• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Anatomi

4.1.3. Karakteristik Ultrastruktur

4.1.3.1. Sudut Mikrrofibril dan Indeks Kristalinitas

Mikrofibril merupakan berkas-berkas selulosa yang dikelilingi senyawa-senyawa lain yang berfungsi sebagai matriks (hemiselulosa) dengan berat molekul rendah untuk membentuk unit yang lebih besar dan bahan-bahan yang melapisi (lignin). Molekul-molekul selulosa yang membentuk bagian teratur sempurna disebut kristalit, sedangkan yang tanpa batas khusus berubah menjadi bagian yang tak teratur disebut amorph (Sjostrom 1995).

Tabel 3. Sudut mikrofibril dan indeks kristalinitas

Jenis kayu Sudut Mikrofibril ( º ) Indeks Kristalinitas (%) Softwood Pinus merkusii 22,28 36,33 Pinus insularis 18,6 33,16 Rata-Rata Softwood 20,44 34,75 Hardwood Dalbergia latifolia 16,5 41,29 Swietania mahagoni 18,15 38,33 Maesopsis eminii 30,0 42,00 Acacia mangium 21,9 35,26 Rata-Rata Hardwood 21,64 39,22

Kayu Pinus merkusii memiliki sudut mikrofibril 22,28º sedangkan Pinus

insularis 18,6º. Pada jenis-jenis hardwood, sudut mikrofibril paling besar terdapat

pada kayu afrika yaitu 30º dan sonokeling memiliki sudut paling kecil yaitu 16,5º (Tabel 3). Kayu afrika memiliki sudut mikrofibril terbesar dikarenakan kayu contoh penelitian merupakan kayu reaksi. Kayu reaksi adalah salah satu bentuk abnormalitas pada batang yang miring, melengkung atau bengkok. Kayu reaksi timbul sebagai reaksi dari batang pohon yang tumbuhnya miring atau melengkung untuk kembali ke posisi normalnya yaitu berdiri tegak vertikal. Kayu reaksi yang terjadi pada kayu daun lebar disebut kayu tarik (tension-wood) (Tsoumis 1991). Sementara itu Tim Jurusan Teknologi Hasil Hutan (1990) menyebutkan bahwa jenis kayu afrika ini termasuk yang memiliki gejala serat terpadu. Semakin kecil sudut mikrofibril pada kayu, maka arah serat semakin sejajar terhadap sumbu panjang sel. Perbedaan besaran sudut mikrofibril dipengaruhi oleh umur pohon,

lebar riap, dan posisi riap (Deresse et al. 2003). Menurut Fengel dan Wegener (1995), ukuran sel ikut mempengaruhi besaran sudut mikrofibril. Pada ukuran sel-sel pendek dan lebar mempunyai sudut yang lebih besar.

Indeks kristalinitas merupakan luasan daerah kristalit yaitu perbandingan antara luasan daerah kristalit dengan daerah amorph (Sanjaya 2001). Semakin kecil indeks kristalinitas pada kayu, maka semakin kecil pula kadar selulosa dalam dinding sel yang membentuk daerah kristalit sehingga daerah amorphnya lebih besar. Bertambahnya daerah amorph memungkinkan terjadinya pengembangan volume kayu. Dari keenam jenis kayu yang diteliti, indeks kristalinitas tertinggi terdapat pada kayu afrika yaitu 42 % dan terkecil pada Pinus

insularis yaitu 35,26% (Tabel 3). Diungkap dalam Bucur (2006) nilai indeks

kristalinitas kayu spruce beragam berdasarkan umurnya, nilai tertinggi terdapat pada umur 4 dan 100 tahun yaitu 46,5 %. Kayu maple memiliki indeks kristalinitas sebesar 33,4 % pada umur 4 tahun. Panjang atau besaran kristalit tergantung pada sudut fibril dan jarak dari hati kayu. Panjang atau besaran kristalit semakin kecil dengan kenaikan sudut dan penurunan jarak radial (El-Osta 1974

dalam Fengel dan Wegener 1995).

4.2. Karakteristik Komponen Kimia Kayu 4.2.1. Komponen Kimia Struktural Kayu

Berdasarkan Tabel 4 diketahui nilai rata-rata selulosa dan lignin pada jenis

softwood lebih tinggi dibandingkan dengan hardwood. Jenis softwood memiliki

nilai rata-rata selulosa 53,71 % dan hardwood 50,23 %, sedangkan untuk nilai rata-rata lignin softwood 26,87 % dan hardwood 25,14 %. Sementara itu, komponen hemiselulosa dan holoselulosa jenis softwood nilai rata-ratanya lebih kecil dibandingkan dengan jenis hardwood.

Hasil analisis keragaman (pada taraf nyata 5%) untuk kadar selulosa, hemiselulosa, dan holoselulosa berdasarkan bagian kayu (gubal dan teras) menunjukkan bahwa jenis kayu berpengaruh sangat nyata terhadap kadar selulosa, holoselulosa, dan hemiselulosa, sedangkan untuk bagian kayu dan interaksi antara jenis dengan bagian kayu tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap ketiga komponen tersebut. Sementara itu untuk jenis kayu, bagian kayu (gubal-teras),

dan interaksi antara jenis kayu dengan bagian kayu tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap komponen lignin (Lampiran 12).

Tabel 4. Komponen kimia struktural kayu

Jenis Kayu Selulosa Hemiselulosa Holoselulosa Lignin KG KT KG KT KG KT KG KT Softwood Pinus merkusii 52,98 55,22 24,37 21,72 77,35 76,94 27,05 27,26 Rata-Rata Jenis 54,10 23,05 77,15 27,16 Pinus insularis 52,48 54,14 22,68 19,74 75,16 77,35 26,50 26,66 Rata-Rata Jenis 53,31 21,21 74,52 26,58 Rata-Rata Softwood 53,71 22,13 75,84 26,87 Hardwood Dalbergia latifolia 52,26 52,85 23,01 23,03 75,27 75,88 25,32 25,89 Rata-Rata Jenis 52,56 23,02 75,58 25,61 Swietania mahagoni 47,97 46,55 27,46 27,28 75,43 73,83 25,98 25,65 Rata-Rata Jenis 47,26 27,37 74,63 25,82 Maesopsis eminii 49,18 50,62 32,55 30,38 81,73 81,00 25,65 22,82 Rata-Rata Jenis 49,90 31,46 81,36 24,24 Acacia mangium 51,08 51,31 27,45 32,13 78,53 83,44 24,11 25,67 Rata-Rata Jenis 51,20 29,79 80,99 24,89 Rata-Rata Hardwood 50,23 27,91 78,14 25,14

Secara umum, kayu gubal mengandung lebih banyak lignin dan selulosa dibandingkan dengan kayu teras (Fengel dan Wegener 1995). Jenis kayu mahoni memiliki kadar selulosa dan lignin terbesar pada bagian kayu gubalnya sedangkan jenis kayu afrika memiliki kadar lignin terbesar pada bagian kayu gubalnya. Untuk jenis lainnya memiliki kadar selulosa dan lignin terbesar pada bagian kayu teras dibandingkan dengan kayu gubalnya. Pada keenam jenis kayu, kadar hemiselulosa umumnya memiliki nilai lebih tinggi di bagian kayu gubalnya kecuali mangium. Perbedaan kadar komponen kimia ini kemungkinan disebabkan karena proses hidrolisis yang kurang sempurna.

4.2.1.1. Selulosa

Gambar 12 menunjukkan perbedaan nilai selulosa jenis kayu yang teliti. Jenis Pinus merkusii dan Pinus insularis (softwood) memiliki kadar selulosa terbesar dengan nilai rata-rata masing-masing jenis yaitu 54,10% dan 53,31%. Selanjutnya nilai kadar selulosa pada sonokeling (52,56 %), mangium (51,20 %), kayu afrika (49,90 %), dan mahoni (47,26 %).

Gambar 12 . Keragaman kadar selulosa keenam jenis kayu

Selulosa merupakan komponen kayu yang terbesar, yang dalam kayu daun jarum dan kayu daun lebar jumlahnya mencapai hampir setengahnya (Sjostrom 1995). Sementara itu, kayu yang berumur dianggap telah memiliki struktur yang baik berkaitan dengan kristalisasi rantai selulosanya atau telah tercapai kondisi optimum dari kristalinitinya.

Apabila dilihat dari klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia (Tabel 5), maka keenam jenis kayu yang diteliti termasuk kedalam kelas yang mengandung selulosa tinggi, karena kadar untuk jenis softwood (Pinus merkusii dan Pinus

insularis) lebih dari 44 % dan jenis hardwood (sonokeling, mahoni, mangium, dan

kayu afrika) memiliki kadar lebih dari 45 %.

Tabel 5. Klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia

Sumber : Dir. Jend. Kehutanan (1976)

4.2.1.2. Hemiselulosa

Nilai rata-rata kadar hemiselulosa pada kayu hardwood umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan kayu softwood (Gambar 13). Menurut Fengel dan

Komponen Kimia Kelas Tinggi Kelas Sedang Kelas Rendah

1. Kayu Daun Lebar (Hardwood)

Selulosa 45 40-45 40

Lignin 33 18-33 18

Pentosan 24 21-24 21

Zat Ekstraktif 4 2-4 2

Abu 6 0,2-6 0,2

2. Kayu Daun Jarum (Softwood)

Selulosa 44 41-44 41

Lignin 32 28-32 28

Pentosan 13 8−13 8

Zat ekstraktif 7 5−7 5

Wegener (1995), perbandingan dan komposisi kimia hemiselulosa berbeda pada kayu lunak (softwood) dan kayu keras (hardwood). Dimana pada umumnya, jenis

hardwood memiliki kadar hemiselulosa lebih besar dibandingkan dengan kayu softwood. Kayu spruce (Picea spp.) memiliki kadar hemiselulosa berkisar antara

43-45 %, sedangkan jenis maple memiliki kadar 42-47 % (Rowell 1984)

Gambar 13. Keragaman kadar hemiselulosa keenam jenis kayu

4.2.1.3. Holoselulosa

Holoselulosa merupakan produk kayu bebas zat ekstraktif yang dihasilkan setelah lignin dihilangkan dari kayu. Oleh sebab itu, kadar utama holoselulosa terdiri atas selulosa dan hemiselulosa.

Gambar 14. Keragaman kadar holoselulosa keenam jenis kayu

Kadar holoselulosa dari keenam jenis kayu berkisar antara 74,52-81,36%. Kadar holoselulosa tertinggi terdapat pada jenis kayu afrika yaitu sebesar 81,36 % sedangkan kadar holoselulosa terendah terdapat pada jenis Pinus insularis yaitu sebesar 81,36 %. Holoselulosa dalam kayu banyak terdapat dalam bagian dinding sekunder yang berfungsi sebagai penguat tekstur dan sebagai sumber energi

(Ginting 2004 dalam Nugraheni 2008). Untuk kayu spruce (softwood), kadar holoselulosanya sekitar 69 % sedangkan maple 77 % (Rowell 1984).

4.2.1.4. Lignin

Dalam softwood kadar lignin lebih banyak bila dibandingkan dengan

hardwood, dan juga terdapat beberapa perbedaan struktur lignin dalam softwood

dan hardwood (Fengel dan Wegener 1995). Kadar lignin jenis softwood memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan jenis harwood. Nilai rata-rata kadar lignin pada jenis softwood yaitu 26,87 % dan jenis hardwood yaitu 25,14 %.

Rowell (1984) menyatakan bahwa kayu softwood kadar ligninnya lebih besar dibandingkan dengan kayu hardwood. Kadar lignin pada kayu spruce sekitar 27-29 %, sedangkan kayu maple beragam dari 21-30 %.

Gambar 15. Keragaman kadar lignin keenam jenis kayu

Menurut Haygreen et al. (2003), lignin terdapat diantara sel-sel dan didalam dinding sel. Lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel-sel agar tetap bersama-sama. Keberadaan lignin dalam dinding sel sangat erat hubungannya dengan selulosa yang berfungsi untuk memberikan ketegaran pada sel dan berpengaruh dalam memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan kadar air kayu serta mengurangi degradasi terhadap selulosa.

Dokumen terkait