• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis of The Influences of Entrepreneurial Marketing and Government Policies to The Competitiveness of The Footwear Industry in Bogor.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis of The Influences of Entrepreneurial Marketing and Government Policies to The Competitiveness of The Footwear Industry in Bogor."

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

IN

IN

DUSTRI

STE

SEKOLA

NSTITUT

ALAS K

EVIA SE

AH PASC

T PERTA

2012

KAKI DI B

EPTIANI

CASARJA

ANIAN BO

2

BOGOR

(2)

 

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Pengaruh

Entrepreneurial Marketing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing

Industri Alas Kaki di Bogor adalah merupakan karya saya dengan arahan Komisi

Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Stevia Septiani

(3)

ii 

 

STEVIA SEPTIANI. Analysis of The Influences of Entrepreneurial Marketing and Government Policies to The Competitiveness of The Footwear Industry in Bogor. Under supervision of MA’MUN SARMA and WILSON H. LIMBONG.

Entrepreneurial marketing is the suitable approach in terms of resource constraints and problems that exist in small and medium enterprises (SMEs). Footwear industry is a sector of Small and Medium Enterprises (SMEs) that is supported by the government of Bogor. Problems of development of footwear industry are divided into two main factors: the competence of SMEs and local government policy. Based on these problems, this study aims to (1) Identify the characteristics of entrepreneurs, business characteristics and linkages both of them, (2) Identify and analyze the ability of entrepreneurial marketing, implementation of government policies and the ability of the competitiveness of small industrial footwear in Bogor, and (3) Identify and analyze the influence of entrepreneurial marketing and government policies on the competitiveness of the footwear industry in Bogor. Sample selection is done by purposive cluster sampling method. The samples in this study were 100 small business owners. This study employs three data analysis: descriptive analysis, index transformation analysis, and analysis of structural equation modeling (SEM) with partial least squares (PLS). Characteristics of footwear SME owners in Bogor is included the low-educated group. However, they have excellent expertise in the producing of footwear. Characteristics of footwear enterprises in Bogor, is categorized as the long standing and major businesses. Based on the analysis of SEM with PLS approach, it is known that the entrepreneurial marketing variables have a positive impact on the competitiveness of small industrial footwear in Bogor, while the government policies variables have an indirect effect on competitiveness through entrepreneurial marketing variables. 

Keyword: entrepreneurial marketing, competitiveness, government policy, small

(4)

iii 

 

STEVIA SEPTIANI. Analisis Pengaruh Entrepreneurial Marketing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Industri Alas Kaki di Bogor. Di bawah bimbingan MA’MUN SARMA dan WILSON H. LIMBONG.

Penerapan konsep pemasaran oleh para pelaku IKM dipraktekkan dengan cara yang berbeda dari buku teks pemasaran tradisional. Entrepreneurial marketing merupakan pendekatan yang lebih sesuai ditinjau dari keterbatasan sumber daya dan permasalahan yang ada pada industri kecil dan menengah (IKM). Dalam penerapan entrepreneurial marketing, pemilik IKM cenderung berorientasi pada inovasi serta melakukan strategi bottom-up (menyesuaikan produk dengan permintaan konsumen). Hal ini sangat relevan dengan karakteristik industri alas kaki yang peka pada perubahan varian model yang begitu cepat, sehingga membutuhkan strategi inovasi yang tepat dari para pelaku usaha.

Industri alas kaki merupakan salah satu sektor Industri Kecil dan Menengah (IKM) non migas yang didukung oleh pemerintah. Meski Bogor merupakan salah satu sentra industri kecil alas kaki yang potensial, namun perkembangan industri ini masih kurang signifikan. Permasalahan dalam pengembangannya terbagi menjadi dua faktor utama, yaitu kompetensi IKM dan kebijakan pemerintah daerah. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi karakteristik pelaku usaha, karakteristik usaha dan keterkaitan keduanya pada IK alas kaki di wilayah Bogor, (2) Mengidentifikasi dan menganalisis kemampuan entrepreneurial marketing, implementasi kebijakan pemerintah dan kemampuan daya saing pelaku usaha IK alas kaki di wilayah Bogor, serta (3) Mengidentifikasi dan menganalisis pengaruh entrepreneurial marketing dan kebijakan pemerintah terhadap daya saing industri alas kaki di wilayah Bogor.

(5)

iv 

 

dengan judul penelitian “Model Pengembangan Industri Kecil dan Rumah Tangga Alas Kaki dalam Menuju Keberlanjutan Usaha dan Menghadapi CAFTA”. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode purposive cluster sampling. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 100 orang pelaku usaha alas kaki yang termasuk pada kategori industri kecil dan industri rumah tangga. Analisis data yang digunakan meliputi: analisis deskriptif, analisis transformasi indek dan analisis

structural equation modeling (SEM) dengan pendekatan partial least squares

(PLS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik pelaku usaha alas kaki di Bogor secara umum termasuk pada kategori berpendidikan rendah, masih memiliki mindset jangka pendek, namun memiliki keahlian yang sangat baik dalam memproduksi alas kaki. Karakteristik usaha alas kaki di Bogor termasuk pada usaha yang telah lama berdiri dengan kategori industri kecil, serta merupakan usaha pokok keluarga yang masih terbatas dalam hal alat produksi, modal dan SDM. Secara umum kemampuan entrepreneurial marketing yang dimiliki pelaku usaha alas kaki di wilayah Bogor termasuk pada kategori baik. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaku usaha alas kaki di Bogor berpotensi untuk menjadi mandiri. Sedangkan untuk implementasi kebijakan pemerintah, sebagian besar pelaku usaha masih belum merasakan dampak dan realisasinya. Meski menghadapi berbagai macam kendala, mayoritas pelaku usaha alas kaki di wilayah Bogor memiliki kemampuan daya saing yang cukup baik.

Berdasarkan analisis SEM dengan PLS, diketahui bahwa variabel laten

(6)

 

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

vi 

 

INDUSTRI ALAS KAKI DI BOGOR

STEVIA SEPTIANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Manajemen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

vii 

 

Nama : Stevia Septiani

NIM : H251100274

Program Studi : Ilmu Manajemen

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, M.Ec Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Manajemen

Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(9)

viii 

 

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemampuan dan kekuatan, serta limpahan berkah dan rahmat-Nya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan, motivasi, do’a, dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, MS, M.Ec dan Bapak Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, MS selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan waktu, pikiran, tenaga, motivasi, arahan, nasehat dan kesabarannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

2. Bapak Dr. Ir. Muhammad Syamsun, M.Sc selaku Dosen Penguji Luar Komisi atas arahan, bantuan dan saran untuk perbaikan tesis ini.

3. Bapak Dr. Mukhamad Najib, S.TP, MM selaku Dosen Penguji Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ilmu Manajemen atas saran dan masukan perbaikan yang diberikan.

4. Ibu Lindawati Kartika, S.E, M.Si selaku dosen quality control yang telah memberikan bimbingan perihal tata cara penulisan tesis yang baik dan benar. 5. Seluruh dosen pengajar PS Ilmu Manajemen IPB yang telah memberikan

bekal ilmu dan membuka wawasan secara luas dalam proses belajar penulis. 6. Seluruh staf administrasi PS Ilmu Manajemen IPB atas dukungan

pengorganisasian berbagai hal yang mendukung proses belajar hingga penyelesaian studi.

7. Tim peneliti proyek Penelitian Strategis Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendikbud, Tahun Anggaran 2012, dengan judul penelitian “Model Pengembangan Industri Kecil dan Rumah Tangga Alas Kaki dalam Menuju Keberlanjutan Usaha dan Menghadapi CAFTA”, yang telah mengizinkan dan membantu pelaksanaan penelitian.

(10)

ix 

 

9. Kedua orangtuaku, Ayahanda Asep Zaenal Muttaqin dan Ibunda Tati Tarmilah, kedua adikku Indra dan Gina, serta seluruh keluarga tercinta yang tak henti-hentinya memberikan do’a, semangat dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

10.Galih Saputra Arista yang telah memberikan do’a, motivasi serta dukungan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

11.Teman-teman PS Ilmu Manajemen Kelas Khusus Angkatan I: Ka Nina, Mba Desy, Pa Asep, Pa Ade, Teh Rinrin, Teh Yuli, Ojan, Ani, dan khususnya Ka Jw, atas segala dukungan dan bantuan dalam pembelajaran pengolahan data penelitian.

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya, baik langsung maupun tidak langsung kepada penulis.

Penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan dan memberikan manfaat dalam peningkatan kemampuan daya saing industri kecil alas kaki di Bogor, khususnya melalui entrepreneurial marketing dan kebijakan pemerintah yang optimal.

Bogor, Oktober 2012

(11)

 

Penulis dilahirkan di Indramayu, 18 Juli 1988, sebagai putri sulung dari tiga bersaudara, dengan adik Indra Satria Purnama dan Gina Nurmalia, dari pasangan ayahanda Ir. Asep Zaenal Muttaqin, MM dan ibunda Tati Tarmilah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Papandayan I Bogor pada tahun 2000, setelah itu memasuki SMP Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2003, lalu melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 8 Bogor dan lulus pada tahun 2006.

(12)

xi 

 

Halaman

ABSTRACT ... ii

RINGKASAN ... iii

PRAKATA ... viii

RIWAYAT HIDUP ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Alas Kaki ... 8

2.2 Jenis Usaha dan Industri ... 8

2.3 Pemasaran (Marketing) ... 10

2.3.1 Pemasaran Pelaku Industri Kecil dan Menengah (Small Medium Enterprises Marketing) ... 11

2.4 Kewirausahaan Pemasaran (Entrepreneurial Marketing) ... 12

2.4.1 Sejarah EntrepreneurialMarketing ... 13

2.4.2 Prinsip Kunci Entrepreneurial Marketing ... 14

2.5 Kebijakan Pemerintah ... 16

2.6 Daya Saing ... 16

2.7 Purposive Cluster Sampling ... 17

2.8 Participatory Action Research (PAR) ... 17

2.9 Skala Likert ... 18

2.10 Tabulasi Silang (Cross Tabulation) ... 18

2.11 Transformasi Indek ... 19

2.12 Structural Equation Modeling (SEM) ... 19

2.12.1 Bentuk SEM dengan Partial Least Squares (PLS) ... 21

2.13 Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 24

(13)

xii 

 

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 30

3.4 Jumlah Sampel dan Metode Penarikan Sampel ... 30

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 31

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 31

3.6.1 Analisis Deskriptif Frekuensi dan Tabulasi Silang ... 31

3.6.2 Analisis Transformasi Indek ... 32

3.6.3 Analisis Structural Equation Modeling (SEM) dengan pendekatan Partial Least Squares (PLS) ... 32

3.7 Operasionalisasi Variabel ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Gambaran Umum Industri Kecil Alas Kaki di Bogor ... 37

4.2 Identitas Pelaku Usaha ... 42

4.3 Karakteristik Pelaku Usaha ... 44

4.4 Karakteristik Usaha ... 48

4.5 Hubungan Karakteristik Pelaku Usaha dan Karakteristik Usaha ... 52

4.6 Kemampuan Entrepreneurial Marketing ... 55

4.7 Implementasi Kebijakan Pemerintah ... 59

4.8 Kemampuan Daya Saing ... 62

4.9 Analisis SEM PLS Entrepreneurial Marketing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Industri Alas Kaki di Bogor ... 64

4.9.1 Model Pengaruh Langsung EM dan KP terhadap DS ... 65

4.9.1.1 Analisis Model Outer ... 65

4.9.1.2 Analisis Model Inner ... 70

4.9.2 Model Pengaruh Langsung EM terhadap DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM ... 72

4.9.2.1 Analisis Model Outer ... 72

4.9.2.2 Analisis Model Inner ... 75

4.9.3 Model Pengaruh Langsung EM terhadap DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM berdasarkan Kepemilikan Alat Produksi ... 76

4.9.3.1 Analisis Model Outer ... 77

4.9.3.2 Analisis Model Inner ... 79

4.9.4 Model Pengaruh Langsung EM terhadap DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Keluarga ... 80

4.9.4.1 Analisis Model Outer ... 81

(14)

xiii 

 

4.9.5.1 Analisis Model Outer ... 85

4.9.5.2 Analisis Model Inner ... 87

4.10 Implikasi Manajerial ... 88

KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

1. Kesimpulan ... 96

2. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 98

(15)

xiv 

 

No. Halaman

1. Potensi IKM Alas Kaki di Bogor ... 3

2. Perbandingan Pemasaran Tradisional dan Entrepreneurial Marketing ... 14

3. Perbedaan antara VBSEM dan CBSEM ... 21

4. Kajian Penelitian Terdahulu ... 24

5. Operasionalisasi Variabel Entrepreneurial Marketing ... 33

6. Operasionalisasi Variabel Kebijakan Pemerintah ... 35

7. Operasionalisasi Variabel Daya Saing ... 36

8. Identitas Pelaku Usaha Alas Kaki di Bogor ... 43

9. Karakteristik Pelaku Usaha Alas Kaki di Bogor ... 47

10.Karakteristik Usaha Alas Kaki di Bogor ... 51

11.Signifikansi Hubungan Karakteristik Pelaku Usaha dan Karakteristik Usaha ... 53

12.Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Jenis Usaha ... 53

13.Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Omset per Bulan (Rp) ... 54

14.Tabulasi Silang Kepemilikan Modal dan Keinginan Pindah Usaha ... 54

15.Tabulasi Silang Omset per Bulan (Rp) dan Terpenuhi Kebutuhan... 55

16.Signifikansi Hubungan Tingkat Pendidikan dan Kemampuan Concept ... 56

17.Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Kemampuan Concept ... 57

18.Signifikansi Hubungan Tingkat Pendidikan dan Kemampuan Market Intelligence ... 58

19.Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Kemampuan Market Intelligence Hubungan dengan Usaha Menengah ... 59

20.Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Kemampuan Market Intelligence Hubungan dengan Usaha Besar ... 59

21.Hasil Penilaian Kriteria dan Standar Nilai Mode Reflektif (direct effect EMdan KP terhadap DS) ... 66

22.Nilai Analisis Model Inner vs Standar (direct effect EM dan KP terhadap DS) ... 70

23.Hasil Penilaian Kriteria dan Standar Nilai Mode Reflektif (direct effect EMterhadap DS dan indirect effect KP terhadap DS melalui EM) ... 73

24.Nilai Analisis Model Inner vs Standar (direct effect EM terhadap DS dan indirect effect KP terhadap DS melalui EM) ... 75

25.Hasil Penilaian Kriteria dan Standar Nilai Mode Reflektif (direct dan indirect effect berdasarkan kepemilikan alat produksi) ... 77

26.Perbandingan Outer Loading “alat produksi memadai” vs “alat produksi kurang memadai” ... 78

(16)

xv 

 

kurang dari 75%” ... 82 30.Nilai Analisis Model Inner vs Standar (direct dan indirect effect

berdasarkan pemenuhan kebutuhan keluarga) ... 84 31.Hasil Penilaian Kriteria dan Standar Nilai Mode Reflektif (direct dan

indirect effect berdasarkan posisi usaha)... 85 32.Perbandingan Outer Loading “sangat menjadi sumber pendapatan utama”

vs “menjadi sumber pendapatan utama” ... 86 33.Nilai Analisis Model Inner vs Standar (direct dan indirect effect

berdasarkan posisi usaha) ... 87 34.Implikasi Manajerial dalam Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengendalian

(17)

xvi 

 

No. Halaman

1. Trend Jumlah Unit Usaha IKM Alas Kaki Kabupaten Bogor ... 4

2. Contoh Model Path PLS ... 23

3. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 29

4. Indek Entrepreneurial Marketing ... 56

5. Indek Kebijakan Pemerintah ... 60

6. Indek Daya Saing ... 63

7. Model Awal (direct effect & full sample) ... 67

8. Model Akhir (direct effect & full sample) ... 67

9. Model Awal (indirect effect & full sample) ... 74

(18)

xvii 

 

No. Halaman 1. Milestones in The Evolution of Entrepreneurial Marketing ... 101

2. Kuesioner Penelitian ... 103 3. Dokumentasi ... 107 4. Output PLS dan Bootstrapping Model Pengaruh Langsung EM dan KP

terhadap DS ... 109 5. Output PLS dan Bootstrapping Model Pengaruh Langsung EM terhadap

DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM ... 112 6. Output PLS dan Bootstrapping Model Pengaruh Langsung EM terhadap

DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM berdasarkan Kepemilikan Alat Produksi ... 115 7. Output PLS dan Bootstrapping Model Pengaruh Langsung EM terhadap

DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM berdasarkan Pemenuhan Kebutuhan Keluarga... 121 8. Output PLS dan Bootstrapping Model Pengaruh Langsung EM terhadap

DS dan Pengaruh Tidak Langsung KP terhadap DS melalui EM berdasarkan Posisi Usaha bagi Pengusaha ... 127

(19)

1.1 Latar Belakang

Marketing (pemasaran) merupakan salah satu disiplin ilmu yang berperan penting dalam berkembangnya suatu industri, baik industri skala besar maupun

industri kecil dan menengah (IKM). Akan tetapi, bagi mayoritas pengusaha kecil,

pemasaran masih menjadi salah satu masalah mendasar yang harus dihadapi.

Permasalahan pemasaran pada pengusaha kecil umumnya terfokus pada tiga hal,

yaitu (Hadiyati, 2009): (1) masalah persaingan pasar dan produk, (2) masalah

akses terhadap informasi pasar, dan (3) masalah kelembagaan pendukung usaha

kecil.

Meski pemasaran memegang peranan krusial dalam keberlanjutan sebuah

bisnis, mayoritas pelaku IKM, belum menganggap pemasaran sebagai elemen

kunci bisnis (Kraus et al., 2007). Pemasaran sering dilihat sebagai pemborosan

sumber daya, karena sebagian besar dari mereka menganggap pemasaran hanya

sebatas pada promosi penjualan yang memerlukan biaya tinggi. Para pelaku IKM

selama ini mempunyai anggapan bahwa konsep pemasaran sebagai sesuatu yang

dilakukan perusahaan besar (Stokes, 2000). Pemikiran ini muncul karena

banyaknya buku teks yang membahas studi kasus konsep pemasaran pada

perusahaan besar. Selain itu, pengetahuan mengenai masalah pemasaran

tampaknya agak rendah di kalangan pelaku IKM, sehingga praktek pemasaran

seperti iklan dan promosi penjualan dengan perencanaan jangka panjang,

seringkali dianggap membingungkan (Hakansson dan Klandt dalam Kraus et al.,

2007).

Berdasarkan kondisi tersebut diketahui bahwa konsep pemasaran yang ada

(pemasaran tradisional) yang awalnya dikembangkan untuk perusahaan besar,

tidak dapat langsung ditransfer ke dunia usaha kecil tanpa adaptasi. Hal itu atas

dasar penerapan konsep pemasaran oleh para pelaku IKM yang dipraktekkan

dengan cara yang berbeda dari buku teks pemasaran tradisional (Kraus et al.,

(20)

konsep pemasaran yang lebih sesuai dengan karakteristik khas yang dimiliki IKM.

Entrepreneurial marketing (kewirausahaan pemasaran) merupakan pendekatan konsep yang lebih sesuai ditinjau dari keterbatasan sumber daya dan

permasalahan yang ada pada IKM (Stokes, 2000). Konsep entrepreneurial marketing merupakan konsep yang awalnya muncul pada pelaku usaha skala kecil atau pelaku usaha yang baru memulai bisnisnya (Stokes, 2000), yang mempelajari

mengenai nilai, kemampuan dan perilaku seorang wirausaha dalam menghadapi

berbagai permasalahan serta mendapatkan peluang usaha (Hadiyati, 2009). Pada

penerapan entrepreneurial marketing, pemilik IKM cenderung melakukan strategi

bottom-up (menyesuaikan produk dengan permintaan konsumen) dan berorientasi inovasi. Hal ini sangat relevan dengan karakteristik industri alas kaki yang

notabenenya peka terhadap perubahan varian model yang begitu cepat, sehingga

membutuhkan strategi inovasi yang tepat dari para pelaku usaha.

Industri alas kaki merupakan salah satu sektor Industri Kecil dan

Menengah (IKM) non migas yang didukung oleh pemerintah. Dukungan dari

pemerintah tersebut diperkuat dengan adanya regulasi dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang diatur oleh Peraturan

Presiden No. 7/2005 yaitu mengenai pengembangan industri alas kaki yang dinilai

berpotensi dalam pembangunan nasional. Penetapan industri alas kaki sebagai

salah satu industri prioritas pembangunan nasional cukup beralasan, mengingat

potensi industri alas kaki sangat menjanjikan di masa mendatang. Ketua Umum

Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menyatakan bahwa, sepanjang tahun

2011, potensi penjualan pasar dalam negeri produk alas kaki nasional mencapai

Rp 5 triliun1. Industri alas kaki memiliki pasar yang sangat besar karena berkesinambungan dengan pertambahan jumlah penduduk.

Data Aprisindo menunjukkan bahwa hingga kini produk alas kaki impor

masih mendominasi pasar lokal yaitu sebesar 60 persen. Dalam lingkungan bisnis

yang turbulen, pelaku industri kecil (IK) alas kaki dituntut untuk melakukan

berbagai langkah strategis agar mampu berdaya saing. Peningkatan daya saing

salah satunya dapat dicapai melalui strategi inovasi yang merupakan wujud dari       

(21)

kreatifitas yang dihasilkan oleh pengelola usaha (Rofiaty, 2010), yang juga

merupakan cerminan dari penerapan konsep entrepreneurial marketing.

1.2 Perumusan Masalah

Bogor merupakan salah satu sentra IKM alas kaki di Jawa Barat setelah

Cibaduyut, Bandung. Baik wilayah Kota maupun Kabupaten Bogor, keduanya

begitu potensial untuk pengembangan industri alas kaki. Potensi IKM alas kaki

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1, di mana data pada tabel tersebut

merupakan rekap data terkini yang dimiliki pihak Dinas terkait di masing-masing

wilayah.

Tabel 1. Potensi IKM Alas Kaki di Bogor

Indikator Kabupaten Bogor

(Tahun 2011)

Kota Bogor (Tahun 2003)

Kapasitas produksi per tahun (kodi) 1.863.360 3.568.272

Jumlah unit usaha (orang) 1.941 240

Jumlah tenaga kerja (orang) 18.108 3.200

Sumber: Data Diskoperindag Kabupaten Bogor dan Disperindag Kota Bogor, diolah (2012)

Berdasarkan penelitian Widyastutik et al. (2010), diketahui bahwa Kota

Bogor memiliki banyak IKM, namun yang berpotensi untuk dijadikan klaster

industri adalah industri alas kaki dalam hal ini sepatu dan sandal. Beberapa daerah

yang menjadi sentra industri alas kaki di Kota Bogor adalah Kelurahan Cikaret,

Pamoyanan dan Mulyaharja yang ketiganya berada di Kecamatan Bogor Selatan.

Di sisi lain, untuk wilayah Kabupaten Bogor, posisi IKM alas kaki sudah sesuai

dengan RPJMN, yang menetapkan industri alas kaki sebagai salah satu industri

prioritas pembangunan nasional. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian

Depperin (2007) mengenai kajian pengembangan kompetensi inti daerah, dimana

produk alas kaki di wilayah Kabupaten Bogor ditetapkan sebagai produk

unggulan prioritas, dengan sentra produksi berada di Kecamatan Ciomas. Potensi

IK alas kaki juga dapat dilihat dari peningkatan jumlah unit usaha tiap tahunnya.

Pihak UPT (Unit Pelayanan Teknis) alas kaki Kabupaten Bogor menyebutkan

bahwa rata-rata kenaikan jumlah pelaku usaha adalah 2,5 persen per tahun.

Dikarenakan data jumlah unit usaha yang tersedia hanya pada tahun 2010 dan

2011, maka untuk data tahun-tahun sebelumnya dilakukan penyesuaian

(22)

Gambar 1. Trend Jumlah Unit Usaha IKM Alas Kaki Kabupaten Bogor

Sumber: Data Diskoperindag Kabupaten Bogor, diolah (2012)

Meski keberadaannya begitu potensial, namun realisasi pengembangan

Industri Kecil (IK) alas kaki di wilayah Bogor masih belum optimal. Mayoritas IK

alas kaki di wilayah Bogor masih berada pada kondisi yang tidak ideal, dimana IK

alas kaki tidak mengalami perkembangan yang signifikan dan tidak jauh berbeda

kondisinya ketika awal didirikan. Pihak UPT alas kaki Kabupaten Bogor

menyebutkan bahwa hanya sekitar 5 persen IKM alas kaki yang berkembang

menjadi usaha besar.

Upaya pengembangan IK alas kaki di wilayah Bogor menghadapi berbagai

permasalahan, terkait dengan permodalan dan pemasaran (Widyastutik et. al,

2010). Keterbatasan modal membuat sebagian besar pelaku IK alas kaki

melakukan kemitraan dengan pengumpul dalam hal pengadaaan bahan baku dan

pemasaran produk. Depperin (2007) mengidentifikasi beberapa kelemahan dan

kendala yang dihadapi pengrajin industri alas kaki di wilayah Kabupaten Bogor,

antara lain: (a) keterbatasan modal untuk pengadaan bahan baku secara mandiri,

(b) pengrajin terpola untuk selalu mengerjakan order dari pengumpul, sehingga

kurang mampu dalam membaca peluang pasar yang masih sangat luas dan

terbuka, (c) model yang dikerjakan masih monoton karena posisinya sebagai

follower, (d) modal kurang dapat dikelola dengan baik karena pembayaran yang diterima berupa cek mundur 2 bulan, dimana berpotensi mengurangi margin yang

seharusnya diterima karena dikenakan bunga sekitar 6% per bulan, dan (e)

teknologi proses produksi yang digunakan masih sederhana. 1747

1795

1844

1933 1941

1600 1650 1700 1750 1800 1850 1900 1950 2000

2007 2008 2009 2010 2011

(23)

Jika ditelusuri lebih lanjut, permasalahan permodalan dapat bersumber

pada dua hal, yaitu: karakteristik pelaku usaha dan konsistensi dukungan

pemerintah daerah (Pemda). Meski sumber dana yang tersedia cukup banyak,

namun belum adanya titik temu antara debitur dan kreditur menyebabkan

minimnya pembiayaan melalui perbankan (Widyastutik et. al, 2010). Kesulitan

memperoleh kredit bank dimungkinkan oleh berbagai hal, antara lain: pelaku

usaha tidak memiliki laporan keuangan yang sesuai dengan persyaratan

perbankan, minimnya pengetahuan pelaku usaha terhadap akses permodalan, atau

rendahnya keinginan pelaku usaha untuk mandiri dalam permodalan. Di sisi lain,

konsistensi Pemda dalam mendukung industri alas kaki masih belum begitu fokus,

dimana seringkali bergantung pada kondisi pasar (Ermayani et al., 2010). Apabila

perdagangan alas kaki sedang lesu, Pemda cenderung beralih menggarap sektor

IK lainnya.

Dalam hal pemasaran, pola pemasaran yang dilakukan para pengrajin juga

cenderung konvensional dan terbatas. Pemasaran yang terjadi selama ini adalah

produk sepatu pesanan pengumpul diberikan kepada pengumpul, untuk dijual

kembali oleh para pengumpul di pasar-pasar lokal di Bogor (Ermayani et al.,

2010). Meski demikian, terdapat juga beberapa pelaku IK sepatu yang bersifat

mandiri, yang tidak meminjam atau menerima order dari pengumpul, berusaha dengan modal sendiri, serta memasarkan sendiri produknya ke toko-toko.

Permasalahan pemasaran juga berkaitan erat dengan karakeristik pelaku usaha dan

berbagai keterbatasan sumberdaya yang mereka hadapi. Pelaku usaha yang

bersifat pengrajin cenderung memiliki jiwa wirausaha yang rendah sehingga

mereka kurang berani mengambil resiko untuk mandiri. Meski pada

kenyataannya, bertindak sebagai pengusaha mandiri lebih menguntungkan

dibandingkan hanya sebatas menjadi pengrajin.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam pengembangan IK alas

kaki di wilayah Bogor dapat dikelompokkan ke dalam dua faktor utama: (1) faktor

internal, yaitu kompetensi pelaku usaha dan (2) faktor eksternal, yaitu kebijakan

pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan penelitian Utami (2007) yang

menyatakan bahwa model pemberdayaan yang efektif bagi para pengrajin adalah

(24)

didukung oleh unsur penunjang dari pemerintah daerah dan organisasi non

pemerintah.

Agar tetap mampu bertahan dan berkelanjutan, maka pelaku IK alas kaki

harus concern terhadap daya saing usaha maupun daya saing produknya. Kunci peningkatan daya saing IK terletak pada pengusaha IK yang memiliki jiwa

kewirausahaan dan jiwa inovasi yang tinggi (Susilo, 2010), yang mana hal ini

merupakan cerminan penerapan entrepreneurial marketing. Selain itu, pemerintah juga berperan penting dalam peningkatan daya saing IK. Secara spesifik dan

operasional, Pemda berkewajiban menjadi fasilitator dalam akses permodalan

pengrajin alas kaki, menjadi regulator dalam melindungi usaha alas kaki melalui

kebijakan baik di tingkat input (modal dan bahan baku), hingga kebijakan di

tingkat pemasaran (Kusumawati et.al, 2010).

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, maka perumusan masalah

penelitian yang dapat diajukan adalah:

1. Bagaimana karakteristik pelaku usaha, karakteristik usaha dan keterkaitan

keduanya pada IK alas kaki di wilayah Bogor?

2. Sejauh mana kemampuan entrepreneurial marketing, implementasi kebijakan pemerintah dan kemampuan daya saing pelaku usaha IK alas kaki di wilayah

Bogor?

3. Bagaimana pengaruh entrepreneurial marketing dan kebijakan pemerintah terhadap daya saing industri alas kaki di wilayah Bogor?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi karakteristik pelaku usaha, karakteristik usaha dan

keterkaitan keduanya pada IK alas kaki di wilayah Bogor.

2. Mengidentifikasi dan menganalisis kemampuan entrepreneurial marketing, implementasi kebijakan pemerintah dan kemampuan daya saing pelaku usaha

IK alas kaki di wilayah Bogor.

(25)

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan pada IK alas kaki di

wilayah-wilayah sentra produksi alas kaki Bogor. Penelitian ini mengacu pada

proyek Penelitian Strategis Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,

Kemendikbud, Tahun Anggaran 2012, dengan judul penelitian “Model

Pengembangan Industri Kecil dan Rumah Tangga Alas Kaki dalam Menuju

Keberlanjutan Usaha dan Menghadapi CAFTA”, yang menjadi sumber data

penelitian. Penelitian ini memiliki lingkup general, yang membahas alas kaki

secara umum. Pada penelitian ini juga tidak dilakukan perbedaan perlakuan antara

pengrajin dan pengusaha mandiri. Hal ini dilakukan untuk melihat potensi

kemandirian usaha secara umum. Entrepreneurial marketing dan daya saing diukur berdasarkan kemampuan pelaku usaha alas kaki, sedangkan kebijakan

pemerintah diukur berdasarkan implementasinya yang dirasakan oleh pelaku

usaha. Berdasarkan kondisi yang ada di lapangan, maka daya saing pada

penelitian ini dibatasi hanya pada daya saing dalam negeri.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi

para stakeholder, khususnya para pelaku IK alas kaki dan pemerintah. Bagi para pelaku IK alas kaki, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai potensi

mereka untuk berkembang menjadi mandiri melalui pendekatan entrepreneurial marketing, sehingga pada akhirnya memiliki kemampuan untuk berdaya saing. Sedangkan bagi pemerintah (khususnya Pemda), hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai salah satu masukan untuk lebih mendukung dan memajukan

keberadaan industri kecil alas kaki di Bogor, melalui implementasi kebijakan

yang lebih optimal dan tepat sasaran. Bagi kalangan akademis, hasil penelitian

dapat dijadikan sebagai data dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Serta, bagi masyarakat yang ingin menambah wawasan dan

pengetahuan mengenai pengaruh entrepreneurial marketing dan kebijakan pemerintah terhadap daya saing industri alas kaki di wilayah Bogor, dapat

(26)

2.1 Alas Kaki

Alas kaki merupakan suatu produk berupa sepatu atau sandal yang

digunakan sebagai penutup telapak kaki untuk melindungi kaki terutama disekitar

telapak kaki (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2012). Jika dilihat

dari fisiknya, sepatu dan sandal memiliki beberapa perbedaan. Sepatu merupakan

suatu jenis alas kaki yang biasanya terdiri dari sol, hak, kap, dan tali. Sedangkan

sandal merupakan salah satu model alas kaki yang terbuka pada bagian jari kaki

atau tumit dalam pemakaiannya. Selain fitur fungsional dari alas kaki sebagai

pelindung kaki, alas kaki juga banyak difungsikan sebagai trend fashion dalam

berbusana.

2.2 Jenis Usaha dan Industri

Peraturan perundang-undangan tentang usaha kecil telah mengalami

perubahan, yang mana Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha

Kecil, telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha

Mikro, Kecil dan Menengah. Berdasarkan total aset dan total penjualan tahunan

Undang-Undang tersebut mengelompokkan usaha menjadi empat kategori sebagai

berikut:

1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan

usaha perorangan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.

50.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki

hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00.

2. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan

oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak

perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasasi, atau

menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah

atau Usaha Besar, dengan kriteria memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.

50.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 tidak

(27)

tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp.

2.500.000.000,00.

3. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan

anak perusahaan atan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi

bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha

Besar dengan jumlah kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00 sampai

dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan

bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.

2.500.000.000,00 sampai dengan paling banyak Rp. 50.000.000.000,00.

4. Usaha besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha

dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari

Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta,

usaha patungan dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di

Indonesia.

Pada pengelompokkan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja, Badan Pusat

Statistik (Tambunan, 2002) mengklasifikasikannya ke dalam empat kategori,

yaitu:

1. Industri rumah tangga dengan jumlah tenaga kerja 1 sampai 4 orang.

Ciri industri ini adalah memiliki modal yang sangat terbatas, tenaga kerja

berasal dari anggota keluarga, dan pemilik atau pengelola industri biasanya

kepala rumah tangga itu sendiri atau anggota keluarganya. Misalnya: industri

anyaman, industri kerajinan, industri tempe/tahu, dan industri makanan ringan.

2. Industri kecil dengan jumlah tenaga kerja 5 sampai 19 orang.

Ciri industri kecil adalah memiliki modal yang relatif kecil, tenaga kerjanya

berasal dari lingkungan sekitar atau masih ada hubungan saudara. Misalnya:

industri genteng, industri batu bata, dan industri pengolahan rotan.

3. Industri sedang dengan jumlah tenaga kerja 20 sampai 99 orang.

Ciri industri sedang adalah memiliki modal yang cukup besar, tenaga kerja

memiliki keterampilan tertentu, dan pimpinan perusahaan memiliki

kemampuan manajerial tertentu. Misalnya: industri konveksi, industri bordir,

(28)

4. Industri besar dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang.

Ciri industri besar adalah memiliki modal besar yang dihimpun secara kolektif

dalam bentuk pemilikan saham, tenaga kerja harus memiliki keterampilan

khusus, dan pimpinan perusahaan dipilih melalui uji kemampuan dan

kelayakan (fit and proper test). Misalnya: industri tekstil, industri mobil, industri besi baja, dan industri pesawat terbang.

2.3 Pemasaran (Marketing)

Kotler (2005) mengungkapkan bahwa ruang lingkup utama pemasaran

adalah bagaimana memahami keinginan dan kebutuhan pelanggan untuk

memberikan kepuasan kepada pelanggan yang pada akhirnya menangkap nilai

dari pelanggan sebagai imbalannya. Di sisi lain, American Marketing Association

(AMA) dalam Hills (2008) memberikan definisi pemasaran yang lebih luas,

dimana pemasaran dianggap sebagai seperangkat proses untuk mengelola

hubungan pelanggan dengan tujuan menguntungkan organisasi dan perusahaan,

serta memberikan nilai optimal bagi para stakeholder. Ketika terjadi perubahan nilai pada stakeholder, maka konsep pemasaran akan berubah sesuai dengan perubahan tuntutan stakeholder dan perkembangan pasar.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, konsep pemasaran juga

mengalami perkembangan dalam sudut pandang kontekstualnya. Crosier (2006)

menyatakan konsep dasar dalam pemasaran tradisional dapat diklasifikasikan

menjadi tiga sudut pandang, meliputi: (1) pemasaran sebagai budaya organisasi

yang memperhatikan pentingnya pasar atau konsumen, (2) pemasaran sebagai

proses strategis yang membahas mengenai kemampuan perusahaan dalam

bersaing dan bertahan di pasar, dan (3) pemasaran sebagai serangkaian fungsi atau

metode taktis dalam menetapkan pengembangan produk, menetapkan harga,

melakukan promosi dan menggunakan saluran distribusi. Di samping ketiga

elemen tersebut, elemen inteligensi pasar juga merupakan elemen penting dalam

konsep dasar pemasaran, dimana elemen ini berkaitan dengan sistem

pengumpulan informasi pasar melalui kegiatan riset pemasaran terstruktur (Kohli

(29)

2.3.1 Pemasaran Pelaku Industri Kecil dan Menengah (Small Medium EnterprisesMarketing)

Bagi mayoritas SMEs (Small Medium Enterprises) atau pelaku IKM, pemasaran belum dianggap sebagai elemen kunci bisnis. Penelitian Kraus et al.

(2007) menemukan tingginya ketergantungan pelaku IKM terhadap kriteria

keuangan, khususnya laporan keuangan. Hal ini mengindikasikan bahwa

mayoritas pelaku IKM hanya berfokus pada jangka pendek, untuk kelangsungan

hidup mereka saja. Marketing sering dilihat sebagai pemborosan sumber daya. Selain itu, pengetahuan tentang masalah pemasaran tampaknya agak rendah di

kalangan pelaku IKM, dan prakteknya seperti: iklan dan promosi penjualan

dengan perencanaan jangka panjang, seringkali dianggap membingungkan

(Hakansson dan Klandt dalam Kraus et al., 2007).

Pertumbuhan usaha sering terjadi tanpa strategi pemasaran formal atau

direncanakan selama tahun pertama pengembangan usaha. Banyak pemilik IKM

cenderung percaya bahwa langkah strategis formal juga tidak akan diperlukan di

kemudian hari (Kraus et al., 2007). Untuk menjaga kelangsungan hidup IKM,

hampir kebanyakan dari mereka lebih mengandalkan bentuk pemasaran seperti

word of mouth serta pengumpulan informasi pasar secara informal, daripada menerapkan bauran pemasaran terpadu atau riset pasar formal (Stokes, 2000).

Meski konsep pemasaran telah banyak dijelaskan dalam berbagai buku

teks, namun konsep pemasaran yang ada yang awalnya dikembangkan untuk

perusahaan besar, tidak dapat langsung ditransfer ke dunia usaha kecil tanpa

adaptasi. Pada kenyataannya, para pelaku IKM menerapkan konsep pemasaran

dengan cara yang berbeda dari buku teks pemasaran tradisional (Kraus et al.,

2007). Stokes (2000) menyatakan bahwa model bauran pemasaran 4P atau 7P

tidak cocok bagi pelaku IKM. Beberapa penelitian tersebut memberikan gambaran

bahwa dibutuhkan keberadaan pendekatan konsep pemasaran yang lebih sesuai

dengan karakteristik IKM yang notabenenya memiliki keterbatasan sumber daya

(30)

2.4 Kewirausahaan Pemasaran (Entrepreneurial Marketing)

Entrepreneurial marketing merupakan konsep yang awalnya muncul pada pelaku usaha skala kecil atau pelaku usaha yang baru memulai bisnisnya. Hal ini

sesuai dengan pandangan Kotler dalam Bjerke dan Hultman (2002) yang

mengkategorikan kewirausahaan pemasaran sebagai pemasaran dalam tahap

perkembangan awal sebuah bisnis, dimana tingkat kewirausahaan cenderung

tinggi dan tingkat formalisasi praktik pemasaran rendah, sehingga praktek

pemasaran ini dapat mencerminkan kepribadian pemilik dan tujuan usaha.

Pernyataan tersebut didukung oleh Bjerke dan Hutltman (2002), dalam

bukunya yang berjudul “Entrepreneurial Marketing: The Growth of small firms in the new economic era”, yang mendefinisikan entrepreneurial marketing sebagai konsep pemasaran perusahaan retailer yang tumbuh melalui kewirausahaan.

Stokes (2000) memfokuskan konsep entrepreneurial marketing pada elemen inovasi dan pengembangan ide-ide sesuai dengan perkembangan pasar, sebagai

kunci untuk kelangsungan hidup, pengembangan dan keberhasilan usaha kecil

atau baru. Pada dasarnya, entrepreneurial marketing merupakan refleksi sebuah sikap proaktif dalam mengidentifikasi dan mengeksploitasi berbagai peluang

dalam rangka mendapatkan dan mempertahankan pelanggan yang

menguntungkan melalui berbagai pendekatan yang inovatif untuk mengelola

resiko, mengoptimalkan sumberdaya, menciptakan nilai (Morris et al., 2002),

dengan hubungan stakeholder (marketing network) dan karakteristik wirausaha

(EM competencies) sebagai konsep dasarnya (Ionita, 2010).

Berdasarkan perspektif pemasaran umum, keberadaan konsep

kewirausahaan pemasaran diposisikan sebagai pelengkap teori pemasaran yang

sudah ada (Bjerke dan Hutlman, 2002). Konsep entrepreneurial marketing

bukanlah area revolusioner, yang menganggap perspektif pemasaran sebelumnya

telah usang. Pendekatan ini merupakan pendekatan kotingensi yang lebih sesuai

ditinjau dari keterbatasan sumber daya dan permasalahan yang ada pada IKM

(31)

2.4.1 Sejarah Entrepreneurial Marketing

Entrepreneurial Marketing (EM) muncul pada tahun 1982 pada sebuah konferensi di University of Illinois, Chicago, yang disponsori oleh International Council for Small Business and American Marketing Association (Hills, Hultman et al., 2008). Pada kesempatan tersebut topik penelitian EM didiskusikan,

meskipun kepentingan akademisi pemasaran untuk topik EM masih terbatas. Pada

tahun 1986, sebuah simposium tahunan yang dilegitimasi oleh American Marketing Association (AMA), diselenggarakan untuk didedikasikan pada area MEI (Marketing-Entrepreneurship Interface). Sejak saat itu, minat para peneliti EM terus tumbuh dan mereka mengorganisir upaya mereka dalam sebuah

Marketing and Entrepreneurship Task Force yang kemudian menjadi Special Interest Group permanen. Topik EM mulai tersebar di Eropa dan pada tahun 1995

Academy of Marketing menyelenggarakan simposium pertama, yang dilakukan untuk melihat kesamaan antara pemasaran dan kewirausahaan. Pada tahun 1999

jurnal Research in Marketing and Entrepreneurship didirikan, sebagai tempat khusus untuk para peneliti EM. Penelitian tentang masalah ini diperkuat dan

hasilnya dipublikasikan baik di majalah dan isu-isu khusus di jurnal pemasaran

(European Journal of Marketing, Marketing Education Review, Management Decision, Journal of Marketing: Theory and Practice) dan jurnal kewirausahaan (Journal of Small Business Management, International Journal of Entrepreneurship and Innovation Management).

Pada tahun 2005, jurnal internasional Entrepreneurship and Innovation Management diciptakan di MEI, dengan tujuan untuk menghubungkan masalah teknologi dan pemasaran. Isu khusus pada jurnal Small Business Management

tahun 2008 dan jurnal internasional Entrepreneurship and Innovation Management tahun 2010, menunjukkan bahwa EM memasuki arus utama literatur kewirausahaan. Pada tahun 2010, hasil dari "Charleston Summit" menyimpulkan bahwa pemasaran menjadi komponen sekunder MEI yang didominasi oleh

kewirausahaan, sehingga diperlukan upaya untuk mengintegrasikan keduanya.

Meskipun EM memiliki eksistensi yang relatif panjang, tampaknya baru sekarang

(32)

beserta dengan dampak dari peristiwa-peristiwa dalam pengembangan MEI,

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

2.4.2 Prinsip kunci Entrepreneurial Marketing

Kemunculan konsep entrepreneurial marketing merupakan respon dari beberapa hasil penelitian empiris yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian

antara teori pemasaran tradisional dan praktek pemasaran pada pelaku usaha

dalam skala kecil (Ionita, 2012). Melalui pendekatan entrepreneurial marketing, pengusaha kecil mampu menciptakan suatu kondisi usaha yang lebih terarah

terkait dengan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Hills (2008) memaparkan

proses kewirausahaan pemasaran berdasarkan empat prinsip pemasaran dan

perilaku aktivitas entrepreneurial, sehingga memudahkan dilakukannya perbandingan antara teori pemasaran dalam buku teks standar seperti Kotler, serta

pemasaran yang telah sukses dilakukan oleh entrepreneur dan manajer dari usaha

entrepreneurial. Stokes (2000) merangkum perbedaan antara traditional marketing dan entrepreneurial marketing tersebut dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Perbandingan Pemasaran Tradisional dan Entrepreneurial Marketing

Prinsip

Pemasaran Pemasaran Tradisional Entrepreneurial Marketing

Konsep Berorientasi konsumen (dorongan

pasar), pengembangan produk melalui penilaian formal

Berorientasi inovasi (dorongan ide), penilaian kebutuhan pasar secara intuitif

Strategi Pendekatan top-down: segmentasi,

targeting, dan positioning

Pendekatan bottom-up dari konsumen dan kelompok pengaruh lainnya

Metode Bauran pemasaran, 4P/7P Metode pemasaran interaktif,

word-of-mouth marketing, dan penjualan langsung Inteligensi

Pasar

Riset pasar formal dan sistem inteligensi

Jaringan informal dan pengumpulan informasi

Sumber: Stokes (2000)

Meringkas perbedaan antara EM dan pemasaran tradisional berdasarkan Tabel di

atas, disimpulkan bahwa (Stokes, 2000):

1. Dalam hal orientasi bisnis, ditemukan bahwa tidak seperti pemasaran

tradisional yang didefinisikan oleh orientasi pelanggan, EM didefinisikan oleh

kewirausahaan dan orientasi inovasi. Jika konsep pemasaran klasik

(33)

para pengusaha IKM memulainya dengan sebuah ide dan kemudian mencoba

untuk menemukan pasar.

2. Pada tingkat strategis, pemasaran tradisional memerlukan pendekatan top-down, sebuah urutan kegiatan jelas seperti segmentasi, targeting dan setelah itu positioning. Namun, para pengusaha IKM sukses mempraktikkan proses kebalikan dari pemasaran tradisional, yaitu pendekatan bottom-up: (i) mengidentifikasi peluang pasar yang mungkin, kemudian mengujinya melalui

proses trial and error; (ii) setelah itu, perusahaan mulai melayani kebutuhan beberapa klien, dan kemudian memperluasnya dengan melakukan kontak

langsung dengan klien, serta mengetahui preferensi dan kebutuhan mereka;

(iii) kemudian, ditambahkan pelanggan baru dengan profil yang serupa dengan

klien lama mereka. Seringkali proses ini tidak sengaja, misalnya saja

pelanggan baru yang datang sebagai hasil dari rekomendasi pelanggan awal.

Oleh karena itu, target pasar dibentuk oleh proses eliminasi dan seleksi

mandiri.

3. Pada tingkat taktis, EM tidak cocok dalam model 4P karena pengusaha IKM

mengadopsi pendekatan pemasaran interaktif, dimana mereka lebih memilih

untuk memiliki kontak langsung dan pribadi dengan pelanggan. Pengusaha

berinteraksi dengan pelanggan selama personal selling dan kegiatan hubungan pemasaran. Interaksi tersebut ditingkatkan dengan pemasaran word of mouth.

4. Dalam hal pengumpulan informasi pasar, pengusaha IKM menyadari

pentingnya pemantauan lingkungan pemasaran. Akan tetapi, mereka lebih

memilih untuk menggunakan metode tidak resmi seperti pengamatan pribadi

atau pengumpulan informasi melalui jaringan kontak mereka. Penolakan

metode penelitian formal adalah konsekuensi logis dari fakta bahwa mereka

tidak percaya pada kemampuan memprediksi masa depan.

Pengusaha IKM menyatakan bahwa mereka tidak menggunakan

pemasaran, karena mereka mengasosiasikan pemasaran dengan periklanan,

dimana mereka tidak mampu membayar biaya komunikasi yang tinggi. Selain itu,

pengusaha IKM tampaknya terlalu fokus pada kondisi saat ini, seperti isu-isu

operasional dan mengabaikan isu jangka panjang lainnya. Di sisi lain, menanggapi

(34)

(2010) mengungkapkan pentingnya kemampuan untuk beradaptasi dan berubah

dengan cepat untuk mengimbangi misjudgements dalam memprediksi kebutuhan pelanggan.

2.5 Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah adalah serangkaian keputusan yang ditetapkan dan

dilaksanakan oleh pemerintah yang memiliki tujuan tertentu demi kepentingan

seluruh masyarakat (Winarno, 2002). Istilah kebijakan tersebut lebih tertuju pada

konteks kebijakan Negara, yang umumnya meliputi peraturan-peraturan yang

memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan

yang diusulkan dalam rangka merealisasikan suatu sasaran atau tujuan tertentu.

Pada penelitiannya yang berjudul “Analisis Kebijakan Pengembangan

Ekonomi Lokal Industri Alas Kaki yang berkelanjutan di Kabupaten Bogor”,

Kusumawati et al. (2010) mengklasifikasikan kebijakan pemerintah berdasarkan

peran pemerintah, yaitu: sebagai fasilitator dan regulator. Berdasarkan hasil

analisis leverage diperoleh lima atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kebijakan industri alas kaki, yaitu (Kusumawati et al.,

2010): (1) kebijakan fasilitasi permodalan, (2) kebijakan fasilitasi pelatihan, (3)

kebijakan mengenai peraturan persaingan usaha, (4) kebijakan mengenai

peraturan kemudahan investasi, dan (5) kebijakan mengenai peraturan kemudahan

pengurusan izin. Dalam rangka mendorong industri alas kaki yang berkelanjutan,

Pemerintah berkewajiban menjalankan perannya baik sebagai fasilitator dan

regulator dengan tepat sasaran.

2.6 Daya Saing

Daya saing adalah suatu konsep yang biasanya merujuk kepada komitmen

terhadap persaingan pasar dalam kasus perusahaan-perusahaan, dan keberhasilan

dalam persaingan internasional dalam kasus negara-negara (Tambunan, 2010).

Dalam mengukur daya saing IKM harus dibedakan antara daya saing perusahaan

dan daya saing produk. Menurut Tambunan (2010), IKM yang berdaya saing

(35)

pasar ekspor, pangsa pasar luar negeri, laju pertumbuhan volume produksi, laju

pertumbuhan ekspor, diversifikasi pasar domestik, dan diversifikasi pasar ekspor.

Sedangkan untuk mengukur daya saing produk, dapat digunakan indikator

seperti: nilai produk dan kepuasan konsumen terhadap produk. Pada dasarnya

keberadaan daya saing sangatlah penting dalam era bisnis saat ini. Agar tetap

mampu bertahan dan dapat memanfaatkan peluang, maka IKM harus

meningkatkan daya saing perusahaan maupun daya saing produknya (Susilo,

2010).

2.7 Purposive Cluster Sampling

Purposive cluster sampling adalah penggabungan atau kombinasi antara pengambilan sampel secara purposive dan cluster sampling. Purposive sampling

adalah teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara sengaja dengan

pertimbangan tertentu yang mencerminkan representasi terhadap populasi atau

judgment para pakar untuk mencapai tujuan penelitian (Singarimbun dan Effendi, 1995). Sedangkan cluster sampling yang paling umum digunakan yaitu sampling area adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan kelompok-kelompok yang terdiri dari wilayah-wilayah geografis. Penggabungan teknik sampling ini dicerminkan dari pengamatan yang dilakukan hanya pada beberapa daerah

tertentu (key area), dimana informasi yang mendahului keadaan suatu populasi sudah diketahui dengan benar.

2.8 Participatory Action Research (PAR)

Meski IK alas kaki merupakan industri yang potensial, namun hingga kini

IK alas kaki masih menghadapi berbagai permasalahan, baik masalah internal

maupun masalah eksternal. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian dengan

pendekatan Participatory Action Research (PAR) agar permasalahan yang ada diidentifikasi berdasarkan pandangan dari stakeholder usaha terkait. Participatory Action Research (PAR) merupakan suatu bentuk penelitian yang dilakukan secara bersama (kolaboratif) oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian dan

(36)

pendekatan Participatory Action Research (PAR) dinilai lebih ideal, karena berbagai aspirasi dari para stakeholder dapat terwakili.

 

2.9 Skala Likert

Rensis Likert adalah penemu skala Likert yang mana skala ini sering

digunakan secara luas dalam meminta responden menandai derajat persetujuan

atau ketidaksetujuan terhadap masing-masing serangkaian pertanyaan mengenai

obyek stimulus (Malhotra, 2005). Seiring perkembangannya, skala Likert tidak

hanya berhubungan dengan derajat persetujuan saja, tetapi juga terkait dengan

pernyataan tentang sikap seseorang terhadap sesuatu, misalnya: senang-tidak

senang, baik-tidak baik, mampu-tidak mampu, dll.

Informasi yang diperoleh dari skala Likert berupa skala pengukuran

ordinal. Oleh karenanya peneliti hanya dapat membagi responden ke dalam urutan

ranking atas dasar persepsinya, tanpa dapat diketahui berapa besarnya selisih antara satu tanggapan ke tanggapan lainnya. Selanjutnya, penentuan jumlah skala

Likert juga merupakan hal penting dalam penelitian. Dimana penentuan jumlah

skala Likert sangat terkait dengan subjektifitas peneliti. Malhotra (2005)

menyatakan bahwa, untuk menghindari kecenderungan responden menjawab

netral yang menyebabkan bias tanggapan, maka skala dengan jumlah kategori

genap dapat digunakan.

2.10 Tabulasi Silang (Cross Tabulation)

Menurut Singarimbun dan Effendi (1995), tabulasi silang (crosstabs) adalah suatu metode analisa sederhana yang memiliki daya menerangkan cukup

kuat untuk menjelaskan hubungan antarvariabel. Berdasarkan hubungan

antarvariabel, analisis crosstabs dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: (1) analisis

crosstabs – chi square untuk menguji hubungan antarvariabel data nominal dan (2) analisis crosstabs – correlations untuk menguji hubungan antarvariabel data ordinal. Pada analisis ini, distribusi persentase dalam sel-sel tabel frekuensi

menjadi dasar untuk menyimpulkan hubungan antara variabel yang diteliti. Cara

(37)

Sebagai acuan untuk mendapatkan interpretasi yang tepat, maka persentase selalu

dihitung pada variabel pengaruh.

2.11 Transformasi Indek

Sumardjo (1999) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, melalui proses

transformasi indek akan diketahui nilai keragaman yang terjadi pada setiap

variabel penelitian yang berskala ordinal. Pengukuran parameter dilakukan untuk

mendapatkan informasi tingkat pencapaian dalam kontinuum nilai total terendah

(sama dengan jumlah indikator) dan tertinggi (sama dengan jumlah skor

maksimum). Skor setiap indikator merupakan skala ordinalnya itu sendiri.

Dalam pedoman analisis transformasi indek, nilai indek terkecil diberikan

untuk jumlah skor terendah dan nilai 100 untuk jumlah skor tertinggi dari tiap

indikator. Nilai indek maksimum sangat bergantung pada banyaknya skala ordinal

yang digunakan. Pada penelitian ini digunakan skala ordinal 1 sampai 4, sehingga

nilai indek transformasi minimum dicapai apabila semua parameter setiap

indikator menunjukkan angka skor 1 dan indek maksimum dicapai apabila nilai

skor parameter setiap indikator mencapai skor 4. Berikut disajikan rumus umum

transformasi indek:

Nilai indek variabel = indek indikator tiap variabel x 100 …….. (1)

total indek maksimum tiap variabel

Keterangan : selang nilai indek 0 – 100

2.12 Structural Equation Modeling (SEM)

Menurut Ghozali et al. (2005), Structural Equation Modeling (SEM) merupakan suatu teknik analisis statistik multivariat, yang memungkinkan peneliti

untuk menguji pengaruh langsung dan tidak langsung antara variabel yang

kompleks, baik recursive maupun non-recursive untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai suatu model. Tidak seperti analisis multivariat biasa

(regresi berganda dan analisis faktor), analisis SEM dapat melakukan pengujian

model structural (uji hubungan antar peubah laten) dan model measurement (uji hubungan antara peubah indikator dengan peubah laten) secara bersamaan.

(38)

Pada analisis SEM pengukuran dilakukan pada dua buah peubah

(construct), yaitu peubah laten dan peubah manifest. Peubah laten dalam SEM merupakan variabel-variabel yang tidak dapat diukur secara langsung. Sehingga,

pengamatan pada variabel laten dilakukan melalui efek dari variabel-variabel

manifest (variabel terobservasi). Variabel manifest adalah indikator-indikator yang dapat diukur (Ghozali, et al., 2005). Dalam model SEM, konstruk laten

berdasarkan fungsinya dibagi menjadi dua, yaitu: variabel eksogen dan variabel

endogen. Variabel eksogen adalah suatu variabel yang tidak dapat dipengaruhi

oleh variabel lain (variabel independen didalam model regresi). Sedangkan

variabel endogen adalah variabel yang dapat dipengaruhi variabel lain. Ghozali, et

al. (2005) juga menyatakan bahwa dalam model SEM, variabel endogen dapat

berperan menjadi variabel independen apabila variabel tersebut dapat

mempengaruhi variabel lain. Proses analisis Structural Equation Modeling

mencakup beberapa langkah, yaitu: (1) konseptualisasi model, (2) penyusunan

diagram alur, (3) spesifikasi model, (4) identifikasi model, (5) estimasi parameter,

(6) penilaian model fit, (7) modifikasi model, dan (8) validasi silang model.

Secara teknis SEM dibagi menjadi 2 kelompok (Tabel 3), yaitu SEM

berbasis covariance (CBSEM) yang diwakili dengan software LISREL dan SEM berbasis variance (VBSEM) yang dapat menggunakan software SmartPLS.

Covariance based SEM (CBSEM) lebih bertujuan memberikan pernyataan tentang hubungan kausalitas atau memberikan deskripsi mekanisme hubungan

sebab-akibat. Sedangkan variance based SEM (VBSEM) dengan pendekatan

(39)

Tabel 3. Perbedaan antara VBSEM dan CBSEM

No. Kriteria VBSEM CBSEM

1 Tujuan Berorientasi prediksi Berorientasi parameter

2 Pendekatan Berdasarkan variance Berdasarkan covariance

3 Asumsi Spesifikasi prediktor Multivariate normal

distribution, independence observation (parametric)

4 Estimasi Parameter Konsisten sebagai indikator dan

sample size meningkat

Konsisten

5 Skor variabel laten Secara eksplisit diestimasi Inderteminate

6 Hubungan epistemic

antara variabel laten dan indikatornya

Dapat dalam bentuk formatif maupun reflektif indikator

Hanya dengan reflektif indikator

7 Implikasi Optimal untuk ketepatan

prediksi

Optimal untuk ketepatan parameter

8 Kompleksitas model Kompleksitas besar (100 konstruk dan 1000 indikator)

Kompleksitas kecil sampai menengah (kurang dari 100 indikator)

9 Besar sampel Kekuatan analisis didasarkan

pada porsi dari model yang memiliki jumlah prediktor terbesar. Minimal

direkomendasikan dari 30 sampai 100 kasus

Kekuatan analisis didasarkan pada model spesifik minimal direkomendasikan berkisar dari 200 sampai 800

Sumber: Ghozali (2008)

2.12.1 Bentuk SEM dengan Partial Least Squares (PLS)

Partial least squares (PLS) pertama kali dikembangkan oleh Herman Wold (1996) sebagai metode umum untuk mengestimasi path model yang menggunakan konstruk laten dengan multiple indikator (Ghozali, 2008). PLS merupakan metode analisis yang powerful karena dapat diterapkan pada semua jenis skala data (distribution free) dimana tidak mengasumsikan data berdistribusi tertentu sehingga data dapat berupa nominal, kategori, ordinal, interval dan rasio.

Di samping itu, pendekatan SEM dengan PLS juga tidak membutuhkan banyak

asumsi dan ukuran sampel yang dibutuhkan juga tidak harus besar. Selain dapat

digunakan sebagai konfirmasi teori, PLS juga dapat digunakan untuk membangun

hubungan yang belum ada landasan teorinya atau untuk pengujian proposisi

(Ghozali, 2008). Contoh model path PLS disajikan pada Gambar 2.

Pemodelan analisis jalur dalam PLS terdiri dari 3 set hubungan, yaitu:

1. Inner Model (structural model)

(40)

ηj = Σi βji ηi + Σi γjb ξb + ζj ………...………..….. (2)

Dimana η menggambarkan vektor endogen (dependen) variabel laten, ξ

adalah vektor variabel eksogen, ζj adalah vektor variabel residual, βji dan γjb

adalah koefisien jalur yang menghubungkan prediktor endogen dan laten

eksogen sepanjang range indeks i dan b.

2. Outer Model (measurement model)

Outer model menspesifikasikan hubungan antar variabel laten dengan indikator. Outer model terdiri dari 2 macam mode, yaitu mode reflective

(mode A) dan mode formative (mode B). Mode reflektif merupakan relasi dari peubah laten ke peubah indikator atau “effect”. Sedangkan mode formative

merupakan relasi dari peubah indikator membentuk peubah laten “causal”. Blok dengan indikator reflektif memiliki bentuk persamaan sebagai berikut:

x = λx ξ + δ

y = λy η + ε ………...………..…….. (3)

Dimana x dan y adalah indikator untuk variabel laten eksogen dan endogen.

Sedangkan λx dan λy merupakan matriks loading yang menggambarkan

koefisien regresi sederhana yang menghubungkan variabel laten dengan

indikatornya. Residual diukur dengan δ dan ε sebagai kesalahan pengukuran.

Blok dengan indikator formatif memiliki persamaan sebagai berikut: ξ = λx X + δξ

η = λy Y + δη ………...………..….. (4)

Dimana ξ adalah vektor variabel eksogen, λx dan λy adalah koefisien regresi

berganda dari variabel laten dan blok indikator, serta δξdan δη adalah residual

dari regresi.

3. Weight Relation

Inner dan outer model memberikan spesifikasi yang diikuti dalam estimasi algoritma PLS. Nilai kasus untuk setiap variabel laten yang di estimasi dalam

PLS sebagai berikut:

ξb = ΣkbWkbXkb ………...………. (5)

ηi= ΣkiWkiXki ………...………..…... (6)

(41)

indikator yang nilai weight-nya didapat dengan prosedur estimasi PLS seperti dispesifikasikan oleh inner dan outer model dimana η adalah vektor variabel laten endogen (dependen) dan ξ adalah vektor variabel laten eksogen

(independen).

Gambar 2. Contoh Model Path PLS

Keterangan :

ƒ ξ = Ksi, variabel laten eksogen

ƒ η = Eta, variabel laten endogen

ƒ λx = Lamnda (kecil), loading factor variabel laten eksogen ƒ λy = Lamnda (kecil), loading factor variabel laten endogen ƒ β = Beta (kecil), koefisien pengaruh endogen terhadap endogen

ƒ γ = Gamma (kecil), koefisien pengaruh eksogen terhadap endogen

ƒ ζ = Zeta (kecil), galat model

ƒ δ = Delta (kecil), galat pengukuran pada variabel laten eksogen

ƒ ε = Epsilon (kecil), galat pengukuran pada variabel laten endogen

Berikut adalah konversi model path (Gambar 2) ke dalam bentuk persamaan PLS: ¾ Outer model :

™ Untuk variabel laten eksogen 1 (reflektif)

ƒ x1 = λx1 ξ1 + δ1 ………...………..….. (7)

ƒ x2 = λx2 ξ1 + δ2 ………...………..….. (8)

(42)

™ Untuk variabel laten eksogen 2 (formatif)

ƒ ξ2 = λx4 X4 + λx5 X5 + λx6 X6 + δ4 ………... (10)

™ Untuk variabel laten endogen 1 (reflektif)

ƒ y1 = λy1 η1 + ε1 ………...………..….. (11)

ƒ y2 = λy2 η1 + ε2 ………...………..….. (12)

™ Untuk variabel laten endogen 2 (reflektif)

ƒ y3 = λy3 η2 + ε3 ………...………..….. (13)

ƒ y4 = λy4 η2 + ε4

¾ Inner model :

™ η1 = γ1ξ1 + γ2ξ2 + ζ1 ………...……….. (14)

™ η2 = β1η1 + γ3ξ1 + γ4ξ2 + ζ2 ………...…………. (15)

2.13 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Adapun beberapa hasil penelitian terdahulu yang dijadikan acuan oleh

penulis disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kajian Penelitian Terdahulu

Nama peneliti dan tahun

Judul penelitian Temuan penelitian

Azril Amor (2004) Kajian strategi

pemasaran industri kecil sepatu (studi kasus di desa Ciomas, Kabupaten Bogor)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif strategi pemasaran yang dapat dilakukan adalah: (1) mempertahankan mutu sepatu sebagai salah satu keunggulan produk IK Ciomas dan melakukan pemberian label yang menjadi merk dagang sepatu IK Ciomas, dengan memperhatikan permintaan konsumen, (2) meningkatkan dan memantapkan saluran distribusi, dengan lebih menekankan hubungan yang saling menguntungkan dengan mitra, distributor, dan grosir sepatu, (3) melakukan promosi dengan cara mengadakan pameran di berbagai tempat yang potensial untuk pasar sasaran dan bekerjasama dengan pemerintah setempat menciptakan Ciomas sebagai tujuan wisata sepatu.

Angga Sulistiono dan Mumuh Mulyana (2010)

Strategi pengembangan pemasaran IKM pengrajin sepatu sandal

(43)

Nama peneliti dan tahun

Judul penelitian Temuan penelitian

sensitif akan harga. Strategi penetrasi pasar menjadi langkah terbaik untuk menggaet konsumen dengan karakterisrik tersebut. Karena dalam langkah tersebut akan dipergunakan strategi penetapan harga yang relatif terjangkau dan menarik bagi konsumen.

Widyastutik, Heti Mulyati, Eka Intan K. Putri (2010)

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan klaster UMKM alas kaki di Kota Bogor yang berdaya saing

Klaster yang berada di Kota Bogor termasuk ke dalam klaster tidak aktif. Hal ini dicirikan dengan kurangnya interaksi yang intensif antar anggota dan keterkaitan antara industri terkait maupun industri pendukung masih rendah. Responden sekitar 85% menginginkan proses pembentukan klaster industri terbentuk dengan sendirinya, misalnya karena kesamaan jenis usaha, atau kesamaan bahan baku yang dibutuhkan. Jenis kemitraan yang dilakukan hanya sebatas kerjasama perdagangan umum. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap pengembangan klaster UMKM adalah modal sosial (X5) dan kondisi permintaan (X2). Riny Kusumawati,

Hermanto Siregar, Sugeng Budiharsono, dan Wonny A. Ridwan (2010)

Analisis kebijakan pengembangan ekonomi lokal industri alas kaki yang berkelanjutan di Kabupaten Bogor

Berdasarkan hasil analisis ALEDIA diperoleh status pengembangan ekonomi lokal industri alas kaki di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, memiliki nilai sebesar 34,84 dengan status buruk (tidak berkelanjutan). Setelah dilakukan analisis

leverage dan perbaikan pada sektor-sektor

kunci, status pengembangan ekonomi lokal industri alas kaki di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, sebesar 55,82 dengan status baik (berkelanjutan). Alternatif kebijakan yang diusulkan dalam penelitian ini adalah (1) kebijakan fasilitas permodalan; (2) kebijakan persaingan usaha; dan (3) promosi pemasaran.

Y. Sri Susilo (2010) Strategi meningkatkan daya saing UMKM dalam menghadapi implementasi CAFTA dan MEA

Gambar

Gambar 1. Trend Jumlah Unit Usaha IKM Alas Kaki Kabupaten Bogor
Gambar 2. Contoh Model Path PLS
Tabel 4. Kajian Penelitian Terdahulu
Tabel 4. (Lanjutan 1)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji atribut buah pisang kepok yang menjadi preferensi konsumen di Kota Surakarta dan mengkaji atribut yang paling dipertimbangkan

Salah satu kalimat yang bukan kalimat thoyyibah ...a. Salam menurut

• Pesan yang disampaikan dapat menggugah perhatian atau minat bagi pihak komunikan. • Pesan dapat menggugah kepentingan komunikan yang dapat

Peserta didik berdiskusi dalam kelompok diminta melakukan analisis gambar dan isi Pasal UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mangatur hak warga negara dalam proses

Bahasa yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar yaitu bahasa indonesia baik peserta didik maupun guru.

Sehubungan dengan pelaksanaan Pemilihan langsung pada Dinas Bina Marga Kota Medan Tahun Anggaran 2014, Pembangunan Drainase- Pembetonan Drainase Di Jl.. Sapta Marga

Berdasarkan hasil Evaluasi Penawaran dan Kualifikasi paket pekerjaan Penyusunan Kebijakan Pengembangan Industri Tahun 2017, bersama ini kami mengundang Saudara

Selain dapat mencukupi kebutuhan gizi keluarga dengan protein nabati (kacang- kacangan, sayuran, buah-buahan) maupun protein hewani (ikan, unggas, maupun