jika dikatakan (shalat berjama’ah wajib), ini bertentangan dengan firman Allah SWT:











“Hai Maryam, taatlah kepada Rabbmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Ali Imran: 43).

Ayat tersebut diatas tidak menunjukkan wajibnya perintah tersebut (shalat berjama’ah bagi setiap wanita, tetapi perintah tersebut khusus ditunjukan kepada Maryam. Ini berbeda dengan firmannya (yang menunjukan wajibnya shalat

3

Fadlal Ilahi, Menggugat Kesunnatan Shalat Berjamaah, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2004), h. 11.

4

(14)

berjama’ah bagi laki-laki. Akan tetapi Maryam memiliki kekhususan (keistimewaan) yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain, yaitu ibunya telah menadzarkan putrinya (Maryam) menjadi hamba yang Shalih dan berkhidmat, untuk beribadah kepada-Nya dan senantiasa berada di masjid, ia tidak pernah meninggalkan masjid karena itu ia diperintah untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’.” 5

Hafidh Ibnu Jauzi berkata di dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala: “Dan ruku’lah sama orang yang ruku’.” Maksudnya adalah shalatlah bersama-sama orang yang shalat.6 Al-Qadli Baidhawi berkata: “Maksudnya di dalam jama’ah mereka.”7

Imam Abu Bakar Al-Kisani Al-Hanafi berkata menerangkan dalil-dalil wajibnya shalat berjama’ah: “Adapun kitab (al-Qur’ân) adalah firman Allah SWT: “Dan ruku’lah bersama-sama orang yang ruku” adalah perintah Allah untuk ruku’ bersama-sama ruku’. Perintah agar bersama-sama untuk ruku’ adalah perintah untuk mendirikan shalat berjama’ah. Mutlak perintah adalah untuk mewajibkan amal.8

Diantara dalil yang menunjukan wajibnya shalat berjama’ah adalah bahwa Nabi saw memerintahkan para sahabatnya mengerjakannya. Imam Bukhari

5

Abu Abdillah Musnid al-Qahthani, 40 Manfaat Shalat Berjamaah, (Jakarta: Darul Haq, 2007), cet. Ke-6, h. 7.

6

Zadul Masir, 1/75.

7

Syihabuddin Sayyid Mahmud al-Alusi, Ruhul Ma'ani fi Tafsir al-Qur’ân al-Adzhim was Sab'ul Matsaani, (Beirut: Darul Ihya), juz 1, h. 247. Kemudian lihat Tafsirul Baidlawi, 1/59 dan lihat juga Tafsirul Qurthubi, 1/348.

8

(15)
(16)

Sebagaimana karunia Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya adalah menjadikan pahala yang berlimpah, karena menunaikan shalat berjama’ah. Pahala ini dimulai sejak hati tergantung di masjid, lalu berjalan ke masjid untuk menunaikan salat berjama’ah di dalamnya sampai seorang hamba selesai menunaikan shalat. Pahala tersebut tidak hanya berhenti disini, namun masih terus menerus sampai hamba tersebut sampai kerumahnya. Sebagaimana Allah SWT menjadikan pahala khusus shalat Isya, shalat Subuh, dan shalat Asar secara berjama’ah.11

Hikmah shalat berjama’ah akan menciptakan insan pencipta yang Rahmatan Lil ‘Alamin (pembawa rahmat bagi seluruh alam), dan menjadikan umat yang kuat, sehat jasmani dan rohani. Sehingga mempengaruhi proses berfikir ke arah yang baik, tidak merugikan lingkungan. Karena dengan shalat pembinaan manusia dalam hal moral, ketaqwaan, kesesungguhan kerja serta menanamkan solidaritas sosial. Allah SWT berfirman:







“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-kitab (Al-Qur’ân) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaanya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-‘Ankabut: 45).

Persoalan ibadat, seperti shalat di atas, sebenarnya lebih kepada kedudukannya sebagai institusi iman, atau institusi yang menengahi antara iman

11

(17)

dan konsekuensinya, yaitu amal perbuatan. Iman atau keimanan yang merupakan sikap batin, memang sulit ditangkap hubungannya dengan perilaku nyata sehari-hari. Semua agama samawi atau agama langit,12 menekankan keselamatan melalui Iman. Penekanan itu terutama terdapat pada agama-agama Ibrahim (Abrahamic Religions), karena dari segi pokok ajaran bernenek moyang kepada ajaran Nabi Ibrahim as., dari sekitar abad XVIII SM, yaitu agama Yahudi, Kristen dan Islam. Tetapi, agama-agama itu juga sangat menekankan adanya keterkaitan atau konsekuensi langsung antara iman dan amal perbuatan nyata manusia. Maka bagi agama-agama samawi itu, Tuhan tidak dipahami sebagai yang “berfokus” pada benda-benda (totemisme) atau upacara-upacara (sakramentalisme) seperti pada beberapa agama lain, tetapi sebagai yang mengatasi alam dan sekaligus menuntut pada manusia untuk menjalani hidupnya mengikuti jalan tertentu, yang ukurannya ialah kebaikan seluruh anggota masyarakat manusia itu sendiri. Dengan kata lain, di samping bersifat serba tansendental dan maha tinggi, menurut persepsi agama-agama samawi Tuhan juga bersifat “etikal”, dalam arti bahwa dia menghendaki pada manusia tingkah laku yang akhlaqi atau etis, bermoral.13

Sebagaimana pernyataan pengabdian kepada Tuhan, ibadah yang juga mengandung arti pengagungan itu sesungguhnya adalah hal yang fitri. Yakni hal yang secara interen terdapat pada kecenderunngan alami manusia dan alam

12

Bahasa Arab: samawi, ‘bersifat langit”, yakni berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang menyatakan kehendak atau ajaran-Nya melalui wahyu kepada utusan dan menghasilkan kitab suci.

13

Ini ditegaskan dengan kuatnya konsep amal saleh dalam Islam, yang hampir selalu disebutkan berbarengan dengan iman untuk menunjukan hubunngan erat, malah tak terpisahkan, antara kedua. Prinsip ini juga dinyatakan dalam istilah-istilah lain, seperti “tali Allah” (habl minallâh) dan “tali manusia” (habl min al-nâs), taqwa dan akhlaq, bahkan sebagaimana dalam shalat, takbir (ucapan Allâhuâkbar) dan taslîm (ucapan assalâmu’alaikum). Nurcholis Madjid,

(18)

kejadian asalnya sendiri. Karena itu, perpindahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain dapat dilihat sebagai tindakan substansif belaka. Hal itu karena dalam kenyataan hidup manusia hampir tidak ada individu yang bebas sama sekali dari satu bentuk ekspresi pengagungan yang mempunyai nilai ubudiyah atau devotional, seperi shalat dalam Islam, yang merupakan tindakan ubudiyah tertentu yang standar.14 Sudah menjadi kecenderungan pula bagi umat muslim untuk menetapkannya sebagai sesuatu yang amat diperlukan bagi kehidupan, serta akan berusaha untuk sungguh-sungguh melaksanakannya.

Umat Islam banyak yang mengungkap hikmah yang terkandung di dalam shalat berjama’ah itu selain melaksanakan praktek ritualnya, namun tidak banyak juga yang meninggalkan shalat berjama’ah, dan hanya cukup melaksanakan shalat sendiri saja tanpa melihat hikmah dan manfaat serta pahala yang terkandung di dalam shalat berjama’ah.

Melihat dengan adanya permasalahan-permasalahan di atas maka penulis mencoba menguraikan hikmah shalat berjama’ah dalam kaca mata al-Qur’ân dan Mufassirun, yang diwarnai berbagai penjelasan serta sikap bagaimana seharusnya segenap kaum muslimin menyadari akan hal pentingnya dalam shalat berjama’ah tersebut. Penulis merasa tertarik untuk membahas masalah ini dan mengajukan sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul : HIKMAH SHALAT BERJAMA’AH DALAM AL-QUR’ÂN MENURUT PENAFSIRAN IBNU

KATSÎR (Surat an-Nisa: 102, dan al-Baqarah: 43).

14

(19)

B.Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk memudahkan dalam penulisan, maka penulisan skripsi ini diberi batasan dan rumusan masalah yang akan dibahas. Dalam skripsi ini penulis akan membahas masalah shalat berjama’ah yang kemudian dikaitkan dengan hikmah yang terdapat di dalam hikmah shalat berjama’ah tersebut. Untuk itu permasalahan dalam skripsi ini dibatasi pada pembahasan shalat berjama’ah dalam Surat An-Nisa: 102, dan Al-Baqarah: 43, dan beberapa penafsiran Ibnu Katsîr dalam kaitannya dengan hikmah shalat berjama’ah diantara penafsiran yaitu: a) pengertian shalat berjama’ah; b) shalat berjama'ah sebagai lambang persatuan umat; c) shalat berjama’ah dapat memakmurkan masjid-masjid; d) shalat berjama’ah di lipat gandakan pahalanya sebanyak 27 kali lipat; e) analisis penafsiran.

Adapun para Mufassirin yang akan membahas hikmah shalat berjama’ah ialah Ibnu Katsîr, M. Quraish Shihab, Hasbi ash-Shiddieqy, Hamka, dan lain-lainnya, sehingga nantinya orang akan mengetahui hikmah shalat berjama’ah tersebut dan merasa betapa banyak manfaatnya kalau seorang muslim selalu menjalankan shalat berjama’ah sekalipun tidak diwajibkannya.

(20)

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah tersebut di atas, maka perlu adanya perumusan masalah yang harus penulis ajukan, seperti :

1. Bagaimana penafsiran Ibnu Katsîr atas surat an-Nisa ayat 102, surat al-Baqarah ayat 43.

2. Apakah hikmah shalat berjama’ah bagi segenap kaum muslimin.

C.Kajian Pustaka

Studi terhadap shalat, khususnya yang berhubungan dengan masalah shalat berjama’ah yang tampaknya banyak sekali masalah sekelumit realita yang sering kita lihat di tengah masyarakat Islam dan di tengah masjid-masjid yang banyak bertebaran di negri ini dan negri-negri lainnya. Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk memperbaiki amalan-amalan kaum muslimin yang tidak sesuai dengan sunnah Nabi Saw. Shalat berjama’ah merupakan satu wadah menciptakan masyarakat madani yang di idam-idamkan. Masyarakat madani tidak akan mungkin tercipta bila sarana ini di penuhi dengan bid’ah dan penyimpangan. Menciptakan suasana shalat berjama’ah yang sesuai dengan sunnah Nabi Saw sama artinya menciptakan masyarakat yang beriman dan bertakwa. Itulah yang menjadi harapan kita semua, saya mengamati persoalan mengenai shalat berjama’ah dengan lebih seksama.15

Dalam buku yang berjudul Bimbingan Lengkap Salat Berjamaah sebanyak 224 halaman, yang dikarang oleh Shalih bin Ghanim As-Sadlan . Hanya

15

(21)

menjelaskan yang menyangkut hukum dan tata cara shalat berjama’ah di atas kendaraan, udzur-udzur yang membolehkan kita tidak menghadiri jama’ah, hukum menyampaikan suara imam, dan lain-lain. ringkasnya hikmah shalat berjama’ah, seperti yang kurang dipahami oleh masyarakat. Termasuk dalam masalah shaf, mendahului bacaan imam, meluruskan barisan, dan lain-lain.16

Lain dari itu, buku yang berjudul Menggugat Kesunnatan Salat Berjamaah sebanyak 164 halaman, yang di karang oleh Syaikh Dr. Fadlal Ilahi Menjelaskan tentang ketidaktahuan mereka terhadap pahala besar dan balasan mulia yang dijanjikan oleh Allah bagi orang yang melaksanakan shalat berjama’ah, dan ketidaktahuan mereka terhadap hukum shalat berjama’ah yang pembahasannya begitu jelas menurut al-Qur’ân dan As-Sunnah dan lain-lain.17

Sedangkan masalah yang di angkat oleh penulis adalah masalah hikmah shalat berjama’ah yang telah Allah syari’atkan dengan hikmah-hikmah yang besar dan tujuan-tujuan yang luhur dan juga untuk memaklumatkan syiar-syiar Islam, dan shalat berjama’ah juga adalah sarana terpenting dan utama untuk menyambung silaturahmi dan pembinaan diri . Oleh sebab itu, melalui penelitian ini diharapkan bisa memberikan sedikit kontribusi sekaligus penengah dalam kehidupan masyarakat yang sejahtera dalam negara.

D.Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ada dua nilai signifikan, yaitu aspek keilmuan dan segi praktis. Dari aspek keilmuan, hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi bagi

16

Abdurraziq, Mu’jizat Shalat Berjama’ah, h. 21.

17

(22)

pengembangan wacana tentang hikmah shalat berjamaah. Kajian mengenai hikmah shalat berjamaah menurut Ibnu Katsîr dan para Mufassir semakin memperkaya khazanah intelektual khususnya dalam bidang tafsir.

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Ingin memperoleh pemahaman yang utuh tentang hikmah shalat berjama’ah dalam al-Qur’ân menurut pandangan tafsir Ibnu Katsîr beserta para mufassir.

2. Dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan agama, khususnya dalam bidang pemikiran yang akan bermanfaat di kemudian hari.

3. Untuk memenuhi persyaratan terakhir, guna mencapai gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu Ushuluddin.

E. Metodologi Penelitian

(23)

Dalam pembahasan Skripsi ini, penulis menggunakan kajian Tafsir Maudhû’I.18 Adapun langkah-langkah atau tata cara kerja tafsir Maudhû’I adalah sebagai berikut:19

a. Membahas atau menetapkan masalah shalat berjama’ah yang akan dikaji secara Maudhû’I.

b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan, ayat makîyah dan madanîyyah.

c. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtun menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbab nuzul.

d. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di masing-masing suratnya.

e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh (outline).

f. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadîs, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengompromikan antara pengertian yang ’am dan khas, antara yang mutlak dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang

18

Metode Maudhû’I adalah menghimpun ayat-ayat al-Qur’ân yang memiliki maksud yang sama dan menyusunnya berdasar kronologi serta turunnya ayat-ayat tersebut. Lihat Abd Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhû’I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. Ke-2, h. 36.

19

(24)

lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan manshuk, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada suatu muara, tanpa perbedaan dan kontradiktif atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat ke dalam makna-makna yang sebenarnya tidak tepat. Di samping langkah-langkah di atas penulis menggunakan kitab-kitab penunjang tentang ayat-ayat shalat berjama’ah, penulis menggunakan al-Qur’ân dan terjemahan yang diterbitkan oleh Depag.

Metode Komfaratif digunakan mengingat shalat tidak hanya sekedar ibadah yang dilakukan oleh person, dengan tidak melihat pada ibadah-ibadah lain. Shalat bukan hanya mementingkan diri si pelaku dengan tuhannya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan orang lain dan lingkungan di mana ia tinggal (habl min Allâh ŵa habl min an-nâs). Shalat tidak akan berdiri sendiri, tapi ia hadir bersama dengan ibadah lain seperti shalat berjama’ah.

Sedangkan untuk teknis penulisan skripsi ini penulis menggunakan buku ”Pedoman Akademik, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 2005/2006”.

F. Sistematika Penulisan

Penyusunan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri atas beberapa sub-bab. Untuk memudahkan pembahasannya digunakan sistematika sebagai berikut:

(25)

Bab kedua, Sejarah Hidup, Pendidikannya, dan Karya-Karyanya, Telaah Tafsir IbnU Katsîr, Sumber Penafsiran, Metode Penafsiran, Corak Penafsiran, Karakteristik Penafsiran, dan Sistematika Penafsiran.

Bab ketiga, Pengertian Shalat Berjama’ah, Tafsir Ayat-Ayat Shalat Berjama’ah Menurut Ibnu Katsîr Surat an-Nisa: 102, dan al-Baqarah: 43.

Bab keempat, Hikmah Shalat Berjama’ah Menurut Ibnu Katsîr Dalam Pandangan Mufassir, Shalat Berjama’ah sebagai lambang persatuan umat, Shalat Berjamaah dapat memakmurkan masjid-masjid, Shalat Berjama’ah 27 kali lipat dibandingkan salat sendirian, dan Analisis Penafsiran.

(26)

15

IBNU KATSÎR DAN TAFSIRNYA

A.Biografi, Riwayat Pendidikan, dan Karyanya

Nama kecil Ibn Katsîr adalah Ismâ’îl. Nama lengkapnya adalah ‘Imâd ad-Dîn Abû al-Fidâ Ismâ’îl ibn ‘Amr ibn Katsîr ibn Zarâ’ al-Bushra al-Dimasyqî.1 Lahir di desa Mijdal dalam wilayah Bushra (Bashrah), tahun 700 H./1301 M. Oleh karena itu, ia mendapat predikat al-Bushrawi (orang Bushra).2

Ibn Katsîr berasal dari keluarga terhormat. Ayahnya seorang ulama’ terkemuka dimasanya, Syihâb ad-Dîn Abu Hafsh ‘Amr Ibn Katsîr ibn Dhaw’ ibn Zarâ’ al-Qurasyî, pernah mendalami madzhab Hanafi, kendatipun menganut madzhab Syafî’î setelah menjadi khatib di Bushra.3

Dalam usia kanak-kanak, setelah ayahnya meninggal, Ibn Katsîr diboyong kakaknya (Kamâl ad-Dîn ‘Abd al-Wahhâb) dari desa kelahirannya ke Damaskus. Di kota inilah ia tinggal hingga akhir hayatnya.4 Karena kepindahan ini, ia mendapat predikat ad-dimasyqî (orang Damaskus).

Hal yang sangat menguntungkan bagi Ibn Katsîr dalam pengembangan karir keilumannya, adalah kenyataan bahwa di masa-masa pemerintahan Dinasti Mamluk5 pusat-pusat studi Islam seperti madrasah-madrasah dan masjid-masjid

1

Ahmad Muhammad Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1959), jilid I, h. 22.

2

‘Umar Ridha Kahhâlah, Mu’jam Mu’allifîn: Tarâjum Mushannifî Kutub al-‘Arabiyyah, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, t.t.), jilid II, h. 283.

3

Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsîr Ad-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah,

(Beirut: Dâr al-Fikr), jilid XIV, h. 32.

4

Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 46.

5

(27)

berkembang pesat. Perhatian para penguasa pusat di Mesir maupun penguasa daerah di Damaskus sangat besar terhadap studi Islam. Banyak ulama’ ternama di masa ini, yang akhirnya menjadi tempat Ibn Katsîr menimba ilmu.6

Selain di dunia keilmuan, Ibn Katsîr juga terlibat dalam urusan kenegaraan. Tercatat aktifitasnya pada bidang ini seperti, pada akhir tahun 741 H. Ia ikut penyelidikan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mati atas seorang sufi zindiq yang menyatakan Tuhan terdapat pada dirinya (hulûl). Tahun 752 H, ia berhasil menggagalkan pemberontakan Amir Baibughah ‘Urus, masa Khalifah al-Mu’tadid. Bersama ulama’ lainnya, pada tahun 759 H, ia pernah diminta Amir Munjak untuk mengesahkan beberapa kebijaksanaan dalam memberantas korupsi, dan beberapa peristiwa kenegaraan lainnya.7

Para ahli melekatkan beberapa gelar keilmuan kepada Ibn Katsîr, sebagai kesaksian atas kepiawaiannya dalam beberapa bidang keilmuan yang ia geluti, yaitu:

1. al-Hafizh, orang yang mempunyai kapasitas hafal 100.000 hadis, matan maupun sanad, walaupun dari beberapa jalan; mengetahui hadis sahih, serta tahu istilah ilmu ini;8

2. al-Muhaddis, orang yang ahli mengenai hadis riwayah dan dirayah, dapat membedakan cacat dan sehat, mengambilnya dari

Mamlûk berkuasa di Mesir tahun 1250-1517 M., dengan 47 sultan mamluk. Pendiri dinasti ini adalah Baybars dan Izz ad-Din Aibak, yang melakukan kudeta terhadap Dinasti Ayubiyyah. Lihat: Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, (Jakarta:PT. Ichtiar van Hoeve, 1993), jilid III, h. 145-149.

6

Ulama’-ulama’ besar yang hidup masa Dinasti Mamlûk, karya dan wafatnya, selanjutnya lihat: Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid XIII, h. 46.

7

Ibnu katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 46.

8

(28)

imamnya, serta dapat mensahihkan dalam mempelajari dan mengambil faedahnya;9

3. al-Faqih, gelar keilmuan bagi ulama’ yang ahli dalam ilmu hukum Islam (fiqh), namun tidak sampai pada tingkat mujtahid. Ia menginduk pada suatu mazhab yang ada, tapi tidak taqlid;

4. al-Mu’arrikh, seorang yang ahli dalam bidang sejarah atau sejarawan; 5. al-Mufassir, seorang yang ahli dalam bidang tafsir, yang menguasai

perangkat-perangkatnya berupa ‘ulum al-Qur’ân dan memenuhi syarat-syarat mufassir.

Di antara lima predikat tersebut, al-hafizh merupakan gelar yang paling sering disandangkan pada Ibn Katsîr. Ini terlihat pada penyebutan namanya pada karya-karyanya atau ketika menyebut pemikirannya.

Gelar-gelar tersebut dalam keadaan tertentu saling menunjang. Misalnya, dalam tafsirnya Ibn Katsîr seakan mendemonstrasikan keahlian-keahliannya untuk menganalisis dan mengemukakan materi tafsir. Atau secara terpisah gelar keahlian itu nampak pada karya-karya yang dihasilkan. Kelima gelar yang berhak disandang Ibn Katsîr merupakan suatu kelebihan.

Beberapa ulama’ yang memberikan penilaian kepada Ibn Katsîr yang diantaranya dikemukakan oleh al-Qaththan:

9

(29)

“...(Ibn Katsîr) adalah pakar Fiqh yang terpercaya, pakar

hadis yang cerdas, sejarawan ulung, dan pakar tafsir yang

paripurna.”10

Muhammad Husain adz-Dzahabî juga mengatakan:

“ Ibn Katsîr telah menduduki posisi yang tinggi dari sisi

keilmuan, dan para ulama’ menjadi saksi terhadap keluasan

ilmunya, (penguasaan) materinya, khususnya dalam bidang

tafsir, hadis, dan tarikh.”11

Pernyataan di atas merupakan bukti kedalaman pengetahuan Ibn Katsîr dalam beberapa bidang keislaman, terutama hadis, fiqh, sejarah, dan studi al-Quran. Bukti dan keahlian Ibn Katsîr dalam bidang tersebut dapat dilihat pada karya tulisnya. Dan rupanya popularitas karya-karya tulis Ibn Katsîr dalam bidang sejarah dan tafsirlah yang memberikan andil terbesar dalam mengangkat namanya menjadi tokoh ilmuwan yang terkenal.12

Selama hidupnya Ibn Katsîr didampingi seorang istri yang dicintainya bernama Zainab, putri al-Mizzi yang masih sebagai gurunya.13

Setelah menjalani dinamika kehidupan yang panjang, penuh dedikasi pada Tuhannya, agama, negara dan dunia keilmuan, 26 Sya’ban 774 H., bertetapan dengan bulan Februari 1373 M., pada hari Kamis, Ibn Katsîr dipanggil ke rahmat Allah.14 Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat-Nya kepada Ibn Katsîr. Amin.

10

Mannâ’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhîs fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîs), h. 386.

11

Muhammad Husain Adz-Dzahabî, at-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah), jilid II, h. 243.

12

A. Malik Madaniy, Ibn Katsîr dan Tafsirnya, (Makalah diskusi dosen tetap IAIN Sunan Kalijaga; di-diskusikan 23 Mei 1986), h. 86.

13

Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 25.

14

(30)

Pendidikannya

Sejak kepindahan Ibn Katsîr bersama kakaknya ke Damaskus, 707 H., ia mulai meniti karir keilmuan. Peran yang tidak sempat dimainkan oleh ayah dalam mendidik, dilaksanakan oleh Kamal ad-Din ‘Abd al-Wahhab, sang kakak.15 Kegiatan keilmuan selanjutnya dijalani di bawah bimbingan ulama’ ternama di masanya.

Guru utama Ibn Katsîr adalah Burhân ad-Dîn al-Fazarî (660-729 H.), seorang ulama’ pemuka dan penganut mazhab Syafi’î; dan Kamâl ad-Dîn ibn Qâdhi Syuhbah. Kepada keduanya dia belajar Fiqh, dengan mengkaji kitab at-tanbîh karya asy-Syîrâzî, sebuah kitab furû’ syafî’iyyah, dan kitab Mukhtashâr Ibn Hajib dalam bidang Ushûl al-Fiqh.16 Berkat keduanya, Ibn Katsîr menjadi ahli Fiqh sehingga menjadi tempat berkonsultasi para penguasa dalm persoalan-persoalan hukum.17

Dalam bidang hadis, ia belajar hadis dari ulama’ Hijaz dan mendapat ijazah dari Alwani, serta meriwayatkannya secara langsung dari huffâzh terkemuka di masanya, seperti Syeikh Najm ad-Dîn ibn al-Asqalânî dan Syihâb ad-Dîn al-Hajjâr (w. 730 H.) yang lebih terkenal dengan sebutan Ibn al-Syahnah.18 Kepada al-Hâfizh al-Mizzî (w. 742 H.), penulis kitab Tahdzîb al-Kamâl, ia belajar bidang Rijâl al-Hadis.19 Beliau juga pernah berguru pada adz-Dzahabi (Muhammad bin Muhammad; 1284-1348 M.), yang menjadikannya dipercaya

15

Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 46.

16

Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 192.

17

Nur Faizin Maswan, Kajian Diskriptif Tafsir Ibn Katsîr, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), h. 39.

18

Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 149-150.

19

(31)

sebagai penggantinya (1348 M.)., di Turba Umm Shalih (Lembaga Pendidikan). Pada 756 H./1355 M. Ia diangkat menjadi kepala Dar al-Hadis al-Asyrafiyah (Lembaga Pendidikan Hadis), setelah hakim Taqiy ad-Din ash-Subhi (683-756 H.) meninggal dunia.20 Berkaitan dengan studi hadis, pada bulan Sya’ban 766 H., ditunjuk mengorganisir pengkajian kitab Shahih al-Bukhari.21

Dalam bidang sejarah, peranan al-Hâfizh al-Birzali (w.739 H.), sejarawan dari kota Syam, cukup besar. Dalam mengupas peristiwa-peristiwa, Ibn Katsîr mendasarkan pada kitab Tarikh karya gurunya tersebut.22 Berkat al-Birzali dan Tarikhnya, Ibn Katsîr menjadi sejarawan besar yang karyanya sering dijadikan rujukan utama dalam penulisan sejarah Islam.

Pada usia 11 tahun menyelesaikan hafalan al-Qur’an, dilanjutkan memperdalam ilmu qira’at,23 dari studi tafsir dan ilmu tafsir, dari Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah (661-728 H.),24 di samping ulama’ lain. Metode penafsiran Ibn Taimiyyah menjadi bahan acuan pada penulisan Tafsir Ibn Katsîr.25

Pada bulan Syawwal 767 H., Ibn Katsîr dianugerahi jabatan imam dan guru besar tafsir di masjid negara (Masjid Umayyah Damaskus), oleh Gubernur Mankali Bugha.26

Gelar al-mufassir yang disandangkan kepada Ibn Katsîr tidaklah berlebihan, sebagaimana yang disampaikan oleh al-Dawadi al-Mishri (w. 945 H.):

20

Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid XIV, h. 148-150.

21

Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 294-295.

22

Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 185.

23

Ibnu Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, h. 312.

24

al-Qaththân, Mabâhîs fi ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 365.

25

Taqiy ad-Din Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, (Kuwait: Dâr al-Qur’ân al-Karim), h. 93-114.

26

(32)

“Ibn Katsîr merupakan ikutan para ulama dan hafizh, dan menjadi sandaran para ahli makna dan ahli lafazh”.27

1. Badr ad-Din az-Zarkasyi (w. 794 H.), penulis kitab al-Burhan fi ‘ulum al-Qur’ân, kitab standar dalam ilmu tafsir.

2. Muhammad ibn al-Jazari (w. 833 H.), pengarang kitab an-Nasyr fial-Qira’at al-’Asyr, kitab standar dalam ilmu qira’at.28

3. Al-Hafizh Abu al-Mahasin al-Husaini, penulis kitab Dzayl Tadzkirah al-Huffazh, sebuah kitab penting dalam ilmu rijal al-hadis.29

4. Syihab ad-Din ibn Hijji (w. 816 H.), seorang penulis buku penting dalam bidang tarikh.30

Demikianlah aktifitas dalam seluruh hayatnya, sehingga ia selalu dikenang keharuman namanya setelah tiada.

Karya-karyanya

Sebagai penulis, Ibn Katsîr tergolong produktif. Beberapa judul karya tulis yang ia persembahkan merupakan “juru bicara” betapa penguasaan dan kedalaman ilmunya dalam beberapa bidang kajian.

Dalam bidang fiqh antara lain : 1. Kitab al-Ijtihad fî Thalab al-Jihâd.

Ditulis tahun 1368-1369 M. untuk meng-gerakkan semangat juang dalam mempertahankan pantai Libanon-Syiria dari serbuan Raja Franks

27

Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 28.

28

Madaniy, Ibn Katsîr dan Tafsirnya, h. 18.

29

Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 26.

30

(33)

dari Cyprus. Karya ini banyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibn Taimiyyah: al-Siyâsah al-Syar’iyyah.

2. Kitab Ahkâm. Kitab fiqh yang didasarkan pada al-Quran dan hadis. 3. Al-Ahkâm ‘alâ Ahwâb at-Tanbîh. Kitab ini merupakan komentar dari

kitab at-Tanbîh karya asy-Syîrâzî.

Dalam bidang hadis antara lain :

1. Al-Takmil fî Ma’rifat ats-Tsiqat wa al-Dhu’afâ wa al-Majâhil (5 jilid). Merupakan perpaduan dari kitab Tahdzîb al-Kamâl karya al-Mizzî dan Mîzân al-I’tidâl karya adz-Dzahabî (w. 748 H.), berisi riwayat perawi-perawi hadis.

2. Jamî’ al-Masânid wa as-Sunan (8 jilid). Berisi para sahabat yang meriwayatkan hadis dan hadis-hadis yang dikumpulkan dari al-Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad, Al-Bazzâr dan Abû Ya’lâ serta Mu’jam al-Kabîr. Disusun berdasar tertib huruf.

3. Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadis, merupakan ringkasan dari kitab Muqaddimah Ibn Shalah (w. 642 H./1246 M.). Karya ini kemudian disyarah oleh Ahmad Muhammad Syâkir dengan judul: al-Bâ‘ist al-Hadis fî Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadis.31

4. Takhrîj Ahâdis Adillah at-Tanbîh li ‘Ulûm al-Hadis atau dikenal dengan al-Bâ‘its al-hadis merupakan takhrîj terhadap hadis-hadis yang digunakan dalil oleh asy-Syîrâzî dalam kitabnya at-Tanbîh.

31

(34)

5. Syarh Shahîh al-Bukhârî, merupakan kitab penjelasan terhadap hadis-hadis Bukhârî. Kitab ini tidak selesai, tetapi dilanjutkan oleh Ibn Hajâr al-’Asqalânî (952 H./1449 M.).

Dalam bidang sejarah antara lain :

1. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah (14 jilid). Memaparkan pelbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H. Sejarah dalam kitab ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar: Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan sampai kenabian Muhammad saw, dan kedua, sejarah Islam mulai dari periode da’wah Nabi saw di Mekkah sampai pertengahan abad 8 H. Kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian.

2. Al-Fushûl fî Sirat ar-Rasûl atau as-Sîrah al-Nabawiyyah. 3. Thabaqât asy-Syâfî’iyyah.

4. Manâqib al-Imâm asy-Syâfi’i.

Dalam bidang tafsir antara lain :

(35)

2. Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, lebih dikenal dengan nama Tafsîr Ibn Katsîr. Diterbitkan pertama kali dalam 10 jilid, pada tahun 1342 H./1923 M. Di Kairo.32

B.Mengenal Tafsir Ibn Katsîr

1. Sumber Tafsir Ibn Katsîr

Sumber-sumber tafsir adalah sumber-sumber yang dikutip oleh para ahli tafsir dan diletakkan di dalam tafsir mereka, lepas dari pandangan mereka dalam menafsirkan al-Quran.33

Secara garis besar, sumber-sumber Tafsir Ibn Katsîr dapat dibagi menjadi dua, yakni sumber riwayah dan dirayah.

a. Sumber Riwayah

Sumber ini antara lain meliputi: al-Qur’ân, Sunnah, pendapat sahabat, pendapat tabi’un. Sumber-sumber tersebut merupakan sumber primer dalam Tafsir Ibn Katsîr. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa materi sumber ini juga berasal dari sumber kedua (dirayah). Karena walaupun Ibn Katsîr sebagai hafizh dan muhaddis yang mempunyai periwayatan hadis, dan menguasai periwayatan tentang hadis tafsir, dia cenderung mengutip riwayat-riwayat penafsiran dari kitab-kitab kodifikasi daripada menyampaikan hasil periwayatannya. Namun, karena materi tersebut identik dengan riwayah, maka sumber-sumber tersebut adalah sumber riwayah. Sebagai ulama’ muta’akhkhirûn yang sudah jauh rentang masanya dengan pemilik-pemilik sumber riwayah, adalah suatu sikap yang

32

Syâkir, ‘Umdat at-Tafsîr ‘an al-Hâfizh Ibn Katsîr, h. 34-36.

33

(36)

berhati-hati dan menjaga diri apabila dia merujukkan riwayat tafsir kepada kitab kodifikasi, sekalipun menguasai periwayatan. Hal ini tidak masalah karena memang penekanan penulisan tafsir ma’tsûr pada masa muta’akhkhirûn adalah pada selektifitas atau perhatian dan kepedulian pada nilai riwayat. Dikategorikan dalam sumber riwayah karena dalam tafsir ma’tsûr sumber tersebut dikenal sebagai sumber riwayah, dan dulu, masa mutaqaddimûn, penafsiran dengan diriwayatkan sebagaimana diriwayatkannya hadis oleh para periwayatnya secara tahammul dan ‘ada’.

b. Sumber Dirayah (Ijtihad Ibn Katsîr Ketika Menjelaskan)

Yang dimaksud sumber dirayah adalah pendapat yang telah dikutip oleh Ibn Katsîr dalam penafsirannya. Sumber ini selain dari kitab-kitab kodifikasi pada sumber riwayah, juga kitab-kitab tafsir dan bidang selainnya dari para ulama’ muta’akhkhirûn sebelum atau seangkatan dengannya. Terdapat pula pada sumber ini karya ulama’ mutaqaddimûn.

Hal ini merupakan bukti keterbukaan Ibn Katsîr terhadap karya-karya dari ulama’ muta’akhkhirûn yang berorientasi ra’y. maksudnya, dia tidak membatasi diri pada kutipan karya Tafsir ma’tsûr (saja), namun juga memasukkan pendapat para ulama’ tafsir yang lahir dari pengaruh perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam.

2. Metode Tafsir Ibn Katsîr

Al-Farmawi, membagi metode tafsir yang selama ini dipakai ulama’ menjadi empat metode, yaitu:

(37)

2. Metode ijmaliy; 3. Metode muqaran; dan 4. Maudhu’iy.34

Dari pembagian di atas, Tafsir Ibn Katsîr menunjuk kepada metode tahliliy, suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’ân dan seluruh aspeknya. Mufassir mengikuti susunan ayat sesuai mushhaf (tartib mushhafi), mengemukakan arti kosakata, penjelasan arti global ayat, mengemukakan munasabah dan membahas sabab an-nuzul, disertai Sunnah Rasul, pendapat sahabat, tabi’un dan pendapat penafsir itu sendiri dengan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’ân tersebut.35

3. Corak Tafsir Ibn Katsîr

Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa Tafsîr Ibn Katsîr bercorak mat’sûr, karena dikategorikan dalam sumber riwayah yang mempunyai pengertian bersumber pada: al-Qur’ân, Sunnah, pendapat sahabat dan pendapat tabi’in. Kategorisasi ini hanyalah menunjukkan dominasi sumber-sumber tersebut, tanpa menafikan sumber-sumber-sumber-sumber lain.

Sumber-sumber lain dalam Tafsîr Ibn Katsîr, diantaranya berkaitan dengan nusansa tafsir tersebut. Sumber-sumber yang dimaksud adalah Isrâ’iliyyât dan ra’y. Isrâ’iliyyât perlu dipertegas sebagai salah satu sumber karena terdapat bukti adanya pemakaiannya, baik pada masa sahabat, ulama’ mutaqaddimân dan

34

‘Abd Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhû’I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), cet. Ke-2, h. 10-11.

35

(38)

muta’âkhkhirân, sebagai sumber tafsir. Juga, Isrâ’iliyyât nampak dijadikan sumber tafsir oleh Ibn Katsîr, kendatipun tidak dimasukkan dalam strata sumber-sumber tafsir yang ditulis pada muqaddimah.

Ra’y atau ijtihad sebagai sumber tafsir telah dipakai di kalangan sahabat, tabi’in, dan ulama’ berikutnya. Kemudian, ra’y mempunyai peran besar dalam sebuah penafsiran, apa pun coraknya.36

Tafsir Ibnu Katsîr disepakati oleh para ahli termasuk dalam kategori tafsir bi al-ma’tsur. Kategori atau corak ma’tsur, yaitu penafsiran ayat dengan ayat; penafsiran ayat dengan hadîs Nabi saw, yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit; atau penafsiran dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’un.37

Para ahli yang menetapkan corak ma’tsur, antara lain Manna’ Khalil al-Qaththan, az-Zarqanî, adz-Dzahabî, al-Farmawi, Hasbi ash-Shiddieqŷ, dan Shubhi ash-Shalih.38

Penetapan ini karena yang mendominasi dalam Tafsir Ibn Katsîr adalah penafsiran dengan unsur-unsur atsar, sebagaimana definisi di atas. Penetapan dari penilaian para ulama’ ini, menjadikan sumber (ma’tsur) bagi tafsir tersebut. Adapun unsur atsar yang mendominasi sumber tafsir ini, yaitu:

a. Penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân; b. Sunnah (Hadîs);

c. Pendapat sahabat; d. Pendapat Tabi’un.

36

Maswan, Kajian Diskriptif Tafsir Ibn Katsîr, h. 89.

37

al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhû’I, h. 13.

38

(39)

4. Karakteristik Tafsir Ibn Katsîr

Sebagaimana umumnya kitab klasik atau kitab kuning, Tafsir Ibn Katsîr termasuk kitab yang kaya materi. Di dalamnya, memuat bukan hanya materi tafsir al-Qur’ân, namun dapat dikatakan berisi beberapa cabang ilmu keislaman lain, seperti: hadis, fiqh, sejarah (kisah), ilmu qira’at, dan lain-lain. Karena tafsir ma’tsur, maka hadis yang disampaikan dilengkapi dengan ilmu seluk beluk atau perangkat-perangkat keilmuan yang berkaitan dengan hadis, misalnya, ilmu jarh wa ta’dil, kritik hadis, rijal al-hadis dan lain-lain. Keberadaan ini tidak lepas dengan kedudukan Ibn Katsir sebagai ahli hadis (al-muhaddis).

Untuk pembahasan fiqh, Ibn Katsîr sering kali menguraikan secara panjang lebar. Di sini kendati dia berpegang pada satu madzhab, yaitu Syafi’î, pendapat-pendapat dari madzhab lain, seperti Hanafi, Maliki, Hanbali, dan pendapat-pendapat dari imam madzhab yang sudah tidak berkembang disampaikan di antara pendapat madzhabnya. Hal ini menunjukkan keterbukaannya dan membuka keterbukaan pembaca kitabnya untuk melihat terhadap pendapat madzhab lain, selain madzhab yang dipegangi, agar tidak fanatik. Hal ini menunjukkan keluasan pengetahuan dia dalam bidang fiqh.

(40)

menyampaikan kisah.39 Pada bagian ini dia menambahkan kisah yang bersumber dari Isra’iliyyat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Demikian juga bidang-bidang keislaman lain ia sampaikan secara proporsional.

Adapun karakteristik Tafsir Ibn Katsîr secara terperinci diuraikan berikut ini:

a. Mengkompromikan pendapat-pendapat yang berbeda

Ibn Katsîr selalu berusaha mengkompromikan perbedaan pendapat yang disampaikan para ulama’ sebelumnya. Kalau tidak mungkin, ia akan melakukan tarjîh. Ia begitu arif dalam menyampaikan hasil pengkompromiannya itu dengan ungkapan yang menyejukkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan, ketika menghadapi perbedaan dalam penafsiran shirat al-mustaqîm (QS Al-Fatihah [1]: 6).

(41)

Dengan bijaksana sebagai hasil pemahaman yang mendalam, ia mengkompromikan ikhtilaf itu dalam tulisnya:

Seluruhnya qaul ini adalah benar. Semuanya tetap bisa dipakai (kuat).

Karena sesungguhnya, barang siapa mengikuti Nabi Saw. Dan mengikuti 2

orang sahabat setelahnya, yaitu Abu Bakar dan Umar, maka sesungguhnya

(ia) mengikuti kebenaran. Barang siapa mengikuti kebenaran , maka

sesungguhnya ia mengikuti ajaran agama Islam. Dan barang siapa

mengikuti ajaran agama Islam, maka sesungguhnya ia mengikuti

al-Qur’ân. Sedang al-Qur’ân merupakan Kitab Allah, tali (agama)-Nya yang

kokoh, dan jalan-Nya yang lurus. Semuanya adalah benar, yang

membenarkan sebagian atas sebagian yang lain.”40

Dalam mengutip berbagai macam pendapat, terutama yang mengandung ikhtilaf, Ibn Katsîr berusaha bersikap netral, bebas dan kritis. Apabila mendukung salah satu pendapat yang dikutipnya, ia akan mengemukakan argumen yang menguatkan pendapat itu dari pendapat-pendapat yang lainnya.

b. Merangkum Tafsir Terdahulu

Ibnu Katsîr mengutip beberapa penafsiran dari para ulama’. Ia mengambil pendapat-pendapat dari para ulama’ sebagai salah satu sumber tafsir. Ulama’ tersebut adakalanya dari kelompok mutaqaddimûn, namun terkadang dari

40

(42)

muta’akhirûn. Mereka semua memiliki kontribusi besar dalam mengangkat nilai tafsirnya.

Pandangan dari banyak ulama’ yang beragam latar belakang keahliannya tersebut, menjadikan tafsir ini punya sudut pandang yang kompleks. Rangkuman pendapat di dalamnya sangat luas bidang cakupannya. Dalam mengutip pendapat tertentu Ibn Katsîr hanya menyebutkan nama kitabnya. Tanpa menyebut-nyebut nama kitab yang dikutip, orang sudah dan atau mudah tahu karya ulama’ yang dimaksud, karena ulama’ itu sudah terkenal dan terpercaya.

Ketika Ibnu Katsîr menulis; “Telah berkata az-Zamakhsyari...,” maka orang akan tahu bahwa yang dimaksud tulisan itu adalah dalam Tafsir al-Kasysyâf, bukan karya-karyanya yang lain dalam sastra atau teologi. Jika yang disebut ath-Thabari, maka orang akan paham bahwa sumber qaul itu dari Tafsir Jâmi’ al-Bayan fî Tafsir al-Qur’ân, bukan kitab tarikhnya. Sebab, ketika Ibn Katsîr dalam keadaan tertentu mengutip dari karya tarikh, maka dia menulis: ”Telah berkata ath-Thabarî dalam tarikhnya:...,” demikian seterusnya.

Terhadap periwayatan hadis, Ibn Katsîr menulis, “Telah berkata Ahmad di dalam kitab Musnad-nya..., atau “Dan dalam Musnad Ahmad...,” dan seterusnya. Baik dalam bidang tafsir, hadis, fiqh dan lain-lain, Ibn Katsîr sering menyebut qaul ulama’ tanpa menyebutkan kitab yang menjadi sumber pengambilan. Namun dalam keadaan tertentu, ia menyebutkan nama kitab yang dimaksud sehingga memudahkan bagi orang yang hendak mengeceknya.

(43)

Kritk Abduh yang menganggap kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tak lebih merupakan intelectual exercise, yang penyampainnya terkesan gersang dan kaku,41 serta kurang bisa membawa pesan-hidayah al-Qur’ân, adalah terarah kepada kitab-kitab tafsir yang menempuh metode ijmâli, misalnya Tafsir Jalâlain karya dua Jalâl; Jalâl ad-Dîn al-Mahallî dan Jalal ad-Dîn as-Suyûthî. Kitab ini misalnya, tak ubahnya sebagai tafsir mufradat. Artinya, dalam tafsir itu si mufassir hanya menyampaikan pada kata yang lebih mudah dan lebih dikenal dari kata-kata teks al-Qur’ân, dan membatasi menyampaikan maksud isi al-Qur’ân. Pembacanya dipersilahkan mengambil pesan al-Qur’ân dengan perantara pengertian-pengertian kata. Namun demikian, hal di atas hanyalah efek negatif dari metode ijmâli, karena terdapat pengecualian dari pandangan Abduh di atas mengenai tafsir dan penafsiran. Menurutnya, Tafsir az-Zamakhsyarî yang sangat teliti dalam redaksional dan uraian sastrawinya; Tafsir ath-Thabarî, Tafsir al-Qurthubî dan Tafsir Abu Muslim al-Asfahani yang pengarang-pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taqlid dan tidak melibatkan diri dalam perbedaan paham, merupakan Tafsir yang sangat baik bagi para penuntut ilmu.42

Nah, kendati Abduh secara khusus tidak menyebut Tafsir Ibn Katsîr, namun melihat “sifat” Tafsir yang dikecualikan atau baik bagi penuntut ilmu itu dipunyai tafsir ini, maka ia termasuk Tafsir yang terkecualikan. Hal ini semakin nyata jika diingat dan dihubungkan bahwa Rasyîd Ridhâ sebagai pelanjut dan perealisiride-ide Abduh, dalam penafsirannya sangat terpengaruh oleh Ibn Katsîr.

41

Muhammad ‘Abduh, Fatihat al-Kitab, (Kairo: at-Tahrir), h. 13.

42

(44)

Kekaguman itu telah mendorongnya untuk mencetak Tafsir Ibn Katsîr dan menyebarluaskannya ke seluruh negara Arab, bahkan dunia Islam.

Karya Ibnu Katsîr tersebut menekankan penukilan riwayat penafsiran dari masa Nabi saw hingga masa atba’ at-tabi’in. Pendapat ulama’-ulama’ pasca riwayat hanya sekedar pelengkap. Pembahasan nahwiyah kurang mendapat porsi yang cukup. Penukilan penafsiran, misalnya, dari az-Zamakhsyarî tentang i’rab, kendati pun dinukil namun kadarnya kecil sekali. Hal ini karena memang ciri penafsiran masa mutaqaddimûn, masa generalisasi atsar, Tafsir ditekankan pada pemahaman murad Allah dalam nash al-Qur’ân. Sehingga, walaupun Tafsir Ibn Katsîr ditulis pada masa muta’akhirûn, namun karena memakai corak mutaqaddimûn (yaitu ma’tsûr), ia tidak begitu terpengaruh oleh corak-corak tafsir yang tumbuh setelah berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya ilmu tata bahasa.

(45)

kualitasnya sebagaimana yang disampaikan dalam muqaddimah, yaitu sesuai tidaknya dengan ajaran agama Islam.

Melihat data-data di atas, adalah beralasan jika Subhi Shalih berpendapat bahwa keistimewaan Tafsir Ibn Katsîr antara lain terletak pada ketelitian dalam masalah sanad, kesederhanaan ungkapan yang digunakan dan kejelasan ide pemikiran.43

5. Sistematika Tafsir Ibn Katsîr

Sistematika yang ditempuh Ibnu Katsîr dalam tafsirnya, yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’ân sesuai susunannya dalam mushaf al-Qur’ân, ayat demi ayat dan surat demi surat; dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas, maka secara sistematika tafsir ini menempuh tartib mushhafi.

Patut disyukuri oleh penikmat tafsir bahwa Ibn Katsîr telah tuntas atau menyelesaikan sistematika di atas, dibanding mufassir lain seperti: al-Mahalli (781-864 H.) dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354 H.) yang tidak sempat menyelesaikan tafsirnya, sesuai sistematika tartib mushhafi.44

Pada muqaddimah Ibn Katsîr menulis tentang cara penafsiran yang paling baik atau prinsip-prinsip penafsiran secara umum serta argumen-argumen yang melatarbelakanginya, yang tempuh pada tafsirnya. Apa yang disampaikan di sini

43

Subhi ash Salih, Mabâhis fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayin), h. 291.

44

(46)

sangat prinsipil dan lugas dalam kaitannya dengan tafsir ma’tsûr dan penafsiran secara umum. Karenanya, tidak heran kalau sering dirujuk pada penulis ‘ulûm al-Qur’ân setelahnya.

Mengawali penafsirannya, Ibnu Katsîr menyajikan sekelompok ayat yang berurutan, yang dianggap berkaitan dan berhubungan dalam tema kecil. Cara ini tergolong model baru pada masa itu. Pada masa sebelumnya atau semasa dengan Ibnu Katsîr, para mufassir kebanyakan menafsirkan kata per kata atau kalimat per kalimat.

Dalam Tafsir Ibnu Katsîr aspek arti kosakata dan penjelasan arti global, tidak selalu dijelaskan. Kedua aspek tersebut dijelaskan ketika dianggap perlu. Atau, kadang pada suatu ayat, suatu lafazh dijelaskan arti kosakatanya, sedang lafazh yang lain dijelaskan arti globalnya karena mengandung suatu term (istilah), bahkan dijelaskan secara terperinci dengan memperlihatkan penggunaan term itu

pada ayat-ayat lain nya. Misalnya, sewaktu menafsirkan kalimat (

َﻦﯿِﻘﱠﺘُﻤْﻠِﻟ ىًﺪُھ

)

dalam surat al-Baqarah [2] ayat (2). Menurut Ibn Katsîr, bahwa huda (di sini) adalah sifat diri al-Qur’ân itu sendiri, yang dikhususkan bagi muttaqin dan mu’minin yang berbuat baik. Disampaikan pula beberapa ayat yang menjadi latar belakang penjelasannya tersebut, yaitu: 45

a. Fushshilat [41]: 44. b. Al-Isra’ [17]: 82. c. Yunus [10]: 57.

45

(47)

Aspek asbab an-nuzul, Ibnu Katsîr tergolong ulama’ yang tidak intensif menyampaikannya pada ayat-ayat atau surat-surat yang oleh beberapa mufassir lain disampaikan.

Terhadap dua riwayat asbab an-nuzul atas satu ayat yang sama Ibn Katsîr menyatakan bahwa kedua-duanya sama-sama menjelaskan asbab an-nuzul, tapi berhubung jarak waktu terjadinya jauh, maka bentuk komprominya adalah ayat itu diturunkan dua kali.46

Penafsiran perkelompok ayat ini membawa pemahaman pada adanya munâsabah ayat dalam setiap kelompok ayat itu dalam tartîb mushhafi. Dengan begini akan diketahui adanya keintegralan pembahasan al-Qur’ân dalam satu tema kecil yang dihasilkan kelompok ayat yang mengandung munâsabah antar ayat-ayat Qur’ân, yang mempermudah seseorang dalam memahami kandungan al-Qur’ân serta yang paling penting adalah terhindar dari penafsiran secara parsial (sepotong-potong) yang bisa keluar dari maksud nash. Dari cara tersebut, menunjukkan adanya pemahaman lebih utuh yang dimiliki Ibn Katsîr dalam memahami adanya munâsabah dalam urutan ayat, selain munâsabah antar ayat (tafsir al-Qur’ân bi al-Qur’ân) yang telah banyak diakui kelebihannya oleh para peneliti.

Mufassir setelahnya, misalnya Rasyîd Ridhâ dalam Tafsir al-Manâr dan Mushthafâ al-Marâghî dalam Tafsir al-Marâghî, juga mengawali penafsirannya dengan mengemukakan kelompok-kelompok ayat.

46

(48)

37

TAFSIR AYAT SHALAT BERJAMA’AH MENURUT IBNU KATSÎR

A.Pengertian Shalat Berjama’ah

Shalat berjama’ah adalah shalat yang dikerjakan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan satu orang di depan sebagai imam dan yang lainnya di belakang sebagai makmum.

Shalat berjama’ah minimal atau paling sedikit dilakukan oleh dua orang, namun semakin banyak orang yang ikut shalat berjama'ah tersebut jauh lebih baik. Shalat berjama'ah memiliki nilai 27 derajat lebih baik daripada shalat sendiri. Oleh sebab itu setiap manusia diharapkan lebih mengutamakan shalat berjama’ah daripada shalat sendirian saja.

Shalat atau sering ditulis (ejaan KBBI), merujuk kepada salah satu ritual ibadat pemeluk agama Islam. Secara bahasa shalat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti: do'a. Ia dinamakan dengan salah satu bagiannya. Ada yang berpendapat arti aslinya dalam bahasa adalah pengagungan. Seperti dalam firman Allah swt:1

















“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan2 dan mensucikan3 mereka dan mendoalah untuk mereka.

1

Mahir Manshur Abdurraziq, Mu’jizat Shalat Berjama’ah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), h. 24.

2

(49)

Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103).

(50)

dalam shallaita adalah ya’. Sehingga, bagaimana mungkin keduanya seakan padahal huruf asli keduanya berbeda?”7

Sedangkan shalat menurut istilah adalah sebuah kata yang digunakan untuk mengungkapkan perbuatan-perbuatan tertentu.8 Artinya ibadah kepada Allah yang berisikan bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan yang khusus, dimulai dengantakbir dan di akhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Ia disebut shalat karena doa yang dikandungnya,9 sebelumnya ia adalah sebutan untuk setiap doa lalu berubah menjadi sebutan untuk doa yang khusus, atau ia adalah nama untuk doa lalu dialihkan kepada shalat yang syar’i; karena adanya kesesuaian dan kedekatan di antara shalat dan doa. Maka jika dimutlakkan nama shalat dalam syara’, tidak di fahami darinya kecuali shalat yang disyariatkan.10

Jama’ah dalam bahasa Arab diambil dari kata al-jam’u yang bermakna menyusun sesuatu yang tercerai berai dan menggabungkannya dengan mendekatkannya satu sama lain. Al-Jama’ah adalah sekelompok manusia yang berkumpul untuk satu tujuan. Kemudian digunakan juga untuk sekelompok makhluk lainnya selain manusia. Orang arab mengatakan: jama’atus syajar (kumpulan pepohonan), jama’atun nabat (kumpulan tanaman) dengan makna ini kata al-jama’ah digunakan untuk kumpulan segala sesuatu yang berjumlah banyak.11

7

Imam Muhyiddin an-Nawawi, Al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, (Beirut: Dâr al-Fikr), jilid 3, h. 2.

8

Ibnu Qudamah al-Hanbali, Al-Mughni, (Beirut: Dâr Hajar li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi’ wa al-‘I’lam, 1992), cet. Ke-2, jilid 2, h. 5.

9

‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin Sulaiman bin Ahmad al-Mawardi, Al-Inshaf fi Ma’rifati ar-Rajih min al-Khilaf, (Beirut: Dâr Hajar li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr, 1993), jilid 3, h. 5.

10

al-Qahthani, Lebih Berkah dengan Shalat Berjamaah, h. 18.

11

(51)

al-Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan di masjid, mushalah, atau istilah lainnya. Dengan demikian, shalatnya seorang laki-laki mukallaf di rumah, kantor atau tempat lainnya tidaklah termasuk mendapat keutamaan secara penuh sebagaimana diterangkan oleh hadîs-hadîs Rasulullah saw.12

B.Tafsir Ayat-Ayat Shalat Berjama’ah Menurut Ibnu Katsîr

Istilah “Shalat Berjama’ah” tidak penulis temukan dalam al-Qur’ân dengan ungkapan yang sama. K€endati demikian, maksud dari hal tersebut (Shalat Berjama’ah) dapat dipahami walaupun dengan pemakaian istilah yang berbeda.

Adapun beberapa ayat yang dapat penulis temukan berkenaan dengan tema dimaksud, ialah:

No Ayat-Ayat Pokok Pembahasan

1 An-Nisâ: 102 Perintah mendirikan shalat bersama-sama

2 Al-Baqarah: 43 Anjuran mendirikan shalat bersama orang-orang yang tunduk

Shalat berjama'ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah dan para sahabatnya. Rasulullah dan para sahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah meninggalkannya kecuali jika ada udzur yang syar'î. Bahkan ketika Rasulullah sakit pun beliau tetap melaksanakan shalat berjama'ah di masjid dan ketika sakitnya semakin parah beliau memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para

Maidani al-Atsari, Bimbingan Lengkap Shalat Berjama’ah Menurut Sunnah Nabi, (Solo: At-Tibyan, 2002), h. 18-19.

12

(52)

sahabatnya. Para sahabat pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena sakit) untuk melaksanakan shalat berjama'ah di masjid.13

Apabila setiap manusia membaca dan memperhatikan dengan sebaik-baiknya al-Qur’ân, as-Sunnah serta pendapat dan amalan salafush shalih maka seseorang akan mendapati bahwa dalil-dalil tersebut menjelaskan kepada umat Islam akan wajibnya shalat berjama'ah di masjid. Di antara dalil-dalil tersebut adalah :

1. QS. an-Nisâ: 102





Referensi

Dokumen terkait