• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Karakteristik Usaha

Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan, diketahui bahwa mayoritas pelaku usaha menjalankan usahanya sudah lebih dari 10 tahun (52%). Jika dilihat lebih detail, ada beberapa pelaku usaha yang menjalankan usahanya lebih dari 20 tahun, bahkan mencapai 30 tahun. Meskipun jumlah pelaku usaha yang lama usahanya mencapai 30 tahun tidak banyak, hal ini menunjukkan bahwa karakteristik usaha warisan juga terpotret pada penelitian ini. Penelitian terdahulu

menjelaskan bahwa usaha alas kaki yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun, memiliki kecenderungan tidak pure dalam melakukan sistem “bon putih”. Artinya pelaku usaha IK alas kaki di wilayah Bogor melakukan mix antara sistem “mandiri” dan sistem “bon putih” pada usahanya. Dengan semakin lama waktu usaha, pelaku usaha cenderung semakin mempelajari bagaimana mengembangkan usahanya menjadi mandiri.

Pelaku usaha 3 : “ masa kita begini aja.. ada keinginan untuk mandiri.. semua dipelajari caranya bisa sampe bagus gini, tata caranya gimana.. dipelajari tata cara sistem grosir gimana..”

Jenis usaha pada industri alas kaki di wilayah Bogor tergolong pada industri kecil, dengan persentase sebesar 54 persen. Hal ini sesuai dengan rata-rata jumlah pekerja yang dimiliki pelaku usaha yaitu sekitar 5 orang pekerja, dengan waktu kerja 8-12 jam kerja per hari. Meski demikian, jenis usaha yang termasuk pada industri rumah tangga juga cukup banyak di wilayah Bogor yaitu sebesar 46 persen. Sehingga, selisih persentase jenis usaha industri kecil dan industri rumah tangga tidak begitu besar (8%). Hal ini menggambarkan bahwa terdapat indikasi keterbatasan tenaga kerja pada sebagian pelaku usaha.

Pihak UPT : “mayoritas industri alas kaki di sini punya 5-6 orang pekerja, dengan investasi 5-15 juta”

Dikarenakan terdapat beberapa data yang missing, maka dilakukan interpolasi pada data omset per kodi dan omset per Rp. Hasil data di lapangan menunjukkan bahwa, mayoritas industri alas kaki di wilayah Bogor memiliki omset rata-rata 100-250 kodi per bulan dengan persentase sebesar 53 persen. Meski demikian, industri alas kaki yang memiliki omset rata-rata kurang dari 100 kodi per bulannya juga cukup besar, yaitu 44 persen. Selisih diantara keduanya yang tidak begitu besar (9%) diduga berkaitan dengan selisih pada jenis usaha yang juga relatif kecil. Berbeda dengan informasi mengenai omset rata-rata per bulan (kodi) yang didapatkan hampir lengkap, pada informasi mengenai omset rata-rata per bulan (Rp), hampir sebagian dari pelaku usaha tidak mengetahui secara pasti besarnya omset mereka. Penggunaan giro berjangka (1-2 bulan) serta potongan (charge) dalam sistem bon putih, merupakan salah satu penyebab pelaku usaha tidak mengetahui secara pasti besarnya omset mereka dalam jumlah Rupiah. Setelah dilakukan interpolasi data, maka diketahui bahwa sebagian besar

memiliki omset rata-rata lebih dari 10 juta sampai 30 juta per bulannya (39%). Meski demikian, pelaku usaha yang bermoset kurang dari 10 juta per bulannya juga cukup banyak (35%). Di sisi lain, industri kecil alas kaki di wilayah Bogor memiliki peluang prospektif untuk berkembang menjadi lebih besar. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan 20 persen pelaku usaha yang memiliki omset rata- rata lebih lebih dari 30 juta sampai 60 juta per bulan dan 6 persen yang mencapai omset rata-rata lebih dari 60 juta hingga 100 juta per bulannya.

Jenis usaha yang masih tergolong pada industri kecil, membuat usaha alas kaki di wilayah Bogor memiliki keterbatasan dalam hal sumber daya. Mayoritas pelaku usaha alas kaki di wilayah Bogor merasa kurang memadai dalam hal alat produksi (58%), modal (51%) serta sumber daya manusia (64%). Dalam hal alat produksi, hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha masih menggunakan alat-alat produksi manual, sehingga hal ini akan berdampak pada kualitas dan kuantitas produksi mereka. Hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan memanfaatkan keberadaan UPT, yang notabenenya berfungsi sebagai workshop

untuk melayani pengrajin-pengrajin yang tidak memiliki peralatan yang memadai.

Pihak UPT : “yang perlu dipertimbangkan itu jelas ya, pertama mesin, mesin berpengaruh pada hasil produksi, kualitas.. kemudian mesin-mesin juga memang standarnya harus cukuplah, tidak terlalu manual.. di sini ada seperti mesin seset, dll.. pertama jelas hasilnya, kedua ini bisa mendongkrak kecepatan produksi.. sehari itu minimal 30 kodi/orang, 600 pasang.. “

Keberadaan UPT yang baru berdiri 3 tahun ini, memang masih kurang terdengar di kalangan pelaku usaha. Sehingga, perlu dilakukan sosialisasi secara intensif untuk memperkenalkan fungsi UPT. Surat edaran terkait sosialisasi keberadaan dan fungsi kerja UPT sebenarnya telah ada, namun sosialisasi tersebut belum terdistribusi merata. Pihak UPT yang juga didukung oleh pihak Desa terkait, akan terus melakukan sosialisasi hingga menjangkau seluruh pelaku usaha pada sentra alas kaki.

Pihak UPT : “nanti akan dibikin selayang pandang dengan durasi 1 jam kedepannya, kemudian kita sosialisasikan di TV sinilah minimal, Megaswara.. cuma kita perlu waktu dulu untuk membenahi persiapan-persiapan itu..”

Di lain hal, kepemilikan modal yang kurang memadai jelas terlihat dari banyaknya pelaku usaha yang menggunakan modal dari pihak grosir, meski dengan seperti ini posisi tawar mereka menjadi lemah. Berdasarkan hasil

interview, masalah lain yang terjadi adalah keterbatasan sumberdaya manusia, dimana hal ini terlihat dari beberapa jumlah order yang tidak terpenuhi karena kekurangan tenaga kerja. Biasanya pada saat peak season dengan order yang melimpah, para pelaku usaha sering mengalami kesulitan dalam mendapatkan tenaga kerja yang memadai, para tenaga kerja lebih memilih untuk bekerja di bengkel-bengkel kerja yang lebih besar dengan upah yang lebih besar.

Usaha alas kaki memiliki posisi yang berbeda-beda bagi para pelakunya. Ada yang menjadikan usaha ini sebagai tambahan pendapatan keluarga, ada pula yang menempatkannya sebagai sumber utama pendapatan keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa, usaha alas kaki ini sangat menjadi sumber utama pendapatan keluarga mereka (70%). Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar pelaku usaha alas kaki, yaitu 87 persen dari mereka tidak memiliki usaha lain atau usaha sampingan. Usaha alas kaki di wilayah Bogor juga merupakan tumpuan hidup bagi mayoritas pelakunya, mayoritas pelaku usaha (67%) menyatakan bahwa sekitar 76 hingga 100 persen kebutuhan keluarga, terpenuhi melalui pendapatan dari usaha alas kaki.

Tabel 10. Karakteristik Usaha Alas Kaki di Bogor

Karakteristik Usaha Alas Kaki Persentase (%) Lama usaha : < 5 thn 5-10thn >10 thn 10 38 52 Total 100 Jenis usaha :

Industri Rumah Tangga Industri Kecil

46 54

Total 100 Omset rata-rata per bulan (kodi) :

<100 kodi 100-250 kodi >250-400 kodi >400 kodi 44 53 2 1 Total 100 Omset rata-rata per bulan (Rp) :

<10 juta >10-30 juta >30-60 juta >60-100 juta 35 39 20 6

Karakteristik Usaha Alas Kaki Persentase (%)

Total 100 Kepemilikan alat produksi :

Sangat kurang memadai Kurang memadai Memadai Sangat memadai 4 58 37 1 Total 100 Kepemilikan modal :

Sangat kurang memadai Kurang memadai Memadai Sangat memadai 13 51 36 0 Total 100 Kepemilikan sdm :

Sangat kurang memadai Kurang memadai Memadai Sangat memadai 6 64 27 3 Total 100 Posisi usaha bagi pendapatan pengusaha :

Sebagai tambahan pendapatan keluarga Menjadi sumber utama

Sangat menjadi sumber utama

1 29 70

Total 100 Terpenuhinya kebutuhan pengusaha :

Terpenuhi 26-50 persen Terpenuhi 51-75 persen Terpenuhi 76-100 persen 5 28 67 Total 100 Kepemilikan usaha lain :

Tidak punya Punya 1 Punya 2 87 11 2 Total 100

Sumber: Data sekunder, diolah (2012)

Dokumen terkait