• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Karakteristik

Jenis kelamin diartikan sebagai jenis seks yaitu laki-laki atau perempuan. Berdasarkan penelitian bahwa wanita yang menyetujui hubungna seks pranikah lebih sedikit dibandingkan dengan pria (BPS 2004). Dalam penelitian Damayanti menyebutkan perilaku laki-laki dan perempuan hingga bergiuman bibir masih sama, akan tetapi perilaku laki-laki lebih agresif dibandingkan remaja perempuan. Seks pranikah yang dilakukan olek laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan perempuan (Heru, 2007).

Penelitian Triratnawati (1999), menunjukkan bahwa remaja laki-laki memang cenderung mempunyai seks yang agresif, terbuka, gigih, terang-terangan serta lebih

sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Akibatnya lebih banyak remaja perempuan mendapat pengalaman pertama berhubungan seks pranikah dari pacarnya (Kisbiah,1997, Iskandar,1998,Utomo,1998, dalam http:

2.3.2. Tempat Tinggal

Menyinggung tentang lokasi favorit untuk melakukan perbuatan terlarang tersebut bersama pacar paling sering dilakukan di tempat kos atau di rumah.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh PKBI (2005), di Kota Palembang, Tasik Malaya, Cerebon, dan Singkawang menyatakan 85 persen dari responden melakukan hubungan seksual pranikah pada usia 13-15 tahun di rumah mereka dengan pacar. 2.3.3. Pacar (teman intim)

Pacar adalah teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih (kekasih), (Anwar, 2001). Pacaran mengandung pengertian sebagai dua orang berbeda jenis kelamin saling menyukai atau berkomitmen, kedekatan dua orang yang dilandasi cinta dan mereupakan masa penjajakan dalam mencari pasangan hidup.

Dalam penelitian Damayanti menyebutkan berpacaran adalah sebagai proses perkembangan kepribadian seorang remaja, karena ketertarikan terhadap lawan jenis namun demikian dalam perkembangan budaya justru cenderung permisif terhadap gaya pacaran remaja, akibatnya remaja cenderung melakukan hubungan seksual pranikah ( Heru, 2007).

Pacaran tidak harus selalu berakhir dengan pernikahan, karena sekedar mencari kecocokan atau ketidak cocokan. Tetapi pacaran itu seharusnya lepas dari

yang namanya hubungan seksual, jadi hanya sebatas membicarakan masalah, tukar pikiran, jalan bareng, lalu pegangan tangan, membelai rambut, kalau untuk cium bibir di Indonesia saat ini masih dianggap belum layak, apalagi untuk melakukan hubungan seksual lebih tidak setuju. Jika sudah yakin menikah maka hubungan seksual justru tidak perlu dilakukan.

Pacaran dianggap sebagai pintu masuk yang lebih dalam lagi, yaitu hubungan seksual pranikah sebagai wujud kedekatan antara dua orang yang sedang jatuh cinta (De Guzman dan Diaz, 1999). Tanpa adanya komitmen yang jelas mengenai batas pacaran, kadang tanpa disadari atau direncanakan remaja dapat terbawa untuk melakukan hubungan seksual dengan pacarnya (http: www.google.co.id).

2.4. Sumber Informasi 2.4.1. Peran orang tua

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat tetapi sangat penting perannya dalam menumbuhkan anak menjadi remaja yang sehat secara biologis, psikologis dan sosial termasuk seksualitas yang sehat ( Soetjiningsih, 2004). Hal yang sama dikatakan oleh Effendy (2000) bahwa peran orang tua dalam mendidik anak sangat menentukan pembentukan karakter dan perkembangan kepribadian anak. Selanjutnya saluran komunikasi yang baik antar orang tua dan anak akan menciptakan saling memahami terhadap masalah- masalah umum khususnya mengenai problematika remaja sehingga akan berpengaruh terhadap sikap maupun perilaku yang akan diberi anak sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang

tua mereka. Sianipar, (2000) mengatakan bahwa orang tua memegang peranan penting untuk meningkatkan pengetahuan remaja secara umum dan khususnya kesehatan reproduksi. Semakin tinggi tingkat pemantauan orang tua terhadap anak remajanya semakin rendah perilaku penyimpangan menimpa remaja.

Menurut Sianipar (2000), komunikasi adalah inti suksesnya suatu hubungan antara orang tua dan remaja. Hubungan komunikasi secara lancar dan terbuka harus dijaga agar dapat mengetahui apa yang diinginkan remaja, sehubungan dengan perubahan-perubahan dan perkembangan remaja. Lebih jauh Andayani (1996), menyatakan bahwa orang tua harus dapat menyediakan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan anak mereka di rumah dan saling berbicara apa saja mengenai kehidupan yang berhubungan dengan remaja, tidak hanya mengatur dan menyalahkan atau tidak dapat menjadi teman yang baik. Oleh karena itu disamping komunIkasi yang baik dengan anak, orang tua juga perlu mengembangkan kepercayaaan anak pada orang tua.

2.4.2. Peran teman sebaya

Andayani (1996), mengatakan dukungan teman sebaya menjadi salah satu motivasi dalam pembentukan identitas diri seorang remaja dalam melakukan sosialisasi, terutama ketika ia mulai menjalin asmara dengan lawan jenis. Selanjutnya kadang kala teman sebaya menjadi salah satu sumber informasi yang cukup berpengaruh dalam pembentukan pengetahuan seksual dikalangan remaja, akan tetapi informasi teman sebaya bisa menimbulkan dampak negatif karena informasi

yang mereka peroleh hanya melalui tayangan media atau berdasarkan pengalaman sendiri.

Pada masa remaja kedekatan dengan teman sebaya sangat tinggi karena selain ikatan teman sepermainan menggantikan ikatan keluarga, mereka juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi. maka tidak heran bila remaja mempunyai kecenderungan untuk mengadopsi informasi yang diterima dari teman-temannya. Informasi dalam hal ini sehubungan dengan perilaku seks pranikah, tak jarang menimbulkan rasa penasaran yang membentuk serangkaian pertanyaan dalam diri remaja. Untuk menjawab pertanyaan itu mereka sekaligus membuktikan kebenaran informasi yang diterima sehingga remaja cenderung melakukan dan mengalami seks pranikah itu sendiri.

2.4.3. Peran media

Menurut Soetjiningsih (2004), media informasi tidak dapat ditinggalkan untuk ikut serta dalam menyampaikan informasi penting kepada masyarakat umumnya dan remaja khususnya. Selain itu media massa merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku seksual. Media baik elektronik maupun cetak saat ini banyak disorot sebagai salah satu penyebab utama menurunnya moral umat manusia termasuk juga remaja. Berbagai tayangan yang sangat menonjolkan aspek pornografi, misalnya gambar atau foto wanita yang berpakai minim atau tidak berpakaian disampul depan, dibagian dalam majalah atau media cetak, kisah-kisah yang menggambarkan hubungan seks di dalam media cetak,

adegan seks dalam film, bioskop, video atau video compact disk (VCD) dan sebagainya (BKKBN, 2000).

Media membawa peran yang tidak kecil karena selain memperluas wawasan dan pengetahuan juga menjadi jalan masuknya nilai-nilai asing, kebudayaan barat khususnya yang kemudian ditiru, misalnya gaya hidup seks bebas, berpakaian minim dan kecendrungan menonjolkan daya tarik fisik dan seksual yang secara sengaja ditunjukkan untuk membangkitkan hasrat seksual. Pengadaan sarana pendukung seperti hotel, pusat pertokoan, restoran semakin mendukung remaja untuk melakukan hal-hal yang tidak menunjang kesehatan reproduksi. Karena tempat –tempat tersebut menjadi fasilitas pendukung bagi remaja untuk berkumpul, saling tukar informasi dalam hal pornografi, mencari pasangan bahkan menjalankan bisnis seks (pelacuran) serta melakukan trasaksi obat-obatan terlarang (Soetjiningsih, 2004).

Globalisasi menyebabkan aksesibilitas terhadap pornografi menjadi lebih mudah, dukungan tehnologi mempermudah remaja memperoleh informasi,

handphon menjadi pilihan teratas untuk mendapat informasi pornografi (26 %) disusul internet (20%) (Gunawan, 2008).

Media hanyalah alat, tergantung siapa yang memainkannya. Ditangan industriawan media yang tidak bertanggung jawab akan menjadi sarana penghancur masyarakat yang sangat mengerikan. Terbukti setiap hari tayangan mengenai free sex

dan free love menjadi tema utama dalam berbagai besar film dan sinetron yang di tayangkan televisi. Akibatnya remaja beranggapan sek bebas adalah hal yang lumrah di era modern ini (Al Gifari, 2004). Di tangan pelaku media yang kreatif,

bertanggung jawab dan memiliki idealisme yang solit, media akan menjadi sarana yang efektif dalam proses pemberdayaan masyarakat tanpa kehilangan nilai jualnya. 2.5. Konsep Remaja

2.5.1. Remaja dan Seksualitas

Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial. Secara kronologis yang tergolong remaja berkisar antara usia 12 sampai 21 tahun (Dariyo, 2004). Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat. Sarwono 2005, memberikan batasan remaja adalah individu yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum menikah. Suriadi (2005), memberikan istilah yang lebih langsung kepada remaja yaitu kaum muda, mereka yang berusia 15 sampai 24 tahun dan tidak menikah. Masa remaja dibagi menjadi 3 (Nelson, dkk, 2000), Yaitu : 1. remaja awal usia 10 sampai 13 tahun. 2. remaja pertengahan usia 14 sampai 16 tahun. 3. remaja akhir usia 17 sampai 20 tahun dan sesudahnya.

Masa remaja menurut Knoers dan Hadiyono (2005), adalah masa menyulitkan yang dikenal dengan masa percobaan di mana pada masa ini selain terjadi kematangan fisik juga terjadi perkembangan psikologis dan sosial. Perkembangan seksual remaja ditandai dengan adanya tanda-tanda pubertas yang dapat dilihat dari tanda seks kelamin primer dan sekunder. Seks kelamin primer yaitu yang menunjukkan organ badan yang langsung berhubungan dengan persetubuhan dan proses reproduksi yaitu rahim, saluran telur, vagina, bibir kemaluan dan klitoris pada wanita. Sedangkan pada pria yaitu penis, testes dan skrotum. Tanda-tanda seks

kelamin sekunder adalah tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan persetubuhan, yaitu: tumbuhnya rambut kemaluan, ketiak. Pada laki laki ditambah tumbuh kumis, janggut, kadang-kadang juga pada dada, sedangkan pada wanita yang tak kalah penting adalah tumbuhnya payudara.

Perkembangan fisik remaja diawal pubertas, terjadi perubahan penampilan bentuk maupun proporsi tubuh, serta fungsi fisiologis berupa kematangan organ seksual (seks kelamin primer dan sekunder). Hormon yang mulai berfungsi juga mempengaruhi dorongan seks, sehingga remaja mulai tertarik pada lawan jenis, munculnya minat seksual, ingin mendapat kepuasan seksual dan keingintahuan tentang seks (BKKBN, 2000).

Perubahan fisik dan fungsi tubuh pada masa remaja seperti adanya menstrulasi pada wanita dan ejakulasi pada pria serta perubahan bentuk tubuh, amat mempengaruhi kejiwaan remaja. Hal ini dirasakan pada awal masa remaja bagi mereka dirasakan sebagai masa yang membinggungkan dan menimbulkan kecemasan juga menimbulkan perasaan bangga karena mereka mulai dewasa. (Widjanarko,1999).

2.5.2. Ciri-ciri Remaja

Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya.

a. Masa remaja sebagai periode penting, karena terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan, yaitu dari masa kanak-kanak kemasa dewasa

c. Masa remaja sebagai periode perubahanterjadi perubahan emosi tubuh, minat dan peran perubahab nilai-nilai dan tanggung jawab.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah, karena kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah dan karena remaja merasa sudah mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri. Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk mencari siapa diri, apa perannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak atau dewasa.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, anggapan sterotipe budaya yang bersifat negatif terhadap remaja, mengakibatkan orang dewasa tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, remaja melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang mereka inginkan.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa, remaja berperilaku yang dihubungkan dengan status dewasa seperti merokok, minum-minuman keras, obat-obatan dan terlibat seks, agar mereka memperoleh citra yang mereka inginkan (Hurlock, 1996).

2.5.3. Tahap Perkembangan Remaja

Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasa, ada tiga tahap perkembangan remaja, yaitu:

1. Remaja Awal (early adolescence). Pada tahap ini remaja masih terheran-heran pada perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan itu, tertarik pada lawan jenis, mudah terangsang secara erotis dan berkurangnya kendali terhadap ego.

2. Remaja Madya (middle adolescence)Pada tahap ini remaja membutuhkan kawan– kawan, ada kecenderungan narcistic atau mencintai diri sendiri.

3. Remaja Akhir (late adolescence) Pada tahap ini remaja mengalami konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian: Minat yang makin mantap terhadap fungsi–fungsi intelek, Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan dalam pengalaman–pengalaman baru, Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi, Egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain, Tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadinya dan masyarakat umum (Sarwono, 1989).

2.5.4. Kesehatan Reproduksi Remaja

Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera baik fisik, mental dan sosial yang utuh (tidak semata-mata bebas dari penyakit dan kecatatan) dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya (Depkes, 2003). Sedangkan kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut

sistem fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini tidak semata-mata bebas dari penyakit dan kecatatan namun juga sehat secara fisik, mental dan sosial kultur ( BKKBN, 2001). Sehat meliputi tidak tertular penyakit yang menggangu kesehatan reproduksi, tidak menyebabkan kehamilan yang tidak diinginkan. Sehat mental yaitu percaya diri, mampu berkomunikasi dan mampu mengambil keputusan atas segala resiko, sedangkan sehat sosial meliputi pertimbangan nilai-nilai yang berlaku, baik nilai-nilai agama, budaya, maupun nilai- nilai sosial.

Kesehatan reproduksi merupakan unsur yang instrinsik dan penting dalam kesehatan umum baik perempuan maupun laki-laki. Kesehatan reproduksi berarti manusia mampu melakukan kehidupan seksual yang aman dan memuaskan bertanggung jawab dan memiliki kemampuan untuk bereproduksi ( BKKBN, 2000).

2.6. Landasan Teori

Menurut Dariyo, (2004) Sikap tumbuh diawali dari pengetahuan yang dipersepsikannya sebagai suatu hal yang baik (positif) maupun tidak baik (negatif), kemudian diinternalisasikan kedalam dirinya. Dari apa yang diketahui tersebut akan mempengaruhi pada perilaku sesuai dengan persepsinya. Sebab ia merasa setuju dengan apa yang diketahuinya, namun sebaliknya kalau ia mempersepsikan secara negatif, maka iapun cenderung menghindari atau tidak melakukan hal tersebut dalam perilakunya.

Perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsang dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan (determinan perilaku). Faktor determinan perilaku ada dua yaitu : 1. faktor internal yaitu karakteristik orang yang bersangkutan. 2. faktor eksternal yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dsb. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007).

Kemudian teori diatas dikombinasikan dengan teori tindakan beralasan dan teori perilaku terencana. Teori tindakan beralasan menegaskan peran dari niat seseorang dalam menentukan apakah sebuah perilaku akan terjadi. Teori ini secara tidak langsung mengatakan sebuah perilaku pada umumnya mengikuti niat dan tidak akan pernah terjadi tanpa niat. Niat seseorang juga dipengaruhi oleh sikap-sikap terhadap suatu perilaku seperti apakah ia merasa suatu perilaku itu penting (Graeff, dkk, 1996). Inti dari teori perilaku terencana diantara berbagai keyakinan yang akhirnya menentukan intensi dan perilaku tertentu adalah keyakinan mengenai tersedia tidaknya kesempatan dan sumber yang diperlukan. Keyakinan ini dapat berasal dari pengalaman perilaku yang bersangkutan di masa lalu, dapat dipengaruhi oleh informasi tak langsung mengenai perilaku itu, misalnya dengan melihat pengalaman teman atau orang lain yang pernah melakukan dan dapat dipengaruhi oleh faktor- faktor lain yang menpengaruhi atau menambah kesan kesukaran untuk melakukan perbuatan yang bersangkuatan .

Berdasarkan landasan teori dapat dibuat kerangka teori sebagai berikut : Determinan faktor internal

Determinan faktor eksternal

Gambar 3. Kerangka Teori Keyakinan Kepercayaan Nilai-nilai pengalaman pengetahuan Sikap Persepsi motivasi karakteristik orang yang bersangkutan Intensi perilaku Lingkungan fisik Sosial Budaya politik perilaku

2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori dapat dijelaskan bahwa karakteristik (jenis kelamin, tempat tinggal), teman intim (pacar)), sumber informasi (orang tua, teman sebaya, media) dan pengetahuan mempengaruhi kecenderungan melakukan hubungan seks pranikah, maka dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian

Kecenderungan remaja melakukan hubungan seksual

ik h Pengetahuan

Teman intim (pacar) Suber Informasi: • Orang tua • Teman sebaya • Media Karakteristik : • Jenis kelamin • Tempat tinggal

Dokumen terkait